Thursday, April 30, 2009






[TRIVIA]

Mata Staedtler 0.3
--Anwar Holid

Pada Rabu, 29 April 2009, aku menulis begini di buku jurnalku:

Aku menulis ini dengan rapido Staedtler 0.3 seri Marsmatic. Matanya aku beli barusan dari Baca-Baca Bookmart, Sabuga. Kalau nggak salah aku terakhir kali pakai Staedtler pada 2007, waktu Deden tak sengaja menjatuhkan rapidoku dan membuat jarumnya patah. Sejak itulah rapido legendarisku pensiun. Setelah itu aku minta pada Bagas Rotring 0.2-nya yang kelihatan tersia-siakan dan nganggur. Dia beri rapido itu, dan aku membersihkannya. Itulah yang aku pakai selama ini untuk mencatat dan menulis banyak hal.

Sebenarnya aku lebih suka 0.2, tapi karena tulisanku sudah kecil, justru 0.3 menolong membuat tulisanku jadi lebih terlihat dan terbaca. Aku ingat punya Staedtler 0.3 itu sejak SMA, beli di Cihapit, dan aku pakai terus-menerus, untuk menulis diari, surat, draft, jurnal, corat-coret, dan sebagainya, sampai akhirnya patah. Alangkah lama kesetiaanku pada sebuah alat tulisan.

Dibanding-banding, aku lebih suka Rotring daripada Staedtler. Bentuk Rotring lebih ramping dan ringan, sementara Staedtler gempal dan berat. Kelebihan Staedtler ia lebih mudah ditutup-buka, terutama bila akan dibersihkan--dan harganya lebih murah dari Rotring.

Aku pertama kali suka rapido waktu lihat saudaraku yang sudah mahasiswa menggunakannya untuk mengerjakan tugas dan hitung-hitungan rumus kimia dan biologi atau catatan lain. Tulisannya jadi kelihatan rapi dan enak dilihat. Ini tentu efek dari jarum dan tintanya yang amat tajam. Tinta cina Rotring atau Staedtler memang sangat hitam dan tak luntur. Sejak itu aku suka mencoba-cobanya, lama-lama ingin punya. Harga rapido memang relatif lebih mahal dari pulpen biasa, meski jelas ada banyak alat tulis yang jauh lebih mahal dari rapido. Baru ketika di SMA aku punya kesempatan beli rapido second setelah nabung beberapa lama dari menyisakan uang jajan. Gara-gara pakai rapido, ada saja orang yang nyangka bahwa aku anak arsitektur. Memang sulit melepaskan prasangka umum.

Mata Staedtler 0.3 yang aku beli ini benar-benar mengejutkan: harganya Rp.10 ribu! Jelas karena ini barang lama, meski aku yakin bukan second, karena kelihatan masih mengkilap. Yang baru, terakhir aku cek di toko ATK di Balubur, harganya Rp.50 ribu-an. Begitu lihat, aku langsung sulit menahan diri untuk tak membelinya. Seakan-akan tak percaya menyaksikan mata rapido dijual semurah itu.

Ceritanya mulai hari ini Baca-Baca Bookmart bikin garage sale bersamaan dengan pembukaan Kompas-Gramedia Fair 09 di Sabuga. Di antara majalah dan buku bekas, sepatu, rajutan, kaset, kriya, botol minuman keras, topi, cd, vcd, bahkan pupuk cair, aku lihat tumpukan mata rapido Staedtler berbagai ukuran, semua dengan harga Rp.10 ribu. Langsung aku ingat badan rapido 0.3 yang aku simpan di kardus setelah cedera parah itu. Aku simpan siapa tahu bisa beli matanya suatu ketika.

Ternyata inilah harinya. Hari ketika aku rutin mengantar Ilalang main jembe di Jendela Ide, Sabuga. Biasanya, aku nunggu Ilalang main sambil lihat-lihat & baca-baca di Baca-Baca Bookmart, pinjam buku dari perpustakaannya, ngopi, atau ngobrol berbagai hal dengan para penunggunya, tukar-menukar album musik dan mp3. Sekarang, tiap kali ke sana yang paling sering aku temui ialah Ajo, Oleh (Soleh), Nanang, dan seorang anak punk yang aku lupa namanya. Kalau nggak salah dia sering dipanggil "Bule" karena kulitnya putih, hampir selalu memakai jaket belel penuh dengan pin berisi banyak pesan. Dulu Andry & Frino sering aku temui, tapi mereka sekarang sudah punya kesibukan lain sendiri, atau datang ke Sabuga ketika aku tak datang ke sana. Sebagai gantinya, kadang-kadang aku ketemu Wiku Baskoro dari Dipan Senja/Lawang Buku. Musik Sigur Ros mengiringi garage sale kecil-kecilan ini.

"Sudah lihat-lihat ke dalam mas?" tanya Wiku. Maksud dia lihat Kompas-Gramedia Fair.
"Sudah, kayaknya pesertanya lebih banyak dari tahun kemarin ya? Standnya juga lebih rapi."
"Nggak belanja?"
"Enggak euy. Keuanganku lagi kacau. Mana kemarin Fenfen kehilangan dompet waktu pulang dari Serang."
"Gitu? Hilang di mana?"
"Di angkot, di Pasirkoja."
"Kali keselip-selip di kursi?"
"Nggak tahulah."

Waktu ambil satu mata itu, aku bilang ke Ajo, "Kalau nggak berfungsi, ini aku kembaliin ya?"
"Siplah," kata dia santai.
"Dapat dari mana nih barang-barangnya?" aku penasaran.
"Dari teman. Dia nitip."
"Kok bisa punya banyak begitu?"
"Nggak tahu tuh."

Dilihat langsung sih mata rapido itu kelihatannya masih baru. Begitu pulang, setelah ikut beres-beres rumah, aku langsung ambil badan lamanya, dan pasang. Ternyata benar. Jarumnya masih oke punya. Walhasil aku akan segera habiskan tinta di Rotring 0.2, biar bisa diistirahatkan dulu. Rotring ini kelihatan sudah tua. Badan bagian atasnya sudah belah-belah. Untung aku perkuat dengan lem super. Begitu setelah, Staedtler 0.3 ini bisa kembali diaktifkan untuk menulis segala sesuatu.

KEEP YOUR HAND MOVING![]

Anwar Holid kurang-lebih telah menghabiskan empat botol tinta cina untuk menulis dengan rapido. Dia bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Monday, April 27, 2009




Pergolakan Spiritual Empat Orang Mualaf

--Anwar Holid

SEEKING TRUTH FINDING ISLAM: Kisah Empat Mualaf yang Menjadi Duta Islam di Barat
Penulis: Anwar Holid
Penerbit: Mizania, 2009
Halaman: 184
Harga: Rp.29.000.00
ISBN: 978-602-8236-30-0
Kategori: Biografi


"Setiap tahun, sekitar 25.000 orang menjadi Muslim di Amerika Serikat. Pasca 11 September, jumlah orang yang bersyahadat 4 kali lipat." Demikian dari New York Times.

Jalan hidup manusia sulit ditebak. Dari awal yang amat jauh dari agama, orang bisa menjadi perindu Tuhan dan mencari jalan untuk menghampiri-Nya. Kisah hidup para mualaf--yakni orang yang masuk Islam--memberi kita banyak pelajaran tentang hal ini.

Buku ini menyajikan empat mualaf di Dunia Barat yang mampu menjadi "duta" Islam melalui pengabdian kepada masyarakat dan teladan tentang sikap hidup Muslim sejati. Dengan demikian, mereka juga "berjihad" memerangi prasangka terhadap Muslim dan agama Islam yang marak di Dunia Barat pada masa sekarang.

Keempat mualaf itu adalah:
* Yusuf Islam (Cat Stevens): mantan superstar rock dunia yang mengundurkan diri dari dunia musik untuk mempelajari Islam, dan kini aktif berdakwah melalui kegiatan pendidikan dan sosial.

* Ingrid Mattson: cendekiawati pemimpin ISNA (Islamic Society of North America)--organisasi Muslim terbesar di Amerika--yang sempat menjadi ateis sebelum akhirnya terpesona oleh Al-Quran.

* Keith Ellison: Aktivis HAM dan Muslim pertama yang menjadi anggota Kongres AS.

* Hamza Yusuf Hanson: ulama asli kelahiran AS yang mendalami khazanah ilmu-ilmu Islam klasik dan kini giat mengampanyekan Islam damai ke publik Barat.

Seeking Truth Finding Islam merupakan buku kedua saya. Sebagaimana Barack Hussein Obama (2008), buku ini lahir atas prakarsa Ahmad Baiquni (aka Ibeq), editor penerbit Mizan. Waktu awal-awal menyusun, kami sempat mendiskusikan banyak nama yang akan dijadikan profil, menimbang bagaimana kiprah mereka, mengira-ngira citra dan pandangan publik terhadap mereka, dengan harapan bisa menyaring sekitar 6-10 orang.

Berbagai pertimbangan, terutama soal akses informasi dan peran mereka, akhirnya memaksa saya hanya bisa menulis empat orang tersebut. Sebenarnya minimal ada dua orang lagi yang sangat ingin saya tulis perjalanan religiositasnya, yaitu Frithjof Schuon dan Charles le Gai Eaton. Tapi saya kehabisan energi dan pikiran, terus menghentikan niat itu. Lagi pula, siapa yang bakal tertarik kepada Schuon dan Gai Eaton, selain sesama orang spooky?

Untuk menaikkan daya tawar isi buku, saya berusaha maksimal memunculkan drama perjalanan hidup keempat orang ini, terutama sekali pertarungan spiritual dan pergolakan batin sebelum memeluk Islam. Sebagai "tambahan" saya menulis esai cukup panjang tentang berbagai aspek convert ke dalam Islam.

Saya juga sempat menghubungi Ingrid Mattson via email tentang niat menulis profil beliau. Yang menjawab ternyata asistennya. Kami sempat email-emailan beberapa kali. Intinya, beliau bersedia bila harus diwawancarai via email. Tapi niat itu pun gagal terlaksana, sebab sang asisten memberi informasi cukup, sementara di Internet kisah perjalanan keyakinan spiritual Ingrid tersedia cukup banyak.

Dari sisi penulisan, sekali lagi saya mendapat pengalaman berharga tentang hubungan antara penulis dan penyunting (editor). Karena melampiaskan keyakinan dan pikiran tentang agama, pada draft awal yang saya berikan, ternyata saya kerap memunculkan sinisme terhadap agama, sampai menurut Ibeq, bahasa saya cenderung kasar dan malah berpotensi bisa menjelek-jelekkan agama. Ini mengkhawatirkan.

"Bagaimana orang bakal tertarik kepada Islam atau agama lain kalau kamu menulisnya seperti ini?" kata dia waktu kami membicarakan draft pertama. Saya tertawa.

Misi buku ini memang berusaha menunjukkan bahwa agama bisa menjadi alternatif jalan kebaikan di tengah kekacauan dunia. Sementara istilah "convert" ternyata tidak selalu identik dengan pindah ke agama lain, tetapi bisa juga berarti menjalani intensitas yang lebih besar terhadap religiositas daripada semula.

Pelajaran dari sana ialah editor yang jeli dan memiliki sense bahasa kuat bisa diandalkan sebagai kawan untuk menghasilkan karya yang cukup bertanggung jawab. Editor bisa jadi "indra pertama" mewakili publik pembaca sekaligus kepentingan penerbit. Sebagai wakil penerbit, dia akan memperhatikan kesantunan, kejernihan isi, cara berargumen, dan menuturkan yang baik dan kena.

Untuk kepentingan promosi buku ini, pada Senin, 30 Maret lalu saya mampir ke Masjid Laotze, Bandung menjajaki kemungkinan mengadakan diskusi atau bedah buku bertopik tentang mualaf. Sambutan mereka ramah. Sementara jauh-jauh hari sebelumnya, saya sudah berharap hal serupa pada bagian promosi Mizan. Mereka malah usul agar acara seperti itu kalau bisa menghadirkan tokoh mualaf terkemuka dan bisa membicarakan dialog antaragama secara adil, proporsional, dan terbuka.

Membicarakan agama memang sensitif. Jangankan antaragama serumpun seperti agama-agama Ibrahimik (Abrahamic religion) yang pelik, satu agama beda aliran saja bisa runyam. Saya berharap Seeking Truth Finding Islam menyumbang sesuatu bagi kedewasaan beragama, sesederhana apa pun bentuknya.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, & publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.mizan.com

Tuesday, April 21, 2009



[HALAMAN GANJIL]
Jujur Saja, Kejujuran Itu Bukan Simon Cowell
--Anwar Holid

Jujur Saja ialah nama rubrik di halaman terakhir Femina, majalah perempuan kota asli Indonesia. Saya baru sadar rubrik ini menarik setelah lama-lama setiap kali buka Femina, ternyata sering sekali tergelitik dan senyam-senyum oleh pertanyaan dan jawaban yang mereka lontarkan khusus kepada perempuan. Rubrik itu tampaknya menguji seberapa jujur mereka terhadap sesuatu.

Pertanyaan di rubrik itu masih biasa saja, termasuk umum, belum menyangkut hal-hal yang sangat sensitif. Jadi jawabannya pun sebenarnya masih yang bisa kita bayangkan. Di salah satu edisinya, Femina bertanya: "Buku yang menginspirasi saya?" Jawaban semua orang beda. Salah satunya: Laskar Pelangi (Andrea Hirata). "Buku itu memberi semangat pada saya yang bersekolah di kota kecil untuk tak perlu merasa rendah diri jika dibandingkan lulusan kota besar," kata seorang gadis di Mojokerto.

Di edisi lain pertanyaannya mungkin bisa bikin malu: Angka merah waktu SMU? Atau waktu sedang heboh (Film) Ayat-Ayat Cinta, pertanyaannya ialah: "Ayat-Ayat Cinta, Suka Atau Tidak?" Alternatifnya memang cuma dua. Salah satunya: Tidak, kata seorang istri di Jakarta. Kata dia, "Mana ada wanita berpendidikan tinggi dan berpikiran modern yang rela diduakan? Itu sih maunya pria agar ada di atas angin." Yang suka bilang begini: "Banget, banget! Saya sampai nonton dua kali. Disuruh nonton sekali lagi, jawabannya: Dengan senang hati!" Jangan bayangkan yang jawab gadis berjilbab, yang jawab itu seorang gadis ayu berlesung pipi dari Bogor.

Rubrik itu membuat saya mengira-ngira, dalam hal apa saja kita jujur. Terhadap semua hal? Dulu, waktu mahasiswa, sedang asyik-asyiknya boys talk di kamar kost teman, seorang kawan mendadak melontarkan pertanyaan: "Berapa kali kamu masturbasi dalam seminggu?" JELEGER! Pertanyaan itu membuat saya mental. Rasanya saya ingin mati. Itu rahasia besar saya. Tapi bagaimana lagi? Toh mereka kawan-kawan akrab saya. Berterus-terang juga kayaknya baik-baik saja. Tapi ternyata saya masih takut jujur. Buktinya, jawaban saya justru mengelak, "Nggak tentu. Kalau lagi terdesak saja." Bagaimana kalau setiap hari saya terdesak oleh tekanan seksual, sementara saya sulit menyalurkan gejolak lewat cara lain? Jelas, saya gagal jujur bahkan kepada teman-teman akrab. Mungkin saya khawatir reputasi saya hancur di mata mereka.

Suatu hari saya ditanya seorang teman non-Muslim: Apa kamu pernah makan babi? Jawabannya: tidak. Bahkan sepotong kecil pun? Kayaknya iya. Di Lampung, waktu kecil, teman akrab saya waktu SD ialah orang Hindu. Rumahnya persis di samping saya. Mereka punya ternak babi. Tapi kalau mereka memberi berkat/sedekah makanan, mereka memberi ayam dan makanan yang dihalalkan Islam.

Teman saya meneruskan: Apa kamu pernah minum alkohol? Jawabannya: pernah. Mungkin dulu waktu SMP, waktu kumpul-kumpul malam minggu dengan teman-teman. Tapi setelah itu nggak pernah lagi. Saya bisa dibilang murni seorang teetotaler, orang yang benar-benar bersih dari alkohol.

Pernah merokok? Pernah. Tapi mungkin jumlah total yang pernah saya isap tak lebih dari 12 batang. Untuk beberapa hal, saya memang tidak melakukan apa pun. Saya tidak berzina, tidak merokok, tidak poligami, tidak korupsi, tidak pernah minum obat terlarang, tidak mengonsumsi narkoba. Untuk ini, saya jujur.

Pernah ngeganja? Pernah, dulu waktu mahasiswa, beberapa kali. Menurut saya harum asap ganja itu menggoda sekali.

Pernah mencuri? Pernah. Pencurian paling gila yang pernah saya lakukan ialah mengutil kaset album Superunknown (Soundgarden). Waktu itu saya sudah kuliah. Padahal waktu itu saya bawa uang, dan niatnya memang benar-benar mau beli album itu. Entah kejahatan apa yang mendesak pikiran saya waktu itu, tiba-tiba setelah perang batin dan dilanda ketakutan, pada satu kesempatan, saya memasukkan kaset itu ke saku pinggir celana. Yah, Tuhan masih melindungi saya dengan tidak langsung membuka aib itu di depan penjaga toko. Entah apa jadinya kalau saya kepergok penjaga toko. Boleh jadi saya bukan Anwar yang sekarang. Saya merasa berdosa sekali dan kapok. Album itu pun kini sudah saya jual dengan harga murah, tak sebanding dengan risiko yang saya hadapi. Gila, saya bisa senekat itu. Sulit membayangkan bahwa saya pernah bisa melakukan kehinaan seperti itu.

Apa kejujuran seperti itu akan membuat saya lebih baik?

Dalam hal apa kita berani jujur? Untuk hal-hal remeh yang tidak berbahaya? Untuk perbuatan yang kira-kira bisa meningkatkan citra diri? Apa jujur itu sejenis uji nyali? Kejujuran memang menakutkan. Coba tuding diri sendiri dan ajukan pertanyaan paling berani, pertanyaan yang membuat kita tersudut harus jujur. Beranikah kita jujur pada diri sendiri?

Coba uji kejujuran sendiri: Apa kamu menyimpan film atau gambar porno di komputer? Di Femina, gara-gara itu seorang istri memutuskan pulang ke orangtua setelah memergoki suaminya menyimpan banyak gambar porno perempuan gendut, padahal dia sendiri lagi diet.

Jujur saja: Apa kamu pernah selingkuh? Pernah menyuap? Pernah mencoba pelacur? Mencoba membohongi atasan? Berani menentang boss yang sok? Melawan pemerintah? Pernah menyediakan perempuan kepada klien sebagai bagian dari entertainment? Mengecewakan klien? Gagal berkarir? Pernah menampar pasangan?

Konon, tanda orang masih waras ialah dia berani jujur pada diri sendiri. Bila orang berani membohongi diri sendiri, dia "sakit." Tapi jujur pada diri sendiri pun sulit dan butuh keberanian untuk melakukannya. Mungkin beda aspeknya kalau seseorang masih perang batin apa perbuatannya baik atau buruk. Banyak gejala memperlihatkan orang suka menutup-nutupi kejujuran, berusaha mencari dalih. Misal dengan bersikap defensif atau marah. Orang mengenakan topeng untuk menyembunyikan kejujuran. Bila seperti itu, orang lain harus bisa membaca yang tersirat.

Ada kalanya orang baru bisa jujur karena terdesak dan terancam. Saya pernah menyaksikan seorang maling ampun-ampunan mengakui segala perbuatannya setelah dihajar oleh pegawai warnet. Dia kehabisan cara lain untuk menghindari hal yang lebih fatal, misal kematian. Saya membayangkan wajah yang bengap-bengap itu saya sendiri karena ketahuan mencuri kaset. Harus seperti itukah ketika orang dipaksa jujur?

Mungkin harus ditegaskan, orang harus jujur, entah dengan rela, terpaksa, atau karena takut. Agama menyatakan nanti di akhirat kejujuran orang akan dihitung satu demi satu untuk menentukan keadilan Tuhan. Jujur saja, saya takut menghadapi momen itu, membayangkan betapa banyak kejujuran yang masih saya sembunyikan di dunia ini.

Bila sudah begini, apa Anda masih akan menganggap kejujuran itu seperti Simon Cowell--juri American Idol--yang berlidah tajam dan tega terhadap semua peserta? Lebih dari itu, saudara-saudara.[]

Gambar dari Internet.

Anwar Holid, jujur saja, masih kurang jujur terhadap orang lain.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Andrea Hirata bersalaman dengan Walikota Jakarta Pusat Sylviana Murni

Andrea Hirata: Menulis itu Elegan
--Anwar Holid


Hampir dua ribu guru dari sekolah-sekolah di Jakarta Pusat berkumpul di Aula Senayan City untuk mengikuti talkshow Kemuliaan Mengajar (Nobility of Teaching) yang menghadirkan penulis Andrea Hirata dan Arvan Pradiansyah, ditemani host Soraya Haque.

JAKARTA - Sejak mulai menulis tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata boleh dibilang menjadi salah satu penulis paling hip di Indonesia saat ini; sementara Arvan Pradiansyah makin memantapkan diri sebagai penulis motivasi dan kepemimpinan setelah menerbitkan The 7 Laws of Happiness.

Penerbit Mizan menyelenggarakan acara itu bekerja sama dengan pemerintah kota Jakarta Pusat, Telkom Divre II, Sampoerna Foundation, ditambah pihak Senayan City yang menyediakan fasilitas aula begitu lega bagi guru-guru yang datang sejak pagi dan terlihat antusias mengikuti acara, meski di awal pembukaan terasa agak banyak basa-basi, membuat acara inti jadi sedikit terlambat. Kondisi ini tampak memaksa Soraya Haque berinisiatif mengubah set acara. Dia langsung menarik kedua pembicara untuk fokus membicarakan apa itu kemuliaan mengajar, mengaitkannya dengan Mukjizat Menulis (Miracle of Writing).

Andrea dan Arvan pada dasarnya menekankan betapa mulia berprofesi sebagai guru. Sebagai mantan murid sekolah, keduanya telah merasakan kemuliaan para guru dan menerima teladan yang mustahil terlupakan. Buktinya, karya Andrea dipersembahkan bagi gurunya, sementara Arvan selalu mencari opsi untuk tetap bisa menjadi dosen di almamaternya, FISIP UI, bila kerja di suatu perusahaan, dan itu berjalan lebih dari 13 tahun.

Laskar Pelangi menguak guru sekolah dasar bernama ibu Muslimah yang selalu berhasil memenuhi kehausan ilmu sepuluh muridnya, dan ini ditunjang oleh kepala sekolah yang begitu rela berkorban, Harfan Effendy Noor. Drama pendidikan di sekolah sederhana di pulau terpencil itulah yang hingga kini menyihir ratusan ribu--bahkan konon jutaan--pembaca Indonesia, dan tampaknya tetap menimbulkan rasa penasaran kecuali ditanyakan langsung kepada saksi mata terdekatnya: Andrea Hirata.

"Menjadi guru di zaman sekarang harus powerful, kreatif, bisa berpikir di luar yang lazim. Itu baru bisa tercapai bila setiap guru punya kecintaan pada profesi, punya karakter. Pendidikan itu mestinya merupakan perayaan, ilmu itu tantangan," kata Andrea mengomentari idealisasi tentang pengajaran. Andrea menyayangkan bahwa sejak dulu terjadi pemarjinalan terhadap profesi guru, ini terbukti dari perlakuan kurang adil terhadap guru maupun prioritas anggaran pendidikan.

Untuk menekankan kemuliaan pengajaran Andrea menyatakan, "Guru yang mulia itu seperti sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan." Pengajaran yang berhasil berbekas pada murid yang mencintai guru, terinspirasi oleh teladan yang dia berikan. Pada suatu kesempatan, Andrea pernah berujar, "Yang penting buat saya ialah bagaimana cara agar sekarang dunia pendidikan kembali melihat warisan yang ditinggalkan guru-guru seperti ibu Muslimah dan pak Harfan."

Bagi Andrea sendiri, Laskar Pelangi merupakan kisah tentang guru yang ditangkap oleh seorang muridnya, merekam warisan pendidikan dari satu jenjang ke jenjang berikutnya. Energi itu terus berlangsung sampai pada buku keempat, Maryamah Karpov, ketika Ikal--protagonis tetralogi itu--berhadapan dengan guru-guru asing di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis, yang berkarakter lain sekali dibandingkan guru lamanya di kampung.

Sesi tanya jawab menjelaskan seberapa penasaran sebenarnya publik kepada Andrea. Rasanya lebih seperti jumpa fans, bahkan sejumlah guru menyatakan seakan-akan mimpi sampai bisa bertemu dengan penulis yang buku-bukunya telah memberi semangat kepada profesi mereka, membuat dunia pendidikan menjadi begitu penting, harus diperhatikan, dan mendapat prioritas. Pertanyaan yang muncul mulai dari hal sepele, masa-masa sekolahnya, berbagi pengalaman menulis, hingga "bagaimana cara menjemput hikmah?"

"Yang saya harapkan dari tulisan-tulisan saya ialah ia memberi inspirasi, bukan semata menjual," kata Andrea pernah pada suatu kesempatan. Antusiasme publik jelas membuktikan itu. Buku dan kepenulisan telah mengantarkan Andrea ke status yang sulit dibayangkan sebelumnya. Bila dulu di awal Laskar Pelangi terbit sebagian orang menyebutkan dia beruntung, kini semua yang telah dia tulis, lihat, nilai, dan rasakan menjadi "mukjizat" yang menyemangati dan mengilhami banyak orang.

Tentang kemampuan menulisnya, dengan gaya khas dan merendah, Andrea menyatakan bisa jadi dia bisa menulis karena dirinya orang Melayu. "Orang Melayu itu dalam keadaan marah masih bisa berpantun atau menyatakan metafora," kata dia disambut tawa peserta. Tapi lebih dari itu, awalnya ialah dia termotivasi. "Ketika melihat beliau jalan kehujanan hanya berpayung daun pisang menuju sekolah kecil kami, dalam hati saya berjanji akan menulis buku untuk mengenang ibu Muslimah," ucapnya. Janji itu dipenuhi, dan muncul mengejutkan. Kenapa memilih tulisan, bukan lainnya? Jawab Andrea: "Menulis itu elegan."

Talkshow bertema Kemuliaan Mengajar (Nobility of Teaching) pertama kali diusung Mizan pada 2007 lalu, ketika Mizan mengadakan acara tersebut dengan mengundang seribu guru di Bandung dan sekitarnya sekalian membagi gratis buku pertama Laskar Pelangi.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: wartax@yahoo.com (022) 2037348 0857 215 111 93 Panorama II No. 26 B, Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com




Arvan Pradiansyah: Tujuan Pendidikan itu Kebahagiaan
---Anwar Holid


Arvan Pradiansyah dan Andrea Hirata mengisi talkshow tentang kemuliaan mengajar berdasar pengalaman mereka dalam menempuh pendidikan.

JAKARTA - Atas kebaikan Arvan Pradiansyah, saya bisa menyaksikan talkshow The Nobility of Teaching: Mukjizat Menulis dan Menjadi Guru yang Bahagia di Hall Senayan City, Jakarta. Acara yang dipadati nyaris dua ribu guru dari sekolah-sekolah di Jakarta Pusat ini menghadirkan dua penulis penuh motivasi, Arvan Pradiansyah sendiri, dan Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi. Soraya Haque memandu acara tersebut. Saya baru tahu bahwa gedung semegah Senayan City ternyata memiliki aula yang bisa diubah untuk acara-acara edukatif.

Dibanding Andrea Hirata yang rentang pembicaraannya bolak-balik tentang sekolah dan penulisan, Arvan Pradiansyah lebih banyak terarah pada apa itu kebahagiaan dan seperti apa menjadi guru yang bahagia itu. The 7 Laws of Happiness, buku ke empat Arvan, sudah cukup untuk mengantarkannya semakin dikenal sebagai pembicara publik, ahli SDM, dan penulis buku motivasi bertema manajemen kepemimpinan (leadership) dan manajemen kehidupan (life management).

"Tujuan pendidikan itu kebahagiaan. Ia harusnya bisa melahirkan murid yang bermakna," papar Arvan mengomentari kondisi dunia pendidikan zaman sekarang yang penuh tantangan, apalagi bagi guru. Managing Director Institute for Leadership & Life Management (ILM) ini berpendapat bahwa syarat menjadi guru yang bahagia ialah guru tersebut harus mencintai pekerjaannya. Agar bisa seperti itu, dia mesti punya sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Guru pun mesti bisa belajar dari banyak tanda dan berbagai pihak. Baginya, setiap orang itu diutus Tuhan untuk membawa hikmah, pembelajaran. Orang itu bisa hadir baik untuk mengajarkan maupun menyelaraskan emosi seseorang lainnya.

Pengajaran yang mulia juga berarti bahwa guru menikmati proses menjadi guru. Ini merupakan bentuk dari hukum bahagia pertama, yaitu sabar, dalam pengertian menyatukan pikiran dan badan pada di satu tempat. Karena begitu guru bisa mencurahkan jiwa dan raganya demi murid, demi kelangsungan proses pendidikan sebaik mungkin. Konsep ini tampak mudah diucapkan, sebab persoalan dunia pendidikan memang kompleks. Sikap percaya diri dan bermimpi besar menjadi faktor penting dalam karir guru. "Bila mimpi lebih besar, kesulitan biasanya jadi tampak kecil," persuasinya.



Ini tecermin dari sesi tanya jawab. Perubahan zaman berikut orientasi dan kondisi sosial memaksa orang rela berkorban atau berkompromi demi mendapatkan pengajaran sebaik mungkin, namun itu pun bukannya tanpa jebakan. Secara retorik, Arvan ditanya balik: Bagaimana cara dia memotivasi diri sendiri. Arvan menyebut, salah satunya ialah dengan diet pikiran, yaitu menyaring informasi-informasi yang dikehendaki saja yang boleh masuk dalam pikiran, terutama informasi positif, agar dampaknya pun optimis dan menghasilkan kebaikan. Arvan yakin bahwa kebagiaan diawali dari memilih pikiran yang bahagia.

Meski kini tak lagi mengajar di ruang kelas akademik, Arvan malah melebarkan jangkauan pengajarannya, yaitu di ruang publik, di dunia profesional, dalam pelatihan dan konsultasi yang dia adakan. Dahulu dia sempat mengajar di almamaternya, FISIP UI, selama 13 tahun. Menjelang Pemilu 2009 ini dia menerbitkan buku kepemimpinan berjudul cukup provokatif, Kalau Mau Bahagia, Jangan Jadi Politisi! (Mizan, 130 hal.)
Talkshow ini merupakan kerja sama penerbit Mizan bersama Pemerintah Kota Jakarta Pusat, Telkom Divre II, dan Sampoerna Foundation, difasilitasi Senayan City. Acara diawali ceramah kunci oleh Walikota Jakarta Pusat Sylviana Murni, yang juga memberi kenang-kenangan buku karyanya sendiri.[]
Copyright © 2009 oleh Anwar Holid
KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Situs terkait:
Hubungi Arvan Pradiansyah via http://www.facebook.com/

Tuesday, April 14, 2009



[HALAMAN GANJIL]

Apa yang Paling Penting dalam Perkawinan?
--Anwar Holid


Suatu hari, aku pernah tanya seorang kawan: apa yang paling penting dalam perkawinan? Dia jawab: kebersamaan. Entah kenapa, aku langsung tertawa mendengar jawaban itu. "Memang, menurut kamu apa?" balas dia."Menurutku, penghasilan, mendapatkan nafkah."

Entah kenapa aku cukup yakin dengan jawaban itu. Boleh jadi dalam bayanganku waktu itu ialah aku teringat acara fauna di televisi. Acara itu menayangkan seekor serigala jantan membawa mangsa untuk keluarganya. Mangsa itu dia cengkeram kuat-kuat dengan mulutnya, lantas dia persembahkan pada anak-anak dan pasangannya. Setelah itu dia memperhatikan mereka berebut makanan yang dia bawa. Terdengar narasi: Pasangan dan anak-anak serigala itu senang bahwa dia pulang dengan selamat; tapi ia tahu mereka jauh lebih mengharapkan makanan yang dia bawa daripada kehadiran dirinya sendiri.

Terdengar ironik?

Meskipun cukup yakin bahwa yang paling penting dalam perkawinan ialah penghasilan, aku pada dasarnya sulit memutlakkan jawaban itu. Boleh jadi sebagian orang akan bilang bahwa yang paling penting dalam perkawinan itu ialah cinta, kasih sayang. Ha ha, dalam rumah tangga kasih sayang menurutku sudah jadi terlalu basi. Cinta dan kasih sayang sudah harus selesai sejak jauh-jauh hari sebelum pasangan menikah dan membangun rumah tangga. Tanpa itu, rumah tangga dan perkawinan berarti sia-sia.

Dulu, rasanya heroik dan menakjubkan kalau kita mendengar bahwa ada orang yang bisa hidup dengan cinta. Bisakah orang hidup dengan cinta? Nggak. Orang hanya bisa hidup dengan makanan. Tapi entah kenapa kita kok merasa agak yakin bahwa cinta bisa menyelesaikan segala-galanya. Boleh jadi memang begitu, sebenarnya, terutama orang yang terbutakan oleh cinta. Perhatikanlah perceraian suami-istri atau perpisahan sepasang kekasih, terlebih bila perpisahan itu disertai keributan, termasuk sekalian dengan kekerasan dan kemarahan yang kadang-kadang terlalu sulit dipadamkan. Kalau kita menyaksikan hal seperti itu, entahlah ada di mana cinta yang pernah tumbuh di dalam diri mereka berdua itu. Cinta jadi terasa sebagai omong kosong. Dari perceraian, ribut-ribut, cekcok, dan pertengkaran, kita tahu bahwa cinta adakalanya gagal berfungsi untuk menyelesaikan segala-galanya, dan yang tersisa hanyalah rasa sebal, jengkel, atau kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.

Di dalam perkawinan, cinta melebur ke dalam segala sesuatu, hingga ia menyelimuti atau membentengi kehidupan pasangan; tapi karena itu pula ia menjadi gaib, dan kadang kala bila sedang diperlukan ternyata ia tak segera menampakkan diri. Akibatnya, pasangan jadi kehilangan kesabaran dan menuduh dia tak lagi punya cinta. Perhatikanlah konsultasi perkawinan di media massa. Dari sana kita belajar bahwa persoalan perkawinan bisa diakibatkan hal yang sangat sederhana (misalnya kebiasaan pasangan yang ternyata lama-lama sulit diterima) maupun hal yang berat (misalnya pasangan melakukan tindak kriminal, selingkuh, berbohong, berubah orientasi seksual, atau sakit jiwa.) Kita tahu dalam perkawinan bobot masalah "sederhana" dan "berat" ternyata sama saja. Masalah adalah masalah, dan ia harus diperhatikan, sebab kalau tidak akibatnya bisa fatal.
Begitu juga dengan penghasilan. Bisakah Anda mencari contoh pasangan yang kehidupan perkawinannya baik-baik saja meski tanpa penghasilan atau tak punya nafkah? Mungkin itu akan bisa mematahkan pendapat awal. Tapi mungkin sedikit lain soalnya bila pasangan itu punya warisan atau diberi kekayaan yang terus tersedia cukup meskipun dia sekadar menghabiskan dan tak perlu kerja. Tapi dengan perilaku begitu pun bisa jadi pasangannya mengeluh, sebab kerjanya hanya "menghabiskan harta orangtua" dan terkesan malas-malasan. Boleh jadi pasangan tanpa mata pencaharian itu merupakan aib. Bayangkanlah Anda melamar seorang gadis dalam keadaan nganggur atau bila suatu hari yang akan datang anak gadis Anda dipinang pemuda pengangguran. Beranikah Anda mengizinkan anak gadis Anda kepada pemuda itu? Sehina apa pun pekerjaan Anda, Anda menolak bila mereka meremehkan pekerjaan Anda. Pekerjaan itu sesuatu yang mulia.


Demi penghasilan, sepasang suami-istri rela berpisah, mau menjalani jadi weekend husband/wife, atau bahkan merantau ke luar negeri. Dulu, aku sendiri pernah menjadi seorang weekend husband. Bila weekend husband/wife sudah dianggap lazim dalam kehidupan modern, kini tanyalah pasangan yang hanya ketemu sebulan sekali, tiga bulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Jelas karena tidak mengalami, rasanya aku sulit berempati kepada pasangan yang hanya ketemu sebulan, tiga bulan, atau setahun sekali. Buat apa dong mereka dulu memutuskan menikah? Bukankah mereka menikah untuk "bersatu", berdekat-dekatan? Wajarkah pasangan mengorbankan kebersamaan demi mendapat nafkah, meskipun aku menyatakan penghasilan merupakan hal paling penting dalam perkawinan? Rasanya absurd. Tapi sekali lagi, bayangkanlah bila tanpa itu semua mereka tak punya penghasilan, atau itulah satu-satunya cara mereka mendapat nafkah. Kalau sudah begitu, apa boleh buat. Kita hanya bisa maklum dan ikut berdoa supaya mereka selamat. Daripada bersatu tanpa penghasilan?

Orang menempuh berbagai mode untuk mendapat nafkah. Ada yang normal dan abnormal. Ada kalanya seseorang tak tahu persis apa pekerjaan pasangannya; tapi selama ada penghasilan, aku berani bertaruh itu akan baik-baik saja. Tanyalah pada istri para kriminal, koruptor, atau pembunuh bayaran. Mereka tentu bakal terkejut bila dibenturkan pada fakta bahwa nafkah yang selama ini mereka terima ternyata hasil dari kejahatan atau uang haram, lantas mereka bersikap tak mau tahu atau malah ingin cuci tangan secepatnya. Tapi selama tak tahu, mereka akan baik-baik saja, dan yakin sebagaimana pasangan normal lain, nafkah itu berasal dari cara yang baik.

Bila menyangkut penghasilan, orang bisa begitu emosional dan irasional. Kita sulit mengira-ngira sampai sejauh apa orang merasa bangga, baik-baik saja, terpaksa, atau rela menjalani profesinya. Boleh jadi orang bangga dengan profesi sebagai pembunuh bayaran. Siapa tahu. Bintang porno di AS bangga kok dengan profesinya. Apa sebab? Karena mereka juga bayar pajak, berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Itu mulia. Kita yang tak mengalami mungkin bisa menertawakan atau menganggap hina kerja sebagai bandar judi, pembuat narkoba, direktur klub malam, tukang sampah, mucikari, atau bandar narkoba. Tapi kalau penghasilannya melimpah ruah, Anda mau apa? Pendapatan itu nyata. Lihatlah di jalanan, lihatlah di tempat kerja, di lapangan. Begitu menyangkut pendapatan, nyawa taruhannya. Kadang-kadang orang masih merasa kurang dengan sekadar mengandalkan kekuatan fisik. Perhatikanlah cara kerja debt collector atau tukang sita.

Pasangan pengangguran tentu sulit diterima. Jangankan penganggur, pasangan dengan penghasilan setara, tampak kurang motivasi, atau kurang berkenan saja bisa bermasalah. Dunia adalah tempat yang sulit dan keras. Nggak ada tempat buat pemalas, atau kalau tidak berubahlah jadi orang ikhlas, yang bisa bersyukur dan menerima segala keadaan. Kita dituntut menghasilkan nafkah dengan memanfaatkan segala kemampuan dan kesempatan yang memungkinkan. Dengan itulah kita memelihara perkawinan, kebersamaan, menjalankan roda kehidupan, memastikan bahwa dua puluh empat ke depan---atau beberapa tahun ke depan---keadaan cukup bisa dipastikan kesejahteraannya.

Tapi kenapa pasangan dengan nafkah berkecukupan pun kehidupan perkawinan mereka bisa hancur-hancuran? Tentu ada faktor lain entah apa lagi. Aku juga bukan ahli perkawinan. Itu menunjukkan walaubagaimanapun penghasilan ternyata bukan satu-satunya faktor paling penting dalam perkawinan. Jadi apa dong? Mungkin ada jawaban lain, yaitu keikhlasan.
Sementara keikhlasan butuh permbicaraan baru lagi.[]


Anwar Holid telah menikah, dikaruniai dua anak.
KONTAK: wartax@yahoo.com  |
Panorama II No. 26 B Bandung 40141


Rumah Buku, The Coolest Library in Town
--Anwar Holid

Pada Jumat, 3 April 2009 Ariani Darmawan (Rani) mengirim pesan lewat Facebook, yang langsung dihantarkan oleh kantor pos Yahoo! Mail:

Subject: Merayakan 6 tahun Rumah Buku / Kineruku: Teman-teman Menghias Rumah Buku
Sekali lagi, teman-teman terdekat Rumah Buku,

Kami mengundang kamyu2 untuk datang ke perayaan ultah kami ke-6, Sabtu jam 3 sore. Ditunggu.. tiada kesan tanpa kehadiran kalian semua...

Rabu sebelumnya, 1 April, aku mampir ke Rumah Buku karena ada perlu dengan Budi Warsito, seorang script writer yang kerja juga di Kineruku, lini produk Rumah Buku yang fokus mengerjakan perfilman. Sayang dia nggak datang-datang. Beruntung aku ketemu Rani, yang pagi-pagi itu sudah sibuk di sana, dan menyapaku, "Eh, Sabtu ini Ruku ulang tahun loh. Dateng ya nanti bareng Fenfen dan anak-anak..." Setelah itu aku dia kasih seporsi mi ayam. Lantas aku lihat-lihat cd baru di sana, yang entah kenapa banyak berupa album Cocteau Twins.

Selalu ada yang menarik di Rumah Buku. Baik itu cd, film, aktivitas, kopi, dan tentu saja buku-bukunya. Enam tahun lalu aku datang ke sini beberapa bulan setelah mereka buka, betul-betul terobsesi ingin melihat Ulysses dan Finnegan's Wake (James Joyce)--dua novel yang sampai hari ini hanya berani aku lihat-lihat dan pegang-pegang, atau coba baca halaman pertamanya, kemudian aku taruh lagi. Setelah itu, aku rasanya selalu tertarik untuk ke sana lagi, setiap ada kesempatan, sesering mungkin. Bahkan pernah dalam satu kesempatan, waktu mengerjakan profil Shirin Ebadi untuk buku tipis terbitan Mizan, aku begadang dan tidur di Rumah Buku. Bersama teman-teman, kami juga bikin Textour, yang namanya dilontarkan oleh Rani juga, meski kini inaktif.

Setelah enam tahun, Rumah Buku paling banyak diisi oleh aktivitas Kineruku. Wajar, karena Rani seorang sutradara dan dosen film. Di antara filmnya yang menurutku sangat menarik ialah Anak Naga Beranak Naga dan Sugiharti Halim, dua buah film pendek tentang identitas etnis Cina Indonesia yang disampaikan dengan kuat sekali. Film pertama bersubjek musik gambang kromong, kedua lebih ke hubungan personal. Menurutku, pada dasarnya yang aktif di Kineruku bertipe seniman, dengan rentang di ranah seni lukis, fotografi, desain, dan penulisan. Rani, misalnya, dia juga seorang editor. Dia mengedit terjemahan Marguerite Duras dan Italo Calvino, dua dari sekian banyak penulis favoritnya, yang koleksi karyanya boleh dibilang lengkap tersedia di Rumah Buku.




Koleksi Rumah Buku memang luar biasa dan terpilih, dan itu jadi magnet luar biasa bagi pangsa di dunia sastra, kritik, film, desain, seni, arsitektur, komunikasi, media, sejarah dan pemikiran. Buku unik, baik yang didesain menakjubkan dengan teknologi tertentu, sangat langka, klasik dan legendaris, dinilai sangat berpengaruh, ada di sini. Begitu juga koleksi film dan musiknya. Miles Davis, Pat Metheny, Keith Jarrett, Youssou N'Dour, SimakDialog, King Crimson, Feist, Arcade Fire, Jack Johnson, Tibor Szemzo, Ravi Shankar, bertaburan. Pantas karena itu beberapa bulan lalu Rolling Stone Indonesia menyebut Rumah Buku sebagai "the coolest library in town."



Di acara Teman-teman Menghias Rumah Buku ini ada found object personal-bersejarah bagi Rani dan Rumah Buku, lukisan yang dikerjakan amat halus karya Judith, fotografi oleh Meicy, woodcut, juga desain arsitektural atas seekor babi.


Rumah Buku merupakan salah satu tempat terbaik di Bandung. Aku selalu ingin lama-lama di sini, untuk menulis, mengedit, menyelesaikan proyek, bertemu dengan kawan. Mungkin karena ia cukup dekat dengan rumahku. Aku juga kerap mendapat kebaikan dari Rani bersama para pegiat lainnya. Bahkan voucher pinjaman hadiah Rani belum aku habiskan jatahnya.

"Dulu, rasanya kita sering banget ke sini ya," kata Fenfen waktu kami jalan ke sana. Memang. Di ulang tahun ke enam itu kami bertemu teman-teman yang merasa terikat dengan tempat ini--para pembaca, penulis, sutradara, peneliti, kurator, kritikus, dosen, seniman, pedagang, penyanyi, arsitek. Merekalah yang menghiasi dan meramaikan Rumah Buku, meminjam koleksinya, mengambil manfaat. Meskipun ada juga pengunjung jahat, karena mereka mencuri fasilitas atau koleksi Rumah Buku, termasuk mencuri milik pengunjung lain.



Selamat ulang tahun Rumah Buku, semoga terus jaya. Keep up the good work![]

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

ANWAR HOLID, anggota Rumah Buku no. A030. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
RUMAH BUKU & KINERUKU
Jl. Hegarmanah 52 Bandung 40141
Ph/F: 022.2039615