Thursday, May 12, 2022

Mudik Fisik dan Spiritual

Oleh: Anwar Holid

 

Waktu kecil aku tak tahu apa itu mudik. Yang aku tahu ialah mau ketemu saudara sepupu. Karena tinggal bareng uwak, aku bisa Lebaran di Bandung, Tasik, Kuningan, atau Cijulang, Pangandaran. Tergantung mayoritas keluarga orangtua mau ngumpul di mana. Tak mesti ke Lampung, tempat tinggal orangtuaku. Jadi pas Lebaran aku belum tentu ketemu orangtua. Tergantung mereka mau kumpul bareng keluarga di Jawa atau dengan keluarga ibu di Lampung. Yang pasti, Lebaran = liburan. Suasana menyenangkan karena banyak main, ngabuburit, jalan-jajan, ketemu saudara, baik yang seumuran atau lebih tua. Dikasih hadiah. Puncaknya dapat angpau pas Lebaran.

Lebaran bareng saudara mematrikan bahwa kita merupakan bagian dari keluarga besar. Meski mungkin sebagian saudara tidak akrab, itulah keluarga sedarah kita, yang kita andalkan atau mendampingi di saat tertentu, misalnya saat kawinan, butuh bantuan, dan kematian.

 

Jalan Melaris, Lampung Timur.

Baru setelah dewasa dan (pernah) nikah, aku merasa perlu mudik. Baik ke orangtua atau mertua. Kalau tak mudik dianggap aneh. Padahal menurutku tak mudik sebenarnya baik-baik saja. Kita kan sudah punya keluarga sendiri, ngapain repot kumpul bareng keluarga lain?? Tapi ya jelas mudik punya manfaat, nilai, dan budaya sendiri, termasuk berdampak ekonomi besar. Mudik itu seru dan menyenangkan bagi anak-anak (keturunan baru), sebagaimana dulu aku juga gembira diajak mudik.

Cuma jujur ada yang aku kurang suka dari mudik. Ribet, desak-desakan, bawa gembolan, harga-harga mahal, tuslah — mungkin juga muntah, calo, kecopetan, termasuk kecelakaan mematikan. Orang bisa kelelahan dan tidur di terminal buat mudik. Di masa lalu cerita soal mudik kerap lebih dramatik, ketika moda transportasi masih belum tertata dan maju. Orang bisa berhari-hari di perjalanan sebelum tiba kelelahan sekaligus lega. Tahun lalu ada berita orang rela menyelundup di bagasi bus demi bisa mudik waktu pemerintah melarang mudik di puncak pandemi Covid-19. Apa coba poin dari mudik seperti itu?? Kangen yang membludak ke orang-orang tercinta, hingga tak tertahankan lagi? Atau karena sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi di perantauan, kehilangan usaha dan harapan, jadi lebih baik mudik saja? Aku pernah berdiri di bus ekonomi dari Merak ke Bandung, saking penuh dan malas menunggu lebih lama lagi — itu pun belum tentu dapat kursi. Itu bukan pengalaman menyenangkan waktu mudik dan arus balik. Yang juga ganjil waktu mudik ialah rasa canggung ketemu orang-orang lama yang dulu dekat, tapi karena tak pernah kontak lagi jadinya bingung mau ngobrol apa setelah ketemu, selain sekadar update status.

 

Apa mudik seperti ini yang Anda inginkan?? (Foto  dari internet.)

Dulu sebelum era sosial media tiap mudik aku bawa beberapa buku. Biasanya pilih yang tebal, karena kegiatan selama mudik juga minim. Mudik memberi waktu luang untuk bisa menghabiskan sejumlah buku yang tak sempat didalami karena tersita rutinitas dan kesibukan lain. Kegiatan yang paling sering ialah mengunjungi sanak famili, menguatkan lagi tali silaturahmi. Puncaknya berupa pertemuan keluarga besar satu bani atau arisan.

Mudik terakhir sebelum pandemi (2019) aku hanya bawa satu buku tebal, sisanya banyak baca sosial media dan ikut nyemplung. Yang mengesankan malah aku menyortir biji kopi mentah (green beans) jualan ibuku. Itu biji kopi murahan, banyak yang belah. Menyortir kopi dengan tangan butuh kesabaran dan ketelitian, sementara hasilnya sedikit. Mendapat biji kopi yang baik dan layak konsumsi butuh waktu lama. Harus dipilih, disangray, dibubukkan lebih dulu, baru kita dapat kafein dan aromanya. Kopi butuh proses panjang sebelum akhirnya diseduh atau diolah jadi minuman favorit.

Di era teknologi informasi mudik terasa lebih tergesa-gesa datangnya. Tiket untuk perjalanan masa libur panjang sudah diperebutkan jauh sebelumnya. Bikin harga jadi mahal. Memang orang tidak berdesak-desakan antre di depan loket, tapi keluhan kehabisan tiket tetap ada atau dia terpaksa bayar lebih mahal untuk mendapatkannya. Mirip dengan kondisi lama.

Dari dulu aspek yang kerap muncul saat mudik ialah pamer alias flexing. Mungkin orang pamer dengan harta, bawaan, dan kendaraan. Tapi curiga bahwa seseorang pamer menurutku problematik. Orang bisa bawa banyak barang untuk dibagi-bagi atau disumbangkan ke kerabat dan orang yang berhak. Orang bawa kendaraan mewah karena memang mampu dan demi kenyamanan perjalanan. Ia berhak, layak atas keberhasilannya, dibawa ke kampung tanpa maksud pamer. Mungkin pamer baru terasa kalau sikap orang itu sombong dan terus-menerus membanggakan pencapaiannya.

Rumah Tetangga.
 

Karena berbagai sebab sebagian orang tak bisa mudik. Mungkin dia kena musibah, kurang uang, atau terhalang karena terikat kontrak yang melarang mudik. Tenaga kerja Indonesia ada yang baru boleh mudik setelah dua atau lima tahun kerja di negara-negara Arab. Belum lagi biaya pasti mahal. Bayangkan kita sendiri yang mengalaminya. Mungkin terlalu berat buat ditanggung. 

Sebenarnya makna apa yang kita dapat saat mudik? Apa jeda dan reda dari rutinitas panjang? Apa kerinduan dan kelegaan bisa bareng orang-orang yang tulus kita cintai dan hormati? Atau pengingat betapa seseorang pasti punya tempat asal, meski belum tentu bakal jadi kampung terakhirnya. Waktu Nabi Muhammad mendatangi kota Mekkah setelah meninggalkannya 10 tahun, beliau tidak bermaksud kembali untuk mudik, melainkan 'membebaskan.' Beliau juga tidak memutuskan tinggal lagi di sana, tapi kembali ke Madinah yang telah menerima dengan ramah dan menjadikannya sebagai kampung halaman baru hingga meninggal dunia.

Mudik bisa jadi bermakna ruhaniah (spiritual) yang tak butuh hal-hal fisikal. Mudik seperti ini bertujuan menenangkan diri, mundur dari segala yang bersifat duniawi, upaya mendekatkan diri pada Allah dan mencapai kesempurnaan diri. Saking kangen, teman fowesku Agus Kurniawan bilang begini: 'Aku kadang rindu mudik ke asal ruh-ku. Mungkin luar biasa bisa melakukan perjalanan ruhani kayak Rasulullah, Buddha Gautama, atau Santo Agustinus.' Bernas!!![]

Anwar Holid aka Wartax, tinggal di Tangerang Selatan. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.