Tuesday, July 28, 2009
[BUKU INCARAN]
Orang Biasa Menulis Kehidupan Langka
---Anwar Holid
Vinondini Indriati pernah menulis di muka Facebook saya: "Ordinary people write unordinary life."
Ungkapan itu cukup pas mewadahi kesan umum atas autobiografinya, Nyi Vinon (Daun Buku, 398 hal., Rp.60.000), yang terbit dalam kemasan cantik-mungil, sehingga sangat enak untuk dibawa-bawa sepanjang waktu sampai habis dibaca. Saya membolak-balik buku itu, menandai bagian yang asyik dan mengesankan, akhirnya berani bilang betapa seorang individu yang tampak biasa-biasa saja, ternyata memiliki isi kepala, pandangan hidup, dan komentar terhadap dunia beserta segala halnya, yang begitu ramai, unik, bahkan kadang-kadang aneh dan mencengangkan. Seperti keberaniannya menulis "unordinary", dan bukan memilih "unorthodox", "extraordinary", atau "uncommon" meski artinya serumpun.
Setelah dalam beberapa minggu agak tekun membaca-baca autobiografi tersebut, terasa betapa buku ini asyik, lucu, jujur, lancar, sederhana, sekaligus mendasar. Memang ada kala tulisannya merembet ke mana-mana, akibat ingin mengomentari banyak hal, tapi dia terus berusaha fokus dari bagian ke bagian. Karakter dirinya nyata dan jelas-jelas tampak di setiap fase kehidupan dan pemikiran. Dari segi penuturan, buku itu melesat berhasil menghindari klise autobiografi yang membosankan.
Publik yang skeptik mungkin akan bertanya-tanya, siapakah Vinon sampai berani-berani bikin autobiografi di usia awal tiga puluhan? Apa dia membuat terobosan sejarah? Mengalami drama kemanusiaan begitu hebat? Bila itu pijakannya, orang akan kecewa. Karena menulis tentang kehidupan "biasa" itu, yang terasa pada bukunya bukan heroisme, menghebatkan diri, atau mencela orang lain, melainkan mengamat-amati dan berketapan hati. Meski ada-ada saja, perjalanan hidup Vinon pada dasarnya masih terbilang biasa untuk ukuran orang kebanyakan. Dia menghabiskan sekolah dengan ikut Pramuka, ekstrakurikuler, aktif di banyak kegiatan, atau membentuk peer group yang solid. Bagi sebagian anak SMA, terpilih sebagai peserta AFS mungkin terbilang istimewa. Tapi bukan itu poinnya. Yang paling berharga dari bukunya ialah proses penemuan diri, bahwa hidup merupakan serangkaian pilihan dan tanggung jawab, dan itu akan berlangsung terus memasuki periode baru.
Sebagai anak dari keluarga pengelola pabrik gula di Cirebon, masa kecil Vinon berlangsung menyenangkan, penuh permainan dan kegiatan, sebagian mengandung balutan mitos agama Islam setempat. Meski mengakui bahwa lingkungan pabrik gula merupakan subkultur, Vinon bukan tipe anak sok atau pertentangan kelasnya meruncing jadi permusuhan. Keluarganya memperlihatkan moral dan toleransi tinggi. Di sebelah rumahnya ada asrama zending, tempat kawan-kawan ayahnya main catur, sementara Vinon bersama kakak dan adik main ketangkasan bernama "jembatan sirotol mustakim" untuk menentukan apa mereka akan masuk neraka atau surga.
Dia mengutip sebuah hadis Qudsi, salah satu teks suci dalam agama Islam: Barangsiapa mengetahui dirinya, sesungguhnya ia mengetahui Tuhan yang menjadikannya. Itulah tujuan besar dari autobiografi tersebut: dia ingin memahami diri sendiri. Kehidupan Vinon banyak cerita, penuh interaksi dengan orang lain, dan karena itu membuat buku ini berharga. Dia cukup utuh menceritakan perkembangan kesadaran pemikiran dan emosional dirinya. Berkisah dari masa kecil bersama keluarga, sekolah, kuliah, aktivitas, keyakinan, tempat tinggal, kawan, dan pekerjaan dengan bahasa riang.
Bab paling menarik dalam buku ini ialah mengenai kepercayaan. Komentarnya tentang keyakinan, agama, sisi spiritualitas manusia, pandangannya tentang Tuhan, jangan-jangan bisa membuat orang yang beriman secara dogmatis jadi tambah putus asa. Mengherankan betapa orang awam bisa menemukan keyakinan pribadi yang begitu lain dengan orang kebanyakan. "Penemuan" seperti itu sungguh luar biasa, apalagi bila kita bandingkan dengan ajaran maupun mitos yang dia terima sejak kecil.
Konon, sebelum terbit seperti sekarang, autobiografi ini sudah beredar dari tangan ke tangan (bukan tertangkap tangan) di kalangan teman-teman dan keluarga dekatnya. Namun rupanya aspek dalam buku ini---mulai dari kekayaan budaya, perkembangan pemikiran, hingga uraian psikoanalisis terhadap dirinya---melebarkan distribusinya hingga sampai ke tangan dosen antropologi maupun psikologi untuk dijadikan bahan kajian. Atas desakan kakaknya, akhirnya buku ini terbit dengan pantas, mendapat sentuhan editing dan desain yang bagus. Vinon sendiri terinspirasi menulis biografi setelah membaca autobiografi karya seorang kerabat tuanya.
Setelah buku pertama ini, bila nanti berniat dan berhasil menuntaskan, Vinon akan menulis pengalamannya memasuki periode pernikahan, membentuk keluarga, menjadi orangtua. Subjudul "sastra pranikah" mengindikasikan hal itu. Buku ini berakhir dengan pertanyaan: "Dengan siapa saya menikah nanti?" Buku ini menunjukkan betapa untuk mengetahui diri sendiri individu belajar banyak kepada keluarga, warisan budaya, sekolah, teman, dan mempelajari diri sendiri.
Autobiografi ialah buku yang mempertaruhkan kejujuran kepada publik. Vinon telah memilih dalam hal apa saja dia jujur mengungkapkan dirinya dengan cara yang sangat langka.[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
Vinondini Indriati maupun sebagai Nyi Vinon bisa ditemui di http://www.facebook.com
Wednesday, July 22, 2009
[review album]
Half Queen atau Sekalian Queer
The Cosmos Rocks
Band: Queen + Paul Rodgers
Rilis: 15 September 2008
Genre: Hard rock, Pop Rock
Durasi: 58:46 (14 track)
Label: Parlophone [UK], Hollywood [dunia]
Produser: Queen + Paul Rodgers
Rating: **
Atas kebaikan Budi Warsito, aku akhirnya bisa mendapatkan The Cosmos Rocks, album Queen bareng vokalis Paul Rodgers. Beberapa bulan sebelumnya, dia juga meminjami aku majalah Mojo dengan edisi utama membahas Queen setelah Freddie Mercury meninggal, sekalian membahas meluncurnya The Cosmos Rocks.
Nama Queen + Paul Rodgers merupakan pilihan aman namun mungkin penuh beban. Apalagi "Queen" sekarang hanya terdiri dari Brian May (gitar) dan Roger Taylor (drum), sebab John Deacon (bass) telah memilih pensiun. Rasanya aneh grup tanpa Freddie Mercury dan John Deacon masih nekat bernama Queen. Mungkin lebih tepat kalau namanya "Half Queen" atau sekalian "Queer." Di studio, saat menggarap The Cosmos Rocks, May dan Taylor juga yang gonta-ganti mengisi seksi bass. Sementara Danny Miranda bertanggung jawab saat tur.
"Tambah" Paul Rodgers menjelaskan bahwa dia bukanlah anggota Queen dan suatu saat posisinya bisa diganti siapa saja, misalnya oleh Mbah Surip. Rodgers juga tidak digadang-gadang sebagai pengganti Freddie. Jadi di album ini dua pihak membawa diri sendiri untuk menghasilkan sebuah album. Ini seperti dulu Queen bekerja sama dengan David Bowie dan mau mengundang Michael Jackson. Jadi ada duet vokal, sementara sekarang mereka kehilangan dua pilar utama. Kini, bayangkanlah pita suara Freddie putus sama sekali dan gagal berfungsi kembali, lantas Queen mengundang Paul Rodgers untuk menyanyikan lagu Queen, sementara Freddie menonton dan mengawasi pertunjukan itu.
Hasilnya kita seperti dihantui sesuatu. Album ini lumayan asyik, tapi rasanya ada yang salah.
Mungkin sebagian orang berpendapat lebih baik Queen pensiun begitu Freddie mati, biar mereka jadi fosil dengan jejak masa lalu gemilang. Dulu penggemar Queen sudah cukup sangat kecewa dengan Hot Space (1982), The Cosmos Rocks lebih mengerikan lagi bila dibandingkan album itu. Atau sebagian orang seperti aku akan bilang: carilah pengganti Freddie yang pantas. Usulku cuma satu: hanya George Michael. Waktu menyanyikan "Somebody to Love," dia membuktikan bahwa dirinya pantas. Biar nanti Queen tak perlu lagi repot mencantumkan tanda "tambah" di cover albumnya.
Wajar bila kemudian rata-rata review memberi 2 bintang dari skala 5. Yang memberi nilai bagus hanya Classic Rock dan Record Collector. Blender dan The Observer memberi nilai satu; Rolling Stone, The Guardian, dan Allmusic.com memberi dua. Metacritic memberi skor The Cosmos Rocks 42/100, ada di urutan ke 24 album terburuk yang paling sering diulas.
Mendengar album ini seperti "gampangan", langsung kena, seperti kita dengar Bad English atau Firehouse, grup pop rock kebanyakan, namun kita akan lekas kehilangan semangat untuk memperhatikan lebih lanjut. Habis sudah kompleksitas khas Queen yang terakhir kita dengar di album Innuendo. Queen sebenarnya tidak rumit-rumit amat, katakanlah dibandingkan Led Zeppelin, tapi jelas mereka termasuk grup yang inovatif, menggebu-gebu, dan suka menawarkan penemuan. The Cosmos Rocks kekurangan semangat itu.
Yang paling berharga dari The Cosmos Rocks mungkin gitar Brian May. Inilah satu-satunya yang bisa meyakinkan kita bahwa ini memang asli Queen. Kita masih bisa dengar betapa gitarnya mengisi hampir semua kekosongan, menjelajah dari track ke track. Sulitnya, beberapa lagu terdengar klise karena seperti ingin mengulang kesuksesan We Will Rock You, Crazy Little Thing Called Love, We Are The Champions, atau Who Wants to Live Forever, dan itu membuat secara keseluruhan upaya May jadi kepayahan. Analis Queen bilang, andai Deacon masih mau berpartisipasi, mungkin Queen tertolong, karena Deacon suka melahirkan hits yang sangat orisinal, seperti Another Ones Bites the Dust.
Lagu paling kuat di album ini ialah C-lebrity, lagu tentang betapa orang kini makin mudah mendapat popularitas, dan Say It's Not True, yang emosional. Cosmos Rockin', track pertama album ini, bersemangat, nendang, dan catchy, ingin membuktikan bahwa rocker gaek ini masih berusaha keras menggoyang dunia dan musik membuat mereka hidup. Still Burnin' awalnya hebat, tapi di ujung, hentakan nada ulangan mirip We Will Rock You membuat aku patah semangat.
Tentu menyedihkan bahwa grup yang pernah sangat hebat dan grandeur, kini jatuh ke jebakan klise. May dan Taylor ada baiknya ikut jalan Robert Plant dan Jimmy Page, yaitu berhenti menggunakan nama Led Zeppelin setelah Bonham meninggal, apalagi bila tidak ditemani John Paul Jones. Kalau pakai nama May, Taylor, & Rodgers, mungkin orang masih tetap perhatian, mengingat riwayat masing-masing di ranah rock. Paul Rodgers, terutama di Inggris, juga merupakan rocker yang sangat dihormati karena pernah gabung dengan empat grup hebat. Tapi di The Cosmos Rocks, vokalnya hanya mengingatkan aku pada Doug Pinnick dari King's X.
Setelah dengar The Cosmos Rocks, aku menaruh list album ini jauh di bawah Mbah Surip. Walau sama-sama sudah tua, Mbah Surip lebih bisa bikin aku tertawa.
Keep on rockin'![]
Anwar Holid, penggemar Queen sejak SMP. Bekerja sebagai editor, penulis, & publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Situs terkait:
http://www.queenonline.com
http://www.queenpluspaulrodgers.com
http://www.queenarchives.com/index.php?title=The_Cosmos_Rocks_Press
http://en.wikipedia.org/wiki/Queen_%2B_Paul_Rodgers
Catatan: Di Facebookku, posting ini mendapat respons yang sangat berharga dari Akmal Nasery Basral, wartawan dengan pengetahuan musik mumpuni.
Thursday, July 09, 2009
Bicara Filsafat Dalam Bahasa Semua Orang
--Anwar Holid
Lebih dari seratus orang hadir menyimak diskusi bertajuk "pemurnian pikiran melalui filsafat," menghadirkan Jalaluddin Rakhmat dan Yosef Dedy Pradipto.
BANDUNG - Penerbit Kanisius mengadakan diskusi buku filsafat yang berhasil menyita perhatian banyak orang. The Story of Philosophy karya Bryan Magee (Kanisius, 240 h.) mampu menarik banyak massa, terutama kalangan muda. Aula Gedung Pasca Sarjana Universitas Parahyangan, Bandung pada Senin, 6 Juli 2009 penuh. Banyak hadirin mesti menyiapkan kursi sendiri karena yang disediakan panitia sudah penuh terduduki.
Tawaran panitia memang menarik. Dalam acara itu peserta bisa mendapat buku pengantar filsafat dengan kemasan mewah itu seharga Rp.250.000,- sekaligus mendengar komentar kedua sarjana mengenai relevansi filsafat bagi manusia. Jalaluddin Rakhmat menyoroti salah satu detail buku tersebut, yaitu fragmen pencerahan filsafat Boethius ketika ia menyelesaikan buku De Consolatione Philosophiae (Penghiburan Filsafat) sambil menunggu hukuman mati atas tuduhan makar. Sedangkan Dedy Pradipto memancing penasaran dengan melontarkan pernyataan retorik, "Apa filsafat masih berguna sekarang ini?" Menurut dia, filsafat kerap jadi anak tiri dalam aspek kehidupan manusia, padahal sebenarnya ia merupakan fondasi bagi pembentukan karakter manusia.
The Story of Philosophy merupakan buku pengantar filsafat yang istimewa. Ia merupakan karya seorang sarjana filsafat yang juga ahli di bidang media dan jurnalistik. Hal ini membuat bukunya berhasil memaparkan kajian filsafat menjadi sesuatu yang bisa dinikmati pembaca manapun, dengan segala ciri khas filsafat tetap melekat padanya. "Buku ini membuat filsafat jadi segar," kata Jalaluddin Rakhmat. Dedy Pradipto yang mengajar filsafat di beberapa universitas menyatakan, "Penerbitan buku ini upaya yang sangat berani. Sangat bagus jadi buku wajib mahasiswa saya." Secara berseloroh dia bilang, "Kalau yang meringkas tidak paham filsafat, bisa-bisa pembaca kena stroke."
Magee menyajikan filsafat dalam bahasa semua orang, dari sudut pandang "kita." Ia bicara dalam tataran sehari-hari, berhasil melenturkan yang sulit menjadi sederhana, dari rumit menjadi simpel. Beragam buku pengantar filsafat memang telah hadir di toko buku, termasuk di antaranya berupa komik, meski efektivitasnya mengantarkan filsafat masih bisa dipertanyakan. Tampak ada upaya memopulerkan filsafat oleh berbagai pihak. Magee termasuk yang paling berhasil. Sebagai penggugah selera terhadap filsafat, buku dia penuh oleh ilustrasi yang relevan, baik para filosof maupun objek terkait topik pembicaraan. Dia menyajikan peristiwa apa yang melahirkan pemikiran filsafat dari zaman ke zaman, sejak pra-Socrates sampai gegap gempita kemunculan posstrukturalisme.
Filsafat berfungsi sebagai semacam alat bantu fleksibilitas manusia selama mengarungi arus kehidupan. "Ia juga menghindarkan kita dari fundamentalisme," tegas Dedy.
Selain mengajarkan kebajikan, Jalaluddin menyebut bahwa filsafat mampu mempertemukan nilai-nilai universal yang ada dalam semua agama. Kaitan antara filsafat dan agama termasuk sangat dekat, meskipun pertentangan terus terjadi hingga saat kini. Jalaluddin menyebut bahwa sekarang ateisme terasa begitu digjaya mengadapi agama, apalagi pemikiran tokoh seperti Richard Dawkins sangat berpengaruh dan diminati.
Antusiasme publik terhadap diskusi buku filsafat ini memunculkan optimisme, meskipun konsumerisme, propaganda politik, godaan popularitas, juga budaya instan terus menggerus hidup manusia, keinginan untuk menjernihkan pikiran dan condong pada kebajikan tetap muncul.[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
Situs terkait:
http://www.kanisiusmedia.com
Menjalani Karakter Sesuai Takdir
---Anwar Holid
Karakter-Karakter yang Menggugah Dunia
Judul asli: Character is Destiny
Penulis: John McCain bersama Mark Salter
Penerjemah: T. Hermaya
Penerbit: GPU, 2009
Halaman: xix + 435 h.
ISBN: 978-979-22-4359-8
JOHN McCAIN, Senator senior dan politisi terkemuka Amerika Serikat, ketika masih berdinas di Angkatan Laut pada 1967 pernah ditembak dan ditangkap tentara Vietnam Utara. Di penjara, dia bukan saja mendapat siksaan mematikan, melainkan juga meninggalkan cacat permanen pada tangan, kini menyebabkan gerakan tubuhnya jadi terbatas. Tapi itu semua tetap membuatnya semangat beraktivitas, berusaha, berpolitik, terlibat aktif dalam kehidupan bangsanya, hingga pada Pemilu AS 2008 lalu menjadi kandidat presiden dari Partai Republik. Apa rahasia kekuatan dan keteguhannya? Karakter.
Ketika jadi tawanan perang, menjalani berbagai siksaan dan hinaan yang mencoba meruntuhkan kemanusiaannya, diam-diam ada seorang sipir yang bersimpati atas nasibnya dan memberi dia sedikit kebaikan moral. Kebaikan dari seorang musuh itu menggugah kesadaran McCain, memberi kekuatan pada dirinya untuk menjadi orang yang lebih baik, lebih beriman, dan lebih dahsyat lagi: membuatnya bisa mencintai musuh.
Sipir baik tak dikenal di "Hotel Hanoi Hilton" itu dikenang McCain sebagai salah satu dari 34 orang dengan karakter luar biasa. McCain dan Mark Salter---partner terbaiknya di bidang penulisan---memilih orang-orang itu bukan saja karena mereka menggetarkan dunia, generasi, politik dan pemerintahan, maupun orang-orang dan lingkungan terdekatnya, bahkan ada yang nyaris sulit dipercayai akal sehat, kalau bukan hanya mungkin terjadi berkat mukjizat yang melahirkan keajaiban. Menurut pandangan penulis, semua itu terwujud karena masing-masing figur nyata dalam buku ini memiliki karakter utuh. Mereka bukan saja pantas diteladani, merupakan role model, melainkan juga meninggalkan jejak yang pantas dikenang dan jelas bagi setiap orang. Siapapun mereka, apa pun latar belakangnya.
Sang teladan itu bisa jadi seorang wanita tukang cuci pakaian gagal sekolah yang di hari tuanya malah mampu mewariskan kekayaan untuk dijadikan beasiswa bagi mahasiswa miskin di kotanya. Itulah yang dilakukan Oseola McCarthy. Bagaimana mungkin ada seorang gadis berkulit hitam yang ketika kecil sakit polio, sepanjang waktu sakit-sakitan, kala tumbuh remaja akhirnya berhasil mengalahkan segala halangan untuk kemudian meraih tiga emas dalam Olimpiade sekaligus memecahkan rekor atletik? Wilma Rudolph melakukannya dengan perjuangan lebih dari hebat.
Sungguh ajaib ketika ada seseorang kini menjadi pusat kontroversi ilmu pengetahuan dan sains ternyata itu semua berkat kecenderungan serta ketelatenan masa muda yang nyaris dinilai sia-sia oleh ayahnya. Ketika menyebut sosok itu ialah Charles Darwin, semua orang akan merasa maklum. Bahkan ada anak yang pernah buta total selama delapan tahun, untuk kemudian menjadi penulis produktif dan kritikus sosial terkemuka di zamannya, dan itu dia lakukan secara otodidak. Masihkah kita mau mengingat nama Eric Hoffer yang menulis buku berpengaruh The True Believer? Bagaimana pula kisah seorang bintang muda American football yang memutuskan lebih memilih negara daripada liga olahraga sampai panggilan itu merenggut nyawa di luar tanah airnya?
Boleh jadi pribadi-pribadi yang dikisahkan McCain dan Salter itu akhirnya terkenal dan menciptakan sensasi besar bagi orang lain. Ada kalanya mereka tetap tidak terkenal, bahkan tanpa nama, dan baru kali ini diungkapkan dengan detail menarik, betapa kisah hidup dan keunggulan mereka menakjubknan. Mereka semua hadir seakan-akan untuk membuat keajaiban.
Karakter orang-orang terpilih mampu mengguncang keyakinan sempit banyak kalangan yang suka menghakimi atau menghina orang lain yang sedang tumbuh, bahwa orang berkarakter kuat bukan saja unggul melawan gertak, ancaman, krisis kemanusiaan, pengkhianatan, kegagalan, perang, maupun hukuman mati, melainkan juga memperlihatkan betapa karakter memang harus ditumbuhkan, dirawat, dan dijalani sesuai takdirnya.
MCCAIN DAN SALTER yakin betul bahwa orang berkarakter kerap lebih mengesankan dan mengundang rasa ingin tahu daripada ulasan sejarah maupun setumpuk buku. Mereka mampu mengguncangkan dunia, menggetarkan hati, mengubah jalan kehidupan peradaban manusia, memperlihatkan bahwa dengan menjadi manusia seseorang bisa memunculkan kualitas terbaiknya. Aksi individu seperti itu membuat kehidupan manusia jadi dramatik, penuh petualangan, berani, bahkan nyaris tanpa kompromi.
Penulis tak pandang bulu dalam memilih orang dengan karakter benar-benar mengesankan. Patokannya bukan waktu, tempat, dan periodisasi, melainkan lebih pada konteks sosial dikaitkan dengan tujuh aspek terpenting bagi pembentukan kepribadian manusia, yaitu kehormatan, tujuan hidup, kekuatan, pengertian, penilaian, kreativitas, dan cinta. Sungguh terasa setiap pilihan itu diambil dengan jeli. Orang tersebut bisa siapa saja, berasal dari segala zaman, dari tempat manapun, dan kejadiannya bisa berlangsung di sudut Bumi paling terpencil sekalipun.
Dengan memberi contoh rata-rata enam peribadi untuk keenam aspek, penulis menyuguhkan kisah yang mampu membuat nafas pembacanya tertahan. Namun agak janggal bahwa aspek terakhir, yaitu cinta, malah hanya diberi satu contoh, yaitu Bunda Teresa. Beruntung, kejanggalan itu dibayar dengan mengeksplorasi habis-habisan profil dan moral Santa dari Calcutta tersebut sampai menghabiskan jumlah halaman paling panjang.
Aspek pembentuk karakter tersebut dalam pendewasaan hidup akan melahirkan sifat, semangat, vitalitas, profesi, pilihan, bergumul dengan keberanian, risiko, keteguhan, siksaan, bahkan dalam banyak kasus, bertaruh dengan keputusasaan, kehancuran reputasi, bahkan nyawa. Benar, sebagian orang yang diceritakan di sini tidak mendapat nama besar atau jadi pahlawan ketika mereka menjalani keyakinannya; mereka bahkan ada yang jadi korban politik, pengkhianatan, juga dikalahkan oleh kekuatan alam. Buku ini seakan-akan menjadi pembela bahwa niat baik bila dilaksanakan dengan serius ujung-ujungnya membuahkan isi yang manis.
Ditulis oleh dua orang senior, buku ini seolah-olah merupakan testamen generasi tua kepada generasi muda yang akan menggantikannya. McCain dan Salter sangat menekankan kekuatan moral, yaitu kekuatan untuk berkorban demi cita-cita luhur (hal. 427). Itulah bekal awal untuk menjalani karakter yang telah digariskan untuk seseorang. Dalam kehidupan pribadi, John McCain membuktikan sendiri moral tersebut. Terkenal sebagai sosok temperamental dan pantang menyerah, ada kalanya dia berlaku buruk, sampai membuat orang lain terluka atau tersinggung. Bila sudah begitu, ibunya akan tak segan-segan memarahinya.
Bagi kedua penulis, Karakter-Karakter yang Menggugah Dunia merupakan buku hasil kerja sama yang keempat. Buku mereka sebelumnya, Faith of My Fathers (1999), di Amerika Serikat lebih dulu meledak dan pada 2005 diadaptasi menjadi film televisi. Di sela-sela berbagai kesibukannya, John McCain telah menerbitkan lebih dari sepuluh buku atas namanya, meskipun hampir selalu menggandeng penulis lain; sementara Mark Salter telah bekerja lebih dari empat belas tahun sebagai staf Senator McCain.[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
Situs terkait:
http://www.gramedia.com
Sunday, July 05, 2009
Takhayul Membakar Dunia, Filsafat Memadamkannya
--Anwar Holid
The Story of Philosophy karya Bryan Magee (Kanisius, 240 h.) menyediakan banyak bahan bakar untuk perbincangan seru. Buku ini bukan saja membahas berbagai kecenderungan filsafat dari zaman ke zaman, melainkan juga memantik rasa penasaran, sebenarnya filsafat itu apa guna bagi manusia. Lebih dari itu, The Story of Philosophy terbit luks dengan desain mewah dan kuat.
Menggunakan art paper, hard cover, ilustrasi berwarna, buku ini memadukan kekuatan visual art dan keluwesan Bryan Magee mengisahkan sejarah panjang filsafat dari zaman pra-Socrates hingga zaman posmodern. Unsur visual art yang amat kaya dan relevan dengan setiap subjek pembahasan dalam buku ini terutama diambil dari lukisan, fotografi, patung, etsa, juga arsip-arsip berupa poster, ilustrasi surat kabar dan majalah.
Di Bandung, Kanisius mengundang KH Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M. Sc. dan Rm. Dr. Yosef Dedy Pradipto, Pr. L.Th., M.Hum. untuk membangkitkan semangat publik terhadap pemikiran. Keduanya akan bertemu pada Senin, 6 Juli 2009, mulai pukul 18.30 di Aula Gedung Pasca Sarjana Unpar, Jalan Merdeka No. 30.
Peminat bisa mendapat buku + tiket seharga Rp.250.000,- dalam acara ini, sementara bila ingin hadir dan terlibat dalam pertemuan, tiket masuk Rp.25.000,- Panitia menyediakan sertifikat dan snack.
Tiket box:
* Kanisius Cabang Bandung, Jalan Parakan Resik No. 10, Batununggal, Bandung. Tel. (022) 7512444
* Andi: 08172328361
* Yunanto: (022) 70371434
* Masmuni Mahatma: 08172322278
* Anwar Holid: (022) 2037348, 085721511193
Sebuah diskusi filsafat bisa jadi hanya berlansung kurang dari dua jam. Tapi setelah diskusi resmi bubar, justru pertanyaan-pertanyaan berhamburan dengan semangat. Para peserta yang penasaran atau orang yang masih haus jawaban lantas mencari-cari sumber pengetahuan tiap kali ada kesempatan. Lantas ia kembali mengolah pemikiran, mengungkapkan lagi, mengkritik, menawarkan kepada publik, bertaruh baik dengan keyakinan sendiri maupun gagasan orang lain.
Pergumulan itu membuat diskusi filsafat sebenarnya terus berlangsung sepanjang waktu. Ia terjadi dalam buku, di ruang kelas, industri, bahkan obrolan sehari-hari.
"Barangkali memang tidak akan pernah ada jawaban akhir," tulis Bryan Magee pada ending buku ini. "Tetapi ada banyak hal bagus di depan untuk kita pelajari."[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Subscribe to:
Posts (Atom)