Monday, October 27, 2014

[halaman ganjil]

Tanda Orang Sehat Itu Cuma Satu...

--Anwar Holid

Pada awal September 2014 lalu dada kiriku sakit. Ini kambuh untuk ketiga kalinya. Pertama kali sakit dada itu muncul kira-kira tahun 2010. Setiap kali bernapas dadaku seperti ditusuk-tusuk, napas jadi pendek-pendek, gampang tersengal-sengal, dan sesak. Bernapas jadi tak lancar dan sulit. Sakit dada itu membuatku demam dan batuk-batuk.

Dulu waktu pertama kali mengalaminya, aku langsung cari tahu soal sakit dada belah kiri itu. Orang menamai sakit itu sebagai 'angin duduk', dan lebih jauh bisa jadi merupakan tanda dari gejala jantung koroner. Jujur saja, aku enggak kuatir bila sampai kena jantung koroner. Dengan latihan bernapas pelan-pelan dan mencoba menghela napas panjang, akhirnya sakit itu berangsur-angsur hilang. Seingetku, aku cuma minum obat demam untuk menghilangkan panas-dingin waktu malam.

Pada November 2013 sakit itu muncul lagi waktu aku mulai kerja di Penerbit Rosda saat tugas di Indonesia Book Fair. Semua gejalanya persis sama. Ku pikir kali ini terjadi karena aku berada dalam ruang ber-ac sangat dingin, kencang, dan suasananya gaduh sekali. Untung kambuhnya di hari menjelang acara berakhir, sehingga aku hanya perlu absen beberapa jam.

Ketika kambuh untuk kedua kali, Fenfen dan beberapa teman minta agar aku periksa dokter spesialis. Aku mengamini, tapi tidak melaksanakannya. Bukan karena bandel, membantah, atau apa, tapi semata-mata karena tidak menyempatkan diri dan aku merasa bisa mengatasinya bila sewaktu-waktu datang lagi.

Ketika kira-kira setahun kemudian kambuh untuk ketiga kali, pada dasarnya aku siap. Paling waktu malam aku repot jadi demam, tersengal-sengal, dan batuk-batuk. Aku coba berdamai lagi dengan latihan menghela napas pelan-pelan. Aku perkirakan kali ini pemicu utama kambuh ialah karena terpapar asap jahanam kendaraan bermotor setiap kali bersepeda. Tapi bisa jadi karena September ialah musim kemarau, dan setiap musim kemarau aku tahu pasti kena pilek atau batuk. Payahnya aku sakit pas ikut workshop, jadi batuk-batuk dan tidak fit itu mengurangi konsentrasi dan mengganggu banyak orang.

Kali ini Fenfen tidak sabar agar aku periksa ke dokter. Menggunakan jasa BPJS, sarannya aku turuti. Ke dokter umum aku menceritakan keluhan dan gejala yang aku rasakan. Aku mendesak, 'Apa kemungkinan penyakit terburuk dari keluhan yang aku rasakan ini?' Dia bilang, 'Ini sama sekali jangan dijadikan pegangan dan harus didiagnosis oleh dokter spesialis lebih dahulu, kemungkinan terburuknya ialah Anda bisa terkena tuberkolosis paru-paru.' Wow, separah itu, batinku. Beliau memberi rujukan untuk periksa lebih lanjut.

Aku diperiksa dokter spesialis jantung di RS Advent Bandung. Diteliti menggunakan electro cardiogram, aku dinyatakan normal. Saat diperiksa kondisiku waktu itu memang sudah cukup fit. Sakit dadaku sudah berangsur pulih dan berkat mengonsumsi makanan hebat baik di hotel dan workshop, kesehatanku membaik. Cuma batuk kering mulai terasa.

  
Salah satu hasil periksa jantungku.
  
'Kalo begitu sakit dada itu apa ya dok?' aku rada bingung.
'Sakitnya kerasa sampai ke belakang punggung enggak?'
'Enggak.'
'Kerasa menjalar sampai tangan kiri enggak?'
'Enggak.'
'Kerasa kalo bapak jalan enggak?'
'Enggak.'
'Kerasa waktu bapak tidur enggak?'
'Enggak. Kerasa kalo saya bernapas saja.'
'Kalo rasa sakit seperti ditusuk-tusuk itu sampai ke punggung atau kerasa sampai tangan kiri, atau kalau berjalan dan tidur dada bapak sakit, itu baru menunjukkan ada gejala sakit jantung. Hasil diagnosis menunjukkan jantung bapak normal. Mungkin ada otot dada bapak yang sakit. Itu saja. Bapak jangan kuatir. Olahraga ringan yang teratur, seperti jalan kaki.'
'Saya memang banyak jalan kaki, dok.'
'Bagus itu.' Katanya sambil memberi resep yang ternyata ramuan multivitamin dan penghilang rasa nyeri.

Jadinya aku tambah lega. Aku sms ke beberapa orang dengan gembira, 'AKU NORMAALLL! AKU SEHAT-SEHAT AJA!!!'
Seorang kawanku menanggapi, 'Tax, waktu sakit kamu masih bisa ereksi gak?'
'Ya bisalah!' aku jawab sambil ketawa.
'Kalo begitu kamu normal. Tanda orang sehat itu cuma satu kok: dia masih bisa ereksi! Kamu jangan kuatir, Tax!'
Hahaha... aku tambah senang dengar pembelaannya itu.

Sementara sakit dada kiri pulih, batuk keringnya belum sembuh, ditambah pilek. Batuk dan pilek menurutku akibat dari kerongkongan kering. Seperti ada duri menusuk di situ. Dua penyakit ini khas menyerang aku setiap kali musim kemarau.  Aku sudah maklum, tapi selalu kalah sigap mencegahnya. Aku beranggapan sakit begini membuatku harus lebih hemat bicara dan menahan diri mengomentari berbagai hal. Aku menerima dan mengobatinya pelan-pelan sesuai saran apotek dekat rumah.

Tambah umur rasanya membuatku makin sadar soal tubuh. Contoh, aku tahu bakal pilek di musim kemarau, bukan di musim hujan seperti terjadi pada kawanku. Kepalaku pasti pening kalau berada di tengah suasana kacau, gaduh, apa lagi penuh asap rokok. Ternyata sakit juga bisa membuat kita lebih mengenal diri sendiri. Jadi benar, segala sesuatu memang ada manfaatnya. Sakit saja bermanfaat, apa lagi sehat. Bener enggak?[]

Monday, September 15, 2014

OKTOBER SUDAH DEKAT!!!
--Anwar Holid


Persis di hari ulang tahun ke-41 aku bersama sebelas kawan lain selesai ikut fase pertama workshop marketing internasional penerbitan yang diadakan oleh Goethe-Institut Jakarta, IKAPI, dan Frankfurt Book Fair (FBF). Workshop ini diikuti 10 penerbit dengan beragam kondisi, ada penerbit pemula, penerbit terbesar di Indonesia, penerbit spesialis, buku anak-anak, anggota IKAPI maupun belum.

Di workshop ini aku membatin: SEBESAR APA PASSIONMU PADA PENERBITAN atau PERBUKUAN? Barangkali karena aku mulai mendapati sebagian kenalanku berhenti berbisnis di dunia buku, mulai masuk dunia lain, meski aku masih selalu mendapati para senior ternyata tetap semangat, bahkan aku pikir tambah ahli dan terus bersedia membagi ilmu.

Aku masih semangat menghasilkan buku baik dan hebat, ingin mengenalkan karya yang aku nilai berharga, memang pantas dijual; tapi jujur saja jalan ke arah sana kadang-kadang sulit, bahkan bisa dipersulit oleh orang-orang yang aku pikir mestinya mendukung niat baikku. Niat baik tidak selamanya ditanggapi positif bila aku gagal menerangkan apa untungnya menerbitkan naskah yang aku pikir hebat, bermanfaat, dan bakal menguntungkan.

Jelas secara finansial aku tidak jadi miliarder karena konsisten kerja di dunia penerbitan. Tapi kondisi itu tidak pernah membuat patah semangat. Aku hanya suka malu setiap kali gagal belajar dari kesalahan, tidak bekerja lebih baik, dan kesulitan menuntaskan tanggung jawab dengan baik.

Selama berkarir di penerbitan, aku lihat banyak senior terus semangat dan berdedikasi, entah dia orang Indonesia atau asing. Sementara pelaku baru terus tumbuh, punya idealisme dan inovasi; meski di antara mereka mungkin saja ada yang kutu loncat, kerja pakai pola high risk, hit and run. Kiprah pelaku muda kerap membuat aku salut dan kreativitasnya mengejutkanku, membuat kagum dan memaksa aku untuk terus belajar dan menambah wawasan.

Guru utama workshop ini ialah Sebastian Posth, pebisnis penerbitan Jerman yang terutama bergerak di ebook, olah data, namun tetap peduli dengan keberlangsungan buku cetak. Salah satu maksud workshop ini ialah membantu persiapan kami sebagai wakil penerbit Indonesia untuk menawarkan dan menjual rights buku di FBF pada 7-12 Oktober 2014.

Sejak berangkat workshop aku tidak mengakses email dan media sosial. Jadi aku buta yang terjadi dengan akunku dan berita di luar sana. Sekitar seminggu lalu dadaku sakit lagi, membuatku demam di malam hari, kehilangan nafsu makan, batuk-batuk, dan pening; memaksaku berhenti main WE9, dengar musik, dan baca-baca majalah atau buku di malam hari karena maunya istirahat lebih lama. Beruntung, kondisiku jauh lebih membaik selama ikut workshop, jelas itu karena tunjangan konsumsinya OK banget.

Seorang senior yang juga ikut workshop bilang, 'War, kamu sekarang tambah jarang nulis ya?' Pertanyaan ini membuatku sedih sekaligus terharu. Sedih karena memang itu faktanya; terharu karena ada orang dekat yang menyadari bahwa aku juga suka menulis untuk menyuarakan sesuatu.

Seingetku, aku jawab begini: 'Kalo nulis iya, tapi kalo ngasih komentar kayaknya tambah sering.' Ha ha ha... Kayaknya sekarang aku lebih baik bekerja atau melakukan sesuatu daripada menulis.' Yah, jujur saja. Aku malu bila banyak menulis seolah-olah peduli atau bisa ini-itu menyelesaikan banyak hal besar, padahal pekerjaan utamaku belum beres. Aku sudah diperingati klien untuk fokus mengerjakan tugas utama, yaitu membereskan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan orang lain. Aku ikut workshop karena ada target, bukan untuk sekadar bersenang-senang menikmati bagian dari passion duniaku.

Jujur saja, ikut workshop sebenarnya menunda banyak pekerjaanku membantu persiapan Penerbit Rosda menghadapi FBF 2014 yang sudah tinggal hitungan hari. Setiap kali mengingat ini jantungku terpacu lebih cepat dan tekanan kepalaku langsung naik. Begitu banyak yang harus aku lakukan, waktu makin sempit, sementara energiku sendiri tidak dalam kondisi maksimal. Namun penyesalan terbesarku selama workshop ialah kemampuan Englishku yang sama sekali tidak membaik, sehingga menghalangiku menyampaikan pikiran dengan jernih kepada orang-orang yang buta bahasa Indonesia. Penyesalan ini jauh lebih besar daripada aku lupa bawa kamera gara-gara masih sakit waktu berangkat saat fajar menuju workshop.

Peserta, panitia, dan narasumber workshop. Pria bule di tengah ialah Sebastian Posth.


Hal utama yang ingin aku sampaikan selama menyaksikan persiapan Indonesia dalam FBF 2014 ialah betapa dukungan pemerintah (barangkali dalam hal ini ialah ‘Komite Nasional FBF’) terhadap kehadiran penulis di FBF sangat minim. Untuk kasus Penerbit Rosda saja, kami menawari beberapa penulis untuk datang dan buat acara di FBF, tapi semua menolak karena tidak ada biaya. Padahal selama sharing session kita tahu ada dana penerjemahan yang tidak terserap dengan baik tapi katanya sama sekali tidak bisa diubah alokasinya karena berbagai alasan, salah satunya ialah takut terjerat hukum. Buat apa ada uang kalo tidak bisa dibelanjakan untuk kepentingan bersama?

Hal menyedihkan lain ialah ada banyak penerbit dan penulis yang terabaikan dari hingar-bingar persiapan Indonesia jadi Guest of Honor (GoH) Frankfurt Book Fair 2015. Katakanlah penerbit dan penulis nonmainstream atau independen, padahal mereka menurutku pantas diajak berperan serta. Aku berharap semoga representasi buku dan penulis Indonesia yang ada di GoH cukup berimbang. Harusnya ada penulis dari kalangan FLP/Islam, ada pemberontak macam Saut Situmorang, penulis buruh, dari Indonesia Timur, Indonesia diaspora, dan lain-lain. Setahuku hal itu belum terakomodasi.

Kita tahu ada penulis dan penerbit yang bisa terbang ke Frankfurt, sementara lainnya tidak, bahkan mungkin dapat akses informasi pun tidak. Tentu kita bisa tanya kenapa mereka terpilih atau bisa memperhatikan seperti apa relasi mereka dengan klik pada kelompok tertentu atau ikatan patronnya bagaimana. Contoh, penulis A bisa diundang di FBF karena dinilai pantas jadi wakil Indonesia. Tapi dari kliknya kita juga bisa lihat ia bisa hadir karena bukunya sudah diterjemahkan dalam English, dan direktur penerbit itu dekat dengan para penentu kebijakan di Komite Nasional. Jelas ada kepentingan yang main di sana.

Contoh lain: mungkinkah kita membangkitkan minat sebagian pelaku industri penerbitan agar antusias bahwa Indonesia jadi GOH FBF 2015, bila terhadap Ubud Writers and Readers Festival saja sinis?

Pelajaran utama dari fase pertama workshop ini ialah bagaimana cara meyakinkan orang agar percaya bahwa produk yang aku bawa pantas mereka beli. Kondisi ini tambah sulit kalo kemampuan komunikasiku buruk. Ini yang paling mengkhawatirkanku. Komunikasi yang buruk pasti sulit mengangkat nilai jual produk yang sangat unggul sekalipun. Claudia Kaiser dari FBF siap bantu membuatkan website agar kami bisa menghadirkan dan mengenalkan buku yang mau ditawarkan rightsnya secara lebih baik dan meyakinkan.

Kira-kira itulah yang ingin aku lampiaskan. Di dalam, PR-ku untuk Penerbit Rosda juga masih numpuk dan harus diselesaikan.[] Jakarta, 9 September 2014

Monday, July 14, 2014


Menyayangi Negeri dengan Membaca
--Anwar Holid

Menjadi Bangsa Pembaca 
Penulis: Adew Habtsa
Penerbit: Wisata Literasi, 2014
Halaman: 200 hal., soft cover
ISBN: 978-60295788728
Harga: Rp.40.000,-
Jenis: memoar, nonfiksi


Menjadi Bangsa Pembaca adalah memoar yang enak dibaca. Di buku ini Adew Habtsa menulis secara simpel, jelas, dan santun. Pemikirannya praktis, dengan kadar visioner yang masuk akal. Dia berkampanye mengenai literasi, berusaha menggugah kesadaran berbangsa melalui buku dan musik.

Apa guna literasi di zaman kini yang lebih silau pada kesuksesan, ketenaran, dan kemewahan? Bukannya dunia literasi tidak bisa mengantarkan orang pada hal semacam itu, tapi target utamanya bukan itu, melainkan bersifat lebih mendasar seperti penyadaran. Literasi membuat seseorang jadi tergerak untuk membaca diri, masyarakat, apa yang terjadi di dalamnya. Ia menjadi mahardika. Orang seperti ini biasanya tergerak untuk berbuat maupun berdedikasi pada masyarakat. Dia akan memikirkan ada apa dengan bangsa dan negerinya. Ia mencari jalan apa yang sebaiknya dilakukan demi mengejar ketertinggalan dan memacu kemajuan.

Pada skala nasional pun literasi kurang diperhatikan dan didukung sepantasnya dibandingkan nilai pentingnya. Pemerintah tampak sudah puas dengan anggapan bahwa literasi tercapai berkat tingginya angka melek huruf. Padahal itu baru aspek literasi tingkat dasar. Literasi tingkat lanjut mensyaratkan adanya penguasaan pemahaman, keterampilan, dan pengaruhnya terhadap psikologi individul, sosial, dan reproduksi budaya.
 
****

Dari mana Adew membangun keyakinan terhadap literasi? Dia membaca buku, memperhatikan lingkungan dan kondisi sosial-politik, terlibat di komunitas literasi dengan agenda dan gerakan kreatifnya. Adew melihat ada energi lebih melampaui buku.

Komunitas literasi bisa dibilang relatif independen, dikembangkan oleh beragam kalangan kelas sosial dengan keyakinan tertentu, dan semua mengalami jatuh-bangun tergantung dukungan, ketahanan, dan strategi masing-masing. Bentuknya beragam. Bisa toko buku, perpustakaan, penerbitan, kelompok penulis dan pembaca, studi budaya, dan peduli pada berbagai isu penyadaran lain. Mereka bersaing secara kreatif, menawarkan pemikiran dan strategi kepada massa, mencari jalan ke luar dari kemampatan ide, sekaligus mendobrak berbagai kejumudan berpikir. Mereka kritis, betapa sesuatu yang dari permukaan dianggap baik dan mulia ternyata bisa menyimpan kebusukan dan pengkhianatan terhadap bangsa dan negeri sendiri semata-mata demi keuntungan kelompok kecil.

Sebagai kunci pencerahan, Adew berpendapat bahwa para aktivis dan founding fathers Indonesia merupakan contoh generasi yang tercerahkan berkat literasi. Mereka bergerak, bekerja sama, mencari jalan demi kemajuan bangsa dan negerinya. Kini generasi penerus punya agenda baru, yaitu mengubah keterpurukan serta ketidakberdayaan karena berbagai krisis, mengubahnya jadi sumber kekuatan. Tantangan makin besar dan mendesak, sementara ruang makin sempit dan waktu terasa makin instan. Dalam kondisi seperti itulah literasi memiliki peluang momentum, persis ketika Kartini mendapat momentum 'dari gelap terbitlah terang.'




Dipecah dua seksi, bagian pertama buku ini mengisahkan meski tumbuh di lingkungan padat penduduk yang cukup keras, ia bisa ‘selamat’ berkat keluarga dan buku. Waktu kuliah ia bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP), mengasah diri menjadi penyair dan musisi. Di luar itu pergaulannya terbilang luas. Ia berinteraksi dengan berbagai pihak lain, bahkan yang sangat kontras sekalipun, baik dari latar belakang, status sosial, maupun ideologi. Ia menilai perbedaan bukanlah celah pertentangan dan sumber keretakan, namun peluang untuk saling mengisi. Ia berusaha menjalin benang merah agar literasi semakin massif.

Bagian dua menuturkan bagaimana dirinya terlibat lebih intim dalam literasi. Di fase ini ia mempraktikkan, mengampanyekan, menggali dan merekomendasikan berbagai buku untuk dipelajari dan digali lagi relevansinya, termasuk buku tua yang mungkin terlupakan.

Adew adalah generasi yang menyaksikan betapa di awal tahun 2000-an beragam variasi gerakan literasi mudah tumbuh di kalangan muda, meski kadang-kadang cepat layu karena berbagai halangan. Setelah ditempa waktu dan belajar cukup banyak demi perbaikan, sepuluh tahun kemudian kini mereka pelan-pelan tumbuh, mengembangkan peluang, mencoba menghasilkan buah, dan terus terbuka terhadap perubahan.

Yang terasa agak kurang di buku ini ialah tiadanya cuplikan puisi maupun lirik karya Adew sendiri. Bukankah ia sudah naik-turun panggung berkelana dari tempat ke tempat mengutarakan visi dan mencoba menjalankan misinya? Tentu ia punya lirik menggugah untuk disertakan. Barangkali kita harus menunggu sampai Adew merilis album musik sebagai karya selanjutnya. Kelemahan lain ialah ia masih banyak mengutip pemikiran orang lain, terutama dari Barat, alih-alih mencoba mengungkapkan pandangan dengan bahasa sendiri. Padahal di ujung buku ia berniat ingin mengedepankan pemikir Indonesia, karena jelas lebih tahu kondisi masyarakat dan negerinya.

Buku ini dengan baik merekam dinamika gerakan literasi di Bandung, kota tempatnya tumbuh. Ia patut dirayakan siapapun yang peduli maupun terlibat langsung dengan isu literasi, para pelaku industri buku, untuk memikirkan pengembangannya agar lebih massif dan kreatif.[]

Anwar Holid, editor, tinggal di Bandung.

Monday, July 07, 2014



PANDUAN SIMPEL PEMILU PRESIDEN 2014

Oleh Anwar Holid*

pertama-tama, ayo samakan dulu suaranya sodara-sodara:
yang coblos no. 1 nadanya doooooo
yang coblos no. 2 nadanya reeeeee

yang suka kecap, coblos no. 1
yang suka runner up, coblos no. 2

yang masih percaya pada ide bapak reformasi amien rais, coblos no. 1
yang lebih percaya pada ucapan jenderal purnawirawan wiranto, coblos no. 2

yang mau bareng jemaat daarut tauhid, persis, dan salman, coblos no. 1
yang mau ikut bareng jemaat driyarkara, tempo, dan komunitas salihara, coblos no. 2

yang ngerasa suka rhoma irama dan ahmad dhani, silakan coblos no. 1
yang ngerasa lebih cocok sama slank, silakan coblos no. 2

yang mau ikut aa gym, ridwan kamil, dan maman abdulrahman, coblos no. 1
yang mau ikut magnis suseno dan goenawan mohamad, coblos no. 2

yang bersimpati pada islam versi gerakan pks dan fpi, ayo pilih no. 1
yang suka pada islam versi gerakan jil dan tafsir musdah mulia, ayo pilih no. 2

yang gak suka surya paloh, pilih no. 1
yang gak suka arb, pilih no. 2

yang lebih suka anis m., coblos no. 1
yang lebih suka anies b., coblos no. 2

yang tetap ingin jokowi jadi gubernur dki, coblos no. 1
yang mau ngedukung ahok jadi gubernur dki, coblos no. 2

yang merasa salut terhadap loyalitas fadli zon pada prabowo, coblos no. 1
yang merasa salut terhadap loyalitas jokowi pada megawati, coblos no. 2

yang optimistik pada masa depan, percaya bahwa waktu itu menyembuhkan dan kesempatan untuk maju, coblos no. 1
yang traumatik pada masa lalu, takut kerusuhan, penculikan, dan kebebasan berekspresinya diberangus, coblos no. 2

Gambar dari Internet

* Anwar Holid, rakyat jelata apolitis bebas merdeka.

Tuesday, May 06, 2014

Kriteria, Inspirasi, dan Masalah Menulis
--Anwar Holid


Jujur saja, sekarang ini aku rada sungkan setiap kali diminta jadi guru menulis. Aku suka malu berusaha menyemangati orang lain menulis dan berbagi ilmu kepenulisan, padahal aku sendiri punya masalah dengan motivasi dan disiplin, pernah mengecewakan pemberi order, punya wanprestasi, banyak draft tulisan masih berlepotan, editan atau revisi naskah belum beres, dan kesulitan menyelesaikan berbagai kendala penulisan.

Tapi setiap kali mendapat tawaran, biasanya aku langsung antusias. Ini jelas karena aku memang punya hasrat pada penulisan dan penerbitan. Aku mau berbagi apa saja mengenai hal itu. Aku juga banyak belajar dan dapat ilmu baru dari pertemuan-pertemuan yang aku hadiri, sekalipun statusku ialah fasilitator.

Ketika mengutarakan keberatan, pengundang malah menguatkan. “Ini kan menyampaikan ilmunya, bukan soal teknis. Semua orang bermasalah kok kalau berhadapan dengan pekerjaan, apalagi deadline.” Walhasil, aku mengiyakan. 


Jadi setiap kali diminta jadi guru, aku bersikap sebagai khatib yang rendah hati. Sebenarnya khotbah itu ditujukan buat diri sendiri, untuk belajar dan mendapat ilmu, bersama-sama menekuni semoga yang  didengar bermanfaat, mengantarkan kita pada kebaikan. Bukankah suara dari mulut pasti terdengar lebih nyaring bagi telinga sendiri dibanding telinga orang lain? Saat itulah aku juga belajar, berinteraksi dengan sesama pembaca, penulis, dan orang-orang yang  boleh jadi suatu ketika makin menyuburkan dunia sastra dan industri buku Indonesia. Salah satunya ketika beberapa waktu lalu kawan Aksara Salman ITB bertanya tiga hal soal kepenulisan.

* Apa ada kriteria untuk jadi penulis yang baik dan profesional?
Ciri penulis yang baik ialah dia mampu menyelesaikan setiap proyek penulisan yang menjadi tanggung jawabnya.

Sekadar info, statistik penerbitan di dunia ini menunjukkan betapa kemungkinan seorang penulis mampu mencapai sukses secara komersial ternyata sedikit sekali, apalagi sukses gila-gilaan seperti J.K. Rowling. Coba cari di sekitar kita berapa banyak orang yang hidupnya semata-mata dari menulis? Kalau ada, perhatikan apa yang terjadi dengan dirinya. Apa dia punya rahasia?

Di sebuah workshop penulisan aku pernah dapat nasihat bahwa kalau benar berniat jadi penulis, ingatlah empat poin ini:
1. Bersikaplah realistis. Hidup semata-mata dari menulis itu sulit, bahkan bagi penulis yang sudah terkenal sekalipun.
2. Jangan mudah putus asa oleh penolakan.
3. Milikilah selalu rencana cadangan. Ingatlah bahwa tidak semua orang pada akhirnya bisa menerbitkan karyanya.
4. Memiliki sumber penghasilan yang dapat diandalkan di luar dunia menulis bisa merupakan suatu keuntungan demi menunjang upaya seseorang untuk jadi penulis yang berhasil.

Fakta
Seniorku cerita ada seorang penulis cerita buku anak-anak yang nyaris meninggalkan dunia tulis-menulis dan beralih ke bisnis sablon kaos. Kenapa? Karena menulis sudah tidak menguntungkan buat dirinya lagi. Dia tidak bisa hidup dari menulis. Royalti dari penjualan buku-buku tidak lagi bisa diandalkan, karena datang lama dan jumlahnya pun kecil dibandingkan kebutuhannya. Mendengar kondisi penulis itu demikian, seniorku langsung tergerak untuk menawarinya menulis buku dan memberi uang muka. Semoga buku ini laris, terlebih kalau bisa dibeli pemerintah lewat proyek pengadaan buku, dengan begitu bisa menyelamatkan karir dan penghidupannya. Dia tahu penulis ini berbakat, berpengalaman menulis buku dengan baik. Tapi bakat masih kurang bila sesuatu tidak berjalan sesuai semestinya. Ia harus disalurkan dan diwadahi dengan benar.

Di lain pihak, ada kawan seorang penulis buku anak-anak yang hidup semata-mata dari menulis. Dia tidak punya pekerjaan lain di luar menulis, selain mengurus kolam dan kebunnya. Dia menulis apa pun, dari buku anak-anak bergambar simpel di bawah 50 halaman, sampai menerima order menulis novel dari penerbit. Dari ketekunan, pembelajaran, konsistensi, dedikasi, dan prestasinya di dunia menulis, dia mampu menghidupi keluarga, memiliki kebun dan kolam yang sekaligus diolah menjadi taman bacaan bagi anak-anak warga setempat. Dia pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Nasional, bukunya menang lomba penulisan novel agama di Kementerian Agama, bukunya pernah terpilih sebagai buku terbaik versi IKAPI Pusat.

Dia bilang, ‘Bisa bermanfaat untuk keluarga dan tetangga-tetangga terdekat saja sudah sangat berharga, apalagi kalau kita dianggap bermanfaat bagi bangsa, bagi pembaca yang tidak kita kenal, yang tinggalnya entah di mana, jauh sekali dari kita, namun mereka ikut bahagia karena sama-sama membaca, dapat sesuatu yang berguna dari karya kita.’ Sungguh ungkapan yang rendah hati. Dia tidak peduli hal-hal remeh di luar esensi profesinya. Dia tidak peduli andai namanya tidak dikenal orang atau media massa, tidak peduli karyanya dianggap rendahan, tidak mengurusi skandal sastra yang bakal menghabiskan energi dan waktunya untuk berkarya. Yang penting buatnya ialah dia terus belajar memperbaiki diri, merevisi karya-karya yang masih ditolak, agar pada akhirnya bisa terbit dan menghasilkan manfaat.

Saran
* Berhentilah bila menulis tidak menguntungkan, tidak berguna, atau tidak menjadi hasrat yang sangat kuat buat diri sendiri. Tinggalkan saja. Ada banyak hal lain di dunia ini yang sama-sama menarik untuk dieksplorasi selain menulis. Richard Oh menyatakan, ‘Kamu pasti tak pernah mempertanyakan soal penulisan bila kamu sendiri terdorong untuk menulis. Ia ada di dalam dirimu. Ini rasanya seperti kalau kamu tidak menulis maka ada sesuatu dalam dirimu yang mendadak mau mati.’

Dunia menulis bukan untuk orang yang suka mengandalkan atau mengira bahwa semua ini bisa diambil gratis begitu saja.

* Belajar dari kegagalan. Ambil masukan dari kritik paling pahit yang pernah Anda terima.
Brian Hill dan Dee Power bilang: Kegigihan merupakan kunci utama keberhasilan para penulis sukses.

* Bertanyalah kepada teman dekat yang mau mengkritik terus terang dan jujur,
editor, pembaca kritis, para ahli, atau bagian marketing penerbit kenapa kira-kira tulisan Anda bisa sampai gagal.

* Kalau serius mau jadi penulis profesional, terimalah setiap tawaran untuk menulis. Apa pun jenisnya. Kerjakan sebaik mungkin. Setiap jenis tulisan punya tantangan masing-masing. Dari tantangan itu penulis bisa belajar tentang banyak hal, seperti cara mengatasi masalah menulis, belajar hal baru, mengolah informasi dan data, membungkus fakta, menyampaikan maksud, berkompromi dengan pihak lain, termasuk mencari baru mengungkapkan sesuatu.

 


* Berdasarkan pengalaman, apa saja yang biasanya jadi inspirasi menulis?
Apa saja, dari hal yang sangat sepele seperti membaca surat cinta, soal rapido, pertanyaan simpel dan terdengar bodoh, ngobrol atau dengar cerita sopir, sampai hal-hal yang barangkali di luar pemahaman penulis sendiri, misalnya soal virus, kosmos, membuat opini, budaya, stem sel, atau pengalaman mistik dan mimpi-mimpi yang ajaib.

Inspirasi bisa datang begitu saja, terus menghantui untuk segera dituntaskan, atau malah langsung disodorkan ke hadapan penulis, entah lewat order, setelah ngobrol seru dengan kawan, baca buku, nonton film, dengar album musik yang hebat dan menggugah. Juga dari semua denyut kehidupan.

* Masalah apa yang sering muncul dan dialami penulis? Apa solusinya?
Penghalang terbesar penulis ialah kemalasan. Buktinya adalah aku sendiri. Ada berapa proyek penulisan yang gagal, ada berapa editan yang tidak selesai,  berapa banyak draft yang belum beres atau akhirnya didelete, juga berbagai kesempatan yang batal menjadi keuntungan atau tambahan income.

Kalau penulis berhasil mengalahkan kemalasan, writer’s block hanya jadi cerita, karena penulis seperti akan terus mendapat energi dan inspirasi untuk menyelesaikan tulisan.

Masalah serius lain ialah menemukan/membentuk jalan cerita. Untuk ini penulis harus terus belajar menulis dan mencari berbagai cara untuk menyampaikan maksud dengan jernih, lentur, dan imajinatif. Penulis harus menemukan karakternya sendiri, ciri khasnya. Untuk bisa menuturkan cerita tulisan yang bisa membetot pembaca, terus memukau dari awal hingga akhir jelas butuh teknik tertentu, inovasi, eksperimen, pengulangan, bolak-balik, kalau perlu berguru secara khusus kepada penulis senior atau guru menulis.

Obat mujarabnya? Bawa terus notes. Catat yang mau ditulis. Keep your hand moving!

--Anwar Holid, dulu ikut SKAU---unit pendahulu Aksara Salman ITB. Sekarang editor di Penerbit Rosda Bandung.

Wednesday, April 30, 2014

Jalan trotoar bertudung.
Keseimbangan.
Morning glory. Golden dots.
Tempat sampah.
Grafiti.
Seri Pacific Hotel.
Apartemen tua.
Stasiun kereta api.
Komposisi.
Bahaya.

Masih di atas awan.
Still life.

Monday, April 28, 2014

Empat Malam di Kuala Lumpur
--Anwar Holid

Seri Pacific Hotel, KL adalah hotel termewah yang pernah aku inapi, bahkan rasanya mengalahkan Hotel Indonesia yang pernah aku inapi bareng Fenfen beberapa bulan setelah kami nikah. Satu hal yang sangat khas di hotel bertingkat tiga puluh ini ialah seluruh ruangannya harum serai wangi, sangat menyegarkan. Bahkan sabun, shampo, dan conditionernya pun beraroma serai.  Kata resepsionis, selain buat aroma terapi, bau itu berfungsi sebagai pengusir nyamuk.

Di hotel ini aku nginep sekamar dengan Toni Kurnia, senior di Penerbit Rosda; di kamar lain ada pak Zam, bosku di penerbit yang sudah berdiri lebih dari setengah abad lalu. Kami ada di sini ikut KLTCC---Kuala Lumpur Trade & Copyright Centre, 22-24 April 2014, yang dinilai sebagai pasar rights penerbitan terbesar di Asia Tenggara. Penerbit Rosda ingin memelihara hubungan baik dengan sejumlah penerbit dan distributor yang telah membeli rights maupun mendistribusikan bukunya, meneruskan bisnis, menambah rekanan, dan mau menjual rights lebih banyak. Aku belajar dari pak Zam dan Toni cara menjalin rekanan dan berusaha mendapat deal. Ke depan Penerbit Rosda berharap aku yang menangani jual-beli rights, termasuk menerbitkan buku English. Rosda di bawah pimpinan ibu Rosidayati ingin melangkah ke beberapa ranah baru yang diharapkan bisa menjawab persoalan perubahan perilaku dan pasar di industri penerbitan, seperti e-book, berkembangnya gadget, dan makin kaburnya batas geografis.

Ngaku saja, yang aku pikirkan sejak sebelum kepergian ialah rasa malu andai gagal dapat deal dari penerbit yang coba kami hubungi, terlebih bila nanti ditindaklanjuti usai acara. Rosda mengeluarkan cukup banyak uang untuk menerbangkan kami ke sini, bahkan membiayai pembuatan pasporku. Tapi memang sulit mendapat deal langsung di tempat. Tawaran terbaik yang pernah aku dapat dari menjual rights ialah co-publishing/edition dari penerbit India. Sementara aku bukanlah seorang penjual alamiah. Mungkin aku seorang negosiator penerbitan, tapi tingkat keberhasilanku tidak menonjol.

Beberapa waktu lalu aku dikritik bahwa cara kerjaku "ngacak". Aku berusaha memperhatikan ini sebagai masukan. Satu hal, aku ingin mencapai progres, kalau bisa signifikan, sehingga ingin bergerak cepat, memajukan naskah, dan menerbitkan buku. Aku gemas kalau progres terhadang oleh hal yang tidak perlu. Progres penerbitan bisa terhalang oleh berbagai hal, salah satunya dari wanprestasi seseorang. Sudah cukup aku pernah dibilang sok perfeksionis atas buku, padahal ingin fleksibel, praktis, mengurangi kerewelan yang malah bisa menghambat progres, dan lebih bersikap mawas diri. Ini susah, apalagi bila caraku menerangkan sesuatu jelek dan sulit dipahami orang. Lebih buruk lagi kalau seseorang malas membantu rekan kerjanya. Kadang-kadang aku merasa ada seseorang tak berniat baik pada orang lain; tapi aku malu mengaku bahwa kinerjaku ada kala sangat buruk dan mengecewakan orang lain. Ini memalukan aku sendiri. Di satu sisi aku mengkritik, padahal tudingan mestinya ditembakkan ke diriku lebih dulu. Aku kesulitan memperbaiki diri sendiri secara konsisten. Aku berbuat salah, tapi sangat susah belajar dari sana. Aku ingin memperbaiki diri namun sangat sulit membuktikan bahwa aku sudah insyaf. Kedengarannya bolak-balik. Aku berusaha memperbaiki karir, tapi perjalanan ke sana ada saja halangannya. Aku berusaha memberi, melakukan, melayani, bekerja sama; meyakinkan orang lain bahwa aku beriktikad baik, konsisten, bisa diandalkan. Tapi ada saja kurangnya. Buruk-buruknya aku suka menyalahkan diri sendiri atas wanprestasiku.

Sejauh ini aku senang dan semangat kerja di Rosda. Aku merasa dapat peran pas dan menantang, yang dalam beberapa hal tidak aku lakukan selama karir dan dari dulu ingin aku maksimalkan. Tapi apa arti semangat kalau tiada hasilnya? Aku tahu persis beda kerja freelance dan terikat. Terlebih ada saja hal yang bisa membuat aku seperti mau patah semangat, entah prasangka buruk atau miskomunikasi. Rasanya aku ingin banyak menyumbang saran, tapi kadang-kadang kuatir itu cuma sok tahu. Penerbit Rosda punya karakter, etos, budaya, dan cara bisnis tertentu yang telah membuat mereka sukses sejauh ini. Tinggal aku hormati dan beradaptasi. Cuma rasanya dalam beberapa hal masih saja ada sesuatu yang membuat aku gemas ingin bilang ini-itu karena tampak sebagai titik lemah. Satu hal: aku pantang menjelek-jelekkan perusahaan atau pelanggan yang memberiku kesempatan dan nafkah. Aku akan mengutarakan sebagai niat baik demi perbaikan.

Dari dulu aku berniat meninggalkan kebaikan atau kenangan baik pada siapapun yang bekerja sama denganku. Aku mau bermanfaat. Aku pikir aku punya bakat dan dianugerahi kemampuan. Aku juga suka belajar. Aku suka mendalami hal baru yang jadi hasratku dan berharap itu bermanfaat, bisa dikembangkan. Tapi di situ juga letak jebakan buatku sendiri, terutama bila aku malah salah memutuskan karena keterbatasan dan kekhilafan. Semoga aku benar-benar belajar.[]

KL, 23 April 2014

Thursday, April 10, 2014

Kedalaman Kubah Tohari
--Anwar Holid


Aku baca Kubah karya Ahmad Tohari waktu mahasiswa. Jelas aku kurang terkesan bila dibandingkan baca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Novel debut beliau ini terbit tahun 1980 oleh Pustaka Jaya, lalu diterbitkan ulang Gramedia Pustaka Utama pada 1995. Buku ini terselip bertahun-tahun di lemariku di antara puluhan buku berukuran kecil, tak pernah dibaca lagi, sampai suatu hari seorang kawan bertanya, "Menurutmu siapa penulis Indonesia yang pantas menerima Hadiah Nobel?"

Aku langsung jawab, "Ahmad Tohari."

"Sepakat! Aku juga berpikiran begitu!" dia berseru.

"Iya, banyak kritik bilang setelah Pramoedya Ananta Toer meninggal Indonesia mestinya punya kandidat lain untuk diusulkan sebagai penerima Hadiah Nobel, dan mereka menyebut Ahmad Tohari."

"Ahmad Tohari tuh rasanya enggak pernah memunculkan dirinya sebagai penulis atau sok menonjolkan pengetahuan dalam novel-novelnya, tapi dia malah mampu menghidupkan tokohnya dengan sangat nyata, karakternya kuat banget. Dia bisa menciptakan tokohnya sangat lugu, sederhana, dengan sangat meyakinkan. Seolah-olah tokoh itu ada. Dia seperti dalang yang hebat banget mendongeng."

"Tuh ini ada noveletnya, Kubah. Bawa aja kalo mau," kataku lalu mengambil dan menaruhnya di meja.

"Ah nanti saja. Aku juga lagi baca buku lain."

Novel itu tergeletak begitu saja. Tapi malah membuatku ingin baca lagi, meski sedang ada buku lain yang sedang aku bawa-bawa. Aku juga sedang kepayahan mengalahkan kemalasan menulis. Ada pendapat bahwa membaca ulang merupakan bentuk rasa bersalah. Aku setuju. Dulu aku baca Kubah dan merasa tidak dapat apa-apa. Beberapa buku yang pernah aku baca dan baca lagi selalu memberi nuansa dan pemahaman baru dan mengesankan.

Cuma butuh beberapa hari perjalanan bolak-balik ke tempat kerja untuk menamatkan novel itu sambil duduk di bus Damri. Selama baca, yang paling kuat terasa muncul ialah intensitas bercerita. Ini yang dulu lenyap waktu aku pertama kali baca. Entah kenapa. Betapa Tohari bisa membuat pembaca tercekam pada situasi batin seseorang atau dia perlahan-lahan membangun ketegangan sampai akhirnya pembaca terengah-engah karena begitu pekat dia menghadirkan konflik, rangkaian kejadian, pembabakan, maupun menyuguhkan klimaks. Ketika sampai di ujung buku, mataku sembab tak kuasa membendung rasa simpati atas nasib seorang manusia bernama Karman.

****
Cover Kubah cetakan pertama.


Karman adalah kader PKI yang menjadi sekretaris Partindo. Orang menghormatinya karena ia bekerja di kantor kecamatan. Menimbang latar belakang keluarganya, aktivis PKI secara tepat dan rahasia memilih Karman, lantas merancang perjalanan karirnya untuk menjadi seorang "priayi". Ia disiapkan untuk membangun kembali partai setelah kegagalan mereka dalam pemberontakan di Madiun. Rencana ini nyaris berhasil andai peristiwa G30S di Jakarta tidak gagal secara prematur dan malah berbalik melalap PKI dan seluruh simpatisannya secara ganas, bahkan dinilai sebagian kalangan tanpa proses hukum dan melanggar HAM. Karman selamat dari amuk massa karena ia ditemukan semaput dari kelaparan dan terserang penyakit dalam persembunyian di pinggir hutan.

Drama dalam Kubah dibuka dari kedatangan Karman ke Pegaten setelah menjadi tahanan politik di Pulau B. Dia memulai hidup baru dengan ragu. Istrinya sudah menikah dengan pria lain, anak-anaknya terlantar dan berisiko dicap 'keturunan PKI', sementara orang yang paling dibencinya masih hidup. Ia dihantui masa lalu, rasa bersalah, dan kehilangan segala-galanya. Peluang optimismenya hanyalah keinginan samar untuk berbuat baik, yang merupakan ciri khasnya sejak kecil. Tabiat inilah yang dulu pelan-pelan dikikis oleh anggota komunis agar dirinya jadi keras, memberontak, bahkan berani mengabaikan Tuhan. Tapi meski begitu kelembutan dirinya tetap tak hilang.

Memang Ahmad Tohari mengisahkan propaganda PKI dengan stereotipe sebagaimana anggapan lama sesuai versi Orde Baru, termasuk kader wanitanya yang 'liar.' Tapi ia menuturkan secara meyakinkan, terutama cara PKI memilih dan mengader anggota, juga menelusupkan ideologi. Tohari menghadirkan kegamangan bekas tapol menghadapi hari tua, merasakan keragu-raguan seorang pesakitan dengan harapan bisa kembali diterima masyarakat secara ikhlas, dengan memaafkan dosa perilaku dan politiknya.

****

Kedalaman semacam itulah yang tak aku dapati ketika beberapa bulan lalu membaca dua novel berlatar fiksi sejarah konflik militer Indonesia karya novelis senior lain. Novel itu enak dibaca, cara bertuturnya memikat, ceritanya mengalir lancar, konfliknya hadir kuat. Tapi sejak awal aku merasa novel itu kurang dalam, seperti baru permukaan. Beliau cuma menempelkan sejarah sebagai latar belakang dan kejadian terhadap drama percintaan tokohnya tanpa menawarkan perspektif baru, temuan atas investigasi baru, atau berniat mengungkap fakta tersembunyi, meski bisa jadi kontroversial.

Mengukur kedalaman cerita itu bagaimana? Gambaran gampangnya begini: Kalau penulis menceritakan luka, terasa oleh pembaca seperti apa perihnya, bagaimana benda tajam itu menembus kulitnya, merusakkan jaringan dagingnya, darahnya mengaliri kulit seperti apa, sakitnya apa tiada terkira, tercium bau anyirnya, membuat indra kita mengalami sensasi, pori-pori melebar dan menonjol, ikut merinding.

Sebuah novel page-turner baru merupakan awal yang baik, tapi belum memberi nilai lebih. Seorang pencerita sewajarnya bisa menyihir pembaca. Pembaca selalu berharap lebih dari upayanya menikmati cerita, bertualang mengikuti jalan cerita, terlibat secara emosional, tergetar oleh pengalaman maupun pergulatan batinnya. Ibarat makan, bikin kenyang itu biasa. Kualitas makanan ada pada taruhan kenikmatan, entah paduan bumbu yang pekat, pengolahan yang pas, pedas yang menyengat, atau penyajian yang memikat.

Kubah memang tidak mengubah pandangan mana karya terbaik Ahmad Tohari. Tapi kita jadi makin tahu betapa dalam rentang karir kepenulisannya yang panjang ia memberi sumbangsih besar pada sastra Indonesia. Pengabdian dan karyanya pantas dihargai, dengan cara apa pun. Entah memperkenalkannya kepada pembaca lebih luas, kalau perlu sampai ke luar negeri, atau dengan membaca ulang secara lebih hati-hati.[]

Anwar Holid, editor, bekerja di Rosda International.

Wednesday, January 29, 2014


Poster dukungan Rumah Amal Salman ITB untuk Gerakan Jaket Untuk Tukang Becak -#JUTB.

Silakan, donasi berupa jaket, jas hujan, maupun uang bisa diserahkan ke Rumah Amal Salman ITB, Jl. Ganesha No. 7 Bandung.

No. rekening: 
Bank BNI Syariah no. rek. 700-700-2002 a/n YPM Salman ITB

Bisa juga ke alamat rumah saya:

Anwar Holid
Jalan Kapten Abdul Hamid, 
Panorama II No. 26 B Bandung 40141

No. rekening pribadi:
BCA KCP CIDENG BARAT no. rek.: 3971247183 A/N ANWAR HOLID

(Mohon konfirmasi bila Anda mentransfer.)

Link terkait:
* posting soal gerakan jaket untuk tukang becak - #jutb: http://bit.ly/19wtXjp
* page untuk dukungan Gerakan-Jaket-Untuk-Tukang-Becak-JUTB: http://on.fb.me/Kfmf1d

Thursday, January 16, 2014


[HALAMAN GANJIL]

R1 2014
--Anwar Holid

2014 adalah tahun panas bagi politik Indonesia. Karena itu harap lupakan Piala Dunia 2014 di Brasil. Selain karena kesebelasan nasional kita tak berlaga di sana, barangkali memikirkan persoalan bangsa sendiri lebih penting daripada cuma merasa ikutan pesta di luar lapangan sebagai penonton yang keminter dan suka jajan.

Ayo kita pilih baik-baik siapa yang sebaiknya jadi R1.

Calonnya sudah pada mengemuka. Bahkan dengan percaya diri---kalau bukan bermuka badak---mereka mengiklankan diri, berkampanye, entah secara terang-terangan atau terselubung lewat berbagai taktik dan kesempatan, apa pun istilahnya. Berikut ini barangkali yang sangat kentara:
Wiranto
Prabowo Subianto
Aburizal Bakrie
Surya Paloh
Megawati 
Hatta Rajasa
Rhoma Irama

Dari generasi lebih muda muncul nama seperti:
Sri Mulyani
Gita Wirjawan
Dahlan Iskan
Anies Baswedan
Jokowi

Nama-nama itu membuatku bertanya keras:
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Prabowo Subianto jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Wiranto jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Aburizal Bakrie jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Surya Paloh jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Megawati jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Hatta Rajasa jadi presiden?
Apa hal terburuk yang bakal terjadi di Indonesia bila Rhoma Irama jadi presiden?

Memang kenapa kalau salah satu di antara mereka jadi presiden?
Apa militerisme akan mencengkeram lagi kalau Wiranto atau Prabowo jadi presiden?
Apa radikalisme Islam bakal meraja dan makin intoleran kalau Rhoma Irama jadi presiden?
Apa ekonomi Indonesia bakal langsung moncer kalau Hatta Rajasa atau Gita Wirjawan jadi presiden?
Apa rakyat Indonesia langsung bakal pinter dan pada meraih Hadiah Nobel kalau Anies Baswedan jadi presiden?
Apa kesebelasan nasional Indonesia bakal tembus ke Piala Dunia 2018 kalau Jokowi jadi presiden?

Seorang teman bilang, untuk jadi presiden Indonesia orang harus punya prestasi yang patut dibanggakan dan diandalkan. Aku sangsi dengan pernyataan itu. Ratu Atut yang katanya bodoh saja bisa jadi gubernur Banten dan petinggi Golkar. Megawati yang terlihat lebih suka mesam-mesem dan pemalu aja pernah mencicipi kursi presiden dan kini dia tetap enggak mau ketinggalan kereta.

Katanya untuk jadi pemimpin orang harus punya pengalaman politik yang hebat. Di Bandung entah bagaimana caranya Ridwan Kamil bisa memenangi pilkada, jadi walikota, mengalahkan Ayi Vivananda yang jauh lebih ahli dan senior di pemerintahan, yang sudah tahunan mengurus birokrasi dan masyarakat. Ini membuktikan pendapat itu invalid. Apa Ridwan Kamil menang karena disokong Prabowo Subianto, Gerindra, ormas-ormas, para relawan, dan PKS?

Di luar negeri, penyair, buruh, aktor, penulis, atau pastor bisa menjadi presiden. Apa hal seperti itu bisa terjadi pula di Indonesia? Kalau seperti itu, aku berharap Yusi Avianto Pareanom jadi presiden, semoga dengan begitu dunia literasi kita lebih menjanjikan.

Sebenarnya bukan itu yang benar-benar jadi perhatianku. Siapapun presiden Indonesia, terbukti kurang pengaruh buat kemaslahatan bersama. Mungkin di sini poinnya: pemilihan presiden nanti akan membawa perbaikan atau keterpurukan? Makanya kita perlu hati-hati, lepas dari semua janji para kandidat. Contoh simpel: meski suka bilang prihatin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono malah terbukti berkali-kali mencederai hati masyarakat, entah dengan menaikkan harga BBM, kasus korupsi yang menyerempet partai dan anaknya, juga sikapnya yang dinilai lamban dan lembek.

Jujur saja aku lebih kuatir tahun panas politik Indonesia demi mencari seorang presiden malah menghabiskan energi, pikiran, konsumsi, dana, sehingga membuat kita hilang akal dan jadi mengabaikan banyak agenda penting dan utama yang mestinya lebih dulu dibereskan. Contoh:
* Persiapan Indonesia jadi Guest Of Honor Frankfurt Book Fair 2015 yang menurut berbagai pihak masih berantakan, enggak jelas, termasuk soal dana dan belum ketahuan Indonesia mau ngapain di peristiwa paling besar industri perbukuan dunia itu.

* Persoalan korupsi parah yang malah kerap berubah jadi komoditas politik berlarut-larut, bukan dibereskan tanpa tedeng aling-aling, mendasar, dan tuntas.

* Kesejahteraan sosial. Kalau tukang becak enggak bisa beli jas hujan, lapak kaki lima bikin kumuh jalanan, gerobak jualan berserakan di pinggir jalan, kondisi bus kota dan angkot mengkhawatirkan, sampah numpuk di mana-mana, pencemaran lingkungan, itu artinya kita masih punya masalah sosial parah. Jangankan tingkat nasional, di tingkat lingkungan sekitar rumah dan kota saja terlalu kentara.

Bisakah hal-hal seperti itu beres sebelum SBY mengakhiri masa kepresidenannya? Aku sangsi. Soalnya aku tahu manusia terbukti mudah berkelit dari prasangka dan gampang menghindar dari prediksi. Itu sebabnya kontes mencari seseorang jadi R1 2014 jadi penting, lebih penting dari Piala Dunia.[]

Anwar Holid, berprofesi sebagai editor, penulis, dan publisis.

Wednesday, January 15, 2014


[Resensi Buku]

Islam, Budaya, dan Pendidikan

Peresensi: Imam Jahrudin Priyanto
Media: Pikiran Rakyat, Rabu, 8 Januari 2014

Sebagai ilmuwan, Profesor A. Chaedar Alwasilah sangat rajin menuangkan hasil pemikirannya lewat tulisan, baik di media nasional berbahasa Indonesia seperti Pikiran Rakyat maupun media berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post. Menghiasi tahun 2014 ini dia meluncurkan buku berisi kumpulan tulisan berbahasa Inggris untuk edisi internasional, terutama ditujukan kepada pembaca luar negeri.

Buku berjudul Islam, Culture, and Education: Essay on Contemporary Indonesia ini secara resmi diluncurkan di Gedung Pascasarjana Universita Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, pada Senin, 23 Desember 2013. Pembahas bukunya ialah Deddy Mulyana (Dekan Fikom Unpad) dan Don Faust (Northern Michigan University, AS). Pada Oktober 2013, buku ini juga telah diikutsertakan pada Frankfurt Book Fair, Jerman, yang merupakan pameran buku terbesar di dunia.
___________________________________________________________
INFO BUKU

Judul: Islam, Culture, and Education - Essay on Contemporary Indonesia
Penulis: A. Chaedar Alwasilah
Format: Hard cover; 437 + xxvi hal.
Penerbit: Rosda International, 2014
ISBN: 978-979-692-453-0
Harga: Rp.107.000,- (dalam negeri); US$19,90 (internasional)

Pemesanan: (022) 5200287 atau pemasaran@rosda.co.id
___________________________________________________________

Terdiri dari 78 bab mengenai berbagai topik, buku ini dibagi dalam empat bagian utama, yaitu Down to Earth with Islam, Education, Language Education, dan Culture. Dalam konteks Islam, Chaedar antara lain membahas Pancasila, haji, radikalisme, Ramadan, dan Idulfitri.  Untuk pendidikan, Chaedar membahas pengajaran, kurikulum, pragmatisme, dan kiprah guru. Dalam konteks  kebudayaan, Chaedar antara lain mengupas birokrasi, holiganisme, surat kabar komunitas, korupsi di kalangan akademisi, dan debat presiden. 

Don Faust menilai para pembaca buku ini di berbagai negara akan menjadi saksi betapa pentingnya hasil pemikiran Chaedar. Sementara Lauren Zentz (seorang linguis dari University of Houston, AS) dalam kesaksiannya menulis, Chaedar menyajikan kritik penting yang cerdik (Zentz memilih kata astute ‘cerdik’) menyangkut dunia pendidikan dan pengajaran bahasa di  Indonesia. Disajikan secara jernih dalam bahasa Inggris, buku ini akan menjadi koleksi ilmiah berharga bagi para pencinta ilmu. (Imam JP/”PR”)

Link terkait:
* Reportase launching buku Islam, Culture, and Education: http://bit.ly/19c5j4O
* Info awal buku ini: http://bit.ly/1cVgGzD

Cerita Pendek

Air Mata Debu
--Utomo Priyambodo

Alkisah di suatu zaman, terdapatlah sebuah negeri yang alamnya kaya raya. Segala macam ikan hidup di perairannya. Segala macam tumbuhan tumbuh subur di tanahnya. Namun, sayangnya rakyat di negeri itu tidaklah merasa bahagia hidup di sana. Bahkan sebaliknya, rakyat yang tinggal di sana justru sering bersedih dan bersusah hati.

Konon, di  negeri  tersebut, ada suatu pasukan militer tersendiri yang dibuat oleh jajaran petinggi pemerintah, khusus untuk menangani kesedihan dan kesusahan hati rakyatnya. Pasukan ini terbentuk diawali dengan munculnya fenomena unik pada rakyat yang tinggal di negeri tersebut. Rakyat yang tinggal di sana tiba-tiba saja mulai memiliki kebiasaan janggal ketika mengalami kesedihan dan kesusahan hati. Yakni, apabila mereka menangis akibat kesedihan dan kesusahan hati yang mereka alami, maka akan keluarlah dari mata mereka butir-butir debu, bukan lagi bulir-bulir air mata.

Awalnya, kejadian janggal ini tak menjadi persoalan sama sekali bagi petinggi-petinggi pemerintah berikut para menteri dan rajanya. Akan tetapi, karena kejadian ini merupakan hal yang unik, beritanya kemudian tersebar kepada dunia internasional. Lalu para petinggi pemerintah di negeri itu pun mulai merasa gusar dan malu ketika negeri-negeri lain semakin banyak yang mengetahui bahwat rakyat di negerinya sering menangis, sering bersedih dan bersusah hati. Tentu hal ini akan menjadi sebuah wacana besar yang memalukan apabila media-media massa internasional mulai banyak memberitakan bahwa rakyat di negerinya tidak bahagia. Itu akan menimbulkan anggapan bahwa pemerintahannya tidak cakap dan bijaksana.

Seorang kuli tinta dari negeri tetangga, sebut saja namanya Tarmujo, mencoba memasuki negeri yang terkenal kaya akan sumber daya alamnya itu. Ia berusaha mengumpulkan berita sebanyak-banyaknya dengan menemui langsung rakyat di negeri tersebut.

Tibalah Tarmujo di sebuah dusun yang indah tetapi terasa sendu. Dusun itu dikenal dengan nama dusun Alamsia. Entah mengapa namanya Alamsia, Tarmujo sendiri belum sempat untuk mendalami filosofi dan sejarah dusun tersebut. Ia hanya bisa menebak-nebak, barangkali dinamakan Alamsia karena kekayaan alam yang indah dan melimpah di dusun itu terasa sia-sia saja karena tidak bisa membuat penduduknya bahagia. Tapi itu barulah hipotesis seorang Tarmujo.

Di hari pertamanya tiba di dusun Alamsia itu Tarmujo segera mencoba untuk memawancarai warga penduduk dusun sebanyak-banyaknya. Setiap orang yang ia wawancarai akhirnya secara alami membeberkan berbagai keluhannya terhadap pemerintahan negerinya sendiri ketika itu. Seorang ibu paro baya bahkan sampai menangis tersedu-sedu ketika ia dengan penuh emosional menyebutkan berderet kejengkelannya terhadap pejabat-pejabat pemerintah negerinya. Dan benar saja apa yang tengah menjadi trending topic berita internasional! Ketika ibu itu menangis, keluarlah butiran-butiran debu dari kelopak matanya. Tarmujo benar-benar terkejut, tapi juga iba mendengar keluhan si ibu.

“Coba ya mas, bayangkan! Kok bisa sih ada pejabat di teve yang malah nyuruh rakyat seperti saya ini untuk hidup lebih sederhana lagi?! Hiks...” deru ibu paro baya itu. “Lha wong gak usah disuruh gitu selama ini kami juga udah hidup secara sangat sederhana, bahkan kekurangan. Mana bisa orang kayak saya ini berhura-hura. Lha wong untuk makan saja susah. Ini malah disuruh hidup sederhana lagi. Mbok yo orang susah kayak saya ini dibantu, bukan malah disuruh hidup lebih susah lagi. Kami ini udah biasa hidup prihatin, lebih daripada sederhana. Tanpa disuruh pejabat itu pun hidup kami sudah prihatin.”

Tarmujo melihat butiran debu bergulir dari mata ibu itu. Ia terkesima.

“Gini nih mas kalau kita salah pilih pejabat. Tapi rasa-rasanya saya juga nggak pernah pilih pejabat kayak gitu kok. Pejabat yang saya pilih itu sih yang pernah janjiin kepada penduduk dusun ini untuk selalu memperhatikan dan menolong rakyat kecil seperti saya ini. Tapi saya juga lupa siapa ya kemarin yang saya pilih. Semuanya sama, waktu kampanye semua berjanji akan memperhatikan dan menolong rakyat kecil.”
Tarmujo menawarkan selembar tisu basah untuk si ibu. Itu untuk membasuh butiran-butiran debu yang keluar dari matanya dan yang tersisa di pipinya.
“Ya kalau pejabat itu itu benar-benar pejabat wakil rakyat, seharusnya dia dong yang berkorban untuk kami. Kenapa nggak dia kasih gajinya untuk kamisaja yang rakyat kecil ini?! Setelah itu, seharunya dialah yang mesti belajar hidup sederhana menemani kami.”
Tarmujo mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar juga logika ibu itu, pikir Tarmujo. Secara penuh ia sepakat dengan si ibu.
“Begini ya, mas, saya bukannya kepingin banyak ngeluh, tapi keadaannya emang susah hati buat kami di sini. Mas bisa tanya deh penduduk yang lain, pasti nggak jauh beda sama saya. Kami ini udah gemes banget, selalu dikecewakan oleh janji-janji wakil rakyat sejak dulu-dulu!”

Tarmujo mengulurkan sebuah tisu basah lagi kepada ibu paro baya itu. Butir-butir debu masih melekat di bawah matanya. Alamak, berapapun tisu basah tak akan berguna jika si ibu masih saja menangis.

Berselang tujuh menit, akhirnya tangis si ibu mulai mereda. Berbagai caci maki untuk pemerintah terlontar begitu saja dari lidah si ibu. Lidah yang memiliki saraf motorik yang terhubung oleh otak yang telah mengumpulkan berbagai data dari saraf-saraf sensorik di berbagai bagian tubuh.

Tarmujo cukup senang dengan hari pertamanya di dusun Alamsia itu karena ia telah mendapatkan banyak data hasil wawancaranya dengan sejumlah penduduk desa. Namun, di sisi lain Tarmujo juga merasa sedih dengan keadaan warga dusun yang tidak bahagia di atas tanah yang kaya dengan sumber daya alam melimpah ruah dan indah.

Pada hari kedua, Tarmujo kembali mewawancarai penduduk desa lainnya. Bahkan, ia juga sempat mewawancarai sang kepala desa. Dan alangkah terkejutnya Tarmujo ketika kepala desa di dusun Alamsia ini ternyata buta.
“Maaf pak, apakah Bapak tahu apa saja yang tengah dirasakan oleh penduduk desa bapak?” tanya Tarmujo to the point.
Sang kepala desa yang tunanetra itu tersenyum, “Tentu saja saya tahu, dik. Meskipun saya buta tapi saya masih punya hati untuk bisa merasakan keadaan warga penduduk saya.”
“Kalau saya boleh tahu, sejak kapan Bapak menjadi kepala desa ini? Dan, maaf, sejak kapan bapak tidak bisa melihat?”
Sang kepala desa menghela napasnya beberapa kali. Kemudian beliau mendongakkan kepalanya. Meskipun matanya tak berfungsi lagi, mata beliau terlihat seolah-olah menerawang ke atas dan tampak berkaca-kaca.
“Begini, dik Tarmujo, ketika saya terpilih menjadi kepala desa ini, mata saya masih normal. Hingga kemudian…”

***

Pak kepala desa bimbang menimbang apa keputusan yang akan diambilnya besok. Titah dari pak bupati sudah jelas dan terang. Bukan lagi abu-abu, tapi adalah hitam menurut hati nurani pak kepala desa. Pak kepala desa tidak mau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakini oleh hatinya. Tapi itu adalah titah pak bupati, atasannya, kepadanya dan juga kepada kepala desa lainnya. Mesti bagaimana? Apa bisa ia menolaknya?

Pak kepala desa akhirnya menolak melaksanakan perintah pak bupati. Pak bupati geram. Tak lama akhirnya pak bupati menon-aktifkan pak kades. Tapi pak kades protes. Beliau justru melaporkan segala penyelewengan yang dilakukan oleh pak bupati kepada pihak penyidik. Beliau  membeberkan semua kebusukan pak bupati yang telah dilihatnya, semua kebusukan yang diketahuinya. Pak bupati pun semakin geram. Namun untuk menjaga nama baiknya, pak bupati mengiming-imingi pak kades agar menarik kembali laporannya kepada pihak penyidik dengan imbalan pak kades tak jadi dinon-aktifkan. Pak kepala desa akhirnya kembali menjadi kepala desa. Namun, ternyata, meski tak jadi dinon-aktifkan, pak kades tidak menarik kembali laporannya. Pak bupati tak punya pilihan lain. Di suatu malam ketika pak kades tengah beri’tikaf di sebuah masjid desa, ia didatangi oleh beberapa pria berjubah hitam. Pak kepala desa ditarik ke luar dan kemudian matanya pun ditarik ke luar juga.

“Kau tak bisa jadi saksi mata apa pun sekarang!” gema beberapa pria berjubah itu.

***

“Lalu Bapak melaporkan kejahatan yang dialami bapak malam itu?”
“Tidak bisa, dik. Percuma saja saya melapor, sedang tak ada saksi mata satu pun saat kejadian di malam itu. Dan saya sudah tak bisa lagi menjadi saksi mata untuk kejahatan yang saya alami sendiri.” Pak kades terlihat murung. Meski kelopak matanya tertutup kaca mata hitam, Tarmujo bisa merasakan kegelapan dan kesedihan yang begitu mendalam dari dirinya.

Tiba-tiba dari balik kaca mata hitamnya keluarlah butiran-butiran debu.

“Sayalah orang pertama di dusun ini, bahkan mungkin di negeri ini, yang mengeluarkan debu ketika menangis. Mungkin itu karena saya tak bisa menghasilkan air mata lagi sebab mata saya telah tercerabut, jadilah Tuhan menggantikannya dengan debu-debu.”
Tarmujo sangat kaget mendengar hal itu.
“Sangat perih, dik. Menangis dengan mengeluarkan butiran debu itu sangat perih rasanya. Gesekan butiran debu pada kelopak mata itu sangat perih. Apalagi kalau saya masih punya bola mata yang bergesekan dengan butiran debu-debu kasar yang memaksa keluar. Tak sehalus air mata, dik. Pasti warga saya sangat perih merasakannya.”

Tarmujo kembali tercengang. Ia baru saja menyadari tentang keperihan yang lebih besar yang ditimbulkan oleh butiran debu dari mata itu.

“Kalau saya bisa mengendalikan mata saya ini, tentu saya memilih untuk tidak menangis saja karena rasanya sangat perih. Begitupun dengan warga saya, pasti mereka juga memilih seperti itu. Tapi sering manusia seperti kita ini tak bisa lagi menahan kesedihan yang berat dalam hati. Terkadang kita perlu melepaskannya. Kita perlu meluapkannya juga seperti anak kecil cengeng minta permen atau bayi kecil yang lapar.”

Tarmujo mengangguk-angguk, tanda dapat memahami maksud pak kepala desa.
Hari semakin senja. Langit semakin gelap, mungkin juga segelap dengan apa yang dilihat oleh pak kades di setiap waktu dalam hari-harinya saat ini.

Tarmujo pamit pulang. Besok ia akan berangkat ke dusun lain atau bahkan ke pusat kota. Wawancara dengan penduduk dusun ini sangatlah mengharukan dan membuatnya sendu. Semalaman ia tak bisa tidur terngiang-ngiang oleh cerita pak kepala desa kepadanya.

Apa jadinya bila penduduk di negeriku sana, termasuk aku, juga menangis mengeluarkan butiran debu seperti penduduk di negeri ini? Syukurlah air mata kami masih normal dan masih bisa berbahagia, batin Tarmujo sendu.

Pagi menguning, matahari mulai ke luar dari selimutnya. Tarmujo telah siap dengan ransel perjalanannya. Ia akan segera pergi meninggalkan dusun Alamsia itu. Ia pamit kepada setiap penduduk desa yang dijumpainya. Bus menuju kota ia naiki dan hening kemudian menggelayuti perjalanannya. Hanya deru mesin dan sesekali klakson kendaraan yang mengiringi senyap pikirannya.

Keadaan kota di negeri itu ternyata sangat berbeda dengan keadaan desanya. Di kota Tarmujo melihat segala sesuatunya serba cepat, kecuali macet kendaraan di jalannya. Setiap orang terlihat bagai diburu waktu. Semua tergesa-gesa. Semua terburu-buru. Seolah-olah setiap orang ingin melakukan semua hal dalam satu hari itu. Tarmujo kemudian melihat sebuah gedung tinggi yang seolah berpuncak emas. Apakah itu emas sungguhan? Mubazir sekali kalau emas sebesar itu justru dijadikan bahan bangunan, pikir Tarmujo. Lebih baik kalau emas itu dijual saja dan diberikan untuk kesejahteraan desa Alamsia, pikir Tarmujo lagi. Ah, gedung-gedung dan rumah-rumah bertingkat yang lain di kota ini juga terlalu mewah menurut Tarmujo. Menurutnya, seharusnya dibuat sederhana saja, dan sisa uangnya disumbangkan untuk penduduk Alamsia. Mereka lebih membutuhkan.

Tarmujo membeli sebuah surat kabar di pinggir jalan. Ia membaca: "Mulai hari ini pemerintah melarang setiap penduduk untuk menangis, terutama bagi yang berusia di atas 17 tahun.” Apa-apaan ini? Menangis itu kan manusiawi. Peraturan yang tak masuk akal! Hujat Tarmujo dalam hati.

Di halaman lain di koran yang dibelinya, Tarmujo membaca: “Pasukan khusus anti tangis mulai memasuki desa-desa.” Dan di halaman lain tertulis: “Sidak tangis butiran debu mulai diberlakukan hari ini. Yang tertangkap muka telah menangis akan dihukum.” Apa lagi ini? Negeri macam apa yang melarang dan menghukum orang yang menangis?

Tarmujo mengeleng-gelengkan kepalanya semakin sering. Ia melihat seorang bapak di sebelahnya juga menggeleng-gelengkan kepalanya ketika membaca koran yang sama.
“Pemerintah guoblok! Kok orang nangis yang kena hukum? Harusnya orang korup yang dihukum!” hujat bapak itu dengan suara yang cukup keras hingga membuat orang-orang di sampingnya, termasuk Tarmujo, menoleh kepadanya. “Edan! Edan!” cerca bapak itu lagi.
Tarmujo tersenyum geli. Namun selain itu ia pun tersenyum senang karena menemukan seorang penduduk negeri ini yang memiliki permikiran serupa dengannya. Tarmujo kemudian bertanya kepada loper koran di hadapannya, di mana lokasi gedung istana kerajaan maupun gedung parlemen kerajaan berada. 

Kedua tempat itu kemudian Tarmujo datangi. Namun sayang, ia tak bisa memasuki satu pun gedung yang telah didatanginya. Kedua gedung itu sama-sama dijaga ketat oleh penjaga-penjaga bersenjata berwajah kaku. Layaknya robot tentara yang tak kenal negosiasi dengan siapapun. Bahkan mungkin tak kenal kompromi dengan apa pun.
Tarmujo agak kecewa. Progres tugas kewartawanannya hari ini dapat dibilang hampir nol. Hanya sepotong berita koran yang ia dapatkan. Ia tak bisa mewawancarai narasumber satu pun secara langsung. Ia benar-benar ingin menemui salah seorang pejabat tinggi negeri itu.

Senja telah berganti. Malam mulai menyelimuti. Tarmujo rindu pada negeri asalnya. Negeri yang sederhana, tapi suasananya menenteramkan hati. Tidak kaya raya, tapi tak ada kesenjangan sosial yang tinggi. Semua orang bisa merasa damai dan mengekspresikan perasaannya secara bebas juga bertanggung jawab.

Malam itu ia menginap di sebuah losmen melati yang dari kamarnya ia tak sengaja mendengar desahan dan erangan sepasang muda-mudi di kamar sebelah. Di sisi satunya ia mendengar gema tawa dan dentingan botol yang menyelinginya. Ah, betapa tak damai hidup di antara kemaksiatan seperti ini. Pantas saja kalau negeri ini jadi tak tenteram.

Tarmujo jadi banyak membandingkan negerinya dengan negeri yang sedang dikunjunginya itu. Negeri yang ia kunjungi sebenarnya sangatlah kaya raya. Namun, kekayaan yang dimilikinya hanya dapat dinikmati oleh sebagian orang, bahkan mungkin sangat segelintir.

Malam itu Tarmujo jadi banyak merenung dan berpikir. Ia sudah tak pedulikan lagi suara-suara kemaksiatan yang terdengar dari kamar-kamar sebelah. Ia banyak bersyukur dengan negeri yang dimilikinya di seberang sana. Sederhana saja, tapi bersahaja. Toh buktinya tidak selamanya kaya raya itu berarti bahagia. Yang lebih penting ternyata adalah nilai-nilai kesahajaan. Tak lama kemudian akhirnya mata Tarmujo benar-benar terpenjam oleh cahaya bulan. Lampu kamar telah lama padam. Cahaya bulan yang menembus jendela kamarnya yang terbuka pun akhirnya justru membantu mata Tarmujo lebih cepat terpejam.

***

“Berita besar! Berita besar! Ada kabar bahwa semalam sang raja menangis!”
Tarmujo secara refleks langsung menoleh ke arah sumber suara.
“Berita besar hari ini! Raja menangis!” teriak loper koran itu lagi.
“Mas, saya mau satu,” ujar Tarmujo yang kemudian dilanjutkan dengan transaksi jual-beli surat kabar tersebut.

Loper koran itu tidak berdusta. Koran memberitakan dan memperlihatkan sebuah foto bahwa raja negeri ini kedapatan sedang menangis. Tidak disebutkan dari mana sumber foto tersebut. Hanya dituliskan bahwa sang pemotret adalah fotografer rahasia yang menyamar dalam kerajaan.

Semangat jurnalisme Tarmujo kembali membara. Ia bertekad harus dapat mewawancari salah satu penghuni istana, siapapun orangnya. Langkah kaki Tarmujo mulai mengayun ke arah istana kerajaan.

Namun, seperti biasa pengawal istana menjaga ketat gerbang dan melarang masuk siapapun orang tanpa janji dengan raja, termasuk Tarmujo. Tarmujo tidak lantas putus asa. Bila tidak bisa masuk istana, berarti ia harus menunggu raja ke luar dari istana. Tarmujo menunggu dan mengawasi istana dari sebuah kedai kopi pinggir jalan dekat istana. Lama berselang masih juga tak ada perubahan lanskap dari gerbang depan istana tersebut, kecuali matahari digantikan bulan dan penjaga istana yang berganti orang.
Tarmujo mulai merasa bosan dan mengantuk meski kopi bergelas-gelas telah ia minum. Hampir saja Tarmujo tertidur hingga kantuknya seketika hilang ketika ada berita dari radio di kedai kopi tersebut.

“Paduka raja bukan menangis biasa. Adalah sebuah anugerah dari tangisan paduka raja dapat ke luar berbutir-butir mutiara.”
Tarmujo menganga.
“Demikianlah kilas berita kali kini. Selamat menikmati kembali tembang-tembang plihan kami.”
Orang lain yang berada di kedai kopi tersebut juga dibuat heboh oleh berita barusan. Mereka langsung membahasnya. Satu per satu pengunjung menambah pesanan kopi. Tampaknya mereka memutuskan singgah lebih lama lagi di situ. Lebih lama lagi mengobrol, sebab tiba-tiba muncul topik yang sangat menarik untuk dibahas. Tarmujo ikut mendengarkan saja. Ia merasa kurang sopan jika ikut nimbrung dan memotong pembicaraan orang lain, sebab ia bukan penduduk asli. Mengapa paduka raja mengeluarkan butiran mutiara ketika menangis, sedangkan rakyatnya mengerluarkan butiran debu? Pertanyaan menjalar dalam dada Tarmujo. Ia semakin penasaran untuk bisa memasuki areal istana dan mewawancarari salah satu penghuninya, bahkan kalau bisa sang paduka raja.

“Walah dalah, ajaib sekali raja bisa nangis mutiara.”
“Iya, ya. Coba kalau kita juga bisa nangis mutiara, bisa kaya mendadak kita semua!”
“Mudah-mudahan mutiara yang ke luar tidak dinikmati sendiri ya.”
“Iya banget lah. Setuju!”
“Eh tapi kalau raja nangis, beliau kena hukuman juga enggak? Kan beliau sendiri yang buat peraturan dilarang menangis bagi orang dewasa.”
“Iya, ya. Kecuali kalau beliau kebal hukum.”
“Eh sampeyan bukan warga sini ya?” tanya seorang bapak paro baya kepada Tarmujo. Bapak tambun itu agak curiga melihat gerak-gerik Tarmujo yang mendekati kerumunannya dan menguping obrolan mereka.
“Eh, iya, pak. Saya dari negeri seberang. Perkenalkan nama saya Tarmujo,” jawabnya ramah.
“Oh, begitu. Sampeyan kalau mau gabung nimbrung aja sini jangan malu-malu.”
“Oh iya, pak. Makasih.” Tarmujio segera memindahkan posisi duduknya.
“Sampeyan lagi ngapain ke sini?”
“Tugas reportase, pak.”
“Ohhh... wartawan?”
“Begitulah, pak.”
“Mau liput berita apa?”
“Tentang air mata debu, pak.”
“Yah sekarang sih sudah enggak zaman berita soal air mata debu. Udah heboh air mata mutira, boy!”
“Iya, pak. Saya juga barusan dengar beritanya.”
“Oh, terus sampeyan sampai daerah sini mau pergi masuk istana?”
“Rencananya begitu, tapi enggak diperbolehkan oleh penjaga istananya.”
“Ya memang begitu. Ha ha ha...”

Malam itu Tarmujo begadang di kedai kopi dan ketika subuh ia tertidur hingga jarum jam pendek dan panjang membentuk siku-siku pada angka 9 dan 12.
“Sampeyan sudah bangun toh mas?” tanya bapak tua pemilik kedai.
“Bapak-bapak yang lain mana, pak?”
“Ya, sudah balik, mas. Mereka kan punya keluarga dan mesti kerja juga pagi-pagi gini.”
“Lha semalam kan mereka begadang bareng saya juga, pak?”
“Ya tapi kalau enggak kerja keluarganya mau dikasih makan apa? Kata orang bule mah play hard work harder.”
“Oh iya, pak, kantor polisi dekat sini di mana ya?”
“Ada apa, mas? Kehilangan barang?”
“Oh enggak, saya mau mewawancarai polisi saja.”
Si bapak tua kemudian menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah jalan panjang yang membentang di depan kedai, dan membelok-belokkan tangannya beberapa kali. Tarmujo cepat mengerti penjelasan lokasi darinya. Ia pun pamit dan bayar kopi yang dia pesan beberapa kali dan kacang yang bertali-tali.
“Terima kasih ya pak kopi dan kacangnya.”
Baru saja Tarmujo ingin melangkahkan kaki ke luar, sebuah berita berkumandang dengan merdu. “Kilas berita pagi ini. Beberapa pejabat istana kedapatan menangis di ruang kerja. Tidak diketahui penyebabnya. Seorang pejabat mengaku dirinya sendiri tak mengerti kenapa menangis. Beliau hanya merasa tiba-tiba ingin menangis. Demikian kilas berita kali ini, terima kasih.” Berita itu membuatnya berdiri diam terpaku di depan pintu tak berdaun ke luar kedai. Hanya ada rangkaian bambu memanjang di kedua sisi, memberi celah yang membuatnya layak dianggap sebagai pintu ke luar-masuk.

Berita selesai berkumandang; Tarmujo segera melenggang. Akhirnya pintu keluar itu ia lewati. Tarmujo tampak begitu bersemangat; si bapak tua pemilik kedai hanya tersenyum dan menggangguk.

***

“Selamat siang, pak. Saya Tarmujo dari Daily Newspaper. Dapatkah saya mewawancarai salah seorang pejabat kepolisian di sini terkait dengan aturan larangan menangis?” tanya Tarmujo kepada seorang berseragam polisi.
“Oh, saya bukan petugas kepolisian di sini, mas.”
“Tapi bapak pakai seragam polisi?”
“Apa orang yang pakai seragam timnas sepakbola lantas disimpulkan pasti seorang pemain timnas?”
“Ehm. Ya, belum tentu, pak.”
“Ya, begitu pun seragam polisi.”
Bapak itu kemudian segera berlalu. Tarmujo menemui seorang bapak lain yang berseragam polisi juga.
“Selamat siang, pak. Saya Tarmujo dari Daily Newspaper. Dapatkah saya mewawancarai salah seorang pejabat kepolisian di sini terkait dengan aturan larangan menangis?”
“Oh, saya sekarang tidak sedang bertugas, mas. Saya sedang cuti.”
“Tapi bapak pakai seragam polisi?”
“Iya, saya belum melepasnya. Sebab baru tadi saya ambil surat cutinya.”
“Bapak bisa memberi rekomendasi siapa yang sebaiknya dapat saya temui?”
“Wah, rekan saya yang sedang bertugas di kantor ini sepertinya sedang sibuk semua. Lebih baik mas buat janji dulu.”
“Bagaimana saya bisa membuat janji kalau tak bisa menemui satu pun polisi di sini?”
“Ya, kalau mas mau janjian dengan saya, saya mau kok diwawancarai setelah cuti saya selesai.”
“Kapan itu pak?”
“Tiga bulan lagi.”
“Tidak, pak. Terima kasih,” jawab Tarmujo dan kini ialah yang berlalu.

Dua anggota polisi atau tepatnya dua orang berseragam polisi yang Tarmujo temui barusan benar-benar telah membuat hatinya jengkel. Di negaranya, polisi sangat ramah dan sangat melayani. Entahlah, ia kembali merasa rindu pada kampung halaman di negeri seberang darinya sekarang.

Hampir saja ia menjauh pergi dari kantor polisi, namun teringat akan tugasnya. Ia harus menyelesaikan tugas ini dengan segera agar dapat segera pula pulang kampung, ke negeri halaman tercinta.

Ia berbalik lagi. Sepatu tracking-nya mendecit. Kantor polisi kembali ia masuki. Di sana ada beberapa polisi. Dengan sedikit memilih berdasarkan perasaan, Tarmujo menghampiri petugas berkaca mata dan berkumis tipis, serta tampak sedikit sudah tua.
“Selamat siang, pak. Saya Tarmujo dari Daily Newspaper. Dapatkah saya mewawancarai salah seorang pejabat kepolisian di sini terkait dengan aturan larangan menangis?”
“Kebetulan komandan saya tidak sedang di tempat. Tapi kemungkinan jam satu nanti beliau akan datang. Kalau mas mau menunggu, silakan duduk-duduk dulu di sini,” jawab bapak itu ramah. Tarmujo senang melihat keramahan senyum dan suaranya. Namun, ia kurang senang harus menunggu tiga jam lebih hingga pukul satu nanti.
“Baik, pak. Saya akan menunggu di sini. Kalau boleh tahu siapa nama bapak?”
“Saya Muhaimin.”
“Mungkin bapak tahu kenapa tiba-tiba ada peraturan larangan menangis di negeri ini?”
“Saya tidak berani menjawab, mas. Saya bukan petinggi kepolisian. Tidak pantas.”
“Oh, baik pak. Mungkin kita ngobrol yang lain saja.”
“Ya, itu lebih baik, mas. Terkadang kita perlu ngobrol di luar hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan toh. Biar bisa bikin pikiran lebih awet muda.”
“Ha ha ha, bapak bisa saja.”
Tarmujo tersenyum menyeringai, sedikit merasa tersindir juga. “Ngomong-ngomong bapak sudah punya anak berapa nih?”
“Wah, saya malah udah punya dua cucu, mas. Tahun depan saya sudah mesti pensiun juga.”
Pantas kelihatan sudah sedikit tua, pikir Tarmujo. Namun, masih termasuk lebih awet muda juga untuk ukuran orang berusia yang tahun depan sudah harus pensiun kerja, 54 tahun.

Tanpa terasa sudah dua jam Tarmujo mengobrol dengan si bapak. Memang benar kata temannya yang seorang psikolog, bahwa orang yang usianya telah menginjak masa tua akan senang sekali bicara dan bercerita. Mereka yang menginjak masa tua sangat senang bila ada seseorang mau mendengarkan obrolannya, mendengarkan ceritanya.

“Kilas berita kali ini. Gelombang massa yang cukup banyak memadati depan gedung istana. Menurut pengakuan salah seorang di antara massa tersebut, mereka berniat untuk berunjuk rasa menuntut kesamaan hak dan kedudukan dalam hukum.”
Percakapan antara Tarmujo dengan pak polisi yang agak tua tadi terhenti.
“Hal ini dipicu oleh berita tentang banyaknya pejabat istana kedapatan menangis, namun tak satu pun dari mereka mendapat hukuman. Demikianlah kilas berita kali ini.”
“Itu juga yang ingin saya tanyakan dalam wawancara saya, pak,” ungkap Tarmujo.
“Huss! Jangan bicara soal pekerjaan lagi, mas,” potong pak polisi tersebut.
“O iya, maaf pak.”
“Mas Tarmujo sudah menikah?”
“Belum, pak.”
“Saya dulu tuh ketika seusia mas Tarmujo sudah menikah lho. Waktu dulu...”
Si bapak polisi itu pun mulai kembali menceritakan kisah hidupnya. Tarmujo kembali menyimak, meski terkadang ada yang diulang-ulang. Mungkin cerita itu memang demikian sangat berkesan dalam ingatan si bapak, atau mungkin ia lupa pernah bercerita sebelumnya. Tarmujo tertawa dalam hati apabila hipotesis kedualah yang benar.

Jam dinding di ruangan itu sudah menunjukkan pukul satu lebih lima menit. Tarmujo menanyakan kegusarannya.
“Pak, komandan bapak belum juga datang ya? Padahal sudah jam satu ini.”
“Ah, iya mas. Tadi sih kabarnya jam satu beliau sudah akan datang ke sini lagi.”
“Memangnnya beliau sedang apa pak?”
“Tadi ada rapat koordinasi kepolisian pusat. Seluruh jajaran petinggi kepolisian dikumpulkan oleh panglima satu.”
“Wah, pasti ada sesuatu yang sangat besar untuk dibahas dalam skala rapat demikian besar itu ya, pak?”
“Ya, begitulah. Mas kan sudah dengar sendiri juga masalah yang sedang in di negeri ini.”
“Oh terkait berita tadi, pak?”
“Ya begitulah,” kata si bapak pelan. “Eh, kok jadi ngomong pekerjaan lagi ya?” ungkitnya sendiri.
“Sepertinya manusia seperti kita memang enggak bisa, dan sebaiknya memang tidak, saling membatasi bahan obrolan, pak. Mengalir saja, ikuti naluri lidah dan pikiran kita. He he he,” ujar Tarmujo.
Gantian. Kali ini polisi itulah yang terperangah.
“Mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan, menceritakan apa yang ada di pikiran itu, tanpa dibatas-batasi, bisa membuat kita lebih awet muda toh, pak?” tandas Tarmujo lagi.
Si bapak akhirnya menangguk-angguk.

Hingga petang, komandan polisi yang ditunggui Tarmujo tidak kunjung datang. Tarmujo pun memilih beranjak pergi. Pak polisi itu merasa rikuh kepadanya yang menunggu selama itu namun tak mendapatkan apa yang ditungguinya. Tarmujo juga merasa sungkan mesti pergi, padahal pak polisi itu terlihat masih ingin mengobrol lebih banyak lagi dengannya. Orang baik memang sering sama-sama merasa tidak enak kepada orang lain.

Malam itu Tarmujo kembali menginap di losmen melati semula. Tak ada pilihan lain karena itu losmen termurah yang ia temui sepanjang perjalanannya. Malam itu ia kembali mendengar desahan muda-mudi dan dentingan botol berkali-kali. Cukup bersikap tuli dan pejamkan mata hingga seluruh tubuh terlelap sendiri, itulah yang dilakukan Tarmujo.

Matahari kembali bersinar dan hari berganti pagi dengan sendirinya seperti biasa. Mata Tarmujo terbuka sendiri pula. Ia tak pernah mengatur sendiri kapan matanya harus terbuka setelah tidur. Bisa saja dini hari, pagi, siang, atau bahkan tidak akan terbuka lagi. Ada hal-hal yang memang senantiasa terjadi sendiri, tanpa manusia bisa menguasainya.

Hari ini Tarmujo pergi ke depan area istana. Berita mengabarkan akan ada demo lebih besar dibanding kemarin di sana. Tarmujo tidak akan menyia-nyiakan kesempatan meliput gelombang unjuk rasa itu. Kemarin hanya ia habiskan untuk menunggu komandan polisi yang tak jelas siapa dan tak kunjung datang pula. Kali ini ia memilih melakukan sesuatu yang bisa ia kontrol sendiri variabel kepastiannya. Komandan polisi yang akan datang atau tidak bukanlah variabel yang bisa ia kontrol sendiri. Itu variabel bebas. Hari ini Tarmujo memilih melakukan hal yang masih ada dalam variabel terkontrolnya sendiri, bukan variabel terkontrol orang lain. Ia akan meliput hal-hal yang memang bisa diliput segera di hari itu.

Pepatah lama memang sering benar. Hal terbaik dalam hidup seseorang adalah ketika ia secara pribadi mampu menentukan nasib sendiri. Mampu mengontrol hidup sendiri. Tidak dikontrol orang lain.

Tarmujo sudah sampai di depan gerbang istana kerajaan. Ternyata pendemo masih sepi. Tapi di ujung jalan seberang istana sudah berkumpul beberapa orang yang tampaknya bakal jadi peserta demo. Mungkin mereka sedang menunggu teman-teman mereka. Di balik gerbang sudah berkumpul sekitar seratus aparat kepolisian yang siap mengamankan istana. Di seberang jalan ada juga beberapa orang yang siap dengan kamera besar maupun kecil beserta mikrofon dan buku catatan kecil lengkap dengan pena atau pensil. Mereka orang seprofesi Tarmujo.

Tarmujo merasa lapar. Tadi ia buru-buru berangkat hingga melewatkan sarapan. Sambil menunggu gelombang demonstran datang, Tarmujo pergi agak menjauh dari depan istana menuju warung gerobak ketoprak.
“Mau ikut demo juga, mas?” tanya si bapak penjaja ketoprak.
“Ah, enggak kok pak,” bantah Tarmujo.
“Oh berarti mas ini pasti wartawan.”
“Kok bapak bisa langsung menebak seperti itu?” tanya tarmujo heran.
“Di negeri ini kalau sedang ada demonstrasi, hanya ada dua kelompok orang yang akan berada di areal demo selain aparat keamanan. Pertama, ya para pendemo yang memang punya kepentingan dalam demonya. Kedua, orang-orang yang biasa mengambil keuntungan dari aksi demo itu, yang tidak lain tidak bukan adalah para pencari berita. Hi hi hi. Orang-orang biasa lainnya enggak akan peduli, mas, sama demo yang mereka rasa memang bukan urusan mereka. Palingan sekiranya masih peduli, mereka akan lebih memilih memperhatikan dari layar kaca rumah masing-masing.”
Tarmujo termenung. Ia begitu tertohok hingga diam begitu saja.
“Eh, beneran ya mas ini wartawan?” tanya bapak itu tersenyum tanpa menyadari bahwa ia telah membuat Tarmujo mati kutu.
“I, iya, pak, benar.”
“Jadi ketopraknya mau pedas atau sedang?”
“Sedang saja, pak.”

Tarmujo duduk dengan lesu. Ia masih merenungi perkataan si bapak penjual ketoprak barusan. Seandainya ia bukan seorang wartawan, apa mungkin ia masih akan peduli dengan urusan demostrasi seperti ini sampai menyempatkan diri datang ke tempatnya?
Perkataan si bapak tadi memang sangat masuk akal. Kebanyakan, bahkan mungkin semua orang biasa lainnya, pasti akan lebih memilih berada di rumah saja. Buat apa ikut memikirkan demo yang dianggap bukan urusan mereka? Apalagi sampai datang ke tempat demo yang sering menimbulkan kerusuhan dan konflik serta bisa saja melukai orang-orang yang berada di sekitar tempat demo tersebut.

Pukul 10.00.

Dari kejauhan Tarmujo mulai melihat gelombang manusia berjalan ke arahnya. Jumlahnya mencapai ribuan. Ini rupanya demo susulan yang sungguh besar-besaran!
Tarmujo bergegas melunasi ketoprak dan segera mencari posisi strategis untuk meliput.
Aparat kepolisian yang berdiri berkumpul di depan gerbang istana tampaknya juga mencapai ratusan. Mereka kemudian membuat barisan berlapis seketika melihat gelombang demonstran mulai mendekat.

Tanpa prosesi peresmian demo mulai berlangsung secara hikmat. Teriakan-teriakan tuntutan mengalir deras. Beberapa kali dorong-mendorong terjadi tanpa aba-aba yang memang  disengajai. Tuntutan demo semakin beragam. Namun, semua itu berawal pada tujuan serupa: tuntutan keadilan hukum dan sosial.

Seperti telah diketahui publik, beberapa pejabat negeri ini ketahuan menangis. Padahal ada peraturan yang melarang siapapun menangis. Namun, sampai saat ini belum ada satu pun di antara mereka diadili, apalagi dikenai hukuman. Masyarakat tak bisa menerima. Mereka sudah terlanjur dilarang menangis oleh peraturan aneh itu; sudah seharusnya pejabat yang membuat peraturan itu pun merasakan efek dari peraturan itu sendiri. Bukan itu saja. Masyarakat biasa juga sulit menerima kesenjangan sosial dibanding para pejabat beserta keluarga mereka yang begitu banyak mendapat hak khusus dalam berbagai bidang kehidupan.

Hingga senja berganti, teriakan demo masih juga belum berhenti. Tuntutan-tuntutan agar para pejabat yang menangis segera diadili terus diulang-ulang hingga malam hari. Hingga akhirnya seorang kepala kepolisian negeri itu berinisiatif mengadakan diskusi dengan beberapa perwakilan pendemo. Setelah itu, gerombolan massa pendemo pun akhirnya membubarkan diri. Jalanan kembali lengang. Kendaraan yang bergerak saat malam sudah jarang. Manusia-manusia yang berdemo sudah pulang. Tarmujo pun kembali ke losmen.

Beberapa hari kemudian kerajaan memutuskan bahwa peraturan larangan menangis dicabut. Namun masyarakat, pejabat kerajaan, dan kepolisian negeri malah sepakat menghasilkan peraturan baru, masih mengatur perihal menangis seluruh warga negara negeri ini. Peraturan ini mengharuskan bahwa apabila pejabat menangis dan tangisannya mengeluarkan mutiara, mutiara-mutiara tersebut harus diserahkan kepada Badan Pengatur Keuangan Negeri untuk membayar utang negara dan tambahan anggaran kesejahteraan rakyat. Sedangkan apabila rakyat biasa menangis dan tangisannya mengeluarkan debu, debu itu harus ditampung untuk kemudian dibawa ke istana kerajaan ataupun gedung parlemen untuk digunakan sebagai pasir pengisi taman ataupun halaman istana dan gedung parlemen. Ini menjadi tanda bagi para pejabat istana dan parlemen kerajaan tentang betapa banyak rakyat masih merasakan susah hati di negeri yang alamnya kaya raya ini.

Tarmujo masih berada di negeri itu untuk terus mengumpulkan berita demi berita. Ia sebenarnya bisa saja segera menyimpulkan yang bakal terjadi di kemudian hari di negeri tersebut. Namun, Tarmujo ingin melihat dengan mata kepala sendiri perubahan demi perubahan di negeri tersebut yang ia rasa akan happy ending.[]

Utomo Priyambodo, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, bergiat di unit literasi Aksara Salman ITB.

Ilustrasi dari Internet.

Link terkait:
* https://www.facebook.com/utomo.priyambodo
* https://twitter.com/utomo_pr
* http://aksara.salmanitb.com/