Vitalitas Maroeli Simbolon
>> Anwar Holid
Do not go gentle into that good night,
Old age should burn and rave at close of day;
Rage, rage, against the dying of the light.
---Dylan Thomas (1914 - 1953), penyair, penulis drama, dan cerita pendek Wales. Puisi "Do Not Go Gentle into that Good Night"
Yang paling penting ketika sakit ialah jangan pernah menyerah.
---Vladimir Ilyich Lenin (1870-1924), pemimpin revolusi Russia
SAYA mengenal Maroeli Simbolon karena tugas, dan baru sekali bertemu, yaitu ketika buku dia, Sepasang Luka Cinta, didiskusikan dalam talk show Teras Buku di Delta FM Bandung, pada November 2004---itu artinya nyaris sekitar satu tahun lalu. Perkenalan itu membuat saya jadi lebih familiar dengannya, terutama setiap kali mendapati cerpen-cerpennya dipublikasikan oleh media massa di Jakarta.
Interaksi saya dengannya terus terjadi ketika pada paro kedua 2005 ini Jalasutra memutuskan menerbitkan naskah Jalang!, yang awalnya menjadi cerita bersambung di Sinar Harapan pada Februari - Maret 2005. Di selang-seling menyunting naskah tersebut dan kesibukan rutin, saya mendengar kabar tentang jatuh sakitnya dia pada Oktober 2005, dalam kondisi kritis dan dirawat di Rumah Sakit Cikini. Waktu pertama kali bertemu dia juga cerita tentang beberapa penyakit yang dia derita, tapi ternyata yang sekarang membuatnya ambruk justru bukan yang pernah dia sebut, yaitu gagal ginjal.
Sejumlah penulis jatuh sakit, tapi niscaya di antara mereka ada yang mampu bangkit dan mengalahkan penyakit yang menyerang produktivitas dan kreativitas, bisa jadi bahkan kemudian mengalami fase hidup yang kerap berbeda sama sekali bila dibandingkan ketika mereka dulu sehat wal afiat. Sebagian di antara mereka meninggal setelah berjuang habis-habisan ternyata kalah melawan penyakit.
Sejumlah penulis atau penyair ternyata dokter. Sejumlah risalah tentang penyakit dan rahasia serta interpretasinya ditulis. Banyak novel, cerita, drama, dan puisi fokus pada penyakit telah terbit; Albert Camus menulis La Peste (Sampar), tentang menyebarnya penyakit pes di kota Oran, Gabriel García Márquez menerbitkan El amor en los tiempos del cólera (Love in the Time of Chorela), tentang berjangkitnya penyakit kolera di tengah-tengah perang pada 1870 dan 1930 di sebuah masyarakat Amerika Latin. Didera kemurungan akibat ayahnya sakit parah, Dylan Thomas malah dipaksa mampu mengungkapkan kekuatan puitik dalam ‘Do Not Go Gentle into that Good Night’ (1952), puisinya yang paling terkenal dan banyak dikutip .
Tapi penyakit terus berkembang, seakan-akan berkejaran dan mengolok-olok cara manusia menghadapi kehidupan. Rasa sakit maupun penyakit memang merupakan satu sisi dalam diri setiap orang yang suatu ketika niscaya akan kita temui, kalau bukan akan muncul baik dengan sengaja atau tanpa diminta, akibat dari kebiasaan hidup sehari-hari atau semata-mata karena kejatuhan.
Dalam esai Illness as Metaphor Susan Sontag menulis perlambang penyakit dengan begitu tabah: "Sakit adalah sisi gelap hidup, kewarganegaraan yang lebih sukar. Semua orang yang lahir memegang dua kewarganegaraan: kerajaan sehat dan kerajaan sakit. Meski kita semua lebih suka hanya mengegunakan paspor yang sehat, cepat atau lambat kita wajib memperkenalkan diri sebagai warga negara kerajaan lain itu, setidaknya karena terserang. Sakit sudah selalu digunakan sebagai metafora untuk menekankan tuduhan bahwa sebuah masyarakat korup atau zalim. Metafora penyakit tradisional terutama adalah cara menjadi berapi-api, sebaliknya metafora modern relatif lebih menunjuk ketidakpuasan." Esai seperti itu baru bisa ditulis setelah dia pulih dari jatuh sakit.
BILA kita tahu seperti itu, apalagi yang perlu dikhawatirkan?
Penyakit bukan musuh yang harus mati-matian dihindari, melainkan kawan asing yang harus disadari keberadaannya, sebab dia senantiasa mengejutkan ketika datang berkunjung. Sakit hanyalah kondisi ketika manusia harus menyadari seluruh keterbatasannya. Ketika itu dia diberi kesempatan untuk mengambil jeda; mungkin untuk memikirkan hal paling mendasar dalam hidup, dihentikan dari sebuah kesenangan tertentu, atau yang paling sering: diberi ujian untuk menakar kesabaran dan ketahanan mental.
Maroeli Simbolon juga tahu persis apa makna dan pengaruh penyakit buat dirinya, buat karirnya. Memang penyakit telah berkali-kali berusaha mempecundanginya, tapi toh dia belum gagal menahan serangan itu. Di dalam Sepasang Luka Cinta, dia beberapa kali menulis tentang penyakit dan dengan kontras dibandingkan pada kehidupan. Tulisan itu adalah bukti ketabahannya ketika diopname selama lebih dari dua bulan pada 2003. Syukur alhamdulillah dia ternyata masih mampu bertahan dan terus berkarya, hingga kini, meski sekali lagi, penyakit berusaha memukulnya. Di buku itu dia menulis:
Aku tafakur seribu bahasa, menerima nasib ketika penyakit menyerangku tiba-tiba. Serangan di tengah malam buta---tanpa pesan dan aba-aba. Di kala aku sedang terlelap, penyakit itu merasuki tubuhku---menjalari seluruh urat nadiku. Akhirnya, aku terkapar dengan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Pandanganku yang nanar menangkap tatapan penyakit yang mengejekku.
"Apa yang dapat kau lakukan dengan kondisi seperti ini?" sindir penyakit persis di pusat mata.
Aku mengaduh sepenuh nyeri.
BANYAK penulis hidup dalam masalah akut, mau berupa kemiskinan, ancaman kematian, kekurangan modal sosial, hidup terancam, dikejar-kejar penguasa lalim atau kelompok militan fanatik; sementara penyakit, kekerasan, atau sejumlah kekurangan sudah terlalu biasa untuk disebut lagi.
John Clare (1793-1864), penyair dan naturalis Inggris zaman romantik, hidup luar biasa miskin, kurang patronase, dan minuman keras menghancurkan kesehatan, mental, dan hidupnya---yang kebanyakan dihabiskan di rumah sakit. Namun dia memiliki ingatan menakjubkan dan bakat puitik. Buku pertamanya, Poems Descriptive of Rural Life and Scenery (1820), berhasil mempengaruhi dan mengguncang kehidupan sastra zaman itu.
Pada Juli 1841, karena rindu pulang kampung, tanpa sepeser pun, dia kabur dari rumah sakit jalan kaki kurang-lebih 128 km (80 mil) dari London ke Northamptonshire (kira-kira jarak Bandung-Bogor) sampai terpaksa makan rumput di pinggir jalan untuk menahan lapar. Baru tujuh bulan kemudian dia sampai di rumah; namun pada akhir tahun itu dia dinyatakan sudah gila. Setelah itu dia menghuni rumah sakit St. Andrew selama 23 tahun, namun masih mampu menghasilkan tulisan dan puisi yang tetap mengagumkan. Puisi itu akhirnya diedit oleh Eric Robinson dan Geoffrey Summerfield, terbit sebagai Selected Poems and Prose (1966).
Motinggo Busye, Kuntowijoyo, Benny R. Budiman, dan penulis-penulis yang telah wafat, juga Radhar Panca Dahana, Gola Gong dan mereka yang sekali waktu sempat ditumbangkan penyakit, tahu betul betapa sakit ternyata gagal menghentikan energi kreativitas, meski mereka juga mampu merasakan tanda-tanda kapan semua harus berakhir.
Manusia yang tangguh dan punya vitalitas hanya akan berhenti ketika harus berhenti, ketika kesempatan berbuat atau berkarya sudah habis. Bila belum, entah bagaimana mereka akan tetap berusaha mencipta. Vitalitas itu seolah-olah memberi peringatan hanya pada yang absolutlah mereka takluk. Waktu, kematian, alam, Tuhan, hanyalah empat dari sejumlah hal misterius yang absolut, yang harus mereka wanti-wanti kapan semuanya memperlihatkan diri.[]
Anwar Holid, editor Jalasutra, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung.
3 comments:
Wah..commennya kok banyak spamnya gini mas. Pada gak nyambung semua.
Kalo boleh usul di verifikasi comment aja atau pake haloscan. Eman khan, isi blognya bagus, tapi jadi gini he..he
Salam
http://cakhady.blogspot.com
eh, nama blog ini kok hampire sama dengan blogku ya?
halamanmoeka
tapi okelah, pasti iniyang lebih duluan,gapapa to? toh kita punya ciri khas tersendiri.
hanyua saj blogkumasih berantakan ...
oke,salam kenal
find look at here now More Help More Info my company pop over to these guys
Post a Comment