TIGEBROS KU QUEEN
Mengapa Jadi ‘Kolektor’ Queen??
Oleh: Yudhi Purwa
Pagi itu saya ditodong Anwar Holid lewat WAG Queen Fans Jabar: “Gimana sih awal mula suka Queen dan memutuskan jadi kolektornya?” Wah, saya jadi langsung diam dan mikir: “Dulu gimana ceritanya ya?”
Seperti halnya semua orang, saya pikir pengaruh awal Queen selalu dimulai dari orang terdekat, dalam hal ini terutama keluarga. Yang saya ingat, waktu masih SD dulu (sekitar 1980) ada tape deck di rumah dan paman sempat mutar album Jazz, terutama “Bicycle Race.” Jadi itu yang teringet samar-samar hingga kini. Kemudian disambung waktu ke rumah saudara menggunakan mobil, diputarlah album Greatest Hits di tape mobil selama perjalanan pulang-pergi. Alhasil seperjalanan itu mulai teracuni karena terus-terusan dengar “Flash”, "Don't Stop Me Now", "We Are the Champions", dan lain-lain.
Tanpa sadar pengalaman itu terpatri. Pas saat SMP (sekitar 1985) saya bergaul sama teman-teman yang juga suka Queen. FYI, saat itu sebetulnya wabah glam rock sudah mulai melanda. Era itu musimnya Van Halen, Bon Jovi, Europe, dan lain-lain yang lagi digilai teenagers macam kami ini — di samping wabah genre techno semacam Duran-Duran, Alphaville, A-ha, dan lain-lain. Jadi, kalau kami saat itu suka band-band ‘oldies’ semacam Queen, The Beatles, The Rolling Stones, Deep Purple, dan lain-lain kadang-kadang suka dilirik aneh karena dianggap ‘dinosaurus’ he he he... Tapi untung waktu itu saya bergaul dengan teman-teman yang cukup terbuka selera musiknya, yang menggasak semua genre music tanpa kecuali, alias ‘omnivora’! Ha ha ha.... Kami juga jadi sering saling pamer band/lagu fave, saling tukar juga pinjam-meminjam kaset, walaupun lebih banyak gak dibalikin!…😊
Balik lagi ke kesan awal... setelah hanya mengingat-ingat masa kecil dan numpang dengar kaset teman, akhirnya pas SMP itu pula saya memutuskan beli kaset Queen pertama: Live in Rio, produksi Billboard. Kalo gak salah harganya masih Rp.1.250,- dibeli di toko kaset dekat sekolah (SMPN 2, Jl. Sumatera). Karena baru punya 1, ya itu kaset diputar bolak-balik dan jadi paling senang dengar “It’s A Hard Life”.
Memorabilia Queen koleksi Yudhi Purwa. Foto: Yudhi Purwa |
Saat itu selain kaset sebagian dari kami juga senang hunting poster, kalender, hingga majalah bekas, biasanya di daerah Cikapundung, Alun-Alun Bandung, Dewi Sartika, hingga Cicadas. Sampai-sampai saya pernah waktu itu malem-malam uang yang tersisa di saku hanya tersisa cukup untuk ongkos pulang naik DAMRI saja, ha ha ha... maklum cekak. Duitnya habis buat beli majalah Hai yang ada artikel Queen-nya. Pokoknya, sekecil apa pun berita yang memuat foto atau artikel Queen pasti segera dibeli, dibaca, dan dikliping dalam album/bundel khusus. Sampai sekarang bundel-bundel itu masih saya simpen rapi. Istilahnya, mata ini jadi selalu awas bin terlatih kalau buka-buka majalah, koran, atau apa pun. Sampai saya juga sempatkan memfoto kopi artikel-artikel Queen dari majalah agar bisa digunting-gunting. Atau, pinjem sampul CD punya teman buat difoto kopi dan dikliping (waktu itu CD masih belum terbeli…☹). Saya ingat pasti: pekerjaan mengkliping sudah jadi candu buat saya, walaupun sangat menyita dan menghabiskan waktu, tenaga, dan kesabaran. Itu juga yang mungkin buat saya jadi sedikit ‘nerd’... karena lebih senang mengeram diri di kamar dibanding beraktivitas di luar seperti teman-teman seumuran.
Mohon diingat, waktu itu akses ke internet masih terbatas banget. Boro-boro internet, komputer dan laptop aja masih jauh dari bayangan, dan kalaupun ada juga gak mampu terbeli. Jadi, surfing dan download saat itu masih sangat-sangat jarang dilakukan. Andalan sumber berita musik kami hanya majalah, dan untungnya saat itu banyak majalah musik yang bagus: Aktuil, Vista, Hai, hingga tabloid Citra Musik. Juga sejumlah majalah musik impor seken yang kadang-kadang nyasar di lapak tukang majalah bekas langganan. Untuk mengakali bahan kliping, biasanya saya suka kerja sama sama teman dan saling titip: saya akan gunting dan simpenkan kalau nemu artikel/foto fave dia, demikian juga sebaliknya. Begitu saling ketemu baru kami saling barter. What a lovely friendships....
Balik lagi ke soal kaset.… Habis beli kaset pertama tadi, karena keranjingan, saya putuskan beli kaset-kaset berikutnya. Kali ini produksi Aquarius seri album “2LPs in 1”: A Night At The Opera – A Day At The Races, kemudian The Works – The Game, disambung produk lainnya: The Best, Hot Space, A Kind Of Magic. Saya juga memberi terbitan lama produksi Perina, Ultra Dynamic, dan lain-lain. Baru kemudian akhirnya asya memutuskan beli produksi Team Records seri album (totalnya ada 9 kaset). Ironisnya, hingga sekarang seri ini kok masih belum komplet juga: minus no.6 (Live Killers) dan no. 9 (A Kind Of Magic). Hiks…☹
Keranjingan mengoleksi berlanjut hingga zaman kaset lisensi, kalau gak salah pas akhir SMP mau ke SMA (1989-1990). Setiap album Queen yang ke luar pasti selalu digasak. Apalagi setelah mulai kenal dan gaul sama anak-anak ‘old skool of rock’ di Pasar Loak Cihapit, pusatnya jual-beli kaset seken di Bandung saat itu. Walaupun masih cekak dan serba terbatas, saya selalu nabung agar bisa terus beli dan mengumpulkan semua kaset Queen, album apa pun, terbitan apa pun. Sampai-sampai teman di Cihapit selalu memanggil saya “Yudhi Queen” he he he... Saat itu memang kami suka saling memanggil sesuai nama band/artis fave, semisal Ipunk Rush, Arie Dewa, Sofyan Blackmore, dan lain-lain. Saat itu sekalipun ada di tengah-tengah komunitas kolektor fanatik di Cihapit, tetap saja ada yang geleng-geleng gak habis pikir, kok ya saya masih terus beli kaset/rilisan fisik Queen sampai sekarang, ha ha..ha... Alasan saya sih macam-macam: karena covernya beda, buat cadangan (dobelan atau tripelan), perlu isinya aja, dan lain-lain alasan yang mungkin tetap ‘gak masuk di akal sehat’…😊
Jadi boleh dibilang ‘racun’ paling dahsyat ini memang saat saya terjun di “Cihapit Old Skool of Rock” itu, dari 1990 sampai sekarang —apalagi ditambah kondisi kantong yang semakin membaik (alhamdulillah…). Koleksi saya juga akhirnya semakin merambah luas ke materi rilisan fisik lainnya: LD, CD, DVD, PH (vinyl), buku, majalah impor, dan lain-lain. CD pertama yang saya miliki adalah The Miracle —dari toko kaset Palaguna dibeliin pacar karena saya ulang tahun... huhuyyy…😊 Vinyl pertama yang saya beli adalah pas mulai kerja. Seingat saya berturut-turut membeli 4 album awal. Baru kemudian disambung membeli LD, DVD, dan buku-buku tentang Queen.
Puncak ‘kegilaan’ saya sebagai kolektor (termasuk memorabilia Queen) adalah saat keranjingan action figures di 2005, dan punya rumah serta 1 kamar khusus untuk koleksi. Saat itu saya putuskan mulai lebih fokus dan rapikan semua memorabilia Queen di satu tempat, dari action figures Freddie, poster, majalah impor, buku, sampai yang kecil-kecil hingga pin, lego, perangko, T-Shirt, dan lain-lain. Bahkan kalau tidak puas, kadang-kadang saya membuat sendiri (memesan) pin, kalender, poster, kartu, dan lain-lain. Saya juga sering minta tolong teman membuatkan desain kaos, jaket, dan lain-lain biar terkesan jadi eksklusif karena cuma saya yang punya. Karena kegilaan ini pula, teman-teman sudah saling tahu betapa saya ‘really addicted’ ha ha ha....
Lama-kelamaan baik teman maupun keluarga semua mafhum bahwa saya memang fans fanatik Queen. Bahkan almarhum Bapak pun bikin saya masih terkenang hingga sekarang. Beliau sebetulnya paling anti lihat saya suka music rock, bahkan pernah tiba-tiba mematikan video konser Queen yang sedang saya tonton. Tapi, sehari setelah wafat Freddie, pagi itu dia begitu saja kasih saya uang sambil bilang, “Nih, sana pergi cari koran-koran yang muat berita idolamu itu!” What a memorable scene. Thanks Dad…☹
Kalau ditanya item koleksi Queen apa yang paling berkesan? Mungkin saya akan jawab: perangko Freddie! Saya dapet itu gak sengaja pas hunting bareng pacar di Kantor Pos Besar Alun-Alun Bandung, saat ada pameran filateli (saya dan dia sempat keranjingan filateli pas masa kuliah). Jadi, itu gak sengaja kami dapat pas lagi korek-korek tumpukan perangko bekas, dan.… “GOTCHA!” What a great gift…
Sebetulnya koleksi saya sih masih kalah jauh dibanding kolektor lain yang lebih eksklusif, lengkap, serta original. Sebagai contoh, saya tidak punya patung dada Freddie yang jadi merchandise kota Montreux, Swiss. Saya tidak punya t-shirt Queen orisinal, permainan monopoli Queen, dan exclusive item lain. Vinyl dan singels-singels Queen koleksi saya juga masih jauh dari lengkap, namun saya tidak ngoyo kejar-kejar item ini (mungkin karena faktor harga ya, he he he...)
IMHO, tentu kita kembalikan ini semua ke hobi dan selera masing-masing saja ya. As long as it makes you happy..... jalani saja. Sekalipun banyak orang menganggap kita aneh, misalnya berkomentar ‘kok kayak gitu aja capek-capek dikumpulin?’, saya sih cuek dan senang-senang saja. Yang jelas selain amat sangat bahagia menikmati koleksi, hal terpenting dari setiap item Queen yang saya kumpulkan semua menyimpan cerita-cerita yang amat berkesan. Kadang-kadang saya kayak orang aneh saja bengong-bengong sendiri di depan koleksi.… 😊
Tanpa terasa, jika dihitung dari awal mulai “teracuni” tahun 1980-an hingga sekarang, berarti sudah sekitar 40-an tahun saya tidak tergoyahkan dengan Queen. Berarti Queen sudah ngagebroskeun (menjerumuskan) saya hampir sepanjang hidup, baik dalam hal selera musik maupun semangat sebagai kolektor kecil-kecilan.
Saya pribadi bersyukur atas hal ini: karena saya punya kesukaan yang utamanya untuk stress-release, juga dihiasi indahnya kenangan di baliknya. Ini juga akhirnya mengajari saya melihat ke belakang: ternyata ada sebegitu banyak dan besar perubahan di sekeliling kita, dan sejumlah di antaranya mempengaruhi dan membentuk diri saya, hingga saya seperti sekarang. Kehangatan keluarga, persahabatan, perburuan, kesabaran, pengalaman, dan lain-lain mungkin sebetulnya merupakan nilai paling inti dari koleksi kita ini. Kenangan manis yang menghiasinya tentu tak mudah kita lupakan begitu saja.
“…Those were the days of our lives…, the bad things in life were so few…”
Yudhi Purwa, 25062020