Monday, April 28, 2014

Empat Malam di Kuala Lumpur
--Anwar Holid

Seri Pacific Hotel, KL adalah hotel termewah yang pernah aku inapi, bahkan rasanya mengalahkan Hotel Indonesia yang pernah aku inapi bareng Fenfen beberapa bulan setelah kami nikah. Satu hal yang sangat khas di hotel bertingkat tiga puluh ini ialah seluruh ruangannya harum serai wangi, sangat menyegarkan. Bahkan sabun, shampo, dan conditionernya pun beraroma serai.  Kata resepsionis, selain buat aroma terapi, bau itu berfungsi sebagai pengusir nyamuk.

Di hotel ini aku nginep sekamar dengan Toni Kurnia, senior di Penerbit Rosda; di kamar lain ada pak Zam, bosku di penerbit yang sudah berdiri lebih dari setengah abad lalu. Kami ada di sini ikut KLTCC---Kuala Lumpur Trade & Copyright Centre, 22-24 April 2014, yang dinilai sebagai pasar rights penerbitan terbesar di Asia Tenggara. Penerbit Rosda ingin memelihara hubungan baik dengan sejumlah penerbit dan distributor yang telah membeli rights maupun mendistribusikan bukunya, meneruskan bisnis, menambah rekanan, dan mau menjual rights lebih banyak. Aku belajar dari pak Zam dan Toni cara menjalin rekanan dan berusaha mendapat deal. Ke depan Penerbit Rosda berharap aku yang menangani jual-beli rights, termasuk menerbitkan buku English. Rosda di bawah pimpinan ibu Rosidayati ingin melangkah ke beberapa ranah baru yang diharapkan bisa menjawab persoalan perubahan perilaku dan pasar di industri penerbitan, seperti e-book, berkembangnya gadget, dan makin kaburnya batas geografis.

Ngaku saja, yang aku pikirkan sejak sebelum kepergian ialah rasa malu andai gagal dapat deal dari penerbit yang coba kami hubungi, terlebih bila nanti ditindaklanjuti usai acara. Rosda mengeluarkan cukup banyak uang untuk menerbangkan kami ke sini, bahkan membiayai pembuatan pasporku. Tapi memang sulit mendapat deal langsung di tempat. Tawaran terbaik yang pernah aku dapat dari menjual rights ialah co-publishing/edition dari penerbit India. Sementara aku bukanlah seorang penjual alamiah. Mungkin aku seorang negosiator penerbitan, tapi tingkat keberhasilanku tidak menonjol.

Beberapa waktu lalu aku dikritik bahwa cara kerjaku "ngacak". Aku berusaha memperhatikan ini sebagai masukan. Satu hal, aku ingin mencapai progres, kalau bisa signifikan, sehingga ingin bergerak cepat, memajukan naskah, dan menerbitkan buku. Aku gemas kalau progres terhadang oleh hal yang tidak perlu. Progres penerbitan bisa terhalang oleh berbagai hal, salah satunya dari wanprestasi seseorang. Sudah cukup aku pernah dibilang sok perfeksionis atas buku, padahal ingin fleksibel, praktis, mengurangi kerewelan yang malah bisa menghambat progres, dan lebih bersikap mawas diri. Ini susah, apalagi bila caraku menerangkan sesuatu jelek dan sulit dipahami orang. Lebih buruk lagi kalau seseorang malas membantu rekan kerjanya. Kadang-kadang aku merasa ada seseorang tak berniat baik pada orang lain; tapi aku malu mengaku bahwa kinerjaku ada kala sangat buruk dan mengecewakan orang lain. Ini memalukan aku sendiri. Di satu sisi aku mengkritik, padahal tudingan mestinya ditembakkan ke diriku lebih dulu. Aku kesulitan memperbaiki diri sendiri secara konsisten. Aku berbuat salah, tapi sangat susah belajar dari sana. Aku ingin memperbaiki diri namun sangat sulit membuktikan bahwa aku sudah insyaf. Kedengarannya bolak-balik. Aku berusaha memperbaiki karir, tapi perjalanan ke sana ada saja halangannya. Aku berusaha memberi, melakukan, melayani, bekerja sama; meyakinkan orang lain bahwa aku beriktikad baik, konsisten, bisa diandalkan. Tapi ada saja kurangnya. Buruk-buruknya aku suka menyalahkan diri sendiri atas wanprestasiku.

Sejauh ini aku senang dan semangat kerja di Rosda. Aku merasa dapat peran pas dan menantang, yang dalam beberapa hal tidak aku lakukan selama karir dan dari dulu ingin aku maksimalkan. Tapi apa arti semangat kalau tiada hasilnya? Aku tahu persis beda kerja freelance dan terikat. Terlebih ada saja hal yang bisa membuat aku seperti mau patah semangat, entah prasangka buruk atau miskomunikasi. Rasanya aku ingin banyak menyumbang saran, tapi kadang-kadang kuatir itu cuma sok tahu. Penerbit Rosda punya karakter, etos, budaya, dan cara bisnis tertentu yang telah membuat mereka sukses sejauh ini. Tinggal aku hormati dan beradaptasi. Cuma rasanya dalam beberapa hal masih saja ada sesuatu yang membuat aku gemas ingin bilang ini-itu karena tampak sebagai titik lemah. Satu hal: aku pantang menjelek-jelekkan perusahaan atau pelanggan yang memberiku kesempatan dan nafkah. Aku akan mengutarakan sebagai niat baik demi perbaikan.

Dari dulu aku berniat meninggalkan kebaikan atau kenangan baik pada siapapun yang bekerja sama denganku. Aku mau bermanfaat. Aku pikir aku punya bakat dan dianugerahi kemampuan. Aku juga suka belajar. Aku suka mendalami hal baru yang jadi hasratku dan berharap itu bermanfaat, bisa dikembangkan. Tapi di situ juga letak jebakan buatku sendiri, terutama bila aku malah salah memutuskan karena keterbatasan dan kekhilafan. Semoga aku benar-benar belajar.[]

KL, 23 April 2014