Monday, June 19, 2017


Komentar Atas Buku Suara dari Marjin 
Oleh: Satria Dharma


Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial
Penulis: Sofie Dewayani & Pratiwi Retnaningdyah
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Halaman: 229
Tahun terbit: Mei 2017
Harga: Rp78.500
ISBN: 978-602-446-048-8


Apa itu literasi dan mengapa harus ‘dibumikan’? Literasi selama ini memang boleh dikata hanya berupa definisi canggih yang belum benar-benar membumi.  Ia hanya dikunyah-kunyah dan dirumus-rumuskan oleh para akademisi di menara gadingnya.

Tentu saja kegiatan literasi telah ada sebelumnya dan itu bisa dijejaki pada zaman-zaman sebelumnya. Tapi itu masih merupakan inisiatif-inisiatif perorangan yang sangat elitis, belum merupakan sebuah gerakan, apalagi berlandaskan semangat keagamaan atau spiritual seperti dalam Islam.

Bangsa mana saja yang memiliki budaya literasi tinggi akan menjadi bangsa maju dan berkembang, sebaliknya bangsa yang meninggalkannya akan tertinggal. Literasi menjadi tonggak kebangkitan peradaban, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Jadi upaya membangun bangsa sejatinya ialah membangun kembali budaya literasi umat atau bangsa ini agar kejayaan dapat kita raih kembali.

Rod Welford, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Queensland, Australia, telah memberi perhatian khusus untuk literasi. Ia berkata :“Literacy is at the heart of a student’s ability to learn and succeed in school and beyond. It is essential we give every student from Prep to Year 12 the best chance to master literacy so they can meet the challenges of 21st century life.

Literasi adalah inti atau jantungnya kemampuan siswa untuk belajar dan berhasil dalam sekolah dan sesudahnya. Tanpa kemampuan literasi yang memadai, siswa tidak akan dapat menghadapi tantangan-tantangan Abad Ke-21. Intinya, kemampuan literasi adalah modal utama bagi generasi muda untuk memenangkan tantangan abad 21. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Queensland telah mengeluarkan buku Literacy the Key to Learning: Framework for Action untuk digunakan sebagai acuan pendidikan mereka pada tahun 2006-2008.

Bagaimana dengan pendidikan literasi di Indonesia?

Rendahnya reading literacy bangsa kita saat ini dan di masa depan akan membuat rendahnya daya saing bangsa dalam persaingan global. “70 persen anak Indonesia sulit hidup di Abad Ke-21,” demikian kata Prof. Iwan Pranoto. Peringkat siswa kita di tes PISA terus berada di bawah sejak tahun 2000 sampai sekarang.

Alhamdulillah, sejak turunnya Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang mencantumkan adanya kewajiban bagi sekolah untuk membudayakan membaca melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS), maraklah kegiatan literasi di berbagai daerah, utamanya di sekolah-sekolah. Gerakan Literasi Sekolah ini bak oasis bagi hilangnya budaya membaca dan menulis bagi siswa di sekolah selama ini.

Sejak gerakan Gerakan Literasi Sekolah diluncurkan, berbagai daerah seolah berlomba untuk menunjukkan gairah membaca dan menulis siswa dan guru. Contoh, sejak dideklarasikan sebagai Provinsi Literasi setahun lalu, DKI Jakarta berhasil mendorong siswanya untuk membaca sebanyak satu juta buku. Di Surabaya program Tantangan Membaca Surabaya 2015 berhasil memotivasi 39.000 lebih siswa membaca 20 buku per orang. Siswa di SMAN 5 Surabaya berhasil membaca 1.851 buku hanya dalam dua bulan. Berbagai sekolah berhasil mendorong siswanya untuk menulis dan menerbitkan karya tulis dalam bentuk buku. Untuk guru program SAGUSABU (Satu Guru Satu Buku) yang digawangi oleh Media Guru dan SAGUSABU yang dilaksanakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) berhasil mendorong ribuan guru untuk mulai menulis dan menerbitkan buku mereka sendiri. Literasi telah dibumikan kembali setelah selama ini menghilang dan tidak pernah dipahami urgensinya.

Buku Suara dari Marjin ini unik dan menarik karena ditulis oleh dua orang doktor di bidang bahasa yang sama-sama menggawangi program Gerakan Literasi Sekolah. Tentu saja mereka berdua sangat otoritatif untuk berbicara tentang literasi dan bagaimana membumikannya karena sama-sama berprofesi sebagai dosen yang mengajarkan kemampuan literasi. Yang lebih unik adalah bahwa buku ini berangkat dari penulisan ulang disertasi mereka ketika mengambil program doktor. Sofie di University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat, Pratiwi di University of Melbourne, Australia. Yang membuatnya sangat menarik adalah bahwa penulisan ulang disertasi ini dilakukan dengan gaya bahasa populer yang membuatnya seperti sebuah novel saja laiknya. 

Buku ini sangat penting untuk dibaca oleh para pengambil kebijakan pendidikan, pelaku pendidikan, maupun para aktivis yang bergerak di bidang pendidikan, baik di sekolah maupun masyarakat. Pemahaman akan konsep literasi yang kontekstual dan autentik dari para pemangku kepentingan di bidang pendidikan akan mampu memberikan arahan dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam kegiatan literasi. Apa yang telah dilakukan pemerintah melalu berbagai programnya akan diperkuat dan diperkaya oleh praktik literasi lokal yang mengakar pada praktik budaya dan jati diri bangsa.

Satria Dharma, Penggagas Gerakan Literasi Sekolah – IGI (Ikatan Guru Indonesia).

Wednesday, June 07, 2017



Ke Mana Arah Gerakan Literasi Kita?
Membaca dan Merenungkan Suara dari Marjin (Sofie Dewayani & Pratiwi Retnaningdyah)
--Hernowo Hasim

Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial
Penulis: Sofie Dewayani & Pratiwi Retnaningdyah
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Halaman: 229
Tahun terbit: Mei 2017
Harga: Rp78.500
ISBN: 978-602-446-048-8


Ketika menerima kiriman draft buku Suara dari Marjin, saya langsung bilang ke Mbak Tiwik--panggilan akrab Pratiwi Retnaningdyah--dan Mbak Sofie bahwa Bab 2 dan Bab 3 sangatlah mengesankan. Dua bab tersebut berisi pengalaman literasi kedua penulis yang juga menjadi anggota satuan tugas Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud.

Mbak Tiwik adalah doktor literasi dari Universitas Melbourne, Australia, sementara gelar doktor Mbak Sofie diraih di Universitas Illinois, Amerika Serikat. Sebelum saya memperoleh buku karya kolaborasi mereka, saya sudah membaca banyak tentang pengalaman literasi Mbak Tiwik lewat website IGI (Ikatan Guru Indonesia) yang diposting oleh Pak Satria Dharma. Tulisan-tulisan Mbak Tiwik sangat menginpsirasi saya untuk menggerakkan literasi sejak dini.

Saya baru mengenal secara dekat Mbak Sofie ketika diundang oleh satgas GLS—yang diketuai oleh Dr. Pangesti Wiedarti—dalam acara FGD (focussed group discussion) yang membahas topik penjenjangan buku. Sehabis ketemu di acara tersebut, Mbak Sofie kemudian mengirimkan beberapa file artikel yang ditulisnya tentang literasi kepada saya via email. Saya pun banyak mendapat sudut pandang baru dalam memandang literasi.

"Menjadi literat lebih kompleks dari sekadar memahami simbol tertulis," tulis Mbak Sofie di halaman 26 ketika menjelaskan pengalaman literasinya di negara Paman Sam. "Perlakuan yang diberikan kepada kelompok minoritas yang tidak berbicara dengan bahasa kaum mayoritas, tidak berperilaku, atau berpikir, atau memahami konsep tentang kebersihan, keamanan, gaya hidup sehat, memuat diskursus tentang literasi yang bukan sekadar aksara, namun juga cara hidup dan berbudaya."

Salah satu pengalaman literasi Mbak Tiwik yang saya ingat hingga kini--saya memposting di Facebook pada 24 Juni 2012 dan memposting ulang pada 2 Maret 2015--adalah tentang "reading centre." Mbak Tiwik menulis, "Yang dimaksud Reading Centre ini sebenarnya hanyalah salah satu ujung ruang bermain seluas 1 X 1 meter persegi. Ada rak buku kecil dan beberapa buku. Di atas rak yang lain ada beberapa kardus berisi buku. Empat kursi sofa untuk ukuran anak-anak ditata seperti ruang tamu. Tidak luas, namun nyaman.

"Ada sebuah poster tertempel di dinding yang menyebutkan fungsi Reading Centre sebagai tempat anak-anak untuk bersantai, menikmati dan mengeksplorasi buku-buku dalam suasana yang tenang dan menyenangkan. Anak-anak bisa merasakan pengalaman memegang dan membaca buku, terlibat dalam komunikasi non-verbal, memaknai gambar dan teks, dan bercakap-cakap tentang apa yang mereka temukan dalam buku-buku tersebut. Pengalaman-pengalaman inilah yang akan membawa mereka ke ‘pengalaman membaca yang sebenarnya."

Terus terang pengalaman literasi Mbak Sofie dan Mbak Tiwik tersebut kemudian sedikit "memaksa" dan mengarahkan saya untuk membaca secara mendalam Bab 7. Judul Bab 7 buku Suara dari Marjin kemudian saya pakai untuk menjuduli tulisan saya ini. Mbak Sofie dan Mbak Tiwik dengan bagus mempertanyakan arah gerakan literasi kita. Katanya, literasi saat ini diperlakukan seperti fashion. "Kita beramai-ramai memakainya agar tak tertinggal gerbong pendidikan modern. Pada gerbong ini, kriteria kemelekaksaraan menjadi usang. Kita mengamini bahwa seseorang tak cukup dapat membaca. Ia harus dapat memahami bacaan tersebut, menganalisis, memilahnya, lalu menggunakannya untuk meningkatkan taraf kehidupan…. Namun, apakah gerakan literasi kita melangkah ke arah yang seharusnya?"

Buku Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial (PT Remaja Rosdakarya, Mei 2017) sangat mencerahkan diri saya. Apakah suara-suara yang berasal dari buku ini akan didengarkan oleh bangsa yang sedang mabuk literasi saat ini? Apakah arah gerakan literasi--yang dicoba dikritisi oleh buku ini--akan benar-benar melangkah ke arah yang seharusnya? Apakah literasi lokal yang mengakar pada kekhasan praktik budaya dan jati diri bangsa--sebagaimana dibahas dengan sangat menarik oleh buku ini—akan mendapat perhatian pula?

Terima kasih Mbak Sofie Dewayani dan Mbak Tiwik yang sudah menulis buku bagus dan penting ini.[]

Hernowo Hasim, perumus konsep “mengikat makna”, penulis buku Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza