Berakhlak atau Beragama
---------------------------------------
---Anwar Holid
Boleh jadi Jalaluddin Rakhmat dan Arvan Pradiansyah belum pernah tampil berhadap-hadapan, tapi lewat buku masing-masing mereka ternyata bisa berbagi topik serupa. Secara kebetulan buku tersebut terbit berdekatan menjelang bulan Ramadhan. Dua penulis ini jelas berbeda karakter. Yang pertama dikenal luas sebagai cendekiawan Muslim cum pakar komunikasi; yang kedua dikenal sebagai pembicara publik dan fasilitator pengembangan SDM. Persamaannya mereka berdua pandai berkomunikasi dan sukses menulis buku-buku yang mempengaruhi massa karena terbukti bestseller.
Topik yang mereka bagi bersama itu ialah keprihatinan menyaksikan fenomena orang beragama ternyata banyak juga yang berwatak buruk. Jalaluddin mengangkat semangat topik ini dalam buku yang ia juduli Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Mizan, 2007). Sementara dalam Cherish Every Moment (Elexmedia, 2007) Arvan mengusung topik itu sebagai bab yang menantang: "Orang Beragama atau Orang Baik?"
Topik ini terasa klise namun setiap kali dibahas selalu menimbulkan kontroversi, terlebih-lebih bila mengingat kita merupakan bangsa dengan jumlah warga negara beragama terbesar di dunia. Di negara yang dipenuhi orang beragama ini alangkah janggal justru terjadi tindakan pelanggaran HAM, ketidakadilan, kerusuhan massal, penindasan struktural, kemiskinan moral, maupun tindakan-tindakan antikemanusiaan. Apa arti hukum agama bila gagal mencegah pemeluknya dari perbuatan yang merugikan sesama manusia? Ada banyak kasus membuktikan orang beragama ternyata jahat dan tega merendah-rendahkan atau menyerang orang lain dengan membabi buta. Menurut Jalaluddin, itu terjadi karena orang lebih mendahulukan fiqih (tata cara hukum) daripada akhlak; sedangkan menurut Arvan salah satu sebabnya karena orang gagal memahami esensi agama. Orang seperti itu mudah mengatasnamakan keyakinan agama atau dogma, padahal dirinya sama sekali tak tercelup oleh inti ajaran agama tersebut. Orang seperti itu jadi fanatik; toleransinya pada pihak lain nol. Mereka mengutamakan hukum di atas segala-galanya sampai rela menyerang pihak lain yang berbeda. Mereka menganggap kesalehan itu diukur dari kesetiaan terhadap fiqih. Menurut Arvan, kenapa orang beragama gagal jadi orang baik karena orang tersebut menganggap agama merupakan seperangkat peraturan yang membatasi, mengikat, menyusahkan, hitam-putih. Di atas berbagai kepentingan, Nabi Muhammad menyatakan: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Hadis riwayat Al-Thabrani menyatakan: sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya yang baik, walaupun ia lemah beribadah.
Bukan semata-mata menjelang Ramadhan maka kedua buku tersebut lantas jadi menarik untuk diperbincangkan; keduanya mengingatkan kita tanpa akhlak yang baik terhadap sesama manusia dan alam, kehidupan beragama jadi sejenis omong kosong tentang Tuhan. Robert T. Pirsig di buku legendarisnya, Zen and the Art of Motorcycle Maintenance, menyatakan: Orang bisa secara fanatik membaktikan hidupnya pada politik atau keyakinan agama atau segala bentuk dogma maupun tujuan lain karena dogma atau tujuan tersebut meragukan.
Tentu penulis dari dua generasi berbeda cukup jauh ini juga bukan hendak mengampanyekan pendapat bahwa beragama itu sia-sia atau mengikuti fiqih itu nihil; melainkan para pemeluk agama harus mencamkan dalam dirinya ada sesuatu yang lebih luhur daripada sekadar formalitas atau rutinitas agama. Karena senantiasa menjanjikan hal yang paling luhur, paling mulia, agama mendidik pemeluknya menemukan hakikat ajaran. Jalaluddin menyarankan agar kaum Muslim mengubah cara pandang dari berparadigma fiqih lama-kelamaan jadi berparadigma akhlak. Sedangkan Arvan dengan ungkapan lain membidik maksud serupa, yaitu agar orang menemukan esensi agama, yaitu "kasih." Mengasihi orang lain merupakan kunci agar orang lain bisa dikatakan telah beriman (Cherish, hal. 149). Jalaluddin menarik banyak ibadah ujung-ujungnya merupakan latihan membentuk akhlak, baik shalat, puasa, zakat, dan haji. Shalat sudah jelas mestinya dapat mencegah kekejian dan kemungkaran. Puasa merupakan latihan agar orang bertakwa; orang bertakwa ialah orang yang menginfakkan harta dalam suka dan duka, mampu menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat baik.
Menarik membaca dua pendapat saling menguatkan tentang pentingnya berakhlak baik dan berlomba-lomba memberi manfaat bagi kehidupan. Orang pertama secara eksplisit memanfaatkan teks-teks khazanah Islam, orang kedua lebih implisit menggunakan pendekatan berdasar prinsip spiritualitas-universal, demi menjalani hidup agar indah setiap saat. Manfaatnya sama: bila konsisten dipraktikkan, kedua cara itu mampu mengubah orang jadi tahu betapa berharga kehidupan dan ia akan menjaga agar kehadirannya penuh makna. Arvan mengampanyekan agar setiap saat orang bisa sama-sama menghargai semua momen dalam kehidupan. Ini merupakan ajakan ambisius, apalagi bila mengingat betapa orang dikejar-kejar waktu, mengalami peristiwa buruk, dan kerap menjalani sesuatu secara terpaksa. Kuncinya orang harus menghargai dan menemukan sendiri keindahan dalam kehidupan tersebut. Jalaluddin menyebut empat ciri utama orang yang menganut 'paradigma akhlak', yaitu (1) ia mengakui adanya kebenaran jamak (multiple reality); (2) ia bisa ikhlas meninggalkan fiqih demi persaudaraan; (3) melihat ikhtilaf sebagai peluang untuk memberikan kemudahan menjalankan agama; (4) mengukur kemuliaan seseorang dari akhlaknya (Dahulukan…, hal. 62).
Mumpung Ramadhan, pertama-tama saya mengajak diri sendiri, mari menghargai waktu yang persis kita miliki sekarang dan memenuhinya dengan kemuliaan.[]
NB: Awalnya kolom ini berjudul 'Berbagi Topik Serupa.' Karena pertimbangan biar lebih tegas dan sesuai maksud, saya ubah jadi seperti di atas.
No comments:
Post a Comment