LABEL ISLAM DAN AGAMA
---Anwar Holid
ISLAMIC BOOK FAIR dengan Pesta Buku Jakarta atau Indonesia Book Fair hanya beda sedikit saja. Di Islamic Book Fair pengunjung mustahil mendapati stand penerbit dari Kelompok Kompas-Gramedia (KKG) atau penerbit-penerbit yang tergolong non-Muslim, misal Kanisius dan BPK. Bahkan dulu ada pembaca di milis pasarbuku@yahoogroups.com berseloroh: Kalau mau beli jilbab atau baju Muslim, tempat terbaik memang di Pameran Buku Islam.
Di lain pihak, KKG makin mantap dan matang rutin mengadakan Kompas-Gramedia Fair (KGF) dengan gengsi dan skala ekonomi tambah besar. KGF di Bandung saja pada akhir 2007 lalu berhasil menarik pengunjung lebih dari 75 ribu orang, termasuk menghasilkan sebuah peristiwa impresif, yaitu penerbit Mizan membagikan seribu kopi novel Laskar Pelangi (Andrea Hirata) gratis kepada guru-guru di Bandung dan sekitarnya.
Dengan ciri khas dan daya tariknya, Islamic Book Fair jelas merupakan cara rutin menjual produk lebih murah, usaha mendapat keuntungan lebih cepat dan banyak, serta mengenalkan isu dan produk baru, termasuk di antaranya nonbuku, mulai dari stasioneri (ATK), mainan, dan tentu saja aksesoris untuk kaum Muslim.
Istilah "Pameran Buku Islam" atau "penerbit buku Islam" memang sedikit dilematis. Mizan Publika, sebuah holding company yang lahir dari kesuksesan penerbit Mizan, bisa dijadikan contoh. Menyandang nama besar sebagai penerbit Islam terkemuka sejak era 80-an, dua puluh lima tahun kemudian mereka juga giat menerbitkan buku non-Islam dari berbagai jenis parenting, how-to dan self-help, motivasi, manajemen, novel umum, bahkan mengejar tema-tema yang sedang hangat di masyarakat, dan sadar bahwa buku seperti itu hanya musiman. Praktis imprintnya, misal Kaifa, Bentang, dan Qanita, sulit dikategorikan sebagai penerbit Islam. Bila seluruh judul terbitan mereka dibandingkan, boleh jadi rasio antara yang bersubjek Islam dan non-Islam berimbang. Jelas Mizan ingin melampaui kategori sekadar penerbit Islam yang berkonotasi sempit, dan sudah melebarkan sayap ke buku umum, alias bertema non-Islam.
Sebaliknya, penerbit yang dulu jauh dari wacana Islam kini tanpa ragu menerbitkan buku keislaman. Selain keterbukaan publik, pasar yang menjanjikan jelas merupakan tantangan menggiurkan. Misal GPU, yang menerbitkan baik kajian keislaman kontemporer, beragam fashion Muslim, juga satu set buku kelas premium, Muslim Family Set, terdiri dari empat jilid plus satu CD-ROM. Erlangga sudah serius menggarap tema keislaman, sementara AgroMedia Group mengelola imprint QultumMedia. Kanisius, yang terang merupakan penerbit Katolik, menerbitkan buku tentang Al-Ghazali, wacana Islam, dan busana Muslim. Begitu juga penerbit Kompas. Karena sama-sama menerbitkan buku keislaman, mestinya penerbit tersebut diajak ikut Islamic Book Fair. Tapi kalau begitu, Islamic Book Fair jadi sama persis dengan Pesta Buku Jakarta ataupun Indonesia Book Fair. Bedanya hanya soal label dan adu reputasi.
Label bisa menguatkan brand image sekaligus memagari gerak dan pasar. Ia mengundang sebagian publik dan menolak sisanya.
MENARIK dicatat ternyata buku Islam banyak jadi bestseller yang begitu menjulang dan sulit sekali dikalahkan buku umum. La Tahzan (Aidh al-Qarni), Khadijah: The True Love Story of Muhammad Saw. (Abdul Mun'im Muhammad) sampai kini masih laris, melahirkan trend buku sejenis, bahkan me-too product.
Sejumlah bestseller Indonesia jelas merupakan berkah dari antusiasme mayoritas warga Muslim terhadap buku. Tentu agak sulit mengira bila ada banyak warga non-Muslim bakal tertarik pada Ayat-Ayat Cinta (Habiburahman El-Shirazy) atau ESQ (Ary Ginanjar). The Da Vinci Code (Dan Brown) edisi Indonesia malah diterbitkan Serambi, penerbit yang sejak awal hingga kini giat menghasilkan buku-buku Islam, dan wajar bila kemudian membuat pembaca terbesar novel tersebut kemungkinan Muslim. Begitu pula, di kota dengan budaya Islam amat kental, hanya 1-2 orang Muslim yang pernah baca Saman (Ayu Utami).
Sebagian kalangan pembaca Muslim menilai Saman dan sejenisnya merusakkan moral, namun karya yang lahir dari kalangan penulis Islam sering dianggap tipikal membosankan, dan akibatnya gagal menarik perhatian kritik yang mampu membuat sebuah karya jadi penting atau pantas dihargai, bersanding sebagai alternatif karya utama maupun kanon bagi bangsa Indonesia. Jarang sekali kalangan kritik menganggap karya fiksi Islam sebagai sesuatu yang penting, merupakan pencapaian estetika tertentu. Kalangan pembaca sastra umum (general literature) sering a priori terhadap kualitas karya fiksi Islam.
Hampir semua karya sastra Islam Indonesia ternyata tak ada yang masuk hitungan sebagai sastra berkualitas atau pantas dibicarakan sebagai karya kontemporer. Ia seolah-olah merupakan sebatas fiksi tentang umat Islam. Dalam pertemuan Forum Buku Goethe Institut Jakarta dengan Peter Ripken dari Litprom---yang tugas utamanya mencari buku agar bisa diterjemahkan dan dipasarkan pada publik berbahasa Jerman---jelas sekali fiksi Islam tak masuk hitungan dan pembicaraan, meski genre ini memberi sumbangan penting pada perkembangan industri buku Indonesia. Fakta ini menyedihkan. Namun kalangan pembaca Islam umum juga pasti keberatan bila ada yang mengategorikan Hubbu (Mashuri), pemenang I Sayembara Novel DKJ 2006, sebagai karya fiksi Islam, meski judulnya berbahasa Arab, bersubjek dunia pesantren dan mistik Islam Jawa.
Tapi sumbangan penerbit Islam lebih dari menghasilkan angka penjualan fantastik. Mereka juga melakukan inovasi dan sadar manfaat teknologi. Mizan pada akhir 2007 digandeng Google.com sebagai premier partner untuk proyek Google Book Search (GBS), setelah pada 1996 jadi penerbit Indonesia pertama yang punya situs dan 2002 jadi penerbit pertama Indonesia yang menerbitkan e-book. Bersama Digibookgallery.com kini mereka mengonversi banyak buku sebagai e-book untuk menghadapi pasar generasi zaman digital yang telah tumbuh.
Di lain pihak, penerbit Islam tua yang dulu terkemuka dan menghasilkan karya penting kini tampak kehabisan semangat, hanya mengandalkan cetak ulang buku-buku lama, kesulitan melakukan inovasi baru. Tantangan penerbit---baik Islam maupun umum---sama saja, ialah bagaimana terus meningkatkan kinerja, kualitas penerbitan, meluaskan pasar, menjelajahi tema yang belum tergarap, menempuh praktik bisnis baru. Mungkin menarik bila Islamic Book Fair disertai ruang atau acara khusus yang memperlihatkan napak tilas sumbangsih penerbitan Islam pada peradaban nasional, sebab selama ini citra pesta buku masih identik dengan cuci gudang atau pindah toko.
TARIK-MENARIK antara "agama" dan "bangsa" pada titik tertentu merepotkan dan bikin alergi kalangan umum. Penerbit Islam tentu riskan bila menerbitkan The God Delusion (Richard Dawkins), meski itu bestseller dunia. Namun penerbit umum pun bisa menghadapi risiko serupa, terutama dari kalangan Islam konservatif.
Bila ingin melebarkan sayap, penerbit Islam mesti berhasil menaklukkan pasar umum; sebaliknya, penerbit umum tahu bahwa pasar Islam juga cukup pantas digarap. Penerbit Islam ingin melampaui beban psikologis yang bisa menghalangi peningkatan kinerja, sementara penerbit non-Islam malas bila sampai dianggap antipati terhadap Islam, karena itu mereka membuka diri. Biar nanti penerbit Islam lebih leluasa bergerak merambah buku umum dan penerbit non-Islam juga mendapat dukungan serta kepercayaan sepantasnya dari umat Islam bahwa mereka bisa menerbitkan buku Islam dengan baik.
Meleburkan label agama demi kepentingan bersama (nasional) jelas alot dan butuh kebesaran hati, karena agama berkepentingan dengan dakwah (syiar) dan butuh keagungan tertentu. Lebih baik membiarkan tujuan agama jadi hidden agenda masing-masing penerbit, dan mencurahkan energi demi perkembangan buku nasional secara keseluruhan, alih-alih eksklusif untuk kepentingan agama tertentu. Ada banyak agenda penerbitan yang belum terjelajahi dan patut digarap lebih baik, banyak kualitas buku nasional masih menyedihkan, dan kelompok kecil literer patut mendapat dukungan baik dari penerbit dan pemerintah. Semua itu baru bisa jadi agenda kerja bila semua pihak berhasil melampaui batasan agama.
Kini penerbit tahu bahwa yang paling penting ternyata ialah pasar itu sendiri, yang anonim namun bisa diarahkan. Ia mesti digarap, ditumbuhkan, dan dipelihara semaksimal mungkin, baik dengan buku umum maupun buku Islam. Bila sudah begitu, label Islam maupun non-Islam mungkin bisa dihapus, dan pelaku bisnis perbukuan Indonesia bisa bersatu bahu-membahu berinovasi, bereksperimen, mendekati kesempurnaan, menghasilkan karya yang bisa diterima semua kalangan umum dan lebih luas.
Atau bila kelompok kerja penerbit Islam mau lebih terbuka menyertakan penerbit non-Islam (bersikap inklusif), kemungkinan hal itu bisa melahirkan sesuatu yang baru, yaitu "Pameran Buku Agama" (Religious Book Fair), yang lebih berorientasi kebangsaan. Di sana publik tak sekadar disuguhi buku-buku Islam, melainkan juga seluruh keragaman agama, termasuk perkembangan dan pengaruh mereka terhadap bangsa. Itu kelihatannya bisa membuat semua kalangan tersenyum, karena memperlihatkan Indonesia yang plural dan toleran.[]
Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bukunya ialah Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).
Catatan: Artikel ini awalnya muncul di Madina, dengan editing yang signifikan.
Thursday, May 29, 2008
Sunday, May 25, 2008
[halaman ganjil]
Kalau Kalah, Jangan Sampai Kamu Kehilangan Pelajaran
---Anwar Holid*
Pada 8 Mei 2008 ini Frank Rijkaard dipecat sebagai pelatih klub Barcelona (Barca). Pemecatan tersebut merupakan buntut dari kekalahan 4-1 dari rival besar mereka, Real Madrid, yang baru saja minggu sebelumnya jadi juara La Liga Spanyol.
Sebenarnya aku rada-rada malas mengurusi pemecatan Frank Rijkaard karena jelas itu bukan urusanku. Karena itu aku juga nggak tahu seberapa sedih dia kehilangan pekerjaan. Menurutku, menggunakan istilah Budiarto Shambazy, kalau toh dipecat, dia "tetap jatuh di kasur empuk." Dibandingkan nasibku yang hanya seorang jutawan dengan sekian utang, nasib Frank Rijkaard tentu lebih beruntung. Hanya saja pemecatan itu menyisakan pertanyaan buat aku yang kadang-kadang tegang sendirian nonton pertandingan sepak bola, termasuk ketika Barcelona kalah 0-1 di kandang Manchester United---kesebelasan favoritku.
Seberapa hebat orang harus berprestasi biar tidak dipecat, batinku sehabis baca berita itu di BBC.com
Frank Rijkaard diangkat jadi pelatih Barcelona pada 2003. Prestasi terbesarnya untuk klub itu ialah dia memenangi La Liga pada 2005 dan pada 2006 dia juara dobel: memenangi La Liga sekaligus Champions League, mengalahkan Arsenal yang waktu itu dikapteni Thierry Henry---dan kini Henry membela Barcelona. Musim lalu (2007), Barcelona adalah runner up La Liga dan di Champions League bertahan hingga perempat final. Sementara Real Madrid pada 2007 di Champions League sudah keok duluan, meski mereka juara La Liga. Menurutku, yang paling menyakitkan Barcelona---mungkin juga Frank Rijkaard---ialah kondisi pada musim 2007. Waktu itu sejak awal hingga menjelang akhir musim Barca terus memimpin klasemen, tapi di ujung-ujung musim mengalami sejumlah kekalahan, sampai akhirnya disalip Real Madrid. Jelas menyakitkan kalah di ujung pertandingan setelah kamu memperlihatkan kinerja yang hebat. Itu seperti kamu terus-terusan dapat nilai bagus saat ulangan, tapi akhirnya kamu sendirian yang nggak naik kelas.
Dengan prestasi seperti itu bersama Barca, menurutku kinerja Rijkaard masih hebat dan tak pantas dipecat. Tapi kita tahu presiden Barca Joan Laporta memecat dia dan mengumumkan Josep Guardiola sebagai pengganti. Josep Guardiola merupakan salah satu legenda klub tersebut; mitosnya barangkali seperti Robby Darwis bagi bobotoh Persib. Kata ahli sepak bola Spanyol Graham Hunter, penyebab Rijkaard dipecat ialah para direktur kehilangan kepercayaan pada dia selama beberapa bulan belakangan.
Para direktur itu menurutku mengidap sindrom "Didera Serba Kekurangan." Mereka tak puas dengan kondisi yang ada dan kehilangan kesabaran menunggu waktu agar Rijkaard bisa kembali dan berprestasi tahun depan. Graham Hunter sangat ragu bahwa Guardiola bakal bisa menyabet trofi tahun depan mengingat kurangnya pengalaman dan kemampuan manajemen yang dia miliki.
Pemecatan pelatih atau manajer klub sepakbola sungguh sangat biasa dan terjadi kapan saja. Pada musim 2007 ini di liga-liga Eropa, tercatat Jose Mourinho, Sven Goran Erikkson, Ronald Koeman, Alan Curbishley sudah dipecat. Apa ada pemecatan itu yang mengundang empati? Rasanya tidak. Pemecatan paling heboh terjadi pada Jose Mourinho, mengingat dia bisa langsung membangun Chelsea jadi juara Liga Inggris, dan gayanya juga sangat high-profile. Aku sebenarnya juga sangat suka melihat sepak terjang dan kata-kata Mourinho yang berkarakter, kecuali setiap kali dia bisa mengalahkan Man Utd. Arsene Wenger juga pelatih yang termasuk sering aku perhatikan, lepas bahwa Arsenal akhir-akhir ini sering kalah. Aku masih ingat ucapannya waktu kalah di final Liga Champions 2006 di tangan Barca: "Tapi di final, hanya klub yang menanglah yang diingat."
Memang agak sulit menghitung seberapa hebat orang harus berprestasi agar bisa terus dihormati atau sulit dijadikan kambing hitam. Ada kalanya orang harus menerima kopi pahit dan menaruh itu sebagai bagian dari drama kehidupan. Kata Arvan Pradiansyah: kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran. Di zaman yang haus prestasi ini, para pecundang memang kehilangan tempat. Orang butuh kemenangan, kesuksesan, kebesaran, pencapaian besar, melebihi target, rekor, dan segala yang berbau hasil. Aku cukup yakin bahwa selama dunia belum kiamat, manusia bakal terus haus oleh prestasi. Kaum beragama pun, yang suka bicara tentang kesalehan atau menenangkan hawa nafsu, juga haus oleh prestasi, misal oleh perolehan jumlah jamaah atau keberhasilan dakwah juga perolehan hasil sumbangan/amal yang lebih besar, dan hal-hal badaniyah sejenisnya.
Aku sendiri dari dulu mengakui memang didera kekurangan---lepas bahwa aku berusaha bersyukur seikhlas-ikhlasnya. Dan entah bagaimana aku memenuhi kekurangan itu. Aku pernah bilang ke seorang teman bahwa targetku tahun ini meningkatkan penghasilan dan kinerja, tapi aku kelimpungan dengan disiplin dan didera banyak kesulitan. Aku jelas khawatir bila suatu hari nanti kehilangan kepercayaan para klien. Kalau sudah begitu, aku bisa mampus.
Tapi agak aneh juga bahwa aku ternyata termasuk orang yang mudah jengkel kalau mendengar ada orang suka membangga-banggakan prestasi, meski tahu bahwa prestasi itu selalu ingin dicatat di CV---termasuk yang kecil-kecil sekalipun. Bahkan dengar orang mengulang-ulang prestasi lamanya pun aku malas. Untuk ukuran duniawi, apa ada di urutan ke-3 La Liga adalah prestasi kecil? Jelas bukan kalau dibandingkan dengan kesebelasan yang degradasi. Tapi rupanya orang malas bersabar dan memilih perubahan. Siapa tahu ada angin segar. Kadang-kadang aku merasa nelangsa dengan nasibku yang nyaris tak punya banyak harta benda ini; tapi kalau diingat-ingat aku nggak harus antre minyak tanah, nggak sampai putus asa nenggak racun karena takut miskin, baru-baru ini bisa ke Pizza Hut bareng anak-istri, dihadiahi CD mp3 Pink Floyd oleh orang yang bersimpati karena baca tulisanku, bisa dengar Explosions in the Sky sambil sedikit demi sedikit mencangkul menyelesaikan order, atau bolak-balik baca buku menarik, dan terus membuntuti berita Obama... jelaslah aku masih pantas bersyukur dan optimistik bisa meningkatkan prestasi.
Jelas prestasi dihukumi dengan pengharapan, target, juga biaya dan fasilitas. Tapi boleh jadi prestasi merupakan sebuah sukses kebetulan dengan bonus yang mustahil terulang. Mungkin kamu menulis sebuah buku dan secara mengejutkan ia best seller gila-gilaan, sampai orang-orang berharap agar buku kamu selanjutnya sesukses yang pertama. Namun sukses itu ternyata tak kunjung tiba, meski kamu menulis lima buku setelahnya. Wah, apa pun itu, tetap saja prestasi kamu patut disyukuri. Tahun lalu Rijkaard kalah secara menyakitkan, tahun ini pun kurang-lebih sama. "Lebihnya" ialah Barca berhasil mencapai semi final Liga Champions. "Kurangnya" tentu saja Barca ada di urutan ke-3 La Liga dan gagal masuk final Liga Champions. Apa itu bukan sebuah "prestasi"? Ternyata bukan. Itu hanya statistik. Jadi prestasi itu apa? Tentunya harus menang La Liga dan juara Liga Champions. Seberat itu ternyata yang namanya prestasi.
Jadi kalau presiden SBY bilang bahwa program pengentasan kemiskinannya belum memuaskan; itu artinya dia gagal. Kalau aku bilang nggak bisa nyetor tulisan sesuai janji; aku juga gagal. Bila seorang striker tak memasukkan gol maupun menyumbang umpan, jelas dia gagal. Kalau seorang tentara luput menembak musuh atau target, tentulah dia pun gagal. Sangat mudah bilang bahwa seseorang gagal, tanpa perlu cari alasan sekalipun. Mungkin ini penilaian terlalu kaku atas prestasi, sebab terlalu mengabaikan proses maupun nol toleransi terhadap apa pun yang berkonotasi kegagalan. Tapi bukankah dunia begitu? Untuk kegagalan, penghargaan yang tersedia ialah Razzie Award atau sebutan "the worst" di edisi-edisi pilihan majalah Time dan sejenisnya. Aku ingat, album musik Jenderal Wiranto pernah masuk kategori "The Worst Album" di majalah itu.
Siapa bisa memandang kegagalan dengan senyum, kecuali orang tua yang tengah menenangkan anak karena nilai ulangan turun dan rangkingnya anjlok? Orangtua itu mungkin akan bilang, "Ibu tahu kok kamu belajar keras tahun ini. Gak apa-apa nilaimu jelek. Kamu tetap anak ibu tersayang. Tahun depan kamu pasti bisa juara satu lagi, kalau berusaha." Coba itu terjadi pada Rijkaard! Tapi sayang, dunia butuh drama.[]10/5/08
---Anwar Holid, suka merayakan prestasi kecilnya di Rumah Buku sambil minum espresso. Penulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).
Kalau Kalah, Jangan Sampai Kamu Kehilangan Pelajaran
---Anwar Holid*
Pada 8 Mei 2008 ini Frank Rijkaard dipecat sebagai pelatih klub Barcelona (Barca). Pemecatan tersebut merupakan buntut dari kekalahan 4-1 dari rival besar mereka, Real Madrid, yang baru saja minggu sebelumnya jadi juara La Liga Spanyol.
Sebenarnya aku rada-rada malas mengurusi pemecatan Frank Rijkaard karena jelas itu bukan urusanku. Karena itu aku juga nggak tahu seberapa sedih dia kehilangan pekerjaan. Menurutku, menggunakan istilah Budiarto Shambazy, kalau toh dipecat, dia "tetap jatuh di kasur empuk." Dibandingkan nasibku yang hanya seorang jutawan dengan sekian utang, nasib Frank Rijkaard tentu lebih beruntung. Hanya saja pemecatan itu menyisakan pertanyaan buat aku yang kadang-kadang tegang sendirian nonton pertandingan sepak bola, termasuk ketika Barcelona kalah 0-1 di kandang Manchester United---kesebelasan favoritku.
Seberapa hebat orang harus berprestasi biar tidak dipecat, batinku sehabis baca berita itu di BBC.com
Frank Rijkaard diangkat jadi pelatih Barcelona pada 2003. Prestasi terbesarnya untuk klub itu ialah dia memenangi La Liga pada 2005 dan pada 2006 dia juara dobel: memenangi La Liga sekaligus Champions League, mengalahkan Arsenal yang waktu itu dikapteni Thierry Henry---dan kini Henry membela Barcelona. Musim lalu (2007), Barcelona adalah runner up La Liga dan di Champions League bertahan hingga perempat final. Sementara Real Madrid pada 2007 di Champions League sudah keok duluan, meski mereka juara La Liga. Menurutku, yang paling menyakitkan Barcelona---mungkin juga Frank Rijkaard---ialah kondisi pada musim 2007. Waktu itu sejak awal hingga menjelang akhir musim Barca terus memimpin klasemen, tapi di ujung-ujung musim mengalami sejumlah kekalahan, sampai akhirnya disalip Real Madrid. Jelas menyakitkan kalah di ujung pertandingan setelah kamu memperlihatkan kinerja yang hebat. Itu seperti kamu terus-terusan dapat nilai bagus saat ulangan, tapi akhirnya kamu sendirian yang nggak naik kelas.
Dengan prestasi seperti itu bersama Barca, menurutku kinerja Rijkaard masih hebat dan tak pantas dipecat. Tapi kita tahu presiden Barca Joan Laporta memecat dia dan mengumumkan Josep Guardiola sebagai pengganti. Josep Guardiola merupakan salah satu legenda klub tersebut; mitosnya barangkali seperti Robby Darwis bagi bobotoh Persib. Kata ahli sepak bola Spanyol Graham Hunter, penyebab Rijkaard dipecat ialah para direktur kehilangan kepercayaan pada dia selama beberapa bulan belakangan.
Para direktur itu menurutku mengidap sindrom "Didera Serba Kekurangan." Mereka tak puas dengan kondisi yang ada dan kehilangan kesabaran menunggu waktu agar Rijkaard bisa kembali dan berprestasi tahun depan. Graham Hunter sangat ragu bahwa Guardiola bakal bisa menyabet trofi tahun depan mengingat kurangnya pengalaman dan kemampuan manajemen yang dia miliki.
Pemecatan pelatih atau manajer klub sepakbola sungguh sangat biasa dan terjadi kapan saja. Pada musim 2007 ini di liga-liga Eropa, tercatat Jose Mourinho, Sven Goran Erikkson, Ronald Koeman, Alan Curbishley sudah dipecat. Apa ada pemecatan itu yang mengundang empati? Rasanya tidak. Pemecatan paling heboh terjadi pada Jose Mourinho, mengingat dia bisa langsung membangun Chelsea jadi juara Liga Inggris, dan gayanya juga sangat high-profile. Aku sebenarnya juga sangat suka melihat sepak terjang dan kata-kata Mourinho yang berkarakter, kecuali setiap kali dia bisa mengalahkan Man Utd. Arsene Wenger juga pelatih yang termasuk sering aku perhatikan, lepas bahwa Arsenal akhir-akhir ini sering kalah. Aku masih ingat ucapannya waktu kalah di final Liga Champions 2006 di tangan Barca: "Tapi di final, hanya klub yang menanglah yang diingat."
Memang agak sulit menghitung seberapa hebat orang harus berprestasi agar bisa terus dihormati atau sulit dijadikan kambing hitam. Ada kalanya orang harus menerima kopi pahit dan menaruh itu sebagai bagian dari drama kehidupan. Kata Arvan Pradiansyah: kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran. Di zaman yang haus prestasi ini, para pecundang memang kehilangan tempat. Orang butuh kemenangan, kesuksesan, kebesaran, pencapaian besar, melebihi target, rekor, dan segala yang berbau hasil. Aku cukup yakin bahwa selama dunia belum kiamat, manusia bakal terus haus oleh prestasi. Kaum beragama pun, yang suka bicara tentang kesalehan atau menenangkan hawa nafsu, juga haus oleh prestasi, misal oleh perolehan jumlah jamaah atau keberhasilan dakwah juga perolehan hasil sumbangan/amal yang lebih besar, dan hal-hal badaniyah sejenisnya.
Aku sendiri dari dulu mengakui memang didera kekurangan---lepas bahwa aku berusaha bersyukur seikhlas-ikhlasnya. Dan entah bagaimana aku memenuhi kekurangan itu. Aku pernah bilang ke seorang teman bahwa targetku tahun ini meningkatkan penghasilan dan kinerja, tapi aku kelimpungan dengan disiplin dan didera banyak kesulitan. Aku jelas khawatir bila suatu hari nanti kehilangan kepercayaan para klien. Kalau sudah begitu, aku bisa mampus.
Tapi agak aneh juga bahwa aku ternyata termasuk orang yang mudah jengkel kalau mendengar ada orang suka membangga-banggakan prestasi, meski tahu bahwa prestasi itu selalu ingin dicatat di CV---termasuk yang kecil-kecil sekalipun. Bahkan dengar orang mengulang-ulang prestasi lamanya pun aku malas. Untuk ukuran duniawi, apa ada di urutan ke-3 La Liga adalah prestasi kecil? Jelas bukan kalau dibandingkan dengan kesebelasan yang degradasi. Tapi rupanya orang malas bersabar dan memilih perubahan. Siapa tahu ada angin segar. Kadang-kadang aku merasa nelangsa dengan nasibku yang nyaris tak punya banyak harta benda ini; tapi kalau diingat-ingat aku nggak harus antre minyak tanah, nggak sampai putus asa nenggak racun karena takut miskin, baru-baru ini bisa ke Pizza Hut bareng anak-istri, dihadiahi CD mp3 Pink Floyd oleh orang yang bersimpati karena baca tulisanku, bisa dengar Explosions in the Sky sambil sedikit demi sedikit mencangkul menyelesaikan order, atau bolak-balik baca buku menarik, dan terus membuntuti berita Obama... jelaslah aku masih pantas bersyukur dan optimistik bisa meningkatkan prestasi.
Jelas prestasi dihukumi dengan pengharapan, target, juga biaya dan fasilitas. Tapi boleh jadi prestasi merupakan sebuah sukses kebetulan dengan bonus yang mustahil terulang. Mungkin kamu menulis sebuah buku dan secara mengejutkan ia best seller gila-gilaan, sampai orang-orang berharap agar buku kamu selanjutnya sesukses yang pertama. Namun sukses itu ternyata tak kunjung tiba, meski kamu menulis lima buku setelahnya. Wah, apa pun itu, tetap saja prestasi kamu patut disyukuri. Tahun lalu Rijkaard kalah secara menyakitkan, tahun ini pun kurang-lebih sama. "Lebihnya" ialah Barca berhasil mencapai semi final Liga Champions. "Kurangnya" tentu saja Barca ada di urutan ke-3 La Liga dan gagal masuk final Liga Champions. Apa itu bukan sebuah "prestasi"? Ternyata bukan. Itu hanya statistik. Jadi prestasi itu apa? Tentunya harus menang La Liga dan juara Liga Champions. Seberat itu ternyata yang namanya prestasi.
Jadi kalau presiden SBY bilang bahwa program pengentasan kemiskinannya belum memuaskan; itu artinya dia gagal. Kalau aku bilang nggak bisa nyetor tulisan sesuai janji; aku juga gagal. Bila seorang striker tak memasukkan gol maupun menyumbang umpan, jelas dia gagal. Kalau seorang tentara luput menembak musuh atau target, tentulah dia pun gagal. Sangat mudah bilang bahwa seseorang gagal, tanpa perlu cari alasan sekalipun. Mungkin ini penilaian terlalu kaku atas prestasi, sebab terlalu mengabaikan proses maupun nol toleransi terhadap apa pun yang berkonotasi kegagalan. Tapi bukankah dunia begitu? Untuk kegagalan, penghargaan yang tersedia ialah Razzie Award atau sebutan "the worst" di edisi-edisi pilihan majalah Time dan sejenisnya. Aku ingat, album musik Jenderal Wiranto pernah masuk kategori "The Worst Album" di majalah itu.
Siapa bisa memandang kegagalan dengan senyum, kecuali orang tua yang tengah menenangkan anak karena nilai ulangan turun dan rangkingnya anjlok? Orangtua itu mungkin akan bilang, "Ibu tahu kok kamu belajar keras tahun ini. Gak apa-apa nilaimu jelek. Kamu tetap anak ibu tersayang. Tahun depan kamu pasti bisa juara satu lagi, kalau berusaha." Coba itu terjadi pada Rijkaard! Tapi sayang, dunia butuh drama.[]10/5/08
---Anwar Holid, suka merayakan prestasi kecilnya di Rumah Buku sambil minum espresso. Penulis Barack Hussein Obama (Mizania, 2007).
Nol Toleran Meninggalkan Shalat
---Anwar Holid
Kamus Shalat
Penulis: Dr. Muhsin Labib
Halaman: 347
Penerbit : Arifa Publishing, 2008
ISBN : 978-979-16454-1-6
BOLEH jadi kaum Muslim tak perlu lagi dinasihati perihal shalat. Sebagai tiang agama dan kewajiban pertama setelah seseorang bersyahadat, shalat merupakan ibadah luar biasa yang tiada bandingannya. Bahkan shalat wajib haram ditinggalkan oleh seorang Muslim dalam keadaan apa pun sebelum dirinya meninggal dunia. Wajar bila kita mudah menemukan stiker berbunyi begini: dirikanlah shalat, sebelum kamu dishalatkan. Bila sesama Muslim bertemu, salah satu pertanyaan yang terucap dalam obrolan ialah, "Kamu sudah shalat belum?" Bahkan saking khas Islam, sebagian kaum Muslim menolak memadankan shalat dengan istilah ”sembahyang.”
Lepas bahwa shalat merupakan bagian utama Islam, ternyata khazanahnya lebih kaya dari yang saya sangka. Ini terbukti dari Kamus Shalat karya Dr. Muhsin Labib, MA (Arifa, 2008). Dalam kamus tersebut ragam shalat begitu banyak, bahkan boleh jadi sebagian besar di antaranya merupakan sesuatu yang baru dan mengayakan umat Islam. Penulis menghimpun 200 macam shalat, mulai dari shalat wajib dan sunah yang tentu saja sudah dihayati kaum Muslim, hingga shalat untuk berbagai keperluan, khusus (misal shalat ketika sakit atau di kendaraan), juga yang dilakukan oleh para imam Ahlul Bayt. Khazanah sumber yang digunakan pun komprehensif, mengambil kekayaan lima mazhab, ditambah berbagai kitab dan catatan rujukan.
Fikih Ja'fari mendapat perhatian besar di kamus ini, misal dengan menekankan bahwa shalat jenis tertentu hanya ada dalam fikih tersebut. Misal shalat Isti'jar, yang dilakukan untuk menunaikan shalat wajib yang ditinggalkan seseorang ketika dia masih hidup. Shalat ini dilakukan berdasar perjanjian antara pelaku shalat yang disewa dengan orang yang memberi wewenang kepadanya (hal. 83.) Sebaliknya, fikih Ja'fari tak memberlakukan shalat Muharamah, yakni waktu yang diharamkan melakukan shalat, antara lain sesudah Subuh, sesudah Ashar sampai terbenam matahari sampai waktu Magrib (hal. 179.)
Dari kamus ini kaum Muslim akan tahu betapa ajaran Islam tampak sebentar-sebentar memaklumkan shalat untuk segala macam kesempatan. Ada shalat mengharapkan kebebasan dari penjara, memohon jodoh, bahkan shalat lapar. Jelas ini menunjukkan betapa shalat mendapat keistimewaan sebagai pilihan cara beribadah. Ia lebih dari sekadar ritual dan rutinitas, dan juga mengandung hikmah yang boleh jadi berkembang terus sesuai kecenderungan zaman. Shalat bukan sekadar gerakan tertentu dengan khasiat tertentu; ia merupakan wasiat terakhir Nabi Muhammad Saw. bagi umat manusia yang memiliki banyak aspek.
Barangkali demi fokus mengeksplorasi pada jenis shalat, Kamus Shalat kurang menggali aspek seputar shalat, misal pra-shalat, azan, rukun shalat, sujud sahwi, doa kunut, termasuk bersuci (thaharah). Padahal aspek tersebut merupakan sesuatu yang menyatu dalam ibadah shalat. Boleh jadi penulis beranggapan hal-hal seperti itu sudah diketahui Muslim sejak awal, jadi diabaikan.
SAYA pernah dapat spam yang mengibaratkan shalat itu merupakan jadwal keberangkatan pesawat. Bila terlambat satu menit saja, pesawat sudah terbang meninggalkan kita. Tiada maaf bagi orang meski ia punya tiket terbang, dan tiket itu akhirnya usang, tak bisa diuangkan, sementara pemegangnya diam di tempat. Mereka malas menunggu orang yang barangkali terlambat karena menolong nenek-nenek keserempet motor ugal-ugalan. Toleransinya nol. Kesalahan ada di pihak yang terlambat. Karena itu tunaikanlah shalat tepat waktu, siapa tahu kita terlambat mengerjakan sedetik saja gara-gara didahului kedatangan malaikat Izrail. Kalau sudah begitu fatal; kita kalah selangkah mengerjakan amal baik.
Saya juga pernah menerima kiriman tentang Imam Ja`far Ash-Shaddiq yang berkata, "Bila terdapat sungai kecil di rumah seseorang di antara kalian yang dipakai untuk mandi lima kali dalam satu hari, apakah badannya akan tetap terkena kotoran? Sesungguhnya permisalan shalat adalah sama dengan permisalan sungai kecil tersebut. Orang yang mendirikan shalat wajib akan menanggalkan dosa-dosanya, selain dosa yang mengeluarkan dia dari keimanan yang dia percayai" (Bihar al-Anwar, jilid 82, hal. 236.)
Kalau begitu ceritanya, habis alasan untuk menghindari Dia: dalam keadaan sulit atau lega, seorang Muslim harus tetap bertemu Tuhan. Mau dalam keadaan babak belur atau jengkel, difitnah, dijelek-jelekkan, kalah, apalagi berdosa... Muslim harus kembali menunaikan shalat. Muslim diharamkan cari alasan menghindari shalat. Meninggalkan shalat itu toleransinya nol.
Membolak-balik Kamus Shalat, saya bukan lagi mendapat satu-dua spam tentang keutamaan shalat, melainkan khazanah yang amat luas perihal shalat dari berbagai sumber Islam. Keluasan ilmu penulisnya sungguh merupakan kekayaan yang patut dihargai sepantas mungkin.
Dengan mendirikan shalat wajib saja mestinya setiap Muslim bisa menebar kebaikan dan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Apalagi bila mendirikan berbagai shalat yang ada dalam kamus ini untuk berbagai aspek kehidupan. Terbayang betapa shalat jelas merupakan batas pembeda antara seorang Muslim dan kafir.[]
CATATAN: Di Selisik, Republika, Minggu, 4 Mei 2008, kolom ini berjudul "Hidup Penuh Shalat."
---Anwar Holid
Kamus Shalat
Penulis: Dr. Muhsin Labib
Halaman: 347
Penerbit : Arifa Publishing, 2008
ISBN : 978-979-16454-1-6
BOLEH jadi kaum Muslim tak perlu lagi dinasihati perihal shalat. Sebagai tiang agama dan kewajiban pertama setelah seseorang bersyahadat, shalat merupakan ibadah luar biasa yang tiada bandingannya. Bahkan shalat wajib haram ditinggalkan oleh seorang Muslim dalam keadaan apa pun sebelum dirinya meninggal dunia. Wajar bila kita mudah menemukan stiker berbunyi begini: dirikanlah shalat, sebelum kamu dishalatkan. Bila sesama Muslim bertemu, salah satu pertanyaan yang terucap dalam obrolan ialah, "Kamu sudah shalat belum?" Bahkan saking khas Islam, sebagian kaum Muslim menolak memadankan shalat dengan istilah ”sembahyang.”
Lepas bahwa shalat merupakan bagian utama Islam, ternyata khazanahnya lebih kaya dari yang saya sangka. Ini terbukti dari Kamus Shalat karya Dr. Muhsin Labib, MA (Arifa, 2008). Dalam kamus tersebut ragam shalat begitu banyak, bahkan boleh jadi sebagian besar di antaranya merupakan sesuatu yang baru dan mengayakan umat Islam. Penulis menghimpun 200 macam shalat, mulai dari shalat wajib dan sunah yang tentu saja sudah dihayati kaum Muslim, hingga shalat untuk berbagai keperluan, khusus (misal shalat ketika sakit atau di kendaraan), juga yang dilakukan oleh para imam Ahlul Bayt. Khazanah sumber yang digunakan pun komprehensif, mengambil kekayaan lima mazhab, ditambah berbagai kitab dan catatan rujukan.
Fikih Ja'fari mendapat perhatian besar di kamus ini, misal dengan menekankan bahwa shalat jenis tertentu hanya ada dalam fikih tersebut. Misal shalat Isti'jar, yang dilakukan untuk menunaikan shalat wajib yang ditinggalkan seseorang ketika dia masih hidup. Shalat ini dilakukan berdasar perjanjian antara pelaku shalat yang disewa dengan orang yang memberi wewenang kepadanya (hal. 83.) Sebaliknya, fikih Ja'fari tak memberlakukan shalat Muharamah, yakni waktu yang diharamkan melakukan shalat, antara lain sesudah Subuh, sesudah Ashar sampai terbenam matahari sampai waktu Magrib (hal. 179.)
Dari kamus ini kaum Muslim akan tahu betapa ajaran Islam tampak sebentar-sebentar memaklumkan shalat untuk segala macam kesempatan. Ada shalat mengharapkan kebebasan dari penjara, memohon jodoh, bahkan shalat lapar. Jelas ini menunjukkan betapa shalat mendapat keistimewaan sebagai pilihan cara beribadah. Ia lebih dari sekadar ritual dan rutinitas, dan juga mengandung hikmah yang boleh jadi berkembang terus sesuai kecenderungan zaman. Shalat bukan sekadar gerakan tertentu dengan khasiat tertentu; ia merupakan wasiat terakhir Nabi Muhammad Saw. bagi umat manusia yang memiliki banyak aspek.
Barangkali demi fokus mengeksplorasi pada jenis shalat, Kamus Shalat kurang menggali aspek seputar shalat, misal pra-shalat, azan, rukun shalat, sujud sahwi, doa kunut, termasuk bersuci (thaharah). Padahal aspek tersebut merupakan sesuatu yang menyatu dalam ibadah shalat. Boleh jadi penulis beranggapan hal-hal seperti itu sudah diketahui Muslim sejak awal, jadi diabaikan.
SAYA pernah dapat spam yang mengibaratkan shalat itu merupakan jadwal keberangkatan pesawat. Bila terlambat satu menit saja, pesawat sudah terbang meninggalkan kita. Tiada maaf bagi orang meski ia punya tiket terbang, dan tiket itu akhirnya usang, tak bisa diuangkan, sementara pemegangnya diam di tempat. Mereka malas menunggu orang yang barangkali terlambat karena menolong nenek-nenek keserempet motor ugal-ugalan. Toleransinya nol. Kesalahan ada di pihak yang terlambat. Karena itu tunaikanlah shalat tepat waktu, siapa tahu kita terlambat mengerjakan sedetik saja gara-gara didahului kedatangan malaikat Izrail. Kalau sudah begitu fatal; kita kalah selangkah mengerjakan amal baik.
Saya juga pernah menerima kiriman tentang Imam Ja`far Ash-Shaddiq yang berkata, "Bila terdapat sungai kecil di rumah seseorang di antara kalian yang dipakai untuk mandi lima kali dalam satu hari, apakah badannya akan tetap terkena kotoran? Sesungguhnya permisalan shalat adalah sama dengan permisalan sungai kecil tersebut. Orang yang mendirikan shalat wajib akan menanggalkan dosa-dosanya, selain dosa yang mengeluarkan dia dari keimanan yang dia percayai" (Bihar al-Anwar, jilid 82, hal. 236.)
Kalau begitu ceritanya, habis alasan untuk menghindari Dia: dalam keadaan sulit atau lega, seorang Muslim harus tetap bertemu Tuhan. Mau dalam keadaan babak belur atau jengkel, difitnah, dijelek-jelekkan, kalah, apalagi berdosa... Muslim harus kembali menunaikan shalat. Muslim diharamkan cari alasan menghindari shalat. Meninggalkan shalat itu toleransinya nol.
Membolak-balik Kamus Shalat, saya bukan lagi mendapat satu-dua spam tentang keutamaan shalat, melainkan khazanah yang amat luas perihal shalat dari berbagai sumber Islam. Keluasan ilmu penulisnya sungguh merupakan kekayaan yang patut dihargai sepantas mungkin.
Dengan mendirikan shalat wajib saja mestinya setiap Muslim bisa menebar kebaikan dan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Apalagi bila mendirikan berbagai shalat yang ada dalam kamus ini untuk berbagai aspek kehidupan. Terbayang betapa shalat jelas merupakan batas pembeda antara seorang Muslim dan kafir.[]
CATATAN: Di Selisik, Republika, Minggu, 4 Mei 2008, kolom ini berjudul "Hidup Penuh Shalat."
Sunday, May 11, 2008
PERNYATAAN:
Artikel ini saya comot dari Citizen Journalism, Kompas Cyber Media. Ejaan dan kata saya edit sedikit agar lebih pas untuk konsumsi pembaca umum. (Anwar Holid)
Kompas Cyber Media, Kolom Kita, Jumat, 15 Februari 2008
ON THE QUESTION OF ORIGINALITY AND PLAGIARISM
---Rarasiwi, Midwest
Ketika saya membaca koko tentang pertanyaan Evi (saya tidak tahu Evi Irons atau Evi Jerman, atau Evi yang lain, kalau ada) apakah tulisan Ican tentang Top Five Jadul yang dimuat KoKi edisi akhir pekan merupakan ide orang lain atau ide asli Ican, saya jadi tergelitik untuk mengomentari. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, topik ini mengemuka di kelas saya.
Saat itu kami, para mahasiswa, berdiskusi mengenai topik disertasi kami dan salah satu teman saya mempertanyakan orisinalitas topiknya. Dia bilang "I am not sure whether my topic is original or not since I have limitations when it comes to searching for relevant literature." Maksud dia, mungkin saja ada peneliti lain yang menulis tentang topik itu tapi tidak ketemu waktu dicari di database. Sang begawan (saya bilang begitu karena professor saya ini sangat pakar dalam bidangnya dan sangat bijaksana) hanya tersenyum dan seperti biasa dia malah melemparkan pertanyaan itu kepada kami. Karena sepertinya tidak ada yang mau menjawab dulu, maka saya beranikan bertanya balik, "Is there such thing as 100 % original? In any study, isn’t it common to look at previous studies and develop our topic from there? If not, why do we need Chapter 2, The Literature Review?"
Ketika saya meneruskan komentar saya, mengangguk-angguklah sang begawan. Pertanyaan teman saya mencerminkan percakapan antara Evi dan Ican. Evi mempertanyakan orisinalitas tulisan Ican karena dia membaca artikel yang hampir sama (mungkin lho, karena saya juga tidak tahu artikel yang dimaksud.) Ican, yang tidak pernah membaca artikel itu, jelas menyanggah. (Saya pun juga akan bilang hal yang sama if I were Ican). Kalau saja Evi tidak pernah membaca artikel yang dia email ke teman-temannya, mungkin dia akan memberi komentar lain. Maksudnya?
Begini argumen saya: dalam suatu tulisan akademik atau nonakademik, ide tidak pernah terlepas dari isi (content/delivery), dan bahan mentah (materials). Ide bisa saja original tapi isi tidak, atau sebaliknya isi orisinal tapi idenya milik orang lain. Jadi, orisinalitas itu relatif, tergantung viewpoints (idenya, isinya, atau bahannya yang dimaksud?), dan prior knowledge (pernah-tidaknya ketemu artikel yang mirip-mirip.) Saya kasih contoh yang dekat-dekat saja: Saya selalu kagum dengan Fire yang tidak pernah kehabisan ide menghibur. Apakah "tulisannya" (sekali lagi tulisan = ide, isi, dan materi) original? Bisa iya dan bisa tidak. Ide dan isinya orisinal tapi bahannya tidak, wong bahannya diambil dari sumber di Koki sendiri, entah komentar, entah panggilan untuk Zeverina. Salahkah itu? Jelas tidak. Malah tulisan-tulisan Fire segar dibaca karena diambil dari bahan yang akrab dengan Kokiers semua.
Astuti juga melakukan hal ini dalam tulisannya. Mensintesis (ini higher order of thinking dibandingkan dengan sekadar meringkas, jadi saya salut sekali) tulisan dan komentar menjadi tulisan yang menarik. Apakah tulisannya orisinal? Idenya iya, isinya iya, karena hasil sintesis itu, bahan mentahnya, tidak, karena sumbernya dari tulisan dan komentar yang ada di Koki. Boleh tidak seperti ini? Boleh sekali, begitu jawab saya. Semoga Kokiers tidak bingung. (Suami saya selalu bilang saya selalu mempersulit hal-hal yang mudah, yang harusnya tidak usah dipermasalahkan. Tapi bagi saya, justru orang sering take for granted hal-hal yang remeh itu tadi.)
Saya jadi teringat komentar teman diskusi saya di rumah, suami saya tercinta, yang berkata "Tahu nggak ada pakar yang bilang bahwa ilmu filsafat modern ini hanya merupakan catatan kaki Plato." Ha! Lha kalau filsafat yang merupakan payung segala macam ilmu merupakan catatan kaki Plato, kesimpulannya apa? Mungkin saja yang bilang begitu terlalu mengagungkan Plato atau meremehkan ide filsuf lain, saya tidak tahu. (Romo Flores saya yakin bisa lebih canggih kalau menjelaskan hal seperti ini). Bagi saya, yang menarik ya keterkaitan antara schools of thought, di bidang apa pun, keterkaitan satu ide dengan ide lainnya. Satu aliran muncul sebagai reaksi, atau bahkan penyempurnaan aliran lain. Postmodernism merupakan reaksi terhadap modernism, deconstructionism merupakan reaksi terhadap structuralism, begitu seterusnya. Sama seperti ide saya yang muncul sebagai reaksi terhadap percakapan di dunia maya antara dua kokiers (dalam tataran yang berbeda lho tapi, karena saya bukan filsuf). Saya tidak tahu apakah ide saya seperti ini pernah ditulis orang lain, atau bahkan ditulis kokiers di edisi yang dulu-dulu, yang mungkin saya pas kelewatan bacanya atau pas tidak sempat membuka Koki sama sekali. Kalau ada, saya yakin cara penyampaiannya berbeda. Masa orang tidak boleh punya ide yang sama?
Pertanyaan ini menggiring pikiran saya pada topik berikutnya, plagiarisme. Untuk menjelaskan plagiarisme, saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Dalam mata kuliah yang saya ajarkan, sosiolinguistik, saya selalu memberi tugas mahasiswa saya untuk membuat makalah akhir. Pada akhir semester, salah satu mahasiswa saya mengumpulkan makalah yang topiknya tidak pernah saya bahas di kelas (karena sosiolinguistik merupakan topik yang luas dan saya harus memilah-milah mana yang doable (mungkin bisa dikerjakan atau dicapai---peny.) dan yang penting bagi mahasiswa saya). Itu satu. Yang membuat kening saya berkerut adalah bahasa Inggrisnya yang perfect. Bukannya saya meremehkan, tapi saya tahu bagi mahasiswa semester 6, tulisan itu terlalu sulit, tidak hanya bahasanya tapi juga konsepnya. Karena saya curiga, saya google judulnya. Muncullah artikel yang sama persis, tanpa ditambahi dan dikurangi. Mahasiswa itu saya panggil dan saya minta untuk menjelaskan. Karena saya punya buktinya, dia tidak bisa menyanggah. Akhirnya keluarlah nilai E.
Saya mencoba untuk menyadarkan dia bahwa yang terpenting bagi saya adalah membuat makalah sendiri. Bahasa tidak harus perfect (wong saya saja tidak perfect), ide bisa tidak orisinal (dalam penelitian dinamakan replication study) tapi bahan mentah harus original, atau ide original tapi pakai data orang lain (misalnya data UN, NCES, PISA). Dia menangis dan minta maaf, tapi itu semua tidak mengubah keputusan saya, nilai tetap E. Tahun berikutnya dia mengambil mata kuliah saya lagi, dan kali ini dia lulus dengan baik. Makalahnya pun saya nilai baik karena datanya asli dan analisa dia juga baik. Saya bahagia karena semua berakhir dengan baik juga.
Lalu apa definisi plagiarisme?
Ini saya kutipkan dari web sites University of Indiana: "Plagiarism is defined as presenting someone else’s work, including the work of other students, as one’s own. Any ideas or materials taken from another source for either written or oral use must be fully acknowledged, unless the information is common knowledge. What is considered "common knowledge" may differ from course to course." (http://www.indiana.edu/~istd/definition.html).
Kalau kasus seperti mahasiswa saya tadi, menurut definisi ini ya jelas plagiat (dan bagi saya merupakan academic misconduct). Kalau menurut suami saya mengutip perkataan profesornya, plagiat atau tidak hanya dibedakan dengan tanda kutip. Kalau saya mengutip artikel Ican, entah beberapa kalimat atau paragraf dan kemudian saya tulis di tempat lain tapi saya tidak mencantumkan nama Ican, ya saya melakukan plagiat. Kalau saya tulis lagi yang sama, pakai tanda petik, dan saya tulis nama Ican, ya itu tidak plagiat. Kalau kalimat di paragraf yang saya ambil, saya ubah sedikit sedikit dan saya klaim sebagai tulisan saya, ya tetap saja plagiat. Tapi kalau saya terinspirasi ide Fire dan melakukan hal yang sama dengan bahan yang berbeda (misalnya saya hanya memfokuskan pada komentar dengan bahasa selain bahasa Indonesia) dan membahas dari sudut pandang yang sama sekali berbeda, ya itu bukan plagiat.
Nah sekarang kalau judul saya "On the Question of Originality" bagaimana? Plagiat tidak karena kalau digoogle akan banyak results dengan frasa sama. Words are in public domain, begitu kata sang begawan saya. Kalau tidak, maka semua orang akan melakukan plagiat. Bayangkan saja frasa ini: The purpose of this article is to provide insights on the issue of …Kalau itu dianggap plagiat, ya hampir semua peneliti junior maupun senior yang menulis frasa itu melakukan plagiat. Karena itu words are in public domain, but concepts, ideas, viewpoints are not.
Kalau pada edisi yang lalu ada artikel tentang Pak Harto yang diambil dari buku dan ditulis di Koki tanpa menyebut bukunya, plagiat tidak? Ada yang protes saat itu di koko dan kemudian judul bukunya ditambahkan oleh Zev. Saya susah menjawabnya karena di dunia persuratkabaran jiplak menjiplak ini biasa-biasa saja. Berita yang dimuat di Kompas bisa saya baca di MSNBC atau CNN (dalam versi bahasa Inggrisnya) karena sumbernya dari Associated Press. Berita yang saya baca di Yahoo News bisa saya baca di Suara Merdeka dalam versi bahasa Indonesia karena sumbernya dari Reuters. Kalau Koki dianggap dunia surat kabar, ya tidak masalah kalau ada penulis yang menulis artikel bersumber dari koran atau buku lain, tapi masih dengan catatan, harus disebutkan sumbernya. Kompas saja selalu menyebutkan sumber kok, entah itu AP, Reuters, atau Antara. Kalau artikel itu dibawa ke tataran scholarly writing, lain lagi jalan ceritanya. Artikelnya pasti sudah dikategorikan academic misconduct.
Satu pertanyaan lagi, kalau identitas saja tidak asli masa tulisan diminta asli? (Weekss, saya bisa menuai protes ini… semoga tidak ada yang membaca artikel saya, dengan demikian saya tidak diprotes…) Silakan kokiers sendiri yang menjawabnya. Saya hanya melemparkan pertanyaan (bukan batu bata lho) yang bisa menjadi pemikiran untuk semua. Apakah tulisan kita di Koki harus menepati aturan-aturan penulisan pada umumnya atau tidak (yang berarti harus menyebutkan sumber, memberi tanda kutip kalau mengutip persis dari sumber lain)? Atau karena Koki bukan diskursus akademik maka ya seenaknya sajalah, mau ngutip kek, mau nyontoh kek, mau kutip satu buku atau satu halaman persis juga gak papa? Atau barangkali semua itu tidak penting? Atau EGP lah, gitu aja kok repot, wong nulis gak ada honornya? (Bagi saya ada lho.. intangible incentives tapi.) Anda semua saya persilakan menjawab pertanyaan ini.[]
Catatan:
koko = kolom komentar
KoKi = Kolom Kita
Artikel ini saya comot dari Citizen Journalism, Kompas Cyber Media. Ejaan dan kata saya edit sedikit agar lebih pas untuk konsumsi pembaca umum. (Anwar Holid)
Kompas Cyber Media, Kolom Kita, Jumat, 15 Februari 2008
ON THE QUESTION OF ORIGINALITY AND PLAGIARISM
---Rarasiwi, Midwest
Ketika saya membaca koko tentang pertanyaan Evi (saya tidak tahu Evi Irons atau Evi Jerman, atau Evi yang lain, kalau ada) apakah tulisan Ican tentang Top Five Jadul yang dimuat KoKi edisi akhir pekan merupakan ide orang lain atau ide asli Ican, saya jadi tergelitik untuk mengomentari. Kebetulan beberapa hari sebelumnya, topik ini mengemuka di kelas saya.
Saat itu kami, para mahasiswa, berdiskusi mengenai topik disertasi kami dan salah satu teman saya mempertanyakan orisinalitas topiknya. Dia bilang "I am not sure whether my topic is original or not since I have limitations when it comes to searching for relevant literature." Maksud dia, mungkin saja ada peneliti lain yang menulis tentang topik itu tapi tidak ketemu waktu dicari di database. Sang begawan (saya bilang begitu karena professor saya ini sangat pakar dalam bidangnya dan sangat bijaksana) hanya tersenyum dan seperti biasa dia malah melemparkan pertanyaan itu kepada kami. Karena sepertinya tidak ada yang mau menjawab dulu, maka saya beranikan bertanya balik, "Is there such thing as 100 % original? In any study, isn’t it common to look at previous studies and develop our topic from there? If not, why do we need Chapter 2, The Literature Review?"
Ketika saya meneruskan komentar saya, mengangguk-angguklah sang begawan. Pertanyaan teman saya mencerminkan percakapan antara Evi dan Ican. Evi mempertanyakan orisinalitas tulisan Ican karena dia membaca artikel yang hampir sama (mungkin lho, karena saya juga tidak tahu artikel yang dimaksud.) Ican, yang tidak pernah membaca artikel itu, jelas menyanggah. (Saya pun juga akan bilang hal yang sama if I were Ican). Kalau saja Evi tidak pernah membaca artikel yang dia email ke teman-temannya, mungkin dia akan memberi komentar lain. Maksudnya?
Begini argumen saya: dalam suatu tulisan akademik atau nonakademik, ide tidak pernah terlepas dari isi (content/delivery), dan bahan mentah (materials). Ide bisa saja original tapi isi tidak, atau sebaliknya isi orisinal tapi idenya milik orang lain. Jadi, orisinalitas itu relatif, tergantung viewpoints (idenya, isinya, atau bahannya yang dimaksud?), dan prior knowledge (pernah-tidaknya ketemu artikel yang mirip-mirip.) Saya kasih contoh yang dekat-dekat saja: Saya selalu kagum dengan Fire yang tidak pernah kehabisan ide menghibur. Apakah "tulisannya" (sekali lagi tulisan = ide, isi, dan materi) original? Bisa iya dan bisa tidak. Ide dan isinya orisinal tapi bahannya tidak, wong bahannya diambil dari sumber di Koki sendiri, entah komentar, entah panggilan untuk Zeverina. Salahkah itu? Jelas tidak. Malah tulisan-tulisan Fire segar dibaca karena diambil dari bahan yang akrab dengan Kokiers semua.
Astuti juga melakukan hal ini dalam tulisannya. Mensintesis (ini higher order of thinking dibandingkan dengan sekadar meringkas, jadi saya salut sekali) tulisan dan komentar menjadi tulisan yang menarik. Apakah tulisannya orisinal? Idenya iya, isinya iya, karena hasil sintesis itu, bahan mentahnya, tidak, karena sumbernya dari tulisan dan komentar yang ada di Koki. Boleh tidak seperti ini? Boleh sekali, begitu jawab saya. Semoga Kokiers tidak bingung. (Suami saya selalu bilang saya selalu mempersulit hal-hal yang mudah, yang harusnya tidak usah dipermasalahkan. Tapi bagi saya, justru orang sering take for granted hal-hal yang remeh itu tadi.)
Saya jadi teringat komentar teman diskusi saya di rumah, suami saya tercinta, yang berkata "Tahu nggak ada pakar yang bilang bahwa ilmu filsafat modern ini hanya merupakan catatan kaki Plato." Ha! Lha kalau filsafat yang merupakan payung segala macam ilmu merupakan catatan kaki Plato, kesimpulannya apa? Mungkin saja yang bilang begitu terlalu mengagungkan Plato atau meremehkan ide filsuf lain, saya tidak tahu. (Romo Flores saya yakin bisa lebih canggih kalau menjelaskan hal seperti ini). Bagi saya, yang menarik ya keterkaitan antara schools of thought, di bidang apa pun, keterkaitan satu ide dengan ide lainnya. Satu aliran muncul sebagai reaksi, atau bahkan penyempurnaan aliran lain. Postmodernism merupakan reaksi terhadap modernism, deconstructionism merupakan reaksi terhadap structuralism, begitu seterusnya. Sama seperti ide saya yang muncul sebagai reaksi terhadap percakapan di dunia maya antara dua kokiers (dalam tataran yang berbeda lho tapi, karena saya bukan filsuf). Saya tidak tahu apakah ide saya seperti ini pernah ditulis orang lain, atau bahkan ditulis kokiers di edisi yang dulu-dulu, yang mungkin saya pas kelewatan bacanya atau pas tidak sempat membuka Koki sama sekali. Kalau ada, saya yakin cara penyampaiannya berbeda. Masa orang tidak boleh punya ide yang sama?
Pertanyaan ini menggiring pikiran saya pada topik berikutnya, plagiarisme. Untuk menjelaskan plagiarisme, saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Dalam mata kuliah yang saya ajarkan, sosiolinguistik, saya selalu memberi tugas mahasiswa saya untuk membuat makalah akhir. Pada akhir semester, salah satu mahasiswa saya mengumpulkan makalah yang topiknya tidak pernah saya bahas di kelas (karena sosiolinguistik merupakan topik yang luas dan saya harus memilah-milah mana yang doable (mungkin bisa dikerjakan atau dicapai---peny.) dan yang penting bagi mahasiswa saya). Itu satu. Yang membuat kening saya berkerut adalah bahasa Inggrisnya yang perfect. Bukannya saya meremehkan, tapi saya tahu bagi mahasiswa semester 6, tulisan itu terlalu sulit, tidak hanya bahasanya tapi juga konsepnya. Karena saya curiga, saya google judulnya. Muncullah artikel yang sama persis, tanpa ditambahi dan dikurangi. Mahasiswa itu saya panggil dan saya minta untuk menjelaskan. Karena saya punya buktinya, dia tidak bisa menyanggah. Akhirnya keluarlah nilai E.
Saya mencoba untuk menyadarkan dia bahwa yang terpenting bagi saya adalah membuat makalah sendiri. Bahasa tidak harus perfect (wong saya saja tidak perfect), ide bisa tidak orisinal (dalam penelitian dinamakan replication study) tapi bahan mentah harus original, atau ide original tapi pakai data orang lain (misalnya data UN, NCES, PISA). Dia menangis dan minta maaf, tapi itu semua tidak mengubah keputusan saya, nilai tetap E. Tahun berikutnya dia mengambil mata kuliah saya lagi, dan kali ini dia lulus dengan baik. Makalahnya pun saya nilai baik karena datanya asli dan analisa dia juga baik. Saya bahagia karena semua berakhir dengan baik juga.
Lalu apa definisi plagiarisme?
Ini saya kutipkan dari web sites University of Indiana: "Plagiarism is defined as presenting someone else’s work, including the work of other students, as one’s own. Any ideas or materials taken from another source for either written or oral use must be fully acknowledged, unless the information is common knowledge. What is considered "common knowledge" may differ from course to course." (http://www.indiana.edu/~istd/definition.html).
Kalau kasus seperti mahasiswa saya tadi, menurut definisi ini ya jelas plagiat (dan bagi saya merupakan academic misconduct). Kalau menurut suami saya mengutip perkataan profesornya, plagiat atau tidak hanya dibedakan dengan tanda kutip. Kalau saya mengutip artikel Ican, entah beberapa kalimat atau paragraf dan kemudian saya tulis di tempat lain tapi saya tidak mencantumkan nama Ican, ya saya melakukan plagiat. Kalau saya tulis lagi yang sama, pakai tanda petik, dan saya tulis nama Ican, ya itu tidak plagiat. Kalau kalimat di paragraf yang saya ambil, saya ubah sedikit sedikit dan saya klaim sebagai tulisan saya, ya tetap saja plagiat. Tapi kalau saya terinspirasi ide Fire dan melakukan hal yang sama dengan bahan yang berbeda (misalnya saya hanya memfokuskan pada komentar dengan bahasa selain bahasa Indonesia) dan membahas dari sudut pandang yang sama sekali berbeda, ya itu bukan plagiat.
Nah sekarang kalau judul saya "On the Question of Originality" bagaimana? Plagiat tidak karena kalau digoogle akan banyak results dengan frasa sama. Words are in public domain, begitu kata sang begawan saya. Kalau tidak, maka semua orang akan melakukan plagiat. Bayangkan saja frasa ini: The purpose of this article is to provide insights on the issue of …Kalau itu dianggap plagiat, ya hampir semua peneliti junior maupun senior yang menulis frasa itu melakukan plagiat. Karena itu words are in public domain, but concepts, ideas, viewpoints are not.
Kalau pada edisi yang lalu ada artikel tentang Pak Harto yang diambil dari buku dan ditulis di Koki tanpa menyebut bukunya, plagiat tidak? Ada yang protes saat itu di koko dan kemudian judul bukunya ditambahkan oleh Zev. Saya susah menjawabnya karena di dunia persuratkabaran jiplak menjiplak ini biasa-biasa saja. Berita yang dimuat di Kompas bisa saya baca di MSNBC atau CNN (dalam versi bahasa Inggrisnya) karena sumbernya dari Associated Press. Berita yang saya baca di Yahoo News bisa saya baca di Suara Merdeka dalam versi bahasa Indonesia karena sumbernya dari Reuters. Kalau Koki dianggap dunia surat kabar, ya tidak masalah kalau ada penulis yang menulis artikel bersumber dari koran atau buku lain, tapi masih dengan catatan, harus disebutkan sumbernya. Kompas saja selalu menyebutkan sumber kok, entah itu AP, Reuters, atau Antara. Kalau artikel itu dibawa ke tataran scholarly writing, lain lagi jalan ceritanya. Artikelnya pasti sudah dikategorikan academic misconduct.
Satu pertanyaan lagi, kalau identitas saja tidak asli masa tulisan diminta asli? (Weekss, saya bisa menuai protes ini… semoga tidak ada yang membaca artikel saya, dengan demikian saya tidak diprotes…) Silakan kokiers sendiri yang menjawabnya. Saya hanya melemparkan pertanyaan (bukan batu bata lho) yang bisa menjadi pemikiran untuk semua. Apakah tulisan kita di Koki harus menepati aturan-aturan penulisan pada umumnya atau tidak (yang berarti harus menyebutkan sumber, memberi tanda kutip kalau mengutip persis dari sumber lain)? Atau karena Koki bukan diskursus akademik maka ya seenaknya sajalah, mau ngutip kek, mau nyontoh kek, mau kutip satu buku atau satu halaman persis juga gak papa? Atau barangkali semua itu tidak penting? Atau EGP lah, gitu aja kok repot, wong nulis gak ada honornya? (Bagi saya ada lho.. intangible incentives tapi.) Anda semua saya persilakan menjawab pertanyaan ini.[]
Catatan:
koko = kolom komentar
KoKi = Kolom Kita
Buku Lawan Gaya Hidup
---Anwar Holid
BETULKAH GAYA HIDUP bisa menggerogoti perkembangan budaya literer?
Para pembela perbukuan kerap prihatin betapa buku ternyata diperkirakan mudah kalah oleh pesaing lain yang berusaha menjauhkan mereka dari buku. Mereka agak yakin bahwa gaya hidup merupakan biang keladi yang menggerogoti perkembangan budaya literer. Dampak terbesarnya ialah buku tersingkir sebagai favorit, membuat ia masuk dalam prioritas bawah kebutuhan hidup.
Menghadap-hadapkan buku dengan gaya hidup sebenarnya klise, termasuk dengan menilai pandangan bahwa buku lebih mulia daripada gaya hidup. Keduanya punya latar belakang panjang dan mengakar; fungsi dan kelebihan masing-masing khas. Mereka lahir karena inovasi, teknologi, dan kebutuhan massa. Tanpa ada teknologi dan budaya massa, buku mustahil bisa dicetak ribuan kopi dan langsung memenuhi hasrat haus buku dunia.
Saya boleh dibilang agak abai pada gaya hidup, tapi karena alasan tertentu, sulit juga menghindari diri dari serbuan itu, terpaksa harus menerima kehadirannya. Misal memiliki handphone (HP). HP buat saya bikin beban, karena menambah pengeluaran rutin. Dengan menghabiskan kira-kira Rp.70 ribu per bulan untuk beli pulsa, kalau mau bisa saya gunakan untuk beli buku atau langganan Writer's Digest. HP saya kelas teri, tak ada fitur mp3 player, tanpa kamera, tak bisa terima mms, tapi untuk memenuhi garis gaya hidup, rasanya cukup. Saya jelas lebih cinta buku daripada HP; saya baru beli pulsa kalau mau habis masa aktif dan sering saya biarkan kosong. Tapi dari HP saya terima order atau janjian untuk mengerjakan proyek perbukuan. Jadi HP cukup berharga buat dipertahankan.
Yang sering saya pikirkan ialah bagaimana cara kalangan industri buku bisa mempersuasi masyarakat untuk meningkatkan daya beli buku, agar mau belanja lebih banyak buku. Mungkin ini terkait dengan penghasilan. Orang sudah bisa beli pulsa dengan Rp.5000; dengan uang segitu kita hanya bisa dapat buku loak atau cuci gudang, yang baru dijual di tempat khusus dan waktu tertentu. Ini repot. Buku kalah bersaing. Orang berpenghasilan rendah dan banyak keperluan lain terpaksa menunda keinginan beli buku, semata-mata karena tak terjangkau. Padahal kalau bisa, mereka juga ingin punya buku bagus, meski harganya bisa di atas satu juta rupiah. Yang menarik, sering ada buku kuno ternyata berharga jutaan; sementara makin kuno HP, ia makin tak berharga.
Bagaimana cara menjadikan buku sebagai gaya hidup, agar orang makin mau belanja buku? Itu pertanyaan sulit. Ada faktor "kemudahan" di sana. Bawa HP ringan, fleksibel, keren; sementara bawa buku agak berat, butuh ketenangan buat mengakses, meski tetap bisa gaya dan keren. Rasanya keren kalau saya bawa-bawa Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) atau Muhammad: Prophet for Our Time (Karen Armstrong) kala naik angkot. Atau tahu seseorang sudah baca Martin Amis atau Salman Rushdie. Saya selalu menyarankan judul buku kalau memungkinkan. Saya sering bertemu bookaholic, meski HP mereka bocel-bocel saking tua. Sekarang mana keren kalau orang tak tahu Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta?
SAYA TAK BERUSAHA menganggap gaya hidup jadi salah satu perusak masyarakat mau baca. Trend buku bisa berubah menggairahkan dan kadang-kadang jadi massif. Banyak orang menilai kesuksesan Pesta Buku Jakarta atau Islamic Book Fair merupakan tanda bahwa masyarakat sebenarnya punya daya beli buku besar. Haidar Bagir, CEO Mizan Publika, kemarin terpilih sebagai salah satu Top Ten The Best CEO 2008 versi SWA, itu tanda bahwa industri buku mengalami kemajuan pesat, termasuk dari segi manajerial. Digibookgallery.com menerbitkan buku digital yang bisa dibaca di HP, PDA, notebook dan PC---saya pikir itu tanda zaman sudah berubah. Bagaimana cara agar pemilik HP canggih dan perangkat gaya hidup era informasi mau beli buku digital yang harganya lebih terjangkau dari buku kertas? Dalam industri, komoditas harus mencari cara agar bisa diserap pasar sebesar mungkin, termasuk kalangan paling miskin. Rasanya malu menyalahkan gaya hidup sebagai alasan orang malas beli buku.
Keprihatinan tersingkirnya buku oleh gaya hidup mungkin malah bisa membuat buku tambah sulit dijangkau, karena kalangan perbukuan sendiri menganggap begitu. Banyak yang suka baca, tapi tak bisa beli buku. Mungkin salah satu kuncinya ialah mendekatkan buku pada massa, biar mereka bisa mengakses dan memiliki, dengan begitu barangkali bakal tercipta masyarakat yang punya keinginan kuat (demand) terhadap buku.
Keinginan saya pada buku rasanya malah tiada habis. Tapi apa daya tak terbeli semua. Saya ingin punya ensiklopedia, kamus bagus, novel kelas dunia, serial mahal yang biasa ditawarkan lewat direct selling, dan kadang-kadang penjualnya teman saya sendiri. Walhasil, saya harus ke perpustakaan. Beberapa perpustakaan di Bandung bagus dan nyaman, seperti Rumah Buku di Hegarmanah dan Bale Pustaka di Keuskupan.
Ada kala saya sedih hidup di dunia buku. Tapi setiap kali lihat kesuksesan atau inovasi di industri ini, saya senang. Kadang-kadang saya merasa terlalu rewel pada buku, namun selalu salut pada banyak orang yang berusaha memajukan dunia buku dengan berbagai cara yang lebih tulus maupun inovatif dan canggih. Ide buku dari berbagai kalangan butuh pengabdian dan kinerja lebih baik.
Tentu industri buku harus lebih halus bersiasat menghadapi zaman, lebih mau belajar cara menyelusupkan ide buku kepada banyak orang ke balik-balik gaya hidup, mengukuhkan buku sebagai bagian esensial kehidupan, tanpa perlu khawatir digerogoti gaya hidup.[]
---Anwar Holid
BETULKAH GAYA HIDUP bisa menggerogoti perkembangan budaya literer?
Para pembela perbukuan kerap prihatin betapa buku ternyata diperkirakan mudah kalah oleh pesaing lain yang berusaha menjauhkan mereka dari buku. Mereka agak yakin bahwa gaya hidup merupakan biang keladi yang menggerogoti perkembangan budaya literer. Dampak terbesarnya ialah buku tersingkir sebagai favorit, membuat ia masuk dalam prioritas bawah kebutuhan hidup.
Menghadap-hadapkan buku dengan gaya hidup sebenarnya klise, termasuk dengan menilai pandangan bahwa buku lebih mulia daripada gaya hidup. Keduanya punya latar belakang panjang dan mengakar; fungsi dan kelebihan masing-masing khas. Mereka lahir karena inovasi, teknologi, dan kebutuhan massa. Tanpa ada teknologi dan budaya massa, buku mustahil bisa dicetak ribuan kopi dan langsung memenuhi hasrat haus buku dunia.
Saya boleh dibilang agak abai pada gaya hidup, tapi karena alasan tertentu, sulit juga menghindari diri dari serbuan itu, terpaksa harus menerima kehadirannya. Misal memiliki handphone (HP). HP buat saya bikin beban, karena menambah pengeluaran rutin. Dengan menghabiskan kira-kira Rp.70 ribu per bulan untuk beli pulsa, kalau mau bisa saya gunakan untuk beli buku atau langganan Writer's Digest. HP saya kelas teri, tak ada fitur mp3 player, tanpa kamera, tak bisa terima mms, tapi untuk memenuhi garis gaya hidup, rasanya cukup. Saya jelas lebih cinta buku daripada HP; saya baru beli pulsa kalau mau habis masa aktif dan sering saya biarkan kosong. Tapi dari HP saya terima order atau janjian untuk mengerjakan proyek perbukuan. Jadi HP cukup berharga buat dipertahankan.
Yang sering saya pikirkan ialah bagaimana cara kalangan industri buku bisa mempersuasi masyarakat untuk meningkatkan daya beli buku, agar mau belanja lebih banyak buku. Mungkin ini terkait dengan penghasilan. Orang sudah bisa beli pulsa dengan Rp.5000; dengan uang segitu kita hanya bisa dapat buku loak atau cuci gudang, yang baru dijual di tempat khusus dan waktu tertentu. Ini repot. Buku kalah bersaing. Orang berpenghasilan rendah dan banyak keperluan lain terpaksa menunda keinginan beli buku, semata-mata karena tak terjangkau. Padahal kalau bisa, mereka juga ingin punya buku bagus, meski harganya bisa di atas satu juta rupiah. Yang menarik, sering ada buku kuno ternyata berharga jutaan; sementara makin kuno HP, ia makin tak berharga.
Bagaimana cara menjadikan buku sebagai gaya hidup, agar orang makin mau belanja buku? Itu pertanyaan sulit. Ada faktor "kemudahan" di sana. Bawa HP ringan, fleksibel, keren; sementara bawa buku agak berat, butuh ketenangan buat mengakses, meski tetap bisa gaya dan keren. Rasanya keren kalau saya bawa-bawa Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) atau Muhammad: Prophet for Our Time (Karen Armstrong) kala naik angkot. Atau tahu seseorang sudah baca Martin Amis atau Salman Rushdie. Saya selalu menyarankan judul buku kalau memungkinkan. Saya sering bertemu bookaholic, meski HP mereka bocel-bocel saking tua. Sekarang mana keren kalau orang tak tahu Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta?
SAYA TAK BERUSAHA menganggap gaya hidup jadi salah satu perusak masyarakat mau baca. Trend buku bisa berubah menggairahkan dan kadang-kadang jadi massif. Banyak orang menilai kesuksesan Pesta Buku Jakarta atau Islamic Book Fair merupakan tanda bahwa masyarakat sebenarnya punya daya beli buku besar. Haidar Bagir, CEO Mizan Publika, kemarin terpilih sebagai salah satu Top Ten The Best CEO 2008 versi SWA, itu tanda bahwa industri buku mengalami kemajuan pesat, termasuk dari segi manajerial. Digibookgallery.com menerbitkan buku digital yang bisa dibaca di HP, PDA, notebook dan PC---saya pikir itu tanda zaman sudah berubah. Bagaimana cara agar pemilik HP canggih dan perangkat gaya hidup era informasi mau beli buku digital yang harganya lebih terjangkau dari buku kertas? Dalam industri, komoditas harus mencari cara agar bisa diserap pasar sebesar mungkin, termasuk kalangan paling miskin. Rasanya malu menyalahkan gaya hidup sebagai alasan orang malas beli buku.
Keprihatinan tersingkirnya buku oleh gaya hidup mungkin malah bisa membuat buku tambah sulit dijangkau, karena kalangan perbukuan sendiri menganggap begitu. Banyak yang suka baca, tapi tak bisa beli buku. Mungkin salah satu kuncinya ialah mendekatkan buku pada massa, biar mereka bisa mengakses dan memiliki, dengan begitu barangkali bakal tercipta masyarakat yang punya keinginan kuat (demand) terhadap buku.
Keinginan saya pada buku rasanya malah tiada habis. Tapi apa daya tak terbeli semua. Saya ingin punya ensiklopedia, kamus bagus, novel kelas dunia, serial mahal yang biasa ditawarkan lewat direct selling, dan kadang-kadang penjualnya teman saya sendiri. Walhasil, saya harus ke perpustakaan. Beberapa perpustakaan di Bandung bagus dan nyaman, seperti Rumah Buku di Hegarmanah dan Bale Pustaka di Keuskupan.
Ada kala saya sedih hidup di dunia buku. Tapi setiap kali lihat kesuksesan atau inovasi di industri ini, saya senang. Kadang-kadang saya merasa terlalu rewel pada buku, namun selalu salut pada banyak orang yang berusaha memajukan dunia buku dengan berbagai cara yang lebih tulus maupun inovatif dan canggih. Ide buku dari berbagai kalangan butuh pengabdian dan kinerja lebih baik.
Tentu industri buku harus lebih halus bersiasat menghadapi zaman, lebih mau belajar cara menyelusupkan ide buku kepada banyak orang ke balik-balik gaya hidup, mengukuhkan buku sebagai bagian esensial kehidupan, tanpa perlu khawatir digerogoti gaya hidup.[]
Subscribe to:
Posts (Atom)