Wednesday, April 30, 2014

Jalan trotoar bertudung.
Keseimbangan.
Morning glory. Golden dots.
Tempat sampah.
Grafiti.
Seri Pacific Hotel.
Apartemen tua.
Stasiun kereta api.
Komposisi.
Bahaya.

Masih di atas awan.
Still life.

Monday, April 28, 2014

Empat Malam di Kuala Lumpur
--Anwar Holid

Seri Pacific Hotel, KL adalah hotel termewah yang pernah aku inapi, bahkan rasanya mengalahkan Hotel Indonesia yang pernah aku inapi bareng Fenfen beberapa bulan setelah kami nikah. Satu hal yang sangat khas di hotel bertingkat tiga puluh ini ialah seluruh ruangannya harum serai wangi, sangat menyegarkan. Bahkan sabun, shampo, dan conditionernya pun beraroma serai.  Kata resepsionis, selain buat aroma terapi, bau itu berfungsi sebagai pengusir nyamuk.

Di hotel ini aku nginep sekamar dengan Toni Kurnia, senior di Penerbit Rosda; di kamar lain ada pak Zam, bosku di penerbit yang sudah berdiri lebih dari setengah abad lalu. Kami ada di sini ikut KLTCC---Kuala Lumpur Trade & Copyright Centre, 22-24 April 2014, yang dinilai sebagai pasar rights penerbitan terbesar di Asia Tenggara. Penerbit Rosda ingin memelihara hubungan baik dengan sejumlah penerbit dan distributor yang telah membeli rights maupun mendistribusikan bukunya, meneruskan bisnis, menambah rekanan, dan mau menjual rights lebih banyak. Aku belajar dari pak Zam dan Toni cara menjalin rekanan dan berusaha mendapat deal. Ke depan Penerbit Rosda berharap aku yang menangani jual-beli rights, termasuk menerbitkan buku English. Rosda di bawah pimpinan ibu Rosidayati ingin melangkah ke beberapa ranah baru yang diharapkan bisa menjawab persoalan perubahan perilaku dan pasar di industri penerbitan, seperti e-book, berkembangnya gadget, dan makin kaburnya batas geografis.

Ngaku saja, yang aku pikirkan sejak sebelum kepergian ialah rasa malu andai gagal dapat deal dari penerbit yang coba kami hubungi, terlebih bila nanti ditindaklanjuti usai acara. Rosda mengeluarkan cukup banyak uang untuk menerbangkan kami ke sini, bahkan membiayai pembuatan pasporku. Tapi memang sulit mendapat deal langsung di tempat. Tawaran terbaik yang pernah aku dapat dari menjual rights ialah co-publishing/edition dari penerbit India. Sementara aku bukanlah seorang penjual alamiah. Mungkin aku seorang negosiator penerbitan, tapi tingkat keberhasilanku tidak menonjol.

Beberapa waktu lalu aku dikritik bahwa cara kerjaku "ngacak". Aku berusaha memperhatikan ini sebagai masukan. Satu hal, aku ingin mencapai progres, kalau bisa signifikan, sehingga ingin bergerak cepat, memajukan naskah, dan menerbitkan buku. Aku gemas kalau progres terhadang oleh hal yang tidak perlu. Progres penerbitan bisa terhalang oleh berbagai hal, salah satunya dari wanprestasi seseorang. Sudah cukup aku pernah dibilang sok perfeksionis atas buku, padahal ingin fleksibel, praktis, mengurangi kerewelan yang malah bisa menghambat progres, dan lebih bersikap mawas diri. Ini susah, apalagi bila caraku menerangkan sesuatu jelek dan sulit dipahami orang. Lebih buruk lagi kalau seseorang malas membantu rekan kerjanya. Kadang-kadang aku merasa ada seseorang tak berniat baik pada orang lain; tapi aku malu mengaku bahwa kinerjaku ada kala sangat buruk dan mengecewakan orang lain. Ini memalukan aku sendiri. Di satu sisi aku mengkritik, padahal tudingan mestinya ditembakkan ke diriku lebih dulu. Aku kesulitan memperbaiki diri sendiri secara konsisten. Aku berbuat salah, tapi sangat susah belajar dari sana. Aku ingin memperbaiki diri namun sangat sulit membuktikan bahwa aku sudah insyaf. Kedengarannya bolak-balik. Aku berusaha memperbaiki karir, tapi perjalanan ke sana ada saja halangannya. Aku berusaha memberi, melakukan, melayani, bekerja sama; meyakinkan orang lain bahwa aku beriktikad baik, konsisten, bisa diandalkan. Tapi ada saja kurangnya. Buruk-buruknya aku suka menyalahkan diri sendiri atas wanprestasiku.

Sejauh ini aku senang dan semangat kerja di Rosda. Aku merasa dapat peran pas dan menantang, yang dalam beberapa hal tidak aku lakukan selama karir dan dari dulu ingin aku maksimalkan. Tapi apa arti semangat kalau tiada hasilnya? Aku tahu persis beda kerja freelance dan terikat. Terlebih ada saja hal yang bisa membuat aku seperti mau patah semangat, entah prasangka buruk atau miskomunikasi. Rasanya aku ingin banyak menyumbang saran, tapi kadang-kadang kuatir itu cuma sok tahu. Penerbit Rosda punya karakter, etos, budaya, dan cara bisnis tertentu yang telah membuat mereka sukses sejauh ini. Tinggal aku hormati dan beradaptasi. Cuma rasanya dalam beberapa hal masih saja ada sesuatu yang membuat aku gemas ingin bilang ini-itu karena tampak sebagai titik lemah. Satu hal: aku pantang menjelek-jelekkan perusahaan atau pelanggan yang memberiku kesempatan dan nafkah. Aku akan mengutarakan sebagai niat baik demi perbaikan.

Dari dulu aku berniat meninggalkan kebaikan atau kenangan baik pada siapapun yang bekerja sama denganku. Aku mau bermanfaat. Aku pikir aku punya bakat dan dianugerahi kemampuan. Aku juga suka belajar. Aku suka mendalami hal baru yang jadi hasratku dan berharap itu bermanfaat, bisa dikembangkan. Tapi di situ juga letak jebakan buatku sendiri, terutama bila aku malah salah memutuskan karena keterbatasan dan kekhilafan. Semoga aku benar-benar belajar.[]

KL, 23 April 2014

Thursday, April 10, 2014

Kedalaman Kubah Tohari
--Anwar Holid


Aku baca Kubah karya Ahmad Tohari waktu mahasiswa. Jelas aku kurang terkesan bila dibandingkan baca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Novel debut beliau ini terbit tahun 1980 oleh Pustaka Jaya, lalu diterbitkan ulang Gramedia Pustaka Utama pada 1995. Buku ini terselip bertahun-tahun di lemariku di antara puluhan buku berukuran kecil, tak pernah dibaca lagi, sampai suatu hari seorang kawan bertanya, "Menurutmu siapa penulis Indonesia yang pantas menerima Hadiah Nobel?"

Aku langsung jawab, "Ahmad Tohari."

"Sepakat! Aku juga berpikiran begitu!" dia berseru.

"Iya, banyak kritik bilang setelah Pramoedya Ananta Toer meninggal Indonesia mestinya punya kandidat lain untuk diusulkan sebagai penerima Hadiah Nobel, dan mereka menyebut Ahmad Tohari."

"Ahmad Tohari tuh rasanya enggak pernah memunculkan dirinya sebagai penulis atau sok menonjolkan pengetahuan dalam novel-novelnya, tapi dia malah mampu menghidupkan tokohnya dengan sangat nyata, karakternya kuat banget. Dia bisa menciptakan tokohnya sangat lugu, sederhana, dengan sangat meyakinkan. Seolah-olah tokoh itu ada. Dia seperti dalang yang hebat banget mendongeng."

"Tuh ini ada noveletnya, Kubah. Bawa aja kalo mau," kataku lalu mengambil dan menaruhnya di meja.

"Ah nanti saja. Aku juga lagi baca buku lain."

Novel itu tergeletak begitu saja. Tapi malah membuatku ingin baca lagi, meski sedang ada buku lain yang sedang aku bawa-bawa. Aku juga sedang kepayahan mengalahkan kemalasan menulis. Ada pendapat bahwa membaca ulang merupakan bentuk rasa bersalah. Aku setuju. Dulu aku baca Kubah dan merasa tidak dapat apa-apa. Beberapa buku yang pernah aku baca dan baca lagi selalu memberi nuansa dan pemahaman baru dan mengesankan.

Cuma butuh beberapa hari perjalanan bolak-balik ke tempat kerja untuk menamatkan novel itu sambil duduk di bus Damri. Selama baca, yang paling kuat terasa muncul ialah intensitas bercerita. Ini yang dulu lenyap waktu aku pertama kali baca. Entah kenapa. Betapa Tohari bisa membuat pembaca tercekam pada situasi batin seseorang atau dia perlahan-lahan membangun ketegangan sampai akhirnya pembaca terengah-engah karena begitu pekat dia menghadirkan konflik, rangkaian kejadian, pembabakan, maupun menyuguhkan klimaks. Ketika sampai di ujung buku, mataku sembab tak kuasa membendung rasa simpati atas nasib seorang manusia bernama Karman.

****
Cover Kubah cetakan pertama.


Karman adalah kader PKI yang menjadi sekretaris Partindo. Orang menghormatinya karena ia bekerja di kantor kecamatan. Menimbang latar belakang keluarganya, aktivis PKI secara tepat dan rahasia memilih Karman, lantas merancang perjalanan karirnya untuk menjadi seorang "priayi". Ia disiapkan untuk membangun kembali partai setelah kegagalan mereka dalam pemberontakan di Madiun. Rencana ini nyaris berhasil andai peristiwa G30S di Jakarta tidak gagal secara prematur dan malah berbalik melalap PKI dan seluruh simpatisannya secara ganas, bahkan dinilai sebagian kalangan tanpa proses hukum dan melanggar HAM. Karman selamat dari amuk massa karena ia ditemukan semaput dari kelaparan dan terserang penyakit dalam persembunyian di pinggir hutan.

Drama dalam Kubah dibuka dari kedatangan Karman ke Pegaten setelah menjadi tahanan politik di Pulau B. Dia memulai hidup baru dengan ragu. Istrinya sudah menikah dengan pria lain, anak-anaknya terlantar dan berisiko dicap 'keturunan PKI', sementara orang yang paling dibencinya masih hidup. Ia dihantui masa lalu, rasa bersalah, dan kehilangan segala-galanya. Peluang optimismenya hanyalah keinginan samar untuk berbuat baik, yang merupakan ciri khasnya sejak kecil. Tabiat inilah yang dulu pelan-pelan dikikis oleh anggota komunis agar dirinya jadi keras, memberontak, bahkan berani mengabaikan Tuhan. Tapi meski begitu kelembutan dirinya tetap tak hilang.

Memang Ahmad Tohari mengisahkan propaganda PKI dengan stereotipe sebagaimana anggapan lama sesuai versi Orde Baru, termasuk kader wanitanya yang 'liar.' Tapi ia menuturkan secara meyakinkan, terutama cara PKI memilih dan mengader anggota, juga menelusupkan ideologi. Tohari menghadirkan kegamangan bekas tapol menghadapi hari tua, merasakan keragu-raguan seorang pesakitan dengan harapan bisa kembali diterima masyarakat secara ikhlas, dengan memaafkan dosa perilaku dan politiknya.

****

Kedalaman semacam itulah yang tak aku dapati ketika beberapa bulan lalu membaca dua novel berlatar fiksi sejarah konflik militer Indonesia karya novelis senior lain. Novel itu enak dibaca, cara bertuturnya memikat, ceritanya mengalir lancar, konfliknya hadir kuat. Tapi sejak awal aku merasa novel itu kurang dalam, seperti baru permukaan. Beliau cuma menempelkan sejarah sebagai latar belakang dan kejadian terhadap drama percintaan tokohnya tanpa menawarkan perspektif baru, temuan atas investigasi baru, atau berniat mengungkap fakta tersembunyi, meski bisa jadi kontroversial.

Mengukur kedalaman cerita itu bagaimana? Gambaran gampangnya begini: Kalau penulis menceritakan luka, terasa oleh pembaca seperti apa perihnya, bagaimana benda tajam itu menembus kulitnya, merusakkan jaringan dagingnya, darahnya mengaliri kulit seperti apa, sakitnya apa tiada terkira, tercium bau anyirnya, membuat indra kita mengalami sensasi, pori-pori melebar dan menonjol, ikut merinding.

Sebuah novel page-turner baru merupakan awal yang baik, tapi belum memberi nilai lebih. Seorang pencerita sewajarnya bisa menyihir pembaca. Pembaca selalu berharap lebih dari upayanya menikmati cerita, bertualang mengikuti jalan cerita, terlibat secara emosional, tergetar oleh pengalaman maupun pergulatan batinnya. Ibarat makan, bikin kenyang itu biasa. Kualitas makanan ada pada taruhan kenikmatan, entah paduan bumbu yang pekat, pengolahan yang pas, pedas yang menyengat, atau penyajian yang memikat.

Kubah memang tidak mengubah pandangan mana karya terbaik Ahmad Tohari. Tapi kita jadi makin tahu betapa dalam rentang karir kepenulisannya yang panjang ia memberi sumbangsih besar pada sastra Indonesia. Pengabdian dan karyanya pantas dihargai, dengan cara apa pun. Entah memperkenalkannya kepada pembaca lebih luas, kalau perlu sampai ke luar negeri, atau dengan membaca ulang secara lebih hati-hati.[]

Anwar Holid, editor, bekerja di Rosda International.