Monday, July 16, 2007

Ketika Menulis Menjadi TAKDIR
>> Djoko Pitono


BUDI DARMA, guru besar Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya, Mei nanti memasuki masa purnatugas. Itu karena pada 25 April lalu usianya telah genap 70 tahun. Meskipun masih akan tetap mengajar sebagai guru besar emeritus, sastrawan terkemuka itu tampaknya akan lebih banyak waktunya untuk menulis, aktivitas yang paling disukainya.

Dalam pandangan Budi Darma, menjadi guru besar tidak jauh berbeda dengan keadaan ketika dirinya menjadi rektor pada 1980-an. Keadaanlah yang menuntutnya untuk memegang jabatan tersebut, tanpa ia minta dan inginkan. Ia memandang jabatan itu sebagai amanah. Tetapi ia juga merasa bahwa dengan menjadi rektor, kehidupannya sebagai sastrawan dan budayawan terampas.

Berbeda dengan jabatan tersebut, Budi Darma memandang menjadi pengarang adalah karena takdir. Wahyudi Siswanto dalam bukunya Budi Darma: Karya dan Dunianya (Grasindo, 2005), mengemukakan bahwa bakat, kemauan, dan kesempatan untuk menulis bagi Budi Darma tidak lepas dari takdir. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang memaksanya untuk menulis. Ia pun merasa bahwa tanpa menulis ia menjadi manusia tidak bermanfaat.

Namun, jangan dikira menulis membuat Budi Darma bahagia. Pandangan soal ini pernah dikemukakan dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (editor Pamusuk Eneste) yang terbit pada 1984. Ia mengatakan, menulis justru menimbulkan kesengsaraan. Tidak menulis berarti berkhianat terhadap takdir. Tanpa menulis hidupnya terasa kosong, dan ia pun mengaku jarang menulis meskipun sebenarnya tulisannya sangat banyak.

Sebagai sastrawan, Budi Darma memang produktif. Ia menulis tidak hanya cerpen-cerpen dan novel, tetapi juga esai-esai sastra, dan juga puisi. Lihat misalnya tulisan Sunaryono Basuki di Jawa Pos edisi Minggu, 22 April 2007. Orang-orang memandangnya sebagai seorang yang jenius. Dalam berbagai forum seminar, misalnya, Budi Darma sering membuat para peserta takjub. Itulah karena apa yang ditulis di makalahnya persis sama dengan apa yang dikatakannya, termasuk dalam bahasa Inggris. Masuk akal bila pada 1963 ia menjadi lulusan terbaik Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM dan dengan mudah mendapat beasiswa untuk belajar di Amerika pada 1974 hingga lulus doktor pada 1980. Sekadar catatan, Budi Darma tidak hanya menguasai bahasa Inggris, tetapi juga bahasa Belanda dan Jerman, selain bahasa Indonesia dan Jawa, tentunya.

Dalam penampilannya, Budi Darma santun dan ramah pada siapa saja. Cara ia berpakaian dan berdandan juga rapi. Rumah dan halamannya asri dan bersih. Tetapi dalam tulisan-tulisannya, baik fiksi maupun nonfiksi, Budi Darma bisa melancarkan kritik sangat menyengat terhadap banyak pihak. Nada tulisannya pun sering blak-blakan.

Perihal studi sastra, yang tidak disukai dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra, juga menjadi perhatiannya. Tulisannya di jurnal Prasasti yang diterbirkan FBS Universitas Negeri Surabaya, mungkin membuat banyak dosen dan mahasiswa salah tingkah.

Menurut Budi Darma, studi sastra terdesak oleh studi kebahasaan sejak akhir tahun 1960-an hingga saat ini, dan entah sampai kapan. Ia melukiskan bagaimana dosen di Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Sastra sebuah PTN tidak satu pun yang memilih untuk mengampu mata kuliah sastra, padahal mereka semua tamatan Fakultas Sastra. Mereka memilih mengajar mata kuliah studi kebahasaan.

Kecenderungan terdesaknya studi sastra oleh studi kebahasaan disebabkan antara lain kemungkinan teknis. Semenjak awal 1960-an, banyak sarjana muda atau sarjana Indonesia dikirim ke luar negeri untuk belajar studi kebahasaan karena studi kebahasaan erat hubungannya dengan pengajaran bahasa asing. Sedang para sarjana muda dan sarjana yang memperoleh kesempatan untuk mempelajari studi sastra di luar negeri segan untuk mempergunakan kesempatan tersebut. Alasan mereka sederhana, yakni beban membaca dalam studi sastra terlalu berat, katanya.

Titik berat studi sastra, kata Budi Darma, adalah penghayatan. Segala sesuatu yang bersifat penghayatan lebih sulit dirumuskan daripada segala sesuatu yang bersifat kognisi. Karena itu, studi sastra kurang mempunyai formulasi yang jelas. Masalah-masalah dan penemuan-penemuan dalam studi sastra kurang dapat diformulasikan dan diartikulasikan dengan jelas pula. "Karena studi sastra kurang mempunyai formulasi yang jelas, maka studi sastra banyak dianggap kurang ilmiah," tuturnya.

Tetapi kalau toh studi kebahasaan dianggap lebih mudah dibanding studi sastra, apakah lantas muncul banyak karya tulis termasuk buku-buku kebahasaan? Jawabnya sama tidak menggembirakan. Sama dengan keadaan fakultas-fakultas yang lain, Fakultas Sastra juga tidak banyak memunculkan buku-buku. Bila ditanya soal ini, Budi Darma punya jawabannya, mungkin bisa memerahkan telinga.

Budi Darma mengatakan, tidak perlu berharap banyak dari dosen yang tidak mau menulis. Ia menyarankan agar kita "merelakan" para dosen itu bekerja hingga mereka pensiun. "Lebih baik kita menggantungkan harapan dari generasi muda," kata Budi Darma dengan nada datar. Dalam sebuah tulisannya pada 1983, Budi Darma mengemukakan bahwa pada dasarnya menulis itu memang sulit. Kesulitan untuk menulis terutama bersumber pada kurangnya kemampuan seseorang untuk berpikir kritis. Seseorang yang tidak dapat berpikir kritis dengan sendirinya tidak dapat mengidentifikasi dan memilah-milah persoalan dengan baik. Dan bila seseorang tidak mempunyai kemampuan melihat persoalan dengan betul, pikirannya juga tidak mempunyai kelengkapan daya analisis yang baik. Persepsi orang semacam ini dengan sendirinya kabur. Dan, kekaburan persepsi merupakan sumber kelemahan seseorang untuk menemukan persoalan yang dapat ditulisnya.


"Ketidakmampuan menemukan persoalan menyebabkan seseorang tidak mungkin menulis mengenai persoalan. Milik orang semacam ini terbatas pada kemampuan menceritakan kembali pengalamannya, atau apa yang pernah dilihatnya, didengarnya, dan dipelajarinya, " kata Budi Darma. (*)


DJOKO PITONO, editor dan penulis buku.

SUMBER: Posted by: "nutze matapena"
Di Balik Buku , Minggu, 29 April 2007.

3 comments:

Si Pemimpi said...

iya mas, kalau dipikir-pikir, memang kurang banyak dosen sastra yang ikut-ikutan berkiprah, entah jadi penulis entah kritikus, dalam dunia sastra kita. dan pak budi tetap bisa bertahan menjadi keduanya...

Linda said...

Pak Budi memang sosok yang istimewa. Sulit menjelaskannya, tapi buat saya beliau sangat istimewa. Karna beliau menjadi Pembimbing saya pada saat skripsi di IKIP SURABAYA (sekarang UNESA), saya mendapatkan nilai maksimal untuk skripsi. Duh...., jadi pengen kuliah lagi.....

Anonymous said...

World Of Warcraft gold for cheap
wow power leveling,
wow gold,
wow gold,
wow power leveling,
wow power leveling,
world of warcraft power leveling,
world of warcraft power leveling
wow power leveling,
cheap wow gold,
cheap wow gold,
buy wow gold,
wow gold,
Cheap WoW Gold,
wow gold,
Cheap WoW Gold,
world of warcraft gold,
wow gold,
world of warcraft gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold
buy cheap World Of Warcraft gold m3o6w7tl