Wednesday, March 24, 2010


Stiker "Forever Lupus"
---Anwar Holid

Stiker "Forever Lupus" ini aku dapati di balik tutup lemari baju di Hotel Equator, Bontang, Kalimantan Timur. Hotel ini berada di dalam lingkungan pabrik Pupuk Kaltim, bentuknya berupa kumpulan bungalow mungil dirancang sangat apik. Ia ada di bungalow no. 1010. Di sini, bersama Irfan dan Salim, aku menginap pada 15 - 17 Maret 2010.

Waktu buka lemari dan mendapati stiker ini, aku membatin, emmm, apa karena suka buku maka kebetulan dapat kamar dengan stiker salah satu icon tokoh fiksi di Indonesia? Untuk generasiku---angkatan lima tahun pertama 1970-an---Lupus merupakan tokoh fiksi yang sangat akrab selain Roy. Lupus ciptaaan Hilman Hariwijaya, sedangkan Roy ciptaan Gola Gong. Lupus lebih kocak, modis, santai, urban, suka menggoda gadis, tapi seingaku sering sial juga. Yang paling legendaris dari dia ialah model tasnya. Waktu itu tas dia banyak "ditiru", yaitu tas dengan selempang sangat panjang hingga mencapai lutut. Selain itu namanya antik sekali. Betul-betul ajaib. Sekarang nama ini terkenal sebagai sejenis penyakit yang obatnya belum ditemukan, yaitu lupus erythematosus. Seorang kawanku meninggal karena lupus.

Penggambaran fisik Lupus persis seperti di stiker itu: rambutnya jambul a la John Taylor dari Duran-Duran, suka mengunyah dan membuat balon permen karet, perawakannya kurus. Mungkin dia merasa sebagai cowok paling keren di Jakarta dekade itu. Saking populernya, Lupus pernah adaptasi sebagai film layar lebar. Pemeran utamanya---kalau tidak salah namanya Ryan Hidayat---kedapatan mati muda.

Karena tidak langganan Hai, aku kerap ikut baca gratis majalah itu di toko buku Q*TA, yang sekarang berubah menjadi Riau Junction, sebuah kompleks perbelanjaan mewah. Toko buku itu hanya bersebelahan dengan kompleks sekolah Santo Aloysius, dan masih cukup dekat dengan lokasi sekolahku, SMA 20 Bandung. Biasanya aku ke sana dengan kawan-kawan, sambil sekalian pulang, karena jalur angkot kami bisa lewat sana juga.

Buatku menarik menemukan stiker "Forever Lupus" ini. Ia mengantarkan ingatanku kembali ke masa remaja, sementara sekarang aku sesekali menerima kerjaan dari GPU.[]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Situs terkait:
http://www.gramedia.com

Monday, March 22, 2010


[Halaman Ganjil]

Lelaki Berumah Tangga Nginap di Hotel
---Anwar Hotel

Suatu hari istriku menginap di rumah seorang kawan. Dia bilang, kamar mandi di rumah itu sama persis dengan kamar mandi di hotel-hotel berbintang. "Bathtub, air panas, shower, luas, harum, selalu kering, toiletries lengkap." Aku mendengarkan betapa dia terkesan dengan fasilitas mewah seperti itu bisa tersedia di sebuah rumah. Rumah seperti apa itu, batinku. Tentu bukan rumah biasa, melainkan rumah yang dirancang sebagai hotel.

Setiap kali punya kesempatan menginap di hotel, aku memang selalu terhenyak. Apalagi bila hotelnya sangat bagus. Kamar mandi rapi, kamar tidur nyaman dan harum, lingkungan bersih, makanan enak, pelayan siap sedia membantu. Semua tinggal pakai. Benar saja, sebab aku memang hanya bisa menginap di hotel kalau dibiayai. Gratis. Tapi setiap kali memikirkan "gratis" itu, aku kembali membatin: berapa banyak mereka keluar uang untuk membiayai kebutuhanku ini? Ternyata ada harganya, dan itu kerap kali mahal. Gratis buatku, tapi kenyataannya tetap mahal. Gratis semu.

Biasanya, menginap di hotel selalu menyenangkan. Entah kenapa, padahal belum tentu kita ke hotel karena hendak liburan. Sebagian orang ke hotel justru untuk bekerja dan menyelesaikan setoran. Mungkin karena faktor tadi: seolah-olah gratis, semua serba tercukupi, dan enak---bersatu dalam paket "service" dan "fasilitas." Sebenarnya tidak semua tercukupi. Contoh soal makan. Hotel hanya menyediakan sarapan. Sisanya harus beli; dan biasanya lebih mahal dari warung yang mencukupi. Karena itu perhatikan, pelayan hotel biasanya malah kedapatan makan di warung nasi murah. Sekarang kita bisa dengan santai menikmati fasilitas wifi di hotel, dulu kalau mau menelepon biayanya minta ampun. Begitu juga dengan "minibar" yang menjebak. Murahnya tarif telepon genggam mungkin membuat banyak hotel menghapus layanan telepon ke luar hotel.

Dulu, aku pernah menginap di Hotel Salak, Bogor, berada persis di depan Istana Bogor. Ini merupakan salah satu hotel paling mengesankan buatku. Konon dahulu Iwan Simatupang hidup lama di hotel ini. Tentu asyik membayangkan penulis tinggal di sebuah kamar hotel yang nyaman untuk menghasilkan karya berkelas. Sekelas dengan bintangnya. Rupanya pihak hotel mengira aku termasuk orang yang bisa menginap lagi di sana suatu ketika. Karena itu aku rutin menerima email tawaran menarik dari marketing communication mereka, baik untuk paket meeting, week end, maupun family. Dalam hati aku tertawa. Siapa yang mau membiayai aku ke sana lagi? Dalam kesempatan apa aku bisa ke sana lagi? Walhasil email itu terkirim pada orang dengan demografi yang salah.

Begitu juga pada Maret 2010 selama tiga hari di Jogja kami sekeluarga menginap di hotel kuno kecil yang apik. "Good choice," kata sejumlah orang. Mengesankan juga. Di hotel ini kita bisa dengan mudah melihat perempuan-perempuan berpakaian seksi, atau kala pagi hari mereka ke luar kamar hanya mengenakan daster sebatas pantat, duduk-duduk sambil ngobrol dan sarapan. Aku hanya berani melirik mereka sekejap, takut ketahuan.

Namun entah kenapa suatu hari istri dan anak-anakku aku dapati makan sate di tenda lusuh yang ada di depan hotel itu. Mungkin justru itu tempat makan para pelayannya. Dalam hati aku heran, kenapa istriku milih makan di tempat biasa itu, tidak pesan di hotel saja. Aku berprasangka mungkin dia khawatir uangnya bisa terlalu cepat menyusut. Aku sendiri setelah menuntaskan kerja bersama sejumlah orang makan di sebuah restoran besar dekat-dekat dari sana. Dan entah kenapa kali ini istri dan anak-anakku menyisakan begitu banyak sate, lantas cepat-cepat kembali ke kamar. Tidak biasa-biasanya. Kalau kami beli sate di warung biasa di dekat rumah kami, biasanya tandas. Dalam hati aku dongkol karena tidak bisa menghabiskan sisa sate itu karena sudah kekenyangan. Akhirnya aku membayar dengan sedikit sia-sia. Sebagian uang terbuang percuma dan sisa sate itu kemungkinan besar dibuang begitu saja. Tapi apa baik-baik saja, hanya karena menganggap nilai uangnya sedikit? Sedikit itu berapa? Di kamar, istriku tanya, "Gimana rasanya sate tadi? Enak menurut kamu?" "Ya alhamdulillah." Aku sempat mencicipi dua tusuk punya putriku.

Esoknya, sebelum pulang, anak sulung kami kedapatan ngompol di kasur. Itu membuat kamarnya jadi pesing. Aku jengkel karena sudah mengingatkannya agar pakai diaper sebelum tidur, dan dia selalu jawab "iya, iya; tunggu-tunggu; sebentar lagi-sebentar lagi", sampai akhirnya aku tewas kecapaian sampai pukul 05:46. Dia rupanya ketiduran juga, dan diaper masih tercecer di lantai. Walah. Alangkah merepotkan dan dia pun malu. Kami memaksa agar anak sulung ini minta maaf pada pihak hotel. Penjaga dengan ramah bilang, "Ah, tidak apa-apa. Bisa kami bereskan kok." Tentu saja, meski risiko ompol itu mungkin lebih buruk dari prakiraan layanan mereka biasanya. Bisa jadi sebenarnya mereka jengkel karena tahu bahwa kami sekeluarga menginap di situ hanya karena dibayari. Masih untung tidak dimaki sebagai tamu tak tahu diri. Sudah dapat gratisan, ngasih ompol lagi![]

Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @  http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Mengomentari Editan The Ninth
---Anwar Holid

Beberapa hari sebelum acara publisitas The Ninth (Anak Kesembilan) karya Ferenc Barnás (GPU, 2010, 296 hal.) di Rumah Buku/Kineruku, Bandung, saya menerima email dari Andika, seorang peresensi. Dia bertanya, "Seberapa puas kamu dengan The Ninth edisi bahasa Indonesia? Adakah kesulitan dalam penyuntingannya?"

Saya jawab: Secara pribadi, saya sangat puas dengan proses penerbitan buku ini. Vira (penerjemah) mengerjakan buku ini dengan baik dan luwes. Mbak Katalin B. Nagy menyelaraskan terjemahan itu pada edisi asli berbahasa Hongaria, meski Vira menerjemahkan dari edisi Inggris karya Paul Olchváry. Jadi menurut saya proses editingnya ketat, sungguh-sungguh, dan mestinya memang begitu bila hendak menerbitkan buku dengan baik.

Kepuasan ini nanti bisa dikonfrontasikan dengan komentar awal Ari Jogaiswara, dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran yang mengomentari The Ninth. Ari bilang fungsi Vira mirip Transtool. Saya cukup terkejut dengan pernyataan itu, menyimpan dalam hati, tapi belum bisa mengonfirmasi lebih jauh.  Mbak Katalin sendiri menyatakan betapa Ari menyampaikan pendapat yang berbeda sekali soal terjemahan itu waktu dia dan Ferenc bertemu di Rumah Buku.

Selama proses editing, saya, mbak Katalin, dan mbak Anastasia (pihak GPU) cukup intens berdiskusi, mulai dari soal diksi, struktur penulisan, sampai pilihan terhadap kemasan buku. Pekerjaan utama saya ialah berusaha membuat kalimat agar lebih efektif dan mudah dipahami. Misal mengurangi kata 'yang' karena penggunaannya terlalu ekstensif, juga penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi. Contoh:

tak berperasaan --> keterlaluan

Sebagian besar penggunaan 'tidak' untuk menyatakan negasi saya ubah. Yang saya biarkan ialah untuk menegaskan atau bila padanan lebih kuatnya terlalu sulit saya temukan.

Karena berpihak pada kemudahan pembacaan (readability), saya sempat mengganti beberapa diksi yang tampak cukup asing dan sulit, meski kalau digunakan berpeluang mengayakan kosakata buat pembaca.

Contoh diksi pilihan mbak Katalin, 'hoskut.' Kata ini terdengar sulit dan asing; saya agak yakin pembaca harus buka kamus untuk memastikan artinya. Saya tanya istri, apa dia tahu 'hoskut' (baju yang dipakai perempuan), ternyata tidak. Saya usul agar diganti dengan 'daster' atau 'jubah.' Akhirnya kami sepakat memilih 'jubah', dengan komentar mbak Katalin sebagai berikut: 'Jubah' dalam (seluruh) teks dipakai untuk menyebut pakaian pastor, maka mudah-mudahan jelas bahwa yang dipakai Mama adalah 'jubah' lain. Sebenarnya pakaian Mama berbentuk seperti mantel tanpa lengan. Pokoknya pakaian wanita yang biasa dipakai di dalam rumah. (Di internet saya temukan hoskut n: a loose hoskut bagi perempuan [syn: pakaian rumah untuk wanita], gaun tidur atas). Tetapi jelas, kalau istilah ini tak dipakai dalam bahasa sehari-hari, sebaiknya dibatalkan.

Awalnya saya juga sengaja cukup sering memecah paragraf terlalu panjang dan mengubah struktur penuturan yang menurut saya sulit dipahami. Tujuannya betul-betul untuk memudahkan pembaca.

Perubahan drastik misalnya saya lakukan di bagian akhir bab sembilan, yaitu di bagian percakapan waktu anak ke sembilan diinterogasi. Saya membuat percakapan itu ke bawah (jadi paragraf baru), padahal teks aslinya terus bersambung tanpa paragraf. Pertimbangannya, selain demi memudahkan pembacaan, saya kira tindakan itu akan bisa menguatkan situasi. Sebaliknya, mbak Katalin ingin mempertahankan teks sebagaimana aslinya. Setelah mendapat masukan dari mbak Anas, kami memecah bagian itu hanya jadi tiga paragraf---jadi bentuk aslinya hanya berubah sedikit, namun keinginan memudahkan pembaca juga tercapai. Pada akhirnya struktur edisi Indonesia lebih setia pada edisi Hongaria.

Salah satu kesulitan yang saya hadapi waktu menyunting naskah ini justru di detail. Misal soal istilah bangunan dan soal "rasa bahasa." Bisa jadi ini karena jam terbang penyuntingan saya masih sedikit.

Ejaan juga begitu. Di buku ini kami memilih Moskow dengan pertimbangan GPU, Tempo, dan Kompas lebih memilih itu daripada Moskva ataupun Moscow (b. Hongaria: Moszkva). Menurut kami, pilihan itu lebih banyak disepakati umum.

Walhasil, pembaca bebas menanggapi dan menerima upaya penerbitan The Ninth dari segala aspek, terlebih-lebih dari sisi penyuntingan. Secara keseluruhan saya ingin sekali lagi menegaskan betapa edisi Indonesia ini berutang banyak pada kerja keras mbak Katalin. Kita pantas memberikan kredit kepadanya. Saya sendiri sering merasa rewel (bawel) terhadap buku yang jelek penyuntingannya. Sekarang giliran saya menerima kritik, apa buku yang ikut saya kerjakan ini memuaskan atau mengecewakan.[]3/19/2010

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com

Monday, March 01, 2010


[BUKU INCARAN]
Luapan Emosi Terpendam Jiwa Manusia
---Anwar Holid


The Ninth (GPU, 2010, 296 hal.) berkisah tentang seorang anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Dia berumur sembilan tahun, kira-kira kelas 4 SD. Dia bukan anak bungsu, melainkan punya dua adik, anak ketiga terakhir. Seorang saudaranya sudah meninggal waktu kecil, satu saudara sulungnya sudah menikah, tinggal di kota lain, di Debrecen. Di novel ini angka sembilan terasa mencolok, sengaja dipilih, mungkin punya mitos tertentu. Pilihan judul The Ninth tampak menekankan sesuatu. Apalagi novel ini terdiri dari sembilan bab.

Keluarga si anak ini miskin. Rumah sementara mereka sempit dan umpel-umpelan, tidur seranjang bertiga. Untuk menunjang ekonomi, keluarganya bisnis kecil-kecilan benda-benda religius Katolik seperti rosario dan salib, dijual ke gereja di sekitar kota mereka tinggal di Hongaria, dipasarkan oleh ayahnya. Mereka tinggal di kota kecil tanpa nama, kemungkinan di sekitar Debrecen, karena seluruh anak itu lahir di sana. Kalau tidak, mereka tinggal di dekat perbatasan Romania, sekitar tahun 1960-an, ketika negeri itu di bawah rezim komunis. Ayahnya pekerja keras, rewel, kaku. Ibunya bekerja paro waktu di pabrik pulpen, religius, tadinya ingin jadi pianis, mencintai sastra, dekat dengan pengurus gereja, bahkan mengarahkan anak-anaknya untuk beraktivitas di sana, misal dengan menjadi anak altar, penyanyi gereja, dan pembantu pastor bila ada orang meninggal.

Karena terlalu tertekan oleh kebutuhan ekonomi, anak-anak dalam keluarga ini terabaikan. Sampai-sampai secara ironik anak kesembilan ini bilang bahwa kebanyakan saudaranya punya kelainan, entah cacat fisik atau kesulitan belajar. Kecelakaan terakhir yang dia saksikan ialah jemari seorang saudaranya putus karena terjepit oleh hentakan ranjang lipat. Meski begitu mereka suka gotong royong dan sama-sama kerja keras waktu mengerjakan kerajinan, termasuk kakak-kakaknya harus ikut membangun rumah idaman yang akan mereka tinggali kelak.

Untuk mencari kesenangan di tengah kegaduhan keluarga, anak ini suka kelayapan sehabis pulang sekolah, baik ke stasiun tempat ayahnya pernah bekerja, juga ke rumah orang dan toko-toko yang ada di sana sekadar untuk melihat-lihat barang yang gagal dia dapat atau membaui aroma roti dan daging panggang di sebuah toko kue. Di sekolah, dia juga mengalami penindasan (bullying), mulai dari berupa celaan sampai secara fisik oleh kakak kelasnya. Saat kelayapan itu dia menemukan banyak hal. Dia tahu ada ayah teman sekelasnya tiap hari mabuk sampai harus dibopong ke luar dari bar oleh anak-anaknya. Dia suka mengintip rumah lain karena tampak sangat berbeda dengan rumahnya yang sumpek dan selalu ribut. Untuk mendapat uang saku, dia menjadi anak altar. Dia tambah senang bila ada orang meninggal, karena itu berarti uangnya bisa tambah banyak, membuat dirinya bisa jajan berbagai makanan di toko-toko dekat stasiun.

Suara anak kecil dalam The Ninth muncul dengan intensitas tinggi. Anak ini juga pengamat sosial yang tajam. Dia penasaran kenapa gaji ayahnya gagal memenuhi kebutuhan keluarga, seorang kawannya menyembunyikan foto perempuan telanjang, dan di sela-sela main sepak bola bersama saudara dan kawan-kawannya, pikirannya kerap khawatir soal hari esok, sampai dia sendiri akhirnya nekat melakukan dosa pertama, meskipun ia pernah menjadi putra altar dan ibunya senantiasa mengajak doa bersama sebelum tidur. Dosa itu membuatnya trauma, sangat bersalah, dan takut---tergambar dengan hebat di bab delapan dan sembilan---karena ia lakukan pada guru yang dia cintai. Guru inilah yang pernah memberinya tugas mengarang---dan secara implisit karya ini mungkin bisa dianggap sebagai perwujudan dari rasa bersalah ketika mengerjakan tugas tersebut.

Ferenc Barnás menyajikan novelnya sebagai luapan emosi terpendam jiwa manusia. Ingatan anak kecil ini luar biasa. Dia lebih dari sekadar jujur menceritakan rahasia paling kelam, mimpi paling brutal karena tekanan hasrat terpendam ingin menyalurkan dendam, iri dengan bekal milik kawannya, bertahan dan sesekali membalas dari kekerasan kakak kelas, kesenangan setiap kali ada orang yang meninggal, juga bersaing dengan kawan sekelas untuk menarik perhatian gurunya. Dia teliti membongkar kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan tekanan dan persoalan. Dia juga berusaha meraba-raba persoalan samar, mulai dari bahasa tubuh ibunya, keunikan saudara kandung, sampai perilaku keras ayahnya terhadap aparat negara yang dianggapnya mau korupsi.
______________________________________
Detail Produk:
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Penulis: Ferenc Barnás
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Penerbit: GPU, Februari 2010
Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover
ISBN 978-979-22-5459-4
______________________________________

Soal relevansi dengan Indonesia, Katalin B. Nagy yang memprakarsai penerbitan The Ninth berkomentar, "Rasanya hubungan budaya di antara Indonesia dan Hongaria belum seerat semestinya, karena kita belum sadar pengalaman kita sepanjang masa banyak miripnya. Saya berusaha 'membangkitkan' kesadaran ini melalui sastra terjemahan. Karya Ferenc bisa berarti karena aspek universalnya: seorang 'anak' berjuang melawan gereja, negara, dan diri sendiri melalui hasrat dan kebingungan."

Sekitar tahun 1960-an, Partai Komunis Hongaria yang berkuasa merupakan boneka Uni Soviet, sementara di Indonesia Partai Komunis Indonesia juga berpengaruh kuat. Apa dengan begitu membuat The Ninth bernuansa politik? Jawab Katalin, "Karya tersebut tak berpolitik atau mengkritik rezim komunis, melainkan hanya menggambarkan latar belakang sosial budaya. Rezim otoriter yang digambarkan dalam novel oleh seorang anak bisa saja di mana-mana."

Dulu Fuad Hassan---mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan---menerjemahkan Sang Mahasiswa dan Sang Wanita, berisi 10 cerpen Hongaria, dan Pulang, kumpulan cerpen karya Árpád Göncz. Bentang Pustaka pernah menerbitkan Fateless (Imre Kertész) dan The Last Window Giraffe (Péter Zilahy). Semua buku lama itu kini sudah tak dicetak ulang.

Ferenc Barnás mendapat pengakuan internasional setelah memenangi dua anugerah sastra Hongaria paling terkemuka: Sándor Márai Prize (2001) dan Tibor Déry Prize (2006). The Ninth mendapat grant penerjemahan dari PEN America, dikerjakan oleh Paul Olchváry. Barnás menerima sejumlah undangan residensi penulisan di Amerika Serikat, antara lain di Yaddo, MacDowell Colony, Edward Albee's The Barn, Virginia Center for the Creative Arts, dan Espy Foundation; pada tahun 2001 berceramah di Lahti International Writers Reunion, Finlandia.[]

Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.

Link terkait:
http://www.gramedia.com
http://www.ferencbarnas.com

===========================
KOMENTAR PEMBACA

The Ninth is a testament to the still-unplumbed depths of contemporary Hungarian literature, and a departure from the alienated fever dreams and horrors to which we've grown so accustomed to reading.
---Jeff Waxman, dari Three Percent Review

Kebanyakan kritikus menilai The Ninth sebagai novel terbaik karya Ferenc Barnás---merupakan pencapaian luar biasa dilihat dari segi gaya, bentuk, dan isi sekaligus.
---Paul Olchváry

The Ninth adalah novel perenungan pribadi yang lebih memberikan dasar untuk eksplorasi daripada yang muncul di permukaan, dan merupakan novel yang berhasil memunculkan suara anak kecil dengan baik.
---Josh Maday

For me, The Ninth is all the more provocative because it depicts, through a nimble exploration of a child's stream-of-consciousness, the vicissitudes of his imagination, and the tee-tottering state of his soul amid the village's sickening perfidy, corruption, and stupidity.
---Chad W. Post

The Ninth is an elegant book, and a ruthless one. It is a courageous book, one that knows fear. As is always the case with good literature, it is about us, wherever we may live in the world.
---Anonim