Thursday, August 21, 2008
Dead Poets Society
Membaca Film dalam Buku
Oleh: Septina Ferniati
Ketika Harry Potter difilmkan, saya, suami dan anak saya menyambutnya dengan antusias. Kami menyukai novel karya J.K. Rowling tersebut, karena ceritanya seru, menegangkan, dan disukai anak saya. Begitu seringnya saya membacakan ceritanya menjelang ia tidur, hingga suatu hari ia bilang: “Bu, Lalang sudah bisa bilang 'ermayoni' lho!” Hasil adaptasi dari Harry Potter pertama yang jumlah halamannya 382 menjadi 1,5 jam pasti merupakan hasil kerja keras yang rumit, karena terjadi penyederhanaan setting dan peristiwa. Ketika menonton film, kita tinggal duduk diam dan serius mencerna kejadian-kejadiannya. No sweat, kata orang. Meskipun ada juga film-film yang membutuhkan pemikiran mendalam, seperti film Hiroshima, Mon Amor yang difilmkan dari naskah karya Marguerita Duras. Tetapi ketika membaca, kita harus berusaha lebih keras untuk memahami dan berimajinasi dengan pikiran dan wawasan kita. Bayangkan kesulitan yang kita alami ketika membaca sebuah buku dan mencoba memahaminya dengan baik, syukur-syukur bila kemudian bisa kritis terhadap bacaan itu.
Hal sebaliknya saya alami terhadap Dead Poets Society (DPS). Saya mendapatkan novel itu sebagai hadiah dari paman terdekat. Disutradarai Peter Weir, naskah filmnya adalah karya Tom Schulman yang pada 1989 mendapat Academy Award (piala Oscar) sebagai naskah film terbaik. Kemudian N.H. Kleinbaum mengadaptasinya menjadi sebuah novel. Agak mengejutkan bagi saya, karena buku hasil adaptasi film agak jarang ditemui. DPS dibintangi Robin Williams, Ethan Hawke dan Robert Sean Leonard, seorang spesialis aktor drama Broadway yang bermain sangat cemerlang di film ini. Menurut seorang kawan, di luar negeri sudah lazim sebuah film sukses kemudian dinovelkan; salah satu contohnya adalah novel The Piano. DPS adalah hasil adaptasi Kleinbaum yang ke tiga, setelah Growing Pains dan D.A.R.Y.L. Artinya dari film diadaptasi menjadi novel, bukan sebaliknya seperti yang sering kita temui selama ini, misalnya film The Firm yang dibintangi Tom Cruise yang merupakan hasil adaptasi novel karya John Grisham dan film The Color Purple yang diperankan oleh Whoopy Goldberg yang juga hasil adaptasi novel karya Alice Walker. Apakah lantas kerja Kleinbaum menjadi lebih mudah? Atau sebaliknya?
Saya mencoba membayangkan kesulitan Kleinbaum mengangkat kisah dari layar lebar menjadi sebuah novel, karena bahasa visual/bahasa film jelas-jelas berbeda dari bahasa tulis. Ada beberapa hal seperti suasana, perasaan-perasaan hati seseorang yang kemungkinan susah digali ke dalam bahasa tulis kecuali dinarasikan/dipaparkan. Dalam film selalu ada setting peristiwa ketika seseorang merenung, tertegun atau tertekan, yang kesemuanya sangat mungkin sulit dibahasakan. Tetapi Kleinbaum mencobanya, dan sejauh ini berhasil melakukannya.
Ia, misalnya, berhasil membuat pembaca novel tidak terlalu kehilangan poin-poin peristiwa penting dalam novelnya, karena paparannya nyaris sama dengan setting dalam film. Kejadian-kejadian saat Keating mulai mengajar dengan gaya unik dan berbeda digambarkan sama walaupun sedikit lebih panjang dari setting dalam film. Begitu pun ketika Neil berperan sebagai Puck dalam sebuah sandiwara antarsekolah, kejadiannya tidak terlalu berbeda, baik dalam film maupun novel. Ketika Charlie yang spontan senantiasa berlagak untuk mendapat perhatian orang lain, Kleinbaum benar-benar berhasil memaparkannya dalam novel, sama baiknya dengan Charlie dalam film. Hampir semua kejadian dalam film berhasil dinarasikan ke dalam bahasa tulisan, meskipun Kleinbaum harus lebih dalam menggali kalimat-kalimat dalam novelnya untuk bisa dengan baik memaparkan suasana hati para tokoh dalam filmnya. Itu bukan pekerjaan yang mudah, tentu saja, dan ia boleh berbangga hati karena cukup berhasil melakukannya.
Dalam novel ada peristiwa ketika salah satu anggota Dead Poets Society, si pendiam Todd, menangisi kematian sahabat sekaligus pemimpinnya. Ia menangis dengan perasaan kehilangan dan luka teramat dalam. Tetapi yang menarik, adegan dalam film berbeda sama sekali dengan peristiwa yang terjadi di dalam novel. Dalam film digambarkan bagaimana Todd menahan tangisnya hingga tubuhnya sakit, dan ia berlari ke tengah hamparan salju yang turun deras sambil menangis menjeritkan nama sahabatnya. Dalam novel, yang terjadi adalah Todd menangis hingga dadanya mau pecah menahan sesak perasaan dan duka teramat dalam dalam kamar mandi. Jelas terjadi perbedaan peristiwa dalam novelnya.
Ada juga salah satu peristiwa penting dalam film yang tampaknya berbeda dipaparkan ke dalam bahasa tulis, yaitu ketika Todd versi novel menolak menandatangani surat pernyataan bahwa ia telah diprovokasi gurunya, Keating, untuk menjadi anggota DPS yang secara tidak langsung menjadi penyebab kematian Neil, dan karenanya Keating harus berhenti mengajar, padahal ia tahu mengajar bagi Keating adalah hidup. Ketika ayahnya yang gusar bertanya padanya, “What do you care about him?” Todd menyahut keras, “What do you care about me? He cares about me! You don't!” Tidak ada dialog itu dalam film, yang terjadi justru ambiguitas, kesan bahwa Todd tidak menandatangani surat pernyataan itu sama kuatnya dengan kesan Todd menandatanganinya.
Bagi saya, membaca DPS jauh lebih mengasyikkan, karena saya merasa lebih terikat dengan tokoh-tokohnya tinimbang jika saya menonton filmnya. Terasa sesuatu mencekam hati ketika Neil memulai prosesi bunuh dirinya yang sakral sekaligus tragis, membuat hati saya terasa sakit ketika ia melakukannya. Dalam film, adegan itu terasa lebih singkat dan tidak terlalu dalam. Mungkin karena kegundahan-kegundahan hatinya dengan jelas dan gamblang terpaparkan dalam novel, memudahkan kita untuk membayangkan, merasakan kesedihan-kesedihannya dan larut dalam pusaran perasaan itu.
Perbedaan-perbedaan itu tidak lantas menjadikan saya bingung, tentu saja. Saya hanya bertanya-tanya sedikit, begitukah yang terjadi bila film coba “ditafsirkan” menjadi sebuah novel? Ada beberapa hal yang hilang, ditambahkan atau dibiarkan tetap sama. Mungkin Kleinbaum mencoba berpikir praktis seperti misalnya dalam adegan Todd menangis dalam kamar mandi alih-alih di tengah hujan salju pada subuh pagi. Kalau ia ingin menceritakan Todd menangis di tengah-tengah salju di luar sekolah, mungkin ia harus agak repot menceritakan cara Todd dan teman-temannya yang keluar sekolah sepagi itu. Di sekolah seketat Welton, agak bisa dipastikan bahwa izin akan merupakan hal yang lumrah dilakukan, apalagi untuk keluar lingkungan sekolah.
Sastra bisa menjadi sesuatu yang mencengangkan. Pertama kali Keating mengajar, ia menyuruh siswa-siswanya merobek buku tentang teori puisi yang ditulis oleh Pritchard, karena menurutnya, menulis bukan saja definisi, bunyi, atau rima, melainkan pengalaman batin dan serangkaian kata bermakna yang membekas dalam diri mereka masing-masing. Todd yang sangat pendiam pun pada akhirnya mampu mengeluarkan kata-kata yang berasal dari dalam hatinya, hal mana sangat sukar dilakukannya. Awalnya mungkin mereka menyukai sikap Keating yang revolusioner, lama-kelamaan mereka larut dalam petualangan kata-kata indah yang mampu membuat mereka menyelami hidup lebih dalam lagi. Mereka tahu yang harus mereka lakukan dan menjadi mudah mengekspresikan perasaannya.
Dead Poets Society memang bukan cerita kacangan, ia sastra yang indah dan memesona, apalagi dengan adanya larik-larik puisi dari Shelley, Tennyson, Keats dan Whitman. Saat membacanya, saya seolah dibawa menuju suatu dunia bebas tanpa tekanan yang mengasyikkan, di mana saya bebas mengekspresikan perasaan, dan timbul gairah menggelora terhadap kehidupan. Dalam diri Keating ada begitu banyak hal positif yang bisa dibaginya kepada anak-anak didiknya. Meskipun kisah DPS tidak berakhir bahagia, hal mana tak lazim terjadi dalam film-film Hollywood pada umumnya, namun ia memberi pembacanya kebebasan berimajinasi untuk menerka-nerka atau pun sekadar menerima akhir tak bahagia itu. Toh dalam hidup ada begitu banyak peristiwa berharga yang bisa dijadikan cermin. Seperti kata Keating kepada anak-anak didiknya, seize the day! Raihlah Kesempatan! []
Septina Ferniati, penerjemah & penulis. Terjemahan terakhirnya ialah The Hebron Journal (Art Gish; Mizan, 2008)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment