PERESENSI BERBAGI RAHASIA
---------------------------------------------------
>> Anwar Holid
Pertemuan Peresensi Pustakaloka-Kompas yang berlangsung pada Jumat, 4 Mei 2007 di Ruang Kenanga I, Istora Senayan Jakarta, persis seperti harapanku berlangsung menarik dan menyenangkan. Semua kursi tampak penuh, meski beberapa orang yang aku harapkan ternyata mangkir. Ignatius Haryanto (IGNH), J. Sumardianta, tak tampak, padahal aku ingin ketemu lagi setelah lama nggak kontak. Kang Hernadi Tanzil bahkan sejak awal sudah bilang nggak bisa datang karena ada tugas kantor yang harus dia selesaikan. Dia bilang, 'Nanti cerita-cerita tentang hasil gathering ya mas...'
Yang juga mengejutkanku, di antara hadirin ternyata ada Endah Sulwesi, seorang peresensi yang juga sangat produktif, terutama untuk fiksi. 'Yang mana orangnya?' tanyaku pada Chus, waktu kami dengan teman-teman dari Penerbit Koekoesan mampir makan di Nando's Cilandak Town Square. 'Itu, cewek kecil-kecil yang duduk di depan.' O, baru ingat. Sosoknya pernah muncul di Koran Tempo, Femina, dan Tempo. 'Coba tadi ada yang ngenalin aku ke dia,' kataku. 'Oh, belum kenal toh?' 'Sudah sih, lewat email. Tapi kan belum pernah ketemu.' Aku juga bertemu dengan Mumu_Aloha, penulis dan editor, yang bertahun-tahun lalu sempat chat dengan aku. 'Mereka-mereka' ini teman main sekomunitas yang relatif sering ketemu, meski kalau bertemu bareng sekaligus malah jarang dan relatif sulit karena terhalang aktivitas masing-masing. 'Jadi kita mesti berterima kasih pada gahtering ini karena bisa membuat kita ketemu bareng,' begitu aku dengar salah seorang bilang di belakang mobil, entah Chus atau Mumu. Muhidin M. Dahlan, kawan lama dari Jogja juga datang. Dia kini justru sering tinggal di Jakarta.
Dalam perjalanan ke Nando's yang tersendat-sendat karena macet Damhuri Muhammad terus-menerus ngomong soal sumbangan dan pengaruh Sriti.com bagi perkembangan karir penulis muda. 'Aduh, hati gue rasanya berpasir deh denger komentar seperti ini,' begitu balas Chus. Ternyata Chus, Sjaiful, dan Win dari Salju Bogor (Salbo), yang menggerakkan Sriti.com, ialah alumni IPB. 'Wah, aku beberapa bulan lalu kenalan sama mas Siba (Dwi Setyo Irawanto). Dia keluaran Kehutanan loh.' Ternyata dia senior Sjaiful.
H. Witdarmono sebelum menyampaikan topik standar cara meresensi dan hakikat meresensi, dia membaca langsung contoh resensi dia atas To Kill a Mocking Bird (Harper Lee), yang dia tulis bertahun-tahun lalu sebelum novel itu barusan diterjemahkan Femmy Syahrani dan diterbitkan Qanita. Waktu mendengar resensi itu dibacakan, aku langsung bisa merasakan bahwa itu contoh resensi yang bagus. 'Saya berani bilang bahwa meresensi itu mungkin puncak dari menulis,' begitu yang aku ingat dari salah satu ucapannya. Di antara standar resensi yang dia tetapkan ialah sejarah penulis, latar situasi sosial-budaya, relevansi penerbitan, dan cara menyajikan, di samping tentu saja menceritakan tentang isi buku tersebut. Terasa pertimbangannya sebelum meresensi mencakup banyak hal. Dia mengaku rata-rata menghabiskan sepuluh hari untuk menuntaskan resensi yang betul-betul siap dipublikasi. Pernah waktu tinggal di New York (?), dia ingin sekali menulis tentang The Satanic Verses (Salman Rushdie) yang persis sedang heboh karena penulisnya difatwa mati oleh Imam Khomeini. 'Tapi kalau saya meresensi buku ini, mungkin justru Kompas yang kena hujat di Indonesia,' kata dia. Alternatifnya, dia menulis esai tentang realisme magis (magic realism) dengan menyebut novel itu sebagai contoh utama. Peresensi juga mesti punya strategi tertentu untuk membaca situasi yang sedang berkembang, termasuk pada sensitivitas publik.
Mungkin karena H. Witdarmono menyampaikan materi dengan berdiri di depan forum, tidak duduk di podium, suasana jadi santai. Ketika bicara, aku pun akhirnya memutuskan berdiri di depan forum juga, setelah ikut menyimak penuturan H. Witdarmono di barisan paling depan. Yang paling aku fokuskan dalam pertemuan itu ialah harapan agar resensi di Indonesia terus berkembang, mengalami kemajuan, seiring industri buku yang tengah pasang naik. Fungsi resensi bagi perkembangan industri buku pastilah signifikan, perkembangannya mesti dicermati bukan saja di media massa biasa, melainkan juga termasuk resensi yang ada di blog dan milis (mailing list). Resensi di media itu justru berseliweran dan perkembangannya mungkin di luar dugaan banyak pihak. Aku termasuk yang suka membaca banyak posting resensi dari milis, dan selalu salut betapa mereka bisa mencerap buku dengan cepat begitu terbit/beredar di pasar. Kata Tanzil, 'Mereka umumnya rajin memposting resensi baru, biasanya seminggu sekali, namun ada juga yang seminggu bisa dua atau tiga buku! Mereka memang tak pernah masuk media cetak tapi bagi para pecinta buku dan punya akses internet, blog mereka selalu menjadi blog yang wajib dikunjungi.'
Sebagian orang yang hadir dalam pertemuan itu termasuk mereka yang rajin meresensi, meski belum pernah dimuat di media seperti Kompas. Baik-baik saja sebenarnya. Cuma memang redaksi punya standar tertentu yang harus dipenuhi agar sebuah artikel layak muat. H. Witdarmono menegaskan kriteria ini dengan sangat tepat, yaitu 'Setiap surat kabar adalah sebuah pribadi.' Tarik-menarik antara kontributor dan media ini merupakan ranah yang amat lentur dan dipengaruhi banyak faktor, dan kita bisa bisa belajar banyak dari situ. Dari resensi yang dimuat, kita bisa belajar tentang keluasan dan ketajaman analisis, kelenturan berbahasa, kelincahan menulis, diksi yang sangat banyak, juga ketulusan dan idealisme. Resensi di blog dan milis juga punya kekuatan sendiri. Posting mereka bisa mengundang komentar puluhan orang sehari dan langsung bisa memancing reaksi banyak orang. 'Kadang-kadang mereka juga suka janjian membaca dan mereseni buku yang sama,' tambah Tanzil.
Meresensi di media massa dan blog/milis punya daya tarik dan kekhasan masing-masing. Yang paling penting barangkali kesungguhan menulis. Aku sendiri sadar kelemahanku yang paling besar justru kurang produktif meresensi, bahkan suka gagal menemukan inti buku setelah baca, atau kesulitan menentukan akan berangkat dari mana resensi itu. 'Betul, meresensi itu kan nggak bisa dipaksa,' kata Damhuri Muhammad. Aku setuju poin itu, tapi sebenarnya aku juga yakin bahwa usahaku kurang keras untuk menghasilkan resensi atas buku tertentu, apalagi bila buku itu benar-benar bagus dan punya keunggulan. Aku sampai sekarang selalu menyesal setiap kali gagal meresensi.
Selain bisa silaturahim dan saling kenal, di pertemuan itu kami sekaligus bisa berbagi banyak hal, baik tentang buku dan penulis favorit, jenis yang sama-sama disukai, dan tentu saja: cara menulis resensi sebaik dan seantusias mungkin. Para hadirin sama-sama mau saling membagi rahasia. Bahkan Aria (?), yang sering meresensi buku ekonomi mengaku tak bisa menerangkan cara meresensi; dia hanya melakukannya, dengan berusaha fokus pada buku yang dikritik. Kecenderungan ini agak lain dengan saran pendekatan resensi umum yang suka membandingkan dengan buku lain yang relevan. Sementara Kasiyanto, sejarahwan dari UI, jelas sekali keunggulannya mengulas buku kuno. Memperhatikan kekhasan, kekuatan, gairah, dan kemampuan peresensi sendiri tampaknya jadi faktor penting agar bisa menghasilkan tulisan yang bagus, bernunsa, kuat. Donny Gahral Adian menyatakan, biasanya dia berangkat meresensi justru dari adanya perasaan gelisah, gelo, bahkan jijik terhadap buku yang dia baca. Dia yakin dari situ akan lahir dialog antara pembaca dengan penulis yang kritik, sebab ada sesuatu yang dipertanyakan, digugat, dipertentangkan dengan pendapat peresensi. 'Kalau ingin memuja buku itu, mendingan Anda menulis endorsement saja.' Wah, keras juga pendapatnya tentang resensi.
Di pertemuan itu peresensi berbagi rahasia, dari yang meresensi secara tertib, kesulitan mengungkapkan cara menulis, hingga tiada lelah berusaha mencari strategi agar dimuat media massa. Poin dari situ ialah: yang paling penting justru menulis, meningkatkan produktivitas, dan ketangguhan mengetuk tuts keyboard. Mode orang menulis beda-beda, khas, saling mengayakan.
Di pertemuan itu aku menyinggung sedikit perbandingan kondisi peresensi di luar negeri dengan Indonesia, meski mungkin kurang relevan dan di luar konteks. Tapi sekadar mengungkap dan mungkin bisa jadi obrolan menarik, ternyata jadi peresensi enak dan menjanjikan juga. Di Indonesia, jadi peresensi sudah cukup enak dan menyenangkan, tapi mungkin masih jauh dari menjanjikan---terutama sebagai pilihan karir. Kalau kita sebut nama peresensi (kritik buku) ternama di luar negeri, seperti Michiko Kakutani, Martin Amis (dia juga seorang novelis sangat terkemuka di Inggris), Sara Nelson, Anthony Lane, ternyata menjadi peresensi selain merupakan pilihan yang prestisus, juga menjanjikan secara finansial. Memang kita di sini punya kekurangan yang membuat meresensi masih merupakan semacam hobi atau demi memenuhi idealisme, tapi ternyata perkembangan akhir-akhir ini menarik juga kita perhatikan, terutama resensi di blog atau yang diposting di milis. Resensi di situ ternyata berpengaruh besar juga bagi komunitas maya, dan kini kiprah mereka juga sangat diperhatikan penerbit.
Isu sindikasi media yang cukup ramai di milis jurnalisme@yahoogroups.com juga sempat aku lontarkan. Terbayang kan bila seorang peresensi mendapat bayaran berlipat-lipat dari setiap media yang bersedia membeli tulisannya. Tapi isu ini pasti berat, mengingat sistem sindikasi belum diterima di Indonesia. Di milis jurnalisme@yahoogroups.com sejumlah penulis freelance sedang berencana membangun daya tawar agar bisa menjalankan sistem ini.
Demi menjaring pasar lebih luas, sejumlah penerbit kini juga makin terbiasa mengadakan lomba resensi, terutama untuk buku yang diperkirakan bakal laku dan promosinya dianggarkan. Hadiahnya kira-kira sebesar honor pemuatan artikel opini/essay di media massa. Peserta lomba sering banyak, dan yang menang resensinya disebar ke milis atau diposting. Dampak dari lomba ini tentu saja buku tersebut mesti dibeli dulu oleh para peserta.
Pulangnya dong... semua peserta dibekali 'berkat' pertemuan, yaitu sekantong buku dari penerbit KKG. Isinya beda-beda, bergantung rezeki masing-masing. Ada yang senang dengan kebetulan itu, ada juga yang jadi ledek-ledekan. 'Wah, buku ini bukan gue banget gitu...' kata Chus waktu memeriksa sebuah judul dari kantongnya. Waktu aku periksa, tasku berisi enam judul, salah satunya kumpulan cerpen Emha Ainun Nadjib dan buku tentang kesehatan gigi (yang amat menarik minatku). Sementara Damhuri bilang, 'Wah, nyesel gue beli buku tadi...' Pertemuan peresensi itu memang diadakan dalam acara Kompas-Gramedia Fair. Pastilah ada di antara buku yang dibagi-bagi itu suatu saat akan diresensi. Aku yakin.
Wah... sudahlah. Sekarang ambil buku, baca, selami, tulis resensinya. Kirim atau bagikan ke khalayak; dari situ semoga ada yang tumbuh, baik pro dan kontra, termasuk penghargaan, atau setidak-tidaknya rasa syukur bahwa kita telah menikmati pengetahuan, buah kehidupan.[] 17:55 07/05/2007
No comments:
Post a Comment