Tuesday, June 30, 2015


Warisan yang Tiada Tara Nilainya

Karena tertarik sastra, dulu aku merasa sedikit tahu tentang John Keats, terutama dari buku-buku pengantar sastra atau kumpulan puisi. Tapi ternyata aku buta sama sekali tentang bayangan dirinya seperti apa selain secuil judul-judul puisi seperti "La Belle Dame sans Merci", "Ode to a Nightingale", atau "Sleep and Poetry". Aku rupanya tidak ngeh waktu baca informasi tentang Keats. Sebagai salah satu penyair utama sastra Inggris zaman Romantik, aku pikir kehidupannya masyhur sejak awal. Anggapan itu buyar tanpa sisa setelah aku nonton Bright Star (2009), film garapan Jane Campion.

Bright Star merupakan biopic yang memotret periode ketika Keats sedang berada di puncak kreativitas puisi-puisi terbaiknya, yaitu 1818 dan empat tahun setelahnya. Dia tinggal di rumah kontrakan di pinggiran London, bersama temannya yang tampak lebih dominan, Charles Brown. Salah satu tetangga di rumah kontrakan itu ialah keluarga sederhana Brawne. Keluarga ini punya anak tertua bernama Fanny, seorang gadis ceria yang tahu tata busana dan pintar menjahit. Mereka sebenarnya sejak awal saling suka, tetapi Keats tidak bisa berbuat banyak untuk memenangi Fanny, sebab dirinya pun kesulitan keuangan, dan lebih mementingkan nasib kepenyairannya yang mengkhawatirkan.

Kedekatan dengan Fanny mampu membuat Keats lebih hidup, sampai dia mau menghabiskan Natal bersama keluarganya. Mereka akhirnya bertunangan meski tanpa sepengetahuan keluarga. Penyair muda ini sama sekali tak punya uang untuk membiayai acara tunangan, apa lagi mengadakan pernikahan dan membangun rumah tangga.

Waktu itu Keats sudah menerbitkan satu buku puisi, namun penjualannya benar-benar seret. Rupanya Keats sudah lama meninggalkan pekerjaannya sebagai perawat dan memutuskan sepenuhnya beralih ke sastra. Padahal kerja sebagai perawat menjanjikan gaji bulanan, sementara sastra belum memberinya apa-apa. Itu sebabnya dia pindah-pindah rumah kontrakan atas bantuan teman-temannya di dunia sastra. Dia juga harus merawat adiknya yang kena tbc.

Kehidupan asmaranya dengan Fanny yang kuat menghasilkan energi positif. Fanny menjelma sebagai sumber inspirasi, bahkan kerap merangkai puisi bersama atau memberi komentar atas puisi-puisi Keats. Bila Keats pergi, dia suka mengirim surat dengan curahan hati yang dalam. Pada masa inilah dia menghasilkan puisi-puisi terbaik yang akhirnya terkumpul dalam Lamia, Isabella, The Eve of St. Agnes, and Other Poems (1820) yang ia persembahkan untuk Fanny. Namun begitu terbit buku ini cuma bisa menghasilkan 'dua resensi positif dan lima resensi membantai dari kalangan sastra.'

Sewaktu hidup, Keats bisa dibilang gagal, termasuk nasibnya di dunia sastra. Dia sendiri mengakuinya. Dia tenggelam, semua penjualan buku puisinya seret, karyanya banyak dikecam dan disepelekan oleh politik sastra kalangan elite sastra masa itu, salah satunya konon didalangi Lord Byron---penyair terkemuka sezamannya dari kalangan atas dan secara sosial bisa dibilang menang segala-galanya dibanding Keats.

Keats bukan berasal dari kalangan atas dan tidak mendapat pendidikan dari sekolah elite. Dia anak rakyat jelata. Ayahnya bekerja sebagai pemelihara kuda. Riwayat kesehatan keluarganya yang buruk sejak awal berdampak pada dirinya, sementara kegagalannya di dunia sastra menggerogoti jiwanya. Demi menyembuhkan diri dari tbc berkepanjangan, dia menuju Italia untuk mendapatkan cuaca yang lebih hangat. Namun begitu sampai di sana, dia meninggal di Roma tahun 1821. Umurnya 25, meninggalkan kekasih yang gagal dinikahi. Atas wasiatnya, nisannya tak diberi nama dan tanggal, cuma diberi tulisan bunyinya: "Here lies One whose Name was writ in Water." Ngenes.

Semasa Keats hidup, dari empat buku puisinya yang terbit, cuma laku 200 eksemplar. Fakta ini membuatku menangis. Puisi gagal sama sekali menghidupi dirinya. Dia ditopang oleh kawan-kawan dekatnya. Bagaimana ceritanya orang gagal ini dinilai penting, berpengaruh, ujung-ujungnya dirayakan dan karyanya dianggap luar biasa? Nasib Keats langsung mengingatkan aku pada Nick Drake, Jeff Buckley, atau contoh klise: Vincent van Gogh. Apalah arti dipuja-puja setelah mati bagi orang yang gagal semasa hidup? Kenapa orang menilai salah sejak awal? Manusia memang tak pernah belajar dari sejarah.

Nonton Bright Star atau mendengar album-album karya Nick Drake dan Jeff Buckley membuatku bertanya: sukses dan kejayaan itu apa artinya? Bagaimana sesuatu yang awalnya dianggap gagal pelan-pelan berubah sama sekali? Wajibkah orang bercita-cita biar jadi besar dan jaya? Apa perlu jadi orang hebat? Perlukah orang berambisi menguasai dunia agar dimudahkan segala-galanya? Apa orang butuh motivasi biar jadi hebat? Bagaimana kalau hidup seseorang memang gagal dan mengenaskan?

Dari keempat orang itu saja aku berani bilang bahwa intensitas dan kreativitas bisa jadi tak berhubungan langsung dengan kesuksesan dan kehebatan. Waktu hidup, Keats gagal jadi penyair hebat, Drake atau Buckley bukan penyanyi yang menghasilkan hits, sementara van Gogh frustrasi jadi pelukis. Tapi satu hal mereka punya kesamaan: yakin pada pilihan, berkarya habis-habisan, pantang menyerah. Meski dihantui keputusasaan dan gagal menunjukkan keunggulan karya pada orang sezaman, namun generasi zaman selanjutnya mampu membuktikan keunggulan itu. Betapa penilaian atau selera zaman bisa keliru, berubah, bahkan berbalik seiring waktu.

Mereka membuktikan permata tetaplah permata, sekalipun sebelumnya seluruh dunia tak mengetahuinya. Waktu seolah-olah dirahasiakan untuk makin menguatkan kualitas dan kesolidan karya agar ketika ditemukan atau dikaji orang lain, ia tampak berkilau tiada tara. Meski kejayaan sepantasnya telat mereka raih, toh keagungan pada akhirnya tak ke mana-mana. Kita mungkin bilang mereka tak menikmati hasil karyanya, tapi mereka memberi warisan terbaik dari sesuatu yang dihasilkan secara habis-habisan. Itulah persembahan terbaik yang bisa diberikan seseorang agar bisa dinikmati terus sampai nanti selama kehidupan di dunia masih ada. Itulah warisan yang nilainya tiada tara.[]

Ilustrasi: still life foto film Bright Star dari Internet.