Wednesday, July 05, 2006

Romo Ong
--------

>> Anwar Holid

DE MORTUIS nil nisi bonum, begitu kata sebuah ungkapan Latin. Artinya: Katakan hanya yang baik saja bagi mereka yang mati. Mengikuti ini, saya niat menulis yang baik-baik tentang seseorang yang ingin saya kenal lebih baik dulu sebelum diperkenalkan pada Anda, sebab dia sudah almarhum. Kenapa juga harus kenal dia? Jawabannya sederhana: karena kita belum mengenalnya, sementara sumbangsihnya buat humaniora ternyata sangat nyata.

'Kalau kamu mau tahu makna literasi, kamu harus tahu tentang Walter J. Ong. Studinya tentang literasi luar biasa dan senantiasa jadi bahan rujukan,' demikian saya dengar seorang senior berkata. Karena perkembangan industri buku makin bagus, istilah 'literasi' jadi begitu menantang, meski mungkin masih sulit dipahami dengan maksimal. Dalam sebuah diskusi, ada yang usul 'literasi' sebenarnya sepadan dengan 'celik' atau 'melek.' Menarik sebenarnya usul itu, tapi siapa yang mau konsisten menggunakannya bila dalam bawah sadar merasa 'literasi' jadi hina bila diganti dengan istilah asli Indonesia? Atau orang mungkin jadi malu bila harus mengucapkannya.

Peran paling penting Walter J. Ong dalam dunia literasi menurut Wikipedia adalah membangun model yang multidimensional terhadap budaya Barat dari dasar lisan sebelum mampu baca-tulis berlanjut ke perkembangan tulisan alfabetik dalam tradisi Yahudi dan Yunani ke perkembangan mesin cetak Gutenberg hingga sampai pada perkembangan terbaru media komunikasi terbaru yang mengutamakan bunyi. Tentu bukan hanya dia yang mengeksplorasi berbagai aspek perkembangan buku, salah satu yang sangat terkemuka tak pelak lagi Marshall McLuhan, yang ternyata adalah guru Ong sendiri.

WALTER Jackson Ong, Jr. lahir di Missouri, Amerika Serikat pada 30 November 1912 dari keluarga Nasrani taat. Ayahnya penganut Protestan dan ibunya seorang Katolik Roma. Setelah meraih sarjana muda bahasa Latin, dia masuk Serikat Jesuit (SJ) pada 1935 dan menjadi pendeta sejak 1946. Wajar bila Thomas J. Farrell, editor An Ong Reader, penulis Walter Ong's Contributions to Cultural Studies, menyatakan, 'Pertama-tama dan yang paling penting, Ong adalah seorang pendeta. Dia mengadakan misa harian pada pukul 5.30 pagi, rutin mendengarkan pengakuan, dan mengenakan pakaian khusus pendeta ke manapun pergi.'

Studinya dilanjutkan di Saint Louis University, tempat dia pada 1941 meraih gelar master sastra Inggris sekaligus mendapat kualifikasi mengajar filsafat dan teologi; di sana pula dia mengajar sejak 1954 hingga tiga puluh tahun kemudian. Ong meraih Ph.D. pada 1955 dari Harvard University. Dalam rentang karir di dunia akademik dan penulisan yang sangat panjang, Ong meninggal karena pneumonia pada 12 Agustus 2003 setelah lama berjuang melawan penyakit Parkinson.

Ong setidaknya telah menghasilkan 16 judul buku, memberi rangkaian kuliah khusus di berbagai universitas, ratusan artikel, termasuk buku kritik tentang pemikiran dan sumbangsih dia terhadap budaya cetak dan cultural studies. Subjek yang terus-terusan jadi perhatiannya adalah bagaimana peralihan dari oralitas primer ('primary orality', kelisanan utama) ke literasi secara dramatik mengubah cara berpikir manusia. Oralitas primer misalnya terjadi di zaman ketika retorika (bicara di depan publik) jadi suatu keunggulan. Mulai abad ke-20 ini, radio, televisi, rekaman suara, dan teknologi elektronik lain menandai lahirnya zaman baru yang disebut sebagai 'secondary orality' (oralitas kedua).

SEJARAH manusia memang memperlihatkan adanya evolusi dari kelisanan primer ke permulaan literasi dengan naskah tertulis. Wajar bila dia sangat luas menganalisis beda kelisanan, literasi, budaya lisan (‘oral culture’) dan budaya tulis (‘written culture’). Penyelidikannya membuktikan transisi dari budaya lisan ke tulisan merupakan awal dimulainya penggunaan teknologi kata tertulis untuk berkomunikasi. Menulis adalah teknologi yang harus dipelajari dengan usaha keras, namun efeknya menjadi transformasi pertama pemikiran manusia dari dunia bunyi ke dunia pandang. Bicara itu mudah, dikuasai manusia bahkan nyaris tanpa kesulitan; sebaliknya, menulis harus dikuasai dengan konsentrasi dan ketekunan, termasuk sulit menjadi sesuatu yang begitu spontan sebagaimana bicara.

Tapi apakah lisan, tidak menulis (dalam konotasi merendahkan disebut sebagai 'pra-literasi') terbukti lebih mulia daripada menulis? Sebuah studi menunjukkan orang seperti Socrates, Buddha, Homer, Bediuzzaman Said Nursi, tentu orang yang paham dan terpelajar, meski tak pernah mau repot menuliskan namanya pada manuskrip. Bagi mereka, cara terbaik berkomunikasi adalah langsung bertemu orang dan memulai percakapan. Tugas merekam kebajikan diserahkan pada pengikut dan murid.

Ong menciptakan istilah 'orality' (kelisanan) dalam bukunya yang paling terkenal, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (1982). Namun, meski telah diterjemahkan dalam lebih dari selusin bahasa, menurut kritik itu bukan buku dia yang paling penting. Buku dia yang paling penting adalah Ramus, Method, and the Decay of Dialogue: From the Art of Discourse to the Art of Reason (1958) dan The Presence of the Word: Some Prolegomena for Cultural and Religious History (1967). Dua buku ini dia bukan saja merintis ranah yang hari ini dikenal sebagai budaya cetak (print culture), melainkan juga cultural studies dan ekologi media (media ecology).

'Orality' dimaksudkan untuk menerangkan istilah 'literasi oral' agar tidak mengalami bias tipografi dan cirografi, yaitu bias terhadap kata tertulis atau tercetak sebagai satu-satunya cara yang dianggap paling canggih untuk mengulang maksud, bahasa, maupun cerita. Ong menyatakan unit pemahaman dalam budaya kelisanan primer tidak kalah kaya dibandingkan dalam budaya tulis. Contoh, dalam budaya lisan kata akan menambah kekuatan aksi---ini tidak terjadi dalam budaya tulis.

Pengakuan ini tentu mengejutkan kalangan tertentu yang kerap menyepelekan atau menganggap rendah orang yang hanya pandai bicara tapi kemampuan menulisnya rendah. Padahal sejarah manusia menyediakan banyak sekali contoh orang terpelajar, cerdas dan bijak yang tidak menulis. Orang tetap tidak boleh meremehkan sesama manusia, sebab manusia itu suci bagi sesamanya.[]



>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

4 comments:

mahatmanto said...

posting anda ini telah dipenuhi oleh SPAM.
mengapa tidak anda bersihkan dulu?
btw,
saya senang ada yang menghargai kontribusi walter j.ong dalam linguistik, juga dalam studi-studi kebudayaan yang lebih luas.
salam hangat!

Ikram Mahyuddin said...

Tulisan wartax menarik. saya pikir ada juga orang hebat yang tidak fasih berbicara dan menulis.misalnya sebagian petani dan nelayan yang punya kearifan yang luar biasa tentang alam tetapi tidak menyampaikannya kepada masyarakat umum.

Anonymous said...

Great work! That is the kind of info that should be shared
around the web. Disgrace on Google for no longer positioning this post higher!
Come on over and discuss with my website . Thanks =)

My page; akribos xxiv

yanmaneee said...

kd shoes
balenciaga shoes
jordan 4
jordan shoes
golden goose
coach outlet online
air jordan
yeezys
lebron 15 shoes
michael kors handbags