DAVID LURIE
------------
>> Anwar Holid
Saya mengenal lelaki itu karena bisnis. Waktu itu saya di kantor, dan karena tugas, saya yang kadang-kadang harus menemui orang yang berurusan dengan kantor. Tak pernah terbayangkan ternyata lelaki blak-blakan itu adalah seorang profesor sastra Inggris. Awalnya saya tidak terkesan dengan perkenalan itu, bukan karena dia tidak ramah, melainkan lebih karena dia terlampau mengejutkan untuk sebuah pertemuan pertama. Biasanya kita mengawali perkenalan dengan ramah-tamah gaya lama, yang isinya wajar bisa diterima siapa pun; misalnya tentang kabar hari ini, berita sehari-hari, termasuk kejadian politik yang baru terjadi. Seberapa sering kita bisa dengan lega membicarakan yang benar-benar tentang diri sendiri? Tentu saja jarang, sebab diri sendiri kerap mengalami kegelisahan, yang bila dibagi pada orang lain, kita tidak bisa menjamin dia akan bisa menerimanya dengan lega; tentu saja karena ada aba-aba 'belum saatnya', atau 'terlalu awal' untuk sebuah perkenalan.
- Untuk lelaki seumur saya, 52 tahun, cerai, saya pikir saya bisa menyelesaikan masalah seks cukup baik; itu yang diucapkannya tak lama setelah kami duduk bersama, memperkenalkan diri, berbasa basi sangat singkat. Apa maksud dia bilang seperti itu? Itu ucapan terus terang atau semacam pengakuan? Apa maksud dia menyelesaikan masalah dengan pelacur? Cara menyelesaikan masalah seks cukup baik bagi seorang duda? Terus terang ceritanya membuat selera seks saya juga langsung naik; sebagaimana lelaki pada umumnya saya kadang-kadang memiliki masalah seks. Ternyata benar. Dia tak sungkan bilang punya simpanan, seorang call girl kelas tinggi, berkulit coklat; persetubuhan mereka yang lama dan liat---seperti perkawinan dua ekor ular.
Sebenarnya dia sendiri agak jatuh cinta pada pelacur muda itu, tapi dalam banyak hal dia tahu diri tak bisa menjadi seorang kekasih bagi perempuan itu. Dia tetap seorang pelanggan biasa, tak ada haknya melarang perempuan itu menerima lelaki pelanggan lain. Tapi dengan begitu lelaki itu juga jadi tahu cara memenuhi hasrat seksualnya; kalau tidak mengencani istri-istri koleganya sesama dosen, yang bisa dirayu bila mau, dia tidak segan mencari pelacur lain. Atau pegawai perempuan universitas. Untuk lelaki seperti dia, seorang profesor, berpenghasilan cukup, punya jabatan, dapat beasiswa, hidup sendiri, tak banyak keinginan, sederhana, dia bisa membelanjakan uang untuk membayar perempuan yang disukainya, siapa saja. Hidup yang tentu saja sangat nyaman bagi seorang kasanova, atau womanizer.
Profesor berkulit putih itu bernama David Lurie, dosen kajian puisi, spesialisasi puisi zaman Romantik, mengajar di Universitas Teknik Cape. Dia sedang menekuni studi tentang Lord Byron, yang entah kenapa mirip dengan dia dalam satu sisi: suka perempuan, dan perempuan tampaknya juga mudah sekali jatuh memberikan cinta dan seluruh tubuh pada pelukannya. Barangkali sudah begitu nasib menentukan jalan hidupnya, dan dia sekadar menjalaninya. Sebenarnya saya bosan dengan indikasi seakan-akan sejumlah penyair atau penulis itu banyak yang punya skandal seks. Penyair kan tidak beda dengan pengusaha, misalnya. Pengusaha atau politikus juga banyak yang punya skandal seks, tapi kenapa itu tampaknya kurang istimewa bila dibandingkan skandal seks seniman?
Dua kali menikah, dua kali cerai, punya anak satu, dengan banyak skandal seks dalam hidupnya. Dia tak menyangkal memang hanya ingin bersenang-senang dalam hidup, melakukan sesuatu yang semata-mata disukainya. Apalagi keinginan seseorang yang hidupnya nyaris tak kekurangan? Keinginan itu adalah menuntaskan kepuasan batin. Untuk itu pun dia tahu cara memenuhinya: dia menulis kritik, sudah tiga buku dia hasilkan. Meskipun dia juga mengakui dengan sederhana bahwa ketiga buku itu 'tidak menimbulkan riak sedikit pun' di dunia kritik sastra. Dia berharap karya tentang Lord Byron itu bisa menimbulkan riak, setidaknya kepuasan untuk dirinya. 'Kepuasan' saya pikir cocok untuk mengidentifikasikan dirinya. Bila belum puas, dia akan terus; bila sudah, dia akan berhenti.
Setelah perkenalan singkat itu saya pikir dia akan mengenalkan salah satu perempuan teman kencannya pada saya, atau menceritakan perselingkuhan lainnya. Yah, itu harapan saya. Tapi ternyata saya kecele. Dia pernah bilang, sebenarnya dia tidak disukai kolega perempuannya, apalagi yang punya kecenderungan 'feminis'. Di jurusannya ada satu-dua dosen perempuan yang terang-terangan ingin menyingkirkan dia, tapi sejauh ini gagal. Saya tidak tahu apa itu disebabkan pengaruhnya di kampus, atau justru karena kesenioran dan kesarjanaannya. Saya pikir karena kesarjanaannya; artinya, menyingkirkan seorang profesor pasti butuh usaha luar biasa, atau kejadian luar biasa; tidak bisa memecat begitu saja seperti pada dosen muda. Seperti dinosaurus, yang begitu luar biasa, sampai hanya bisa musnah oleh kejadian yang juga harus ekstrem.
Saya juga sebenarnya bisa dibilang tidak akrab benar dengan dia. Persahabatan kami memang tambah baik setelah perkenalan itu, tapi itu lebih disebabkan bisnis. Menurut saya sendiri, dia lelaki pendiam dan penyendiri. Karena itu dia sesekali menawari minum bareng, dan saya terima dengan terbuka. Untuk apa saya tolak? Dia simpatik. Saya pikir karena itu dia bisa meniduri perempuan manapun; selain itu dia tampan dan punya segala yang bisa diinginkan perempuan. Dia rela memberi hadiah berharga bahkan pada pelacur favoritnya; mana ada lelaki mata ke ranjang bisa begitu pemurah? Ketampanan memang merupakan pemikat yang tak kenal kendala. Lord Byron juga tampan, dan meskipun kewarasannya diragukan, bajingan, dia bisa meniduri banyak perempuan dan dia sendiri jadi rebutan. David pernah cerita kenapa bisa begitu mudah dekat dengan perempuan. Sejak kecil dia diasuh oleh banyak perempuan di keluarganya; bisa pembantu, bibi, atau istri-istri ayahnya. Barangkali secara alamiah dia punya bakat dekat dengan perempuan, dan perempuan juga nyaman ada didekatnya. Disebabkan ketampanan, sekali dia melirik, OK sajalah. Sebenarnya, bagi dia sendiri, perempuan dan seks itu fungsinya benar-benar untuk melepaskan energi dan protein yang menggumpal dan berlebihan. Saya tak bisa komentar apa-apa tentang itu.
Waktu terakhir kali kami bertemu, dia bilang jatuh cinta pada seorang mahasiwanya. Dari ceritanya, saya mengira gadis itu berkulit hitam.
- Kami bertemu di jalan sepi belakang kampus. Saya menyapanya, tapi ternyata akhirnya dia saya undang minum di rumah. Dia seolah-olah memberi cahaya. Saya jatuh cinta dan tiba-tiba merasa jadi budak Eros. Dan setelah itu, terjadilah.
Dari nadanya dia berkata sungguh-sungguh. Tapi bila sangsi, mana bisa kita percaya pada bajingan? Ditiduri lagi. Mahasiswanya, berusia dua kali lebih muda dari dia, bahkan lebih muda lagi. Dalam hati saya bilang, dia ini memang kasanova, tak bisa hidup tanpa memeluk wanita, maunya jatuh cinta melulu setiap melirik 'barang halus'. Tapi bisa jadi memang begitu. Orang bisa jatuh cinta pada siapa saja dengan kualitas 100 % sama namun bentuknya beda-beda. Dalam kasus David, misalnya, dia juga jatuh cinta pada pelacur langganannya, ingin mereka mengekspresikan cinta dengan normal, tapi akhirnya tidak bisa; pelacur itu merasa tidak layak karena punya keluarga, suami, dan anak. Bila Anda percaya pada kualitas David Lurie, dia bisa menerima apa saja keadaan orang lain---apalagi bila menjadi kekasihnya. Lurie adalah tipikal manusia yang sebenarnya sangat egaliter, terbuka, tak mau repot, menempatkan kenikmatan dan kenyamanan hidup sebagai tujuan hidup nomor satunya. Barangkali dia sadar menjalani Epicureanisme. Tapi apa dengan begitu dia jadi tampak istimewa? Bisa jadi tidak.
Setelah itu kami lama tak jumpa. Beberapa waktu setelah tak ada yang istimewa, tiba-tiba terdengar berita mengejutkan, Prof. David Lurie disidang dengan tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan pada mahasiswanya. Tentu saja heboh; kenapa kali ini kenapa dia ceroboh? Berita itu bahkan masuk koran. Ternyata mahasiswa itu punya pacar, dan dia marah sekali tahu kekasihnya kencan dengan dosen, tidak terima, dan berhasil memaksanya melakukan tuntutan. Ditambah lagi saudara dan keluarganya juga marah. Karena tertekan, mahasiswa itu akhirnya keluar kuliah. Runyam. Bukankah mereka jatuh cinta? Sidang itu jadi skandal, dan dia kalah. Dia memang menerima tawaran agar mengaku salah melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan, tapi menolak minta maaf pada universitas, apalagi terhadap peristiwa itu. 'Buat apa?' kata dia bertahan. 'Bukankah kalian minta pernyataan bahwa aku salah melakukan itu? Aku mengakuinya. Tanpa syarat. Tapi buat apa minta maaf? Kami jatuh cinta. Tak ada yang salah dengan itu.'
Begitulah dia dipecat dan jadi cemoohan. Reputasinya di kampus hancur. Tapi setidaknya dia dapat pensiun. Pensiun seorang guru besar. Di satu sisi dia lega; menurutnya sendiri, dia pernah mengaku pada saya, dia tak punya bakat mengajar. (Memang benar, bakatnya adalah bercinta). Dia jadi dosen hanya untuk mata pencaharian, sama sekali tak bisa memotivasi mahasiswa. Sebagai dosen dia sangat biasa, cara mengajarnya tak istimewa, tak bisa memikat agar mereka lebih cinta ilmu dan pengetahuan, apalagi belajar pada kehidupan. Jika mahasiswa tak mendengar kuliahnya, silakan; asal nanti lolos ujian. Saya sepakat dengan komentar tentang dirinya itu. Siapa bisa bersimpati atau perhatian pada lelaki mata ke ranjang dengan moral sangat longgar? Barangkali tidak ada, meski yang dia ucapkan kadang-kadang benar. Andai seseorang berdebat dengan pelacur tentang agama, dan pelacur itu di atas angin melancarkan serangan argumen, bisa mendesak nyaris menang, dengan mudah orang bisa menyergah dengan jurus ampuh, 'Ah, tahu apa pelacur tentang agama!'
Sekarang dia bisa menghabiskan waktu sesuka hati. Sesak karena sidang dan tatapan orang, dia pindah sebentar ke rumah putrinya, di desa pinggiran kota Cape. Di sana dia bertekad menyelesaikan karya tentang Lord Byron, tanpa terduga hasilnya adalah naskah opera kamar. Tapi tanpa pernah terkira, kecelakaan menimpa mereka; tiga orang penjahat kulit hitam merampok rumah putrinya, menghancurkan isinya, memperkosa putrinya, menghajar dia dan membakar tubuhnya, kemudian melarikan mobilnya. Dia meradang keras sekali. Dia terpukul dan hancur oleh peristiwa memalukan ini: bagaimana mungkin seorang sarjana berkulit putih seperti dia bisa diperlakukan begitu hina, dan anaknya hamil oleh sperma manusia kulit hitam dari golongan penjahat dan bromocorah. Betapa dia merasa terhina. Tapi dalam kondisi terpuruk itu sempat-sempatnya dia bilang: risiko kepemilikan adalah kehilangan. Terlalu banyak orang, terlalu sedikit barang. Semua harus dapat bagian. Saya ingat waktu membujuk gadis yang menyebabkannya dipecat, dia merayu seperti itu.
- Kecantikanmu harus dibagi.
- Kalau sudah ada yang menerima bagian itu?
- Harus lebih banyak orang yang merasakan bagiannya.
David Lurie hancur dan marah sekali pada peristiwa yang dia alami. Saya sendiri sulit sekali berempati pada dia. Saya yakin orang lain pun akan seperti saya kalau mendengar kisahnya. Saya pernah nonton, seorang pembaca acara bertanya kepada gadis yang diperkosa ramai-ramai oleh temannya, kenapa tidak lapor polisi? Jawab gadis itu, 'Karena kalau lapor saya sendiri yang akan disalahkan. Kenapa kamu bergaul dengan mereka? Kenapa kamu melakukan seks bebas dan memakai narkoba?' Dalam kondisi runyam seperti itu jarang orang bisa bersikap jernih dan tegas, bahwa sesuatu bisa didudukkan terpisah dengan pandangan lurus. Pada kasus David Lurie, lebih sulit lagi saya bersimpati padanya, di tengah kesialan dan kesakitan itu dia masih bisa berzina dan berselingkuh dengan kawan putrinya. Herannya, perempuan itu juga melakukan persetubuhan dengan perasaan berdebar-debar dan penuh pengharapan. Astaga, manusia macam apa profesor ini?
Saya setengah tak percaya memperhatikan penuturannya, pening memandang dia. Saya sesak, sinis, sebal atas perilakunya. Tapi saya kagum dengan integritasnya, pandangan optimistik dan iktikad baiknya terhadap dunia. Meski dalam hati bertanya, 'Apa itu cukup buat dunia?' Tentu saja tidak. Manusia sama sekali tidak cukup hanya dengan jadi baik, jujur, atau optimistik.
Beberapa waktu lalu saya bertemu lagi dia. Dia bilang dengan gembira sudah selesai menulis opera kamar itu, meski tidak tahu apa bisa dipentaskan. Saya tersenyum seakan-akan tahu dunia yang dihadapinya kurang-lebih setimpal dengan hidup yang dihadapinya, yang dipandangnya. Maksud saya, dia tidak jadi cengeng atau merasa berhak menuntut keadilan atas kesukaran yang dialaminya. Kegetiran adalah bagian dari dunia, seperti juga bau busuk, kejahatan, korupsi, kasih sayang, dan semua peristiwa yang bisa terjadi. Semua wajar, semua diizinkan.
Sekadar mengumumkan, yang mengenalkan saya pada Prof. David Lurie itu adalah J.M. Coetzee, penulis Afrika Selatan pengarang Disgrace; dan bisnis saya adalah menyunting terjemahan.[] 5:58 AM 4/11/05 | Untuk Kang Tanzil dan Rani, semoga suka.