Thursday, August 21, 2008



Apa yang Membuat Tempat Berarti?

---Anwar Holid


move to another town
try hard to settle down

---Peter Gabriel


Tom Abercrombie, seorang jurnalis-fotografer National Geographic, pada 1956 dikirim ke Lebanon, negeri luar pertama yang dia kunjungi selain tanah kelahirannya, Amerika Serikat. Dari sana dia meliput negeri-negeri Arab, sampai akhirnya pernah menginjakkan kaki ke semua benua, termasuk menjadi dua jurnalis pertama yang mencapai Kutub Selatan pada 1957. Perjalanannya ke negeri-negeri Muslim mempengaruhi keyakinannya, sampai akhirnya pada 1965 dia memeluk Islam.

Sebelum pergi ke Mekkah untuk naik haji, Malcolm X berpandangan rasis terhadap bangsa kulit putih. Namun begitu pulang dari sana ia jadi sama sekali berubah. "Aku sadar bahwa ras yang semua berbeda setara di hadapan Tuhan." Setelah banyak mengunjungi daerah kepulauan di negerinya sendiri, Indra J. Piliang berpendirian: "Indonesia nyatanya tidak seperti yang kita baca lewat informasi buku dan media." Pandangan Karen Armstrong, seorang komentator agama, juga banyak berubah setelah mengunjungi Yerusalem untuk keperluan program televisi tentang tempat-tempat bersejarah agama yang waktu itu dia pegang.

Pada 1977 Ahmad Thomson, seorang pengacara Inggris, memutuskan jalan kaki dari London, Inggris di benua Eropa menuju Mekkah, Saudi Arab, kawasan Timur Tengah dia untuk menunaikan ibadah haji. Beserta dua temannya dia melintasi kota demi kota dalam suatu perjalan yang berat demi menunaikan ibadah sebagaimana perintah agama baru yang diyakininya. Ketegaran dia dalam perjalanan itu terpancar dalam spirit bukunya: The Difficult Journey.

Dalam Into the Wild Jon Krakauer mereka-reka ulang rute petualangan nekat Christopher McCandless, atlet dan mahasiswa brilian dari Universitas Emory, Atlanta, Amerika Serikat. Begitu lulus pada 1990, Chris berhenti bicara pada keluarga, menyumbangkan tabungan sebesar US$24,000 ke OXFAM (sebuah LSM), dan memulai perjalanan panjang tanpa diketahui siapapun. Di tengah perjalanan dia meninggalkan mobil dan membakar semua sisa uang dalam dompetnya. Menyusuri dataran AS kurang lebih dua tahun lamanya, petualangan itu mempertemukan dia dengan beberapa orang unik yang mengubah hidupnya sebelum berhadap-hadapan melawan bahaya di dalam hutan belantara.

April 1992 Chris mendapat tumpangan dari Jim Gallien sampai di Stampede Trail, Alaska---wilayah negara bagian AS paling dingin karena sudah masuk kawasan Artik. Dalam perjalanan di alam liar itu dia disergap salju, bekalnya hanya buku harian, beras 10 pound, senapan angin kaliber kecil, beberapa kotak peluru, alat kemping, dan beberapa buku, di antaranya panduan lapangan untuk tanaman setempat yang bisa dimakan. Dia tak berbekal peta atau kompas. Di sana dia menikmati hidup di alam yang benar-benar liar, menyatu dengan salju, gunung, pohon, dan kesunyian. Menurut Krakauer, kira-kira setelah bertahan 112 hari, tubuhnya ditemukan telah membusuk oleh pemburu moose.

Dalam Y tu mamá también (Alfonso Cuarón), perjalanan Julio dan Tenoch demi menemukan pantai utopia malah berakhir buruk. Setelah berkawan lama dengan sangat akrab, perjalanan itu membongkar aib masing-masing, lantas secara mengejutkan melahirkan peristiwa yang amat mengguncangkan diri masing-masing. Setelah pulang, mereka jadi kawan yang menolak bertegur sapa.

Michael K menuju tanah kelahiran ibunya lewat jalan semak-semak, menyusuri pinggiran desa, masuk perbukitan, dan melintasi gunung untuk menghindari perang yang berkecamuk dan pemerasan tentara di jalan umum. Orang mungkin pergi ke suatu tempat; tapi mungkin itu pilihan karena ia dibuang, nyawanya diancam, atau kalah secara politik. Orang bisa jadi sulit mudik ke kampung halaman dan memutuskan tinggal di kota yang dia singgahi karena khawatir akan di penjara oleh rezim penguasa, atau urusan administrasi dengan negara berubah runyam dan menganggap dia pesakitan.

Apa yang dicari Chris, Thomson, Abercrombie, Michael K, dan semua avonturir? Chris boleh jadi mencari jalan asketik sebagaimana tersirat dalam tulisan Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, dan Jack London yang jadi favoritnya. Ketiga penulis ini pun menjalani hidup sederhana kembali ke alam. Haruskah orang jadi begitu nekat untuk pergi dan bertualang? Orang bisa memilih perjalanan yang lebih selamat dan menyenangkan, kalau perlu bahkan penuh kenang-kenangan dan oleh-oleh. Kita mungkin tak tahu kini ada seorang pejalan yang tengah menjelajahi jalan-jalan kumuh di kota negara dunia ketiga, gurun, hutan belantara, atau malah tersesat di antara perang sipil di sebuah negeri asing.

Apa perjalanan benar-benar bisa mengubah seseorang? Sulit dibantah. Namun, becermin pada Immanuel Kant dan Henry David Thoreau, dua tokoh yang tak pernah meninggalkan kota kelahirannya, ternyata orang tak perlu bepergian dari kota kelahirannya untuk jadi dihormati dengan reputasi terpandang di mana-mana; namun sebaliknya, sebagian orang menempuh perjalanan karena berbagai alasan, mulai dari penjelajahan, petualangan, maupun pengusiran.

Petualangan dari tempat ke tempat hingga kini terus berlangsung. Sebagian dilakukan dengan nyaman sebagai turis berkantong tebal, ditemani biro pariwisata, dihormati negara karena mendatangkan devisa. Sebagian dilakukan dengan ngegembel sebagai backpacker. Mereka hanya berbekal tas punggung berisi kebutuhan hidup minimal, tidur di mana saja, kadang-kadang bahkan dikejar-kejar aparat negara atau dituduh imigran gelap.

Namun tanpa menginjakkan kaki sama sekali di dunia nyata, orang pun bisa pergi ke mana-mana sesuka hatinya, bahkan ke tempat imajiner. Film Matrix dengan sempurna memungkinkan hal itu. Google Map bisa menolong orang mengantarkan memasuki lorong-lorong yang sulit dibayangkan oleh pencopet sekalipun. Contoh klise kota imajiner ialah Macondo yang didirikan keluarga Buendia pada 1820-an di Amerika Latin, sampai akhirnya hancur pada 1920-an karena topan badai, sebagaimana ditulis Gabriel Garcia Marquez. Sedangkan dalam Invisible Cities Italo Calvino menulis kisah tentang kota-kota gaib yang disinggahi Marco Polo di wilayah kekaisaran Kubilai Khan. Kota-kota dalam buku itu sering mengilhami rancangan para arsitek.

Apa beda substantif antara tempat yang nyata ada, bisa didatangi orang, dengan tempat dalam imajinasi, yang bisa dijelajahi orang dengan pencerapan? Ini mungkin pertanyaan sulit bagi mereka yang yakin bahwa pengalaman langsung mustahil diganti dengan pengalaman hiperealitas. Dengan cara tertentu, mistikus melakukan perjalanan ke alam khayal. Meski mungkin hanya suatu "penglihatan", seseorang bisa dibawa ke padang asing, luas, sendiri, mendebarkan. Mungkin dia kesulitan memastikan tempat seperti apakah itu dan kenapa dia bisa berada di sana. Tempat itu seperti dipenuhi gunung karang merah besar-besar, jurang tajam, dan gurun. Ketika bangun ke alam dunia, tahu-tahu perjalanan itu membuat rambutnya ubanan atau tangannya benar-benar terbakar.

Apa yang membuat tempat berarti? Apa pergi merupakan cara terbaik untuk mendapat sesuatu? Ada orang yang pergi ke luar negeri dengan segumpal rasa bangga di dada, menganggap itu prestasi yang sulit disamai kebanyakan kawannya; namun ada orang yang merantau sampai ke luar negeri secara nekat dengan menyelundup ke dalam perahu dan jadi buruh nelayan. Samuel Mulia menulis: "Apakah memang ada sensasi lain mengatakan pergi ke luar kota dan ke luar negeri? Secara tidak langsung, saya ingin dikenal sebagai orang yang punya gengsi, yang pernah ke kota kondang itu. Dan, kemudian mengharap bahwa orang lain berpikir, saya juga kondang dan bergengsi. Menyebut nama-nama kota itu bisa membuat orang lain berpikir saya adalah manusia internasional."

Hegarmanah, Cidadap, Bandung, boleh jadi sama menariknya dengan Sukadana, Mumbay, Soweto, Timbuktu, dan setiap tempat di manapun kalau orang bisa menemukan hal terbaik yang layak diceritakan. Orang tertarik masuk Bosnia, Darfur, Lebanon, Iraq persis karena di sana terjadi konflik dan krisis kemanusiaan. Orang juga bisa tertarik Jakarta, Sao Paulo, karena kekumuhan dan kegawatannya. Norman Lewis pada 1990 menulis perjalanannya ke Wamena, Irian Jaya, bertemu suku Dani yang mengenakan koteka merupakan pengalaman terhebat yang pernah dia lakukan tahun itu. Di Among the Believers dan Beyond Belief V.S. Naipaul menulis tentang orang-orang Muslim Indonesia. Mengutip Naipaul, Mula Harahap menulis: "Saya tidak merasakan adanya perbedaan yang berarti antara menulis novel dan menulis kisah perjalanan. Saya hanya mau bercerita dan menulis apa yang saya pikirkan serta rasakan."

Orang bisa pergi bahkan dalam mimpi; atau memang sungguh-sungguh pergi ke tempat atau ruang lain begitu nafas berhenti.[]

Anwar Holid, tinggal, tumbuh, dan berkarya (paling lama) di Bandung.

Dead Poets Society
Membaca Film dalam Buku

Oleh: Septina Ferniati


Ketika Harry Potter difilmkan, saya, suami dan anak saya menyambutnya dengan antusias. Kami menyukai novel karya J.K. Rowling tersebut, karena ceritanya seru, menegangkan, dan disukai anak saya. Begitu seringnya saya membacakan ceritanya menjelang ia tidur, hingga suatu hari ia bilang: “Bu, Lalang sudah bisa bilang 'ermayoni' lho!” Hasil adaptasi dari Harry Potter pertama yang jumlah halamannya 382 menjadi 1,5 jam pasti merupakan hasil kerja keras yang rumit, karena terjadi penyederhanaan setting dan peristiwa. Ketika menonton film, kita tinggal duduk diam dan serius mencerna kejadian-kejadiannya. No sweat, kata orang. Meskipun ada juga film-film yang membutuhkan pemikiran mendalam, seperti film Hiroshima, Mon Amor yang difilmkan dari naskah karya Marguerita Duras. Tetapi ketika membaca, kita harus berusaha lebih keras untuk memahami dan berimajinasi dengan pikiran dan wawasan kita. Bayangkan kesulitan yang kita alami ketika membaca sebuah buku dan mencoba memahaminya dengan baik, syukur-syukur bila kemudian bisa kritis terhadap bacaan itu.

Hal sebaliknya saya alami terhadap Dead Poets Society (DPS). Saya mendapatkan novel itu sebagai hadiah dari paman terdekat. Disutradarai Peter Weir, naskah filmnya adalah karya Tom Schulman yang pada 1989 mendapat Academy Award (piala Oscar) sebagai naskah film terbaik. Kemudian N.H. Kleinbaum mengadaptasinya menjadi sebuah novel. Agak mengejutkan bagi saya, karena buku hasil adaptasi film agak jarang ditemui. DPS dibintangi Robin Williams, Ethan Hawke dan Robert Sean Leonard, seorang spesialis aktor drama Broadway yang bermain sangat cemerlang di film ini. Menurut seorang kawan, di luar negeri sudah lazim sebuah film sukses kemudian dinovelkan; salah satu contohnya adalah novel The Piano. DPS adalah hasil adaptasi Kleinbaum yang ke tiga, setelah Growing Pains dan D.A.R.Y.L. Artinya dari film diadaptasi menjadi novel, bukan sebaliknya seperti yang sering kita temui selama ini, misalnya film The Firm yang dibintangi Tom Cruise yang merupakan hasil adaptasi novel karya John Grisham dan film The Color Purple yang diperankan oleh Whoopy Goldberg yang juga hasil adaptasi novel karya Alice Walker. Apakah lantas kerja Kleinbaum menjadi lebih mudah? Atau sebaliknya?

Saya mencoba membayangkan kesulitan Kleinbaum mengangkat kisah dari layar lebar menjadi sebuah novel, karena bahasa visual/bahasa film jelas-jelas berbeda dari bahasa tulis. Ada beberapa hal seperti suasana, perasaan-perasaan hati seseorang yang kemungkinan susah digali ke dalam bahasa tulis kecuali dinarasikan/dipaparkan. Dalam film selalu ada setting peristiwa ketika seseorang merenung, tertegun atau tertekan, yang kesemuanya sangat mungkin sulit dibahasakan. Tetapi Kleinbaum mencobanya, dan sejauh ini berhasil melakukannya.

Ia, misalnya, berhasil membuat pembaca novel tidak terlalu kehilangan poin-poin peristiwa penting dalam novelnya, karena paparannya nyaris sama dengan setting dalam film. Kejadian-kejadian saat Keating mulai mengajar dengan gaya unik dan berbeda digambarkan sama walaupun sedikit lebih panjang dari setting dalam film. Begitu pun ketika Neil berperan sebagai Puck dalam sebuah sandiwara antarsekolah, kejadiannya tidak terlalu berbeda, baik dalam film maupun novel. Ketika Charlie yang spontan senantiasa berlagak untuk mendapat perhatian orang lain, Kleinbaum benar-benar berhasil memaparkannya dalam novel, sama baiknya dengan Charlie dalam film. Hampir semua kejadian dalam film berhasil dinarasikan ke dalam bahasa tulisan, meskipun Kleinbaum harus lebih dalam menggali kalimat-kalimat dalam novelnya untuk bisa dengan baik memaparkan suasana hati para tokoh dalam filmnya. Itu bukan pekerjaan yang mudah, tentu saja, dan ia boleh berbangga hati karena cukup berhasil melakukannya.

Dalam novel ada peristiwa ketika salah satu anggota Dead Poets Society, si pendiam Todd, menangisi kematian sahabat sekaligus pemimpinnya. Ia menangis dengan perasaan kehilangan dan luka teramat dalam. Tetapi yang menarik, adegan dalam film berbeda sama sekali dengan peristiwa yang terjadi di dalam novel. Dalam film digambarkan bagaimana Todd menahan tangisnya hingga tubuhnya sakit, dan ia berlari ke tengah hamparan salju yang turun deras sambil menangis menjeritkan nama sahabatnya. Dalam novel, yang terjadi adalah Todd menangis hingga dadanya mau pecah menahan sesak perasaan dan duka teramat dalam dalam kamar mandi. Jelas terjadi perbedaan peristiwa dalam novelnya.

Ada juga salah satu peristiwa penting dalam film yang tampaknya berbeda dipaparkan ke dalam bahasa tulis, yaitu ketika Todd versi novel menolak menandatangani surat pernyataan bahwa ia telah diprovokasi gurunya, Keating, untuk menjadi anggota DPS yang secara tidak langsung menjadi penyebab kematian Neil, dan karenanya Keating harus berhenti mengajar, padahal ia tahu mengajar bagi Keating adalah hidup. Ketika ayahnya yang gusar bertanya padanya, “What do you care about him?” Todd menyahut keras, “What do you care about me? He cares about me! You don't!” Tidak ada dialog itu dalam film, yang terjadi justru ambiguitas, kesan bahwa Todd tidak menandatangani surat pernyataan itu sama kuatnya dengan kesan Todd menandatanganinya.

Bagi saya, membaca DPS jauh lebih mengasyikkan, karena saya merasa lebih terikat dengan tokoh-tokohnya tinimbang jika saya menonton filmnya. Terasa sesuatu mencekam hati ketika Neil memulai prosesi bunuh dirinya yang sakral sekaligus tragis, membuat hati saya terasa sakit ketika ia melakukannya. Dalam film, adegan itu terasa lebih singkat dan tidak terlalu dalam. Mungkin karena kegundahan-kegundahan hatinya dengan jelas dan gamblang terpaparkan dalam novel, memudahkan kita untuk membayangkan, merasakan kesedihan-kesedihannya dan larut dalam pusaran perasaan itu.

Perbedaan-perbedaan itu tidak lantas menjadikan saya bingung, tentu saja. Saya hanya bertanya-tanya sedikit, begitukah yang terjadi bila film coba “ditafsirkan” menjadi sebuah novel? Ada beberapa hal yang hilang, ditambahkan atau dibiarkan tetap sama. Mungkin Kleinbaum mencoba berpikir praktis seperti misalnya dalam adegan Todd menangis dalam kamar mandi alih-alih di tengah hujan salju pada subuh pagi. Kalau ia ingin menceritakan Todd menangis di tengah-tengah salju di luar sekolah, mungkin ia harus agak repot menceritakan cara Todd dan teman-temannya yang keluar sekolah sepagi itu. Di sekolah seketat Welton, agak bisa dipastikan bahwa izin akan merupakan hal yang lumrah dilakukan, apalagi untuk keluar lingkungan sekolah.

Sastra bisa menjadi sesuatu yang mencengangkan. Pertama kali Keating mengajar, ia menyuruh siswa-siswanya merobek buku tentang teori puisi yang ditulis oleh Pritchard, karena menurutnya, menulis bukan saja definisi, bunyi, atau rima, melainkan pengalaman batin dan serangkaian kata bermakna yang membekas dalam diri mereka masing-masing. Todd yang sangat pendiam pun pada akhirnya mampu mengeluarkan kata-kata yang berasal dari dalam hatinya, hal mana sangat sukar dilakukannya. Awalnya mungkin mereka menyukai sikap Keating yang revolusioner, lama-kelamaan mereka larut dalam petualangan kata-kata indah yang mampu membuat mereka menyelami hidup lebih dalam lagi. Mereka tahu yang harus mereka lakukan dan menjadi mudah mengekspresikan perasaannya.

Dead Poets Society memang bukan cerita kacangan, ia sastra yang indah dan memesona, apalagi dengan adanya larik-larik puisi dari Shelley, Tennyson, Keats dan Whitman. Saat membacanya, saya seolah dibawa menuju suatu dunia bebas tanpa tekanan yang mengasyikkan, di mana saya bebas mengekspresikan perasaan, dan timbul gairah menggelora terhadap kehidupan. Dalam diri Keating ada begitu banyak hal positif yang bisa dibaginya kepada anak-anak didiknya. Meskipun kisah DPS tidak berakhir bahagia, hal mana tak lazim terjadi dalam film-film Hollywood pada umumnya, namun ia memberi pembacanya kebebasan berimajinasi untuk menerka-nerka atau pun sekadar menerima akhir tak bahagia itu. Toh dalam hidup ada begitu banyak peristiwa berharga yang bisa dijadikan cermin. Seperti kata Keating kepada anak-anak didiknya, seize the day! Raihlah Kesempatan! []


Septina Ferniati, penerjemah & penulis. Terjemahan terakhirnya ialah The Hebron Journal (Art Gish; Mizan, 2008)

Thursday, August 14, 2008


Buat Apa

--Anwar Holid

Buat apa ada negara kalau rakyatnya masih pada sengsara?
Buat apa pemerintahan kalau orang-orangnya
menolak mengakui ada sekian ribu penduduknya ternyata
kelaparan atau mati seolah-olah mereka pendatang haram,
yang tak layak dapat simpati dan perhatian?
Buat apa gonta-ganti menteri
kalau mereka ini ternyata mau enaknya sendiri

Buat apa ada polisi kalau mereka ternyata kadang-kadang
malah suka memperkosa atau menganiaya
orang-orang tak berdosa


Buat apa capek-capek bilang harus taat pada negara tapi
ternyata mereka senang menghajar orang-orang yang menuntut keadilan
seolah-olah mereka penjahat yang suka mengganggu orang-orang tanpa daya
Buat apa sekolah-sekolah tinggi didirikan
dengan harapan muluk tentang peradaban, keunggulan,
padahal sebenarnya itu bisnis sertifikasi

agar seseorang merasa yakin bahwa dia bisa bersaing
dan memperoleh kesempatan

Buat apa ada guru kalau murid-muridnya degil
atau mereka malah diperingatkan
begitu minta perhatian lebih pantas dari pemerintah

atas kerja keras dengan bayaran tak layak


Buat apa begitu banyak perguruan atau organisasi didirikan
mungkin dengan maksud baik, tapi akhirnya malah membuat penghuninya
jadi fanatik, dipenuhi esprit de corps buta untuk membela kawan
yang dalam pandangan mereka teraniaya
atau membuat pemimpinnya despotik
mereka yang berkumpul besar-besaran jadi pintar
mencari cara buat membalas
dendam

Buat apa memberitakan kemiskinan, orang-orang yang gagal beli obat murah,
mati dengan mudah karena dokter malas masuk
tempatnya terlalu miskin untuk dikunjungi
dan departemen kesehatan telah menghapus peta transportasi ke arah sana
sementara pemerintah pusat terlalu keras tawar-menawar
membagi-bagi pos kekuasaan

tapi beberapa menit kemudian kita dengan jernih mendengarkan
orang-orang yang mungkin dengan santai
bisa sedot lemak seharga lima ratus juta
demi sebuah penampilan atau kebugaran
menyatakan bahwa itu bagus buat kesehatan
agar tubuh mereka terus segar
dan mati pasti jadi cukup sulit menghampiri

Buat apa banyak-banyak baca buku
atau mungkin tahu hampir segala sesuatu

tapi sulit percaya ada anak kecil
lahir dari keluarga miskin,
setiap hari harus kerja bawa karung
telanjang kaki, menelusuri seluruh sudut kota
terutama tempat sampah di depan rumah mewah
yang anak-anak seusianya menyaksikan takjub di balik pagar besi tinggi
sedang mencari apakah dia dari barang-barang buangan keluarga?
mencari penghasilan membantu keluarga
melupakan sekolah, terbiasa capek dan berkeringat
mereka mungkin tak terhitung, tapi kerap jadi keprihatinan atau alasan
banyak lembaga untuk mencari permohonan sumbangan

namun duitnya ditelan sendirian

Buat apa bilang ingin sederhana dan lebih spiritual
tapi hidup tak bisa lepas dari banyak benda
cd player, lagu favorit, makan enak,
uang banyak, pulsa melimpah
kebebasan pribadi terjamin, bebas dari ancaman
paling takut kalau harus kehilangan sesuatu
makanya menjaminkan segala benda yang dimilikinya
untuk jaga-jaga kalau bencana melanda
jadi sebenarnya ingin sederhana dalam hal apa?
semua mau ada, tak mau kekurangan sedikit saja

Buat apa bilang ada Tuhan
kalau ada seorang anak kecil
yang amat miskin, hanya bisa main bola dari buntalan rombeng
dia berdoa minta diberi bola plastik saja
tapi bola itu tak kunjung datang dan
yang jatuh dari langit
daun kering dari atas pohon tempatnya berteduh

Buat apa menulis
kalau ternyata semua tampak begitu sulit
dicari maknanya
dan yang bisa dilakukan baru mengira-ngira.

4:36 13/12/05


Birth of the Cool

--Reviewer: Anwar Holid


Artis: Miles Davis
Genre: Jazz (cool jazz)
Format: CD Audio

Rumah Buku menandai album ini dengan "recommended"; saya malah ingin menegaskan: "highly recommended."

Mendengar album ini benar-benar pengalaman melampaui batas. Sebagaimana bila mendengar sebuah masterpiece atau album klasik, kita sama sekali tak merasa sedang mendengar album produksi lebih dari setengah abad lalu (persisnya tahun 1949), tetapi seakan-akan mendengar album rilisan tahun ini, ketika pemain jazz hip seperti Chris Botti, Michael Bubble atau Jamie Cullum dan Norah Jones berhasil menyeruak jadi bintang di antara pop star lain. Kualitas soundnya terdengar nyaris tiada beda dengan rekaman zaman mutakhir, entah kalau saya terlalu berlebihan menilai album ini. (Yang saya dengar ialah rilisan versi 1957.)


Dengan durasi rata-rata 3 menit, album ini menjelma menjadi serangkaian komposisi yang mudah sekali diterima telinga, jauh dari prasangka awal bahwa album ini siapa tahu bakal berisi komposisi rumit, panjang, dan harus didengar dengan penuh perhatian. Putar album ini sambil tetap melakukan aktivitas normal, biarkan dia mengalir mengisi ruang dan waktu, tahu-tahu semua lagu mengalun, di awali serangkain jazz yang segar, ceria, ekspresif, ditutup dengan lagu yang syahdu, lantas balik lagi ke urutan pertama, dan mengalun ulang. Tentu saja ada yang bertempo lambat, seperti Moon Dreams, yang menghasilkan nada-nada indah dan syahdu, bukan melankolia (kesedihan.)

Sebagai album seminal (sangat orisinal dan berpengaruh) dalam sejarah cool jazz, Birth of the Cool memang mengagetkan sekali. Album ini lain sekali dengan tipikal karya Davis yang panjang, sepi, sekenanya---misal dalam album 'Round Midnight (live), yang hanya terdiri empat nomor. Memang solo Davis sudah menonjol, terdengar sekilas-sekilas, energik, diperkuat dan ditimpali Gerry Mulligan (baritone sax) dan Lee Konitz (alto sax), namun dia tak mendominasi, tetap memberi ruang yang sama besar untuk semua instrumen dan orang lain, menghasilkan nuansa bersemangat dan positivisme.

Menurut sejarah, kelompok bersembilan orang Miles Davis yang terlibat dalam sesi pembuatan album ini mengadopsi pendekatan musik klasik, maka aransemennya terdengar inovatif. Hampir semua review profesional memberi label "sempurna" untuk album ini, di antaranya Allmusic, MusicHound, Penguin Guide to Jazz, dan RS Album Guide, sementara lainnya memberi bintang empat setengah dari skala lima. Sungguh sebuah album yang sulit untuk dilewatkan, atau minimal mesti masuk dalam daftar album yang segera harus didengar. Dari sinilah ternyata nomor-nomor standar Davis berasal, antara lain Jeru, Budo, Venus de Milo, dan Israel. Track pertama, Move, langsung menghentak, seru, dan harmonis, seolah-olah menawarkan penjelajahan musikal yang bakal sulit diduga di track selanjutnya.
Darn That Dream terdengar seolah-olah menjadi bonus track, sebagai satu-satunya lagu bervokal/berlirik, disimpan terakhir setelah semua puas main musik.

Di Rumah Buku ada lagi album setipe dengan ini, namun terdengar menggunakan pendekatan berbeda, lebih rapi dan terkontrol, yaitu Out of the Cool karya Gil Evans---musisi yang ternyata berperan besar di balik pembuatan album Birth of the Cool. Selain menjadi komposer beberapa lagu dalam album ini, dialah yang menyediakan apartemennya sebagai tempat berkumpul band Miles Davis untuk berlatih merekam album legendaris ini.[]

Wednesday, August 06, 2008


Kesuksesan & Keluarga

--Lisa Lukman (1976 - 2008)



Akhir-akhir ini aku sering berpikir apa itu arti sukses. Aku hanya lebih menyadari bahwa banyak orang baik yang tidak sukses, dan banyak orang sukses yang manipulatif.

Aku ingat kisah Lazarus dan orang kaya di Alkitab, mungkin kamu juga tahu tentang kisah itu. Tentang Lazarus si pengemis yang mati dalam kesengsaraan, dan tentang orang kaya (namanya saja tidak disebut) yang setelah mati malah kondisinya mengerikan. Aku berpikir Lazarus tidak pernah merasakan apa itu sukses, tetapi dia malah mendapat kebahagiaan kekal (jelas diasumsikan bahwa Lazarus seorang yang saleh). Aku jadi berpikir, mungkin kebahagiaan sempurna dan keadilan memang tidak ada di dunia ini, itu hanya menjadi tujuan (kata Derrida), tapi tidak akan pernah terwujud.


Bagiku, tidak salah mengejar kekayaan. Sungguh, itu sangat manusiawi. Aku juga mau banget jadi kaya. Tapi masalah yang utama adalah bagaimana kita menyusun prioritas dalam hidup, bukan? Masak hanya untuk kaya kita harus melakukan hal-hal yang tidak kita sukai. Aku lebih setuju, teruslah kamu berjuang, dan nikmati perjuangan kamu. Kalau dari yang kamu lakukan dengan sepenuh hati kamu kamu diberkati dengan materi, bersyukurlah; tapi kalau belum, bertahanlah, dan cari cara lain, tapi jangan pernah serahkan dirimu, jangan pernah serahkan idealismemu. Orang-orang idealisme memang harus menderita, bukan? Kemarin mendengar Benazir Bhutto dibunuh membuatku semakin sadar, alangkah rapuh hidup. Tapi buatku, hidup berdasarkan hati nurani kita adalah kekayaan tertinggi, kebahagiaan paling utama. Tentu saja tidak berarti kita harus buta terhadap realitas, tetapi janganlah terlalu kuatir.

Sudah terlalu banyak orang idealis yang kukenal akhirnya berubah dan alasan utamanya adalah materi. Jujur, aku sedih. Sambil kadang-kadang bertanya juga, kapan giliranku. Semoga saja tidak pernah. Aku baru mengerti apa artinya soliter, berjalan sendiri demi yang memang seseorang yakini. Tidak mudah memang, tapi hidup orang seperti itu akan menjadi monumen buatorang lain.

Lakukanlah apa yang hatimu anggap bagus, dan jangan terlalu kuatir. Burung di udara saja Tuhan pelihara, bunga di padang dihiasi, masakan manusia ditinggalkannya. Ingatlah bahwa keluarga kalian bertahan sampai saat ini melewati banyak hal, jadi takut apa lagi?

Satu hal lagi, keluarga kalian selama ini telah mengajarkan aku apa artinya keramahan dan keberanian membuka diri terhadap orang lain dengan tulus. Aku tahu sering menerima tamu di rumah memiliki banyak efek negatif, tapi kalian tetap mengambil risiko itu. Dalam hal ini, kalian memiliki kekayaan tersendiri yang tidak atau belum kutemui di teman-temanku yanglain. :)
Keep survive ya. Itu kan yang membuat hidup indah. "... and the truth will set you free." (John 8:32).[]


Ditulis via email, 29 Des 2007; diedit seperluanya oleh Anwar Holid.

Tuesday, August 05, 2008



[halaman ganjil]
Apa Balasan Kalau Aku Mencoblos Kamu?

--Anwar Holid


Pemilu walikota & wakil walikota Bandung Agustus 2008 tinggal lima hari lagi. Aku berhari-hari mulai mikir-mikir, siapa kira-kira yang pantas aku kasih suara, atau sebenarnya baik-baik saja kalau aku abstain. Aku nyaris nggak punya kepentingan politik, kecuali sejumlah sinisme dan keraguan.

Tetanggaku ada yang jadi anggota tim sukses 'HADI', dan pernah suatu pagi aku saksikan dia menyobek poster 'DADA-AYI.' Aku ketawa. Barangkali dalam pikirannya dia nyangka tak ada yang menyaksikan perbuatannya. Sobek-menyobek atau timpa-menimpa poster ketiga kandidat itu biasa sekali. Sehari spanduk dipasang di pinggir jalan, besoknya lenyap, atau langsung bertambah kandidat lain, kalau tidak cacat. Entah matanya jadi sobek, atau poster itu tercabik-cabik. Yang paling mencolok memang billboard 'Coblos Dadanya' yang dipasang di mana-mana, termasuk untuk sementara menutupi iklan rokok, karena jelas mustahil dirusak pihak lain kecuali punya alat canggih untuk naik dan merusakkan sekali tindakan. Pernah suatu malam aku lihat sepasang pemuda-pemudi berjilbab bekerja sama memasang poster 'TRENDI' di dinding-dinding kota. Aku senyum, "Segitunya mereka mau berkorban. Mereka dapat apa sih?" Di kejauhan, mobil mereka di parkir, bagian belakangnya ditempeli poster 'TRENDI.' Bila di tingkat pendukung saja saling cakar begitu, entah bagaimana ketegangan di tingkat pusat.

"Tim sukses itu dibayar nggak sih?" kata Ubing waktu kami di dapur menyiapkan sarapan.

"Tergantung. Kalau duit si kandidat besar, ya dibayar. Malah ada kala orang rela mengorbankan sesuatu untuk kandidat. Apalagi kalau dia setuju dengan ide kandidat."

"Ah, tapi mana mungkin tidak dibayar?"

"Ya juga sih. Biaya kampanye itu besar sekali soalnya."


Aku sendiri dari awal bertanya-tanya, aku bakal dapat apa kalau nanti mencoblos salah satu kandidat itu? Aku merasa suaraku tidak segitunya penting atau menentukan kemenangan salah satu kandidat, jadi biasa saja. Kecuali kalau nanti salah satu kandidat butuh satu suara untuk meraih kemenangan, mungkin baru ketika itu aku mikir-mikir akan mencoblos. Ah, kamu terlalu tinggi hati, Wartax! Tapi apa salahnya pasang harga setinggi mungkin untuk sebuah suara? Katanya suara rakyat memang menentukan. Dengan Tuhan saja aku berdagang dengan harga yang sangat tinggu; apalagi dengan politikus yang menjanjikan kesejahteraan dan semacamnya.

Kubu 'DADA-AYI' mengeluarkan slogan "membangun dengan pengalaman" yang buat aku kedengaran sumbang. "Dengan pengalaman" mereka, Bandung pernah mengalami masalah sampah paling buruk sepanjang aku tinggal di kota ini. Sekarang pun, sampah merupakan masalah akut yang mengkhawatirkan, apalagi jika hujan deras. Tobat dah. Aku kuatir lama-lama Bandung banjir bila musim hujan, seperti Jakarta. "Dengan pengalaman" sebagai ketua umum Persib, H. Dada Rosada gagal mempersembahkan tropi Liga Indonesia, bahkan di putaran kedua nasib Persib mengenaskan. Kalau di Liga Inggris, ketua seperti itu sudah dicopot jauh-jauh hari. Nasib Persib juga buruk di Liga Super Indonesia; sementara ketua umumnya sibuk kampanye dan minta dukungan bobotoh. Absurd.


"Coblos Dadanya" ingin sekali aku ganti jadi "coblos hatinya" biar mereka tahu bahwa sebagian pengalaman kepemimpinan itu ternyata buruk. Aku malu dengan golongan orang yang memasang spanduk mau memilih mereka lagi karena "berpengalaman." Pengalaman mengajarkan saat Dada Rosada jadi walikota terjadi penyerbuan oleh sekelompok orang intoleran ke toko buku Ultimus ketika sedang ada diskusi ilmiah di sana, dan mereka menangkapi orang yang berbeda pendapat. Jelas pengalaman seperti itu jangan sampai terjadi lagi.

Karena belum jadi ketua umum Persib, pasangan 'TRENDI' mencoba mengambil hati dengan menempel jadwal Persib di Liga Super Indonesia, sambil mengenakan seragam Persib. Menurutku, ini juga langkah lucu. Jadi benar dugaanku dulu, para kandidat itu pengen sekalian jadi ketua Persib begitu terpilih jadi wali & wakil walikota. Padahal barangkali alangkah baiknya urusan pemerintahan itu dipisahkan dengan urusan sepakbola. Kalau enggak nanti runyam. Terbukti dengan PSSI sekarang. Kenapa kandidat yang tak pernah berhubungan dengan sepak bola itu berusaha meraih simpati warga yang peduli Persib? Untuk apa ya?

Apa mereka kurang yakin dengan jalur yang mereka tempuh selama ini, sampai perlu mengambil hati para bobotoh? Apa ketua umum Manchester United itu walikota Manchester? Rasanya bukan deh. Apa slogan "perubahan" yang mereka canangkan bakal bisa mengubah Persib jadi kampiun Liga Indonesia? Slogan "perubahan" pasangan ini sebenarnya menantang; tapi kalau aku lihat sungai-sungai di Bandung jadi timbuhan sampah, sementara air kering di waktu musim kemarau... aku sulit sekali diyakinkan perubahan apa yang sebenarnya ingin mereka lakukan. Apa aku bisa berharap bahwa jaminan sosialku lebih baik, misalnya dengan memperoleh pengobatan kelas satu kalau aku sekeluarga sakit, bila aku mencoblos suara buat mereka?

Pasangan 'HADI' mengedepankan independensi untuk meyakinkan warga Bandung agar memilih mereka. Menarik sebenarnya ide itu, di tengah dukung-mendukung antarormas dan partai pada tiap pasangan menjelang pilkada seperti ini, yaitu biar warga tidak terkesan terpecah-pecah. Kata kubu HADI, mereka siap melayani publik. Benarkah seperti itu? Kalau begitu, nanti warga nggak perlu repot ke sana-sini atau bayar ini-itu buat bikin KTP, atau ketika mau pindah dan ke luar kota, nggak perlu bayar iuran atau ditarik retribusi... karena kami adalah warga negara yang berhak dilayani. Kalau dipikir, tawaran mereka cukup menarik: bayaran dari coblosan untuk mereka ialah layanan publik yang baik. Bisakah itu dijamin? Aku sulit memastikan.

Aku mengira-ngira, karena kang Dada Rosada sekarang pemangku jabatan kepala pemerintahan kota Bandung, dia bisa mengerahkan segala kekuatan untuk kampanye agar terpilih lagi. Dia menggunakan kedudukannya sebagai ketua BNK (Badan Narkoba Kota?), ketua Persib, agar bisa tampil ke publik. Sementara itu sejumlah partai dan ormas mendukungnya; spanduk-spanduk bertebaran di mulut gang siap mencoblos dia lagi, termasuk anjuran dari anggota caleg. Yang repot ialah anggota atau simpatisan partai PKS dan PAN. Di tingkat provinsi, mereka berkongsi untuk memenangkan 'HADE'; tapi di tingkat kota mereka pecah kongsi, PAN ternyata mendukung DADA-AYI. Di sejumlah poster sampai ada peringatan jangan sampai salah pilih, bahwa dukungan mereka lain dengan yang diusung PKS. Tentulah kedua kandidat lain punya puluhan cara untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan. Jumat lalu aku baca sebagian kaukus umat Islam ramai-ramai mendukung TRENDI.

Pada siapa umat Muslim Bandung bakal mencoblos? Dilihat dari reputasi, Abu Syauqi, pasangan Taufikurahman, jelas bisa menarik banyak simpati dan namanya sudah cukup terkenal. Kinerja dia dengan Rumah Zakat Indonesia bagus. Program Abu Syauqi ini membumi dan populer. Sudah sejak lama Abu Syauqi bikin 'ambulans gratis', 'sekolah gratis', 'rumah sakit gratis', 'kirim kornet qurban ke pelosok dan pesantren', dan sebagainya. Spanduk Rumah Zakat kayaknya mudah ditemui. Aku berani bilang, Abu Syauqi lebih konkret. Di beberapa poster, 'TRENDI' digambarkan persis seperti poster film 'I am Legend' yang hendak menyelamatkan kota dari serbuan malapetaka. Tapi seperti yang aku bilang dulu, nama Abu Syauqi berkonotasi tertentu bagi pemilih sekular/non-Muslim, dan memungkinkan mereka enggan memilihnya.

Ternyata untuk mencoblos pun aku banyak menuntut. Aku rewel dengan janji-janji mereka. Aku ragu dengan niat mereka. Tapi mungkin abstain pun bukan langkah populer. Idealnya aku memberikan suara kepada kandidat yang memberi penawaran paling bagus untuk aku, karena aku akan memberikan kepercayaanku yang paling berharga sebagai warga kota. Aku mempertaruhkan ketenangan, kesuksesan, kenyamanan, dan lain-lain untuk tinggal di sini. Semoga di hari terakhir aku akhirnya bisa memutuskan akan mencoblos siapa. Kalau tidak, aku lebih memprioritaskan urusan pribadi dan mencoba menyelesaikan pekerjaan yang sudah semestinya aku tuntaskan. Politik bisa jadi masalah hati & keyakinan, sejauh apa pun seseorang bisa merasa terwakili oleh politisi, bahkan ketika dirinya boleh jadi sulit menggugat bila kandidatnya mengkhinati kepercayaannya.[]

Anwar Holid, penduduk Bandung, tinggal di gang Panorama II no. 26 B; KTP no. 1050050909733005. Ngeblog @ http://halamanganjil.blogspot.com/. Menulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007), biografi populer kandidat calon presiden AS dari Partai Demokrat.