Memetik Hasil Gerakan Literasi Banding
Oleh: Wawan Eko Yulianto
Judul: Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik
Sosial
Penulis: Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah
Penerbit: PT Remaja
Rosdakarya
Cetakan: I/Mei 2017
Tebal: 234 hal.
Harga: Rp78.500,-
Buku yang menyegarkan dan
menyadarkan. Biarkan kalimat itu mengawali postingan ini. Buku karya bersama
Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah ini pertama-tama akan membuat kita
tidak “lupa diri” di tengah gegap-gempita gerakan literasi
dewasa ini. Tentu “lupa diri” di sini harus diberi tanda kutip, karena sedikit
pun saya tidak bermaksud bahwa gegap-gempita literasi dewasa
ini adalah sesuatu yang melenakan secara negatif. Namun, tetap harus kita
sadari bahwa bahkan segala yang bagus bisa membuat kita lupa diri kalau tidak
kita kritisi dulu. Buku ini punya sikap yang demikian. Dia mengajak kita
merayakan literasi, sambil tetap berpikir kritis lazimnya seorang literat.
Suara dari Marjin ini adalah olah ulang hasil penelitian
terpisah untuk disertasi kedua penulisnya. Sofie Dewayani mengadaptasi
disertasinya yang membahas literasi di kalangan “anak jalanan” di kawasan Pasundan,
Bandung. Sedangkan Pratiwi Retnaningdyah mengadaptasi disertasinya mengenai
praktik literasi di kalangan Buruh Migran Indonesia (BMI), khususnya yang
bekerja (atau pernah bekerja) di Hong Kong. Pada intinya buku ini menegaskan
argumen yang banyak disuarakan para teoretikus Kajian Literasi Baru, yakni
bahwa literasi bukan hanya seperti lazimnya yang kita pahami di sekolah–yaitu
kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis sesuai metode dan praktik
formal–tapi juga bisa terjadi melalui praktik informal, berlandaskan praktik
keseharian, memiliki tujuan akhir yang lebih relevan dengan keseharian pelakunya.
Konsep-konsep Kajian Literasi Baru dalam buku ini bisa terlihat dalam sejumlah kata
kunci yang disampaikan penulis pada bagian pendahuluan, analisis, dan
kesimpulan buku ini. Konsep dari para pemikir seperti Paulo Freire, Pierre
Bordieu, dan lain-lain tersebut antara lain adalah “literasi ideologis,”
“habitus,” “kapital budaya,” dan “teks kultural.” Konsep-konsep ini pada
hakikatnya menyatakan bahwa usaha penumbuhan literasi seyogyanya juga membantu
membangunkan kesadaran akan diri si pelaku, dan hal ini bisa terlaksana dengan
memahami lingkup sosial mereka, sehingga pada akhirnya praktik literasi akan
mengentaskan mereka dari kemiskinan atau ketertindasan. Untuk melakukannya,
praktik literasi ini mengidentifikasi hal-hal yang paling vital dalam
memperbaiki harkat hidup si pelaku serta menggunakan elemen kultural yang ada
dan dekat bagi para subjeknya.
***
Sofie dan Pratiwi
menerangkan dengan gamblang teori-teori fundamental ini pada bagian awal buku, kemudian mengulangnya kembali untuk menjelaskan hasil temuan mereka dari
studi etnografis di kalangan buruh migran di Hong Kong dan anak-anak yang
bekerja di jalan. Dari penjelasan mereka kita mendapati
bahwa di kedua komunitas marjinal tersebut terjadi praktik literasi yang
menegaskan konsep-konsep yang saya singgung di atas.
Lebih konkret, di
kalangan BMI, kita bisa mendapati upaya pendidikan literasi yang tidak begitu
lazim--baik dilakukan secara mandiri maupun dengan bantuan tokoh dari luar--menggunakan sumber daya terdekatnya bertujuan meningkatkan harkat hidup mereka. Di antara kasus yang dibahas
Pratiwi, kita bisa melihat kisah Rie rie, seorang BMI asal Jawa Timur yang
mengajar dirinya sendiri blogging hingga akhirnya dia banyak membuahkan tulisan menggambarkan adanya kehidupan tidak lazim BMI di Hong Kong, mengubah citra BMI yang cenderung
dipandang rendah karena pekerjaan mereka sebagai pembantu rumah tangga. Bahkan,
buah dari praktik literasi ala Rie rie ini akhirnya juga dia tularkan kepada
para BMI lain melalui pelatihan-pelatihan blogging dan kepenulisan. Masih ada
beberapa kisah lain dari bagian ini, termasuk kita Mbak Ani, seorang mantan BMI
yang menjadikan pekerjaan BMI sebagai langkah awal mendapatkan modal untuk
mengejar pendidikan tinggi dan bahkan berkarya sebagai pembuat film yang cukup
disegani.
Dari studi Sofie
mengenai praktik literasi di kalangan anak-anak yang bekerja di perempatan
Pasundan, kita bisa mendapati keberhasilan praktik literasi tidak lazim yang
dilakukan oleh Bu Sri dan LSM Pelangi. Menurut pengamatan Sofie, Bu Sri yang
mendirikan dan mengelola PAUD Bestari banyak menjalankan praktik yang selaras
dengan konsep Literasi Baru, yang jelas terlihat sejak awal dengan tujuan
mulianya untuk menghindarkan anak-anak balita dari ikut turun ke jalan bersama
teman-teman dan–terutama–keluarga mereka sendiri (=inilah inti dari literasi
ideologis). Dalam praktik pengajarannya pun Bu Sri menyadari
potensi pemahaman “teks kultural” yang telah dimiliki anak-anak, kemudian mengoptimalkannya guna membuat anak-anak nyaman dalam belajar
di PAUD yang serba diliputi keterbatasan. Demikian pula dengan praktik yang
dilakukan oleh LSM Pelangi, upaya mereka dalam memberi pendampingan belajar
bagi “anak-anak jalanan” membantu anak-anak mendapatkan ijazah Kejar Paket A,
yang merupakan satu syarat minimal demi mendapat pengakuan untuk
dapat bekerja di pabrik. Dalam usahanya ini, LSM Pelangi juga menyertakan
kegiatan yang membantu “anak-anak jalanan” lebih memahami identitas mereka,
misalnya melalui kegiatan penulisan kreatif tentang cita-cita mereka.
***
Dari pengamatan
etnografis atas praktik literasi di lingkup marjinal, kita
mendapati kesimpulan yang perlu dipertimbangkan di tengah demam literasi dewasa
ini. Satu hal yang paling penting adalah bahwa gerakan literasi hendaknya tidak
dipahami hanya sebagai suatu gerakan yang menumbuhkan minat baca, tulis, dan
berpikir kritis yang dilakukan secara formal dengan pola seragam dari atas (dalam
Kajian Literasi Baru dikenal sebagai literasi otonom). Namun,
upaya literasi bisa berlangsung di mana saja, dengan cara berlainan, dan
bertujuan riil meningkatkan harkat hidup pesertanya (literasi ideologis).
Simpulan lainnya adalah upaya literasi di lingkup formal (sekolah) hendaknya
mempertimbangkan elemen-elemen yang berhasil tersebut, misalnya dengan
menyertakan elemen kultural dari kehidupan sehari-hari pelakunya dan dengan
cara yang lebih ramah terhadap keberagaman minat peserta didik. Tentu saja berbagai upaya literasi informal itu juga sudah sejak awalnya mengintegrasikan
elemen-elemen literasi otonom di dalamnya. Intinya, banyak hal dari upaya
literasi ideologis (atau “literasi banding”) yang bisa dipetik bagi kita yang
saat ini dilanda demam literasi dan mungkin tanpa sadar hanya menjalankan elemen-elemen
literasi otonom atau formal.
Tentu masih ada
simpulan-simpulan lain yang bisa dibicarakan mengenai buku tersebut. Namun, saya akhiri posting tentang buku Suara dari Marjin karya Sofie Dewayani
dan Pratiwi Retnaningdyah sampai di sini.
Salam literasi 1438 H![]
Wawan Eko Yulianto, dosen, tinggal di Malang; blogger di http://timbalaning.wordpress.com
4 comments:
mantap bukunya :)
bape hoodie
ferragamo sale
timberland outlet
moncler
golden goose sneakers
curry 6
retro jordans
adidas nmd r1
golden goose sneakers
hermes handbags
off white clothing
nike sneakers for men
yeezy 500
kyrie 6
jordans
ralph lauren uk
polo ralph lauren
coach outlet
goyard
curry 6 shoes
étudiez ce site dolabuy.su naviguez ici répliques de sacs à main Ysl Site connexe www. dolabuy.co
Post a Comment