Friday, January 11, 2013



25 Buku yang Membuat Yusi Avianto Pareanom Tidak Akan Nelangsa Jika Terdampar di Sebuah Pulau

Akhir tahun 2012 saya bertemu Yusi Avianto Pareanom, penulis kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa dan sejumlah buku lain. Selain sebagai penulis fiksi dan nonfiksi, Yusi juga dikenal sebagai penerjemah yang kurang ajar, editor yang tega, guru menulis di sebuah sarekat, selain pendiri Penerbit Banana yang suka menerbitkan buku-buku mana tahan.

Saya tanya, "Buku yang hebat itu seperti apa? Kalau perlu sebut judul-judulnya."

"Sebagai penulis, saya akan bilang bilang bahwa buku hebat adalah yang menantang kepenulisan saya," dia jawab. "Tapi jika bung Anwar bertanya dua puluh lima tahun lalu, jawabannya akan sangat berbeda. Sebagaimana remaja atau dewasa muda yang sedang mencari-cari, buku bagus masa itu adalah yang saya anggap mencerahkan atau menghadirkan semangat perlawanan kepada penguasa.

Namun, mari bermain-main. Saya akan coba spontan di sini, satu pengarang maksimal satu judul:

1.      Romeo and Juliet -- William Shakespeare. Ceritanya mungkin sudah kita kenal, kasih tak sampai.  Tapi, coba simak lagi soneta-sonetanya, bahasa benar-benar dimaksimalkan. Ngeri, bung! Kok ada orang bisa sepintar ini. Kritikus Harold Bloom pernah berujar kalau Tuhan itu ya Shakespeare. Kalau Shakespeare bukan Tuhan, ia tak tahu siapa lagi yang layak disebut sebagai Tuhan.

2.      One Hundred Years of Solitude -- Gabriel Garcia Marquez. Magic realism? Nah, it's all magical. Macondo, tujuh generasi Buendia, kebun pisang, 17 Aureliano Buendia yang lahir dari tujuh belas perempuan dan berayah sama-Kolonel Aureliano Buendia, Remedios si Cantik, hasrat kepada gadis jelita berusia sembilan tahun, dan segala keajaiban yang lain.

3.      Labyrinths -- Jorge Luis Borges. Jika seorang Umberto Eco mendapatkan ilham menggarap The Name of Rose dari cerita "Library" yang ada di buku ini, itu sudah alasan yang cukup bukan?

4.      The Savage Detectives -- Roberto Bolano. Marquez dan Borges jelas-jelas jahanam, dan Bolano mampu menjadi antitesis mereka. Apa tidak bikin merinding? Bolano dengan 'sastra jerohannya' melucuti anggapan pembaca dunia bahwa sastra Amerika Latin kalau tidak Marquezian pastilah Borgesian. Kredonya, yang ia buat ketika sakit keras sebelum ajalnya, membuat tertegun: sastra + sakit = sakit.

5.       The Ground Beneath Her Feet -- Salman Rusdhie. Mengapa bukan Midnight Children? Setelah pilihan buku Marquez dan Borges yang terlalu jelas jatuhnya, saya ingin mengambil yang berbeda untuk Rusdhie. Tapi, sesungguhnya menurut saya Rusdhie jauh lebih matang dalam buku ini ketimbang dalam Midnight. Siapa yang sanggup menolak tawaran pelintiran sejarah rock'n roll di sini? Novel ini lebih asyik lagi disimak sembari bung mendengarkan lagu yang melodinya digarap dua anak muda berbakat dari Irlandia, Bono dan The Edge, dan liriknya oleh Rusdhie sendiri, di sini: http://www.youtube.com/watch?v=sZfBR5G8FZ8.

6.       Dictionary of the Khazars -- Milorad Pavic. Bajingan sebajingan-bajingannya. Tobat saya, takluk negara, kalau ketemu saya pasti cium tangan. Mungkin setiap malam Jumat kalau ingat saya akan kirim Al-Fatihah untuk Pavic. Setiap alineanya terasa gurih saat dikunyah.

7.      Prajurit Schweik -- Jaroslav Hasek. Kegembiraan murni, dikunjungi beberapa kali tetap saja tak luntur rasa senangnya. Buku yang belum selesai sebetulnya karena Hasek keburu meninggal sebelum bukunya tamat.

8.      Dataran Tortilla -- John Steinbeck. Danny dan kawan-kawan gembelnya adalah contoh penghayat maksimal carpe diem. Kalau wiski bisa dihabiskan hari ini, mengapa harus disisakan sampai esok hari? Pula soal anjing yang dipinjam untuk menghangatkan kaki dan telur bumbu. Seperti Schweik, saya membaca Dataran versi Indonesia yang diterbitkan Pustaka Jaya, dua-duanya diterjemahkan dengan gemilang oleh Djoko Lelono.

9.      The Unbearable Lightness of Being -- Milan Kundera. Tentang yang antep dan yang ceketer dari manusia, disajikan dengan takaran terbaiknya.

10.  Teaching a Stone to Talk -- Annie Dillard. Ini buku nonfiksi. Ketika Dillard mengajak kita bersamanya bertualang ke Kutub Selatan, Galapagos, lembah Amazon, ataupun menyambangi seorang laki-laki yang terbakar dua kali, sejatinya itu adalah tawaran menziarahi ruang batin kita masing-masing. Penerbit Banana sudah menerbitkan edisi Indonesianya dengan judul Mengajari Batu Bicara.

11.  The Wind Up Bird Chronicle -- Haruki Murakami. Dua bersaudara Kano, Malta dan Creta, melayanimu dalam mimpi. Bagian-bagian lain boleh terlupakan, tapi tidak untuk dua kakak-beradik ini.

12.  The Road -- Cormac McCarthy. Buku ini memaksa saya menggunakan kata yang tidak saya sukai karena terlalu sering muncul di televisi: mencekam. Kengerian dunia post-apocalyptic begitu pekat dalam setiap lembarnya. Bagaimana kalau hari esok benar-benar tak menawarkan apa-apa, tak segenggam gandum, sepotong langit biru, ataupun sekadar tatapan letih dari kawan seperjalanan yang ringkih?

13.   Shah of Shahs (nonfiksi) -- Ryszard Kapuściński. Salah satu karya jurnalistik terbaik,  soal Shah Iran dan revolusi yang menumbangkannya, ditulis a la novel.

14.   The Moveable Feast (nonfiksi) -- Ernest Hemingway. Tulisan Papa semasa muda di Paris, disunting lagi pada masa senjanya, terbit setelah kematiannya. Buku ini secara tak langsung menjelaskan dengan telak bahwa sarekat yang baik---masa ini Papa berkawan erat dengan Ezra Pound, F. Scott Fitzgerald, dan masih banyak nama tenar lain---akan mengasah kepenulisan seseorang. Saya kira film Midnight in Paris karya Woody Allen banyak mengambil bahan dari buku ini.

15.  The Catcher in the Rye -- J.D. Salinger. Bagi Holden Caulfied, segala sesuatu yang palsu itu memuakkan. Itu sebabnya sekalipun seseorang beranjak dewasa dan berumur, kerinduan pada masa-masa ketika pemikiran dan sikap tak mesti kompromis selalu memanggil-manggil. Penerbit Banana sudah mengeluarkan edisi Indonesianya beberapa tahun lalu (saya menyimpan tanda tangan asli Salinger di lembar perjanjian copyright, bersanding dengan tekenan saya sendiri).

16.   Dari Ave Maria Sampai Jalan Lain ke Roma -- Idrus. Kegembiraan setiap kali membaca ulang buku ini selalu diiringi rasa sedih. Jika pada periode '45 Indonesia sudah punya pengarang secekatan Idrus, mengapa jejaknya tak terasa di karya-karya pengarang sesudahnya? Pertanyaan barusan tentu generalisasi.

17.  On the Road -- Jack Kerouack. Truman Capote mengejeknya sebagai karya ketik, bukan tulisan. Tapi, ini karya ketik yang sungguh aduhai, bung.

18.  Million Dollar Baby -- F.X. Toole. Soal dunia boksen, pembaca akan tertawa lalu nangis sebombay-bombaynya (sudah terbit edisi bahasa Indonesia oleh Banana).

19.   The Lone Ranger and Tonto Fist Fight in Heaven -- Sherman Alexie. Membuka mata, menyingkirkan stereotipe lama tentang Indian yang terbangun karena film Hollywood ataupun buku-buku Karl May. Sinis, lucu, mengharukan. Banana menerbitkan edisi bahasa Indonesianya dengan judul Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga.

20.  Contact -- Carl Sagan. Karena semesta di luar sana alangkah luasnya.

21.   Rashomon --Ryūnosuke Akutagawa. Bukan hanya soal ambiguitas moralnya, melainkan juga permainan sudut pandangnya yang berganti-ganti.

22.  Salvador (nonfiksi) -- Joan Didion.  Sebuah buku yang sangat membantu memahami anatomi teror dan geopolitik, ditulis dengan hemat dan jernih, buah pengamatan dari dekat.

23.  The Orchied Thief (nonfiksi) -- Susan Orlean. Obsesi (Orlean) atas obsesi (penggila anggrek), keanekaragaman hayati dan mistisme Florida. Tahu enggak kalau orang pertama yang dipenjarakan karena penyelundupan anggrek di Amerika Serikat adalah warga Indonesia? Sudah terbit edisi bahasa Indonesia dengan judul Pencuri Anggrek oleh Banana. Siapa lagi?

24.  All Over but the Shoutin' (nonfiksi) -- Rick Bragg. Soal sejarah keluarga dan kasih ibu sepanjang masa, mengharukan tetapi sama sekali tidak cengeng. Detail-detailnya keren, pula soal cerita sampingan semacam lele yang sebesar paha orang dewasa dan pria yang selalu saja setelah bebas dari penjara berusaha ditahan lagi dengan cara yang sama seperti sebelumnya, yaitu ngemplang bayar setelah makan mewah di restoran.

25.  Einstein's Dream -- Alan Lightman. Imajinatif, sangat serius bermain-main.

Lho, kok sudah 25? Daftarnya diakhiri kalau begitu.

Gila, saya meninggalkan nama Kafka, Chekov, Dostoyevsky, Arundathi Roy, Jonathan Franzen, Mahbub Junaidi, Joyce, Eco, Calvino, dan masih banyak lagi. Tapi, ya sudahlah."

Ayo temanan dengan Yusi di sini: http://www.facebook.com/yusipareanom?fref=ts

3 comments:

Fandy Hutari said...

Akangggg itu kesalahannya fatal sekali!!! kalimat awal baca deh. "Akhir tahun 2013 saya bertemu Yusi Avianto Pareanom..." Sekarang aja baru awal 2013 kang... :))

Anwar Holid said...

oh fandy, makasih banget atas perhatian kamu! aku silap tangan dan silap mata. segera aku koreksi. kredit buat kamu ya he he he...

Anonymous said...

simply stopping by to say hello