Buku Lawan Gaya Hidup
---Anwar Holid
BETULKAH GAYA HIDUP bisa menggerogoti perkembangan budaya literer?
Para pembela perbukuan kerap prihatin betapa buku ternyata diperkirakan mudah kalah oleh pesaing lain yang berusaha menjauhkan mereka dari buku. Mereka agak yakin bahwa gaya hidup merupakan biang keladi yang menggerogoti perkembangan budaya literer. Dampak terbesarnya ialah buku tersingkir sebagai favorit, membuat ia masuk dalam prioritas bawah kebutuhan hidup.
Menghadap-hadapkan buku dengan gaya hidup sebenarnya klise, termasuk dengan menilai pandangan bahwa buku lebih mulia daripada gaya hidup. Keduanya punya latar belakang panjang dan mengakar; fungsi dan kelebihan masing-masing khas. Mereka lahir karena inovasi, teknologi, dan kebutuhan massa. Tanpa ada teknologi dan budaya massa, buku mustahil bisa dicetak ribuan kopi dan langsung memenuhi hasrat haus buku dunia.
Saya boleh dibilang agak abai pada gaya hidup, tapi karena alasan tertentu, sulit juga menghindari diri dari serbuan itu, terpaksa harus menerima kehadirannya. Misal memiliki handphone (HP). HP buat saya bikin beban, karena menambah pengeluaran rutin. Dengan menghabiskan kira-kira Rp.70 ribu per bulan untuk beli pulsa, kalau mau bisa saya gunakan untuk beli buku atau langganan Writer's Digest. HP saya kelas teri, tak ada fitur mp3 player, tanpa kamera, tak bisa terima mms, tapi untuk memenuhi garis gaya hidup, rasanya cukup. Saya jelas lebih cinta buku daripada HP; saya baru beli pulsa kalau mau habis masa aktif dan sering saya biarkan kosong. Tapi dari HP saya terima order atau janjian untuk mengerjakan proyek perbukuan. Jadi HP cukup berharga buat dipertahankan.
Yang sering saya pikirkan ialah bagaimana cara kalangan industri buku bisa mempersuasi masyarakat untuk meningkatkan daya beli buku, agar mau belanja lebih banyak buku. Mungkin ini terkait dengan penghasilan. Orang sudah bisa beli pulsa dengan Rp.5000; dengan uang segitu kita hanya bisa dapat buku loak atau cuci gudang, yang baru dijual di tempat khusus dan waktu tertentu. Ini repot. Buku kalah bersaing. Orang berpenghasilan rendah dan banyak keperluan lain terpaksa menunda keinginan beli buku, semata-mata karena tak terjangkau. Padahal kalau bisa, mereka juga ingin punya buku bagus, meski harganya bisa di atas satu juta rupiah. Yang menarik, sering ada buku kuno ternyata berharga jutaan; sementara makin kuno HP, ia makin tak berharga.
Bagaimana cara menjadikan buku sebagai gaya hidup, agar orang makin mau belanja buku? Itu pertanyaan sulit. Ada faktor "kemudahan" di sana. Bawa HP ringan, fleksibel, keren; sementara bawa buku agak berat, butuh ketenangan buat mengakses, meski tetap bisa gaya dan keren. Rasanya keren kalau saya bawa-bawa Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) atau Muhammad: Prophet for Our Time (Karen Armstrong) kala naik angkot. Atau tahu seseorang sudah baca Martin Amis atau Salman Rushdie. Saya selalu menyarankan judul buku kalau memungkinkan. Saya sering bertemu bookaholic, meski HP mereka bocel-bocel saking tua. Sekarang mana keren kalau orang tak tahu Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta?
SAYA TAK BERUSAHA menganggap gaya hidup jadi salah satu perusak masyarakat mau baca. Trend buku bisa berubah menggairahkan dan kadang-kadang jadi massif. Banyak orang menilai kesuksesan Pesta Buku Jakarta atau Islamic Book Fair merupakan tanda bahwa masyarakat sebenarnya punya daya beli buku besar. Haidar Bagir, CEO Mizan Publika, kemarin terpilih sebagai salah satu Top Ten The Best CEO 2008 versi SWA, itu tanda bahwa industri buku mengalami kemajuan pesat, termasuk dari segi manajerial. Digibookgallery.com menerbitkan buku digital yang bisa dibaca di HP, PDA, notebook dan PC---saya pikir itu tanda zaman sudah berubah. Bagaimana cara agar pemilik HP canggih dan perangkat gaya hidup era informasi mau beli buku digital yang harganya lebih terjangkau dari buku kertas? Dalam industri, komoditas harus mencari cara agar bisa diserap pasar sebesar mungkin, termasuk kalangan paling miskin. Rasanya malu menyalahkan gaya hidup sebagai alasan orang malas beli buku.
Keprihatinan tersingkirnya buku oleh gaya hidup mungkin malah bisa membuat buku tambah sulit dijangkau, karena kalangan perbukuan sendiri menganggap begitu. Banyak yang suka baca, tapi tak bisa beli buku. Mungkin salah satu kuncinya ialah mendekatkan buku pada massa, biar mereka bisa mengakses dan memiliki, dengan begitu barangkali bakal tercipta masyarakat yang punya keinginan kuat (demand) terhadap buku.
Keinginan saya pada buku rasanya malah tiada habis. Tapi apa daya tak terbeli semua. Saya ingin punya ensiklopedia, kamus bagus, novel kelas dunia, serial mahal yang biasa ditawarkan lewat direct selling, dan kadang-kadang penjualnya teman saya sendiri. Walhasil, saya harus ke perpustakaan. Beberapa perpustakaan di Bandung bagus dan nyaman, seperti Rumah Buku di Hegarmanah dan Bale Pustaka di Keuskupan.
Ada kala saya sedih hidup di dunia buku. Tapi setiap kali lihat kesuksesan atau inovasi di industri ini, saya senang. Kadang-kadang saya merasa terlalu rewel pada buku, namun selalu salut pada banyak orang yang berusaha memajukan dunia buku dengan berbagai cara yang lebih tulus maupun inovatif dan canggih. Ide buku dari berbagai kalangan butuh pengabdian dan kinerja lebih baik.
Tentu industri buku harus lebih halus bersiasat menghadapi zaman, lebih mau belajar cara menyelusupkan ide buku kepada banyak orang ke balik-balik gaya hidup, mengukuhkan buku sebagai bagian esensial kehidupan, tanpa perlu khawatir digerogoti gaya hidup.[]
No comments:
Post a Comment