Kawin, Talak, Cerai, Rujuk
---Anwar Holid
Bagaimana rasanya menikah dengan duda beranak tiga? Tanyalah Senny atau Jenna. Tapi mungkin pertanyaan itu hanya akan membuat orang lain sebal, jijik, benci. Sejujurnya aku pun bukan orang yang suka memancing keributan. Barangkali jika diletakkan sebagai pertanyaan saja, bisa diajukan pada siapa pun, hal seperti itu tak akan menyebabkan orang lain sebal. Tapi kalau kita menganggap bahwa perkawinan adalah sesuatu yang wajar, tidak terlalu diagung-agungkan dengan alasan kabur, barangkali pertanyaan itu justru menguji keyakinan seseorang atas pendapatnya tentang cinta, perkawinan, kebahagiaan, keluarga, dan lain-lain. Perkawinan itu sesuatu yang wajar dan alamiah, seperti halnya perceraian, pertengkaran, berjanji, bayar utang, atau mungkin kebelet. Perjanjian bahwa itu disaksikan Allah aku pikir terlalu dibesar-besarkan, karena toh sebenarnya orang juga mudah lalai atas janjinya sendiri, meski disaksikan banyak orang sekalipun. Benar bahwa itu memang disaksikan Allah dan malaikat-Nya, tapi mereka adalah "sesuatu yang lain," jadi sebenarnya tak terlalu diperhatikan. Yang mungkin lebih diperhatikan barangkali tentang mahar, acara, atau dengan siapa seseorang kawin.
Aku menghadiri perkawinan Jenna dan Titon, direktur Oxymedia Publishing (penerbit tempat aku pernah freelance agak lama), di sebuah desa yang mungkin hanya akan aku datangi sekali saja, Margacinta, di daerah Jepara. Ini desa mengingatkan aku pada desa orangtuaku di Lampung. Suasana, kebun-kebun, rumah, juga sungainya. Hanya saja lalu lintas di situ terlalu sibuk dan kendaraan lalu-lalang terlalu cepat. Aku datang dini hari, jadi baru sadar esok harinya, terlebih-lebih ketika pergi meninggalkannya menuju Semarang, ke rumah sodara di Simpang Tiga. Beberapa orang dari kota lain juga datang, kebetulan ada yang satu-dua aku kenal. Banyak yang datang berpasangan, meski ada juga perempuan yang sendirian, datang mengenakan gaun memperlihatkan banyak anggota badan. Sebenarnya aku malas banget datang-datang ke acara seperti ini; tapi demikianlah, aku sudah menikah, dan sejak awal sudah janji akan menghadiri perkawinan mereka. Dulu aku juga tega tak datang ke perkawinan Kodrat, dan rasanya setelah nikah, keputusan itu sedikit aku sesali. Termasuk ke pernikahan Pras, nggak aku bela-belain datang ke sana. Barangkali karena di Jakarta.
Tapi, bayangkan, aku mau bela-belain datang ke Pesta Buku; apa karena ada Bang Mula di sana? Kalau mengingat jasa baik Pras, keakraban kami di masa lalu, sejujurnya aku merasa bersalah tak datang ke resepsi pernikahannya. Tapi aku bersyukur sudah berkenalan dengan istrinya. Rasanya aku rindu untuk ketemu dengan dia terus, tapi barangkali belum waktunya. Bahwa aku diberi tahu dia sendiri ketika akan menikah, betul-betul membuat aku terharu. Aku merasa dulu kehilangan sekali tak berhubungan dengan dia lama sekali, dan bersyukur bisa kembali berhubungan dengan dia, meski jarang.
Sejujurnya aku tak terlalu tertarik dengan urusan rumah tangga atau perkawinan orang lain. Perkawinan itu sangat manusiawi, sebuah hubungan personal orang per orang yang diikat oleh perasaan, kerelaan, dan sejumlah chemistry lain-lain. Marx malah lebih sinis memandang perkawinan; dia bilang perkawinan adalah semacam usaha orang mempertahankan kelas atau daya tawar menaikkan kelas sosial. Sejujurnya aku suka dengan pandangan Marx, terlebih-lebih andai aku kurang beriman dan mengabaikan aspek religius dan spiritual. Tapi, coba terus dikejar: apa itu religius, apa itu spiritual? Aku juga gagal menjawab dengan pasti dan tegas.
Itulah sebab aku menganggap perkawinan tak demikian sakral, melainkan sebuah kerelaan/keridhaan seseorang menerima orang lain, atas izin Allah yang diimaninya. Kalau tidak demikian, orang boleh hidup bersama baik-baik saja. Tapi karena ada faktor agama, ketakutan primordial pada dosa, Tuhan, dan hal-hal yang tak terjelaskan, perkawinan sering dimistifikasi, termasuk oleh lembaga pemerintah dan lain-lain.
Dulu, sekitar sampai September 2004, ada dua perkawinan selebritas yang jadi sorotan media gosip besar-besaran. Satu, perceraian Ray Sahetapy-Dewi Yull; dua, rencana perceraian Reza Artamevia-Adjie Massaid. Kenapa bikin heboh, karena selama ini perkawinan mereka dianggap baik-baik saja, bersih dari gosip keretakan. Tapi barangkali itu masalah kecerdikan mengemas masalah saja. Aku dulu pernah baca berita bahwa Adjie Massaid ketangkap berzina dengan wanita lain (siapalah, aku nggak tahu), dan aku pikir setidaknya dugaan dia zina itu bisa jadi benar. Ray menikah lagi dengan seorang dosen UI. Kata Ubing, body-nya yahud. Menurut dugaan media dia menikahi perempuan itu karena masalah tubuh saja, tapi siapa yang tahu sebenarnya? Aku pernah baca di Nova, istri baru Ray itu (siapalah, aku nggak tahu) bilang, dia mau menikah dengan Ray karena Raylah satu-satunya lelaki yang berani melamarnya. Ha ha ha, aku tertawa ngakak baca perkataan itu. Jadi apa persoalannya berani melamar atau tidak? Bagaimana kalau aku melamar Aria G, dan diterima; apa aku akan begitu saja mencampakkan istri dan anak? Sebuah alasan yang terlalu sederhana untuk menikah; tapi siapa tahu benar. Aku pernah dengar ada teman ngomong, kenapa seseorang mau menikah dengan orang lain, hanya karena dia ingin menikah dengan seorang 'aktivis'. Barangkali memang ada orang yang ingin menikah karena dia penyair, penulis, pelukis, dokter, tentara, pengusaha, cakep, dijodohkan, diberi wangsit, bahkan karena playboy dan pintar merayu. Hanya seseorang sendiri yang tahu alasan kenapa dia mau menikah. Termasuk alasan kenapa seseorang masih lajang.
Ada banyak aspek perkawinan, termasuk unsur yang rendah-rendah, di balik hal-hal luhur yang kerap diusungnya. Barangkali ada kejujuran di sana, tapi rasanya selalu ada yang disembunyikan oleh setiap orang, bahkan dari orang terdekatnya sekalipun. Kenyataan mengajari aku bahwa perkawinan kadang-kadang adalah jalan selamat yang mungkin paling mudah, dan aman.
Di perkawinan Jenna dan Titon kemarin, waktu akad nikah disebut semoga pernikahan itu adalah "perkawinan pertama dan terakhir" oleh lebe. Padahal Titon itu kan duda. Itu perkawinan keduanya. Sementara Jenna gadis. Boleh jadi itu juga bukan perkawinan terakhir mereka. Tentang perkawinan pertama Titon aku nyaris tak tahu sama sekali, dan mungkin juga sia-sia aku ingin mengetahuinya. Tapi setidaknya aku pernah diberi tahu seseorang, dia pernah beristri, dengan anak tiga. Jelas dia juga tak pernah cerita padaku tentang perkawinan pertamanya itu; tapi dia pernah cerita dia punya anak. Namun aku juga tak melihat anak-anaknya ada di resepsi pernikahan itu. Aku tanya seorang kenalan, apa anak-anaknya ikut? Dia bilang tidak. Jadi anak-anak yang ikut rombongan itu adalah saudara-saudaranya dari Purbalingga. Barangkali ketiga anaknya sengaja tak diajak, atau mereka ikut ibunya. Istri pertamanya juga tidak ada. Mungkin dia menolak datang, atau tak diundang. Ayah mempelai pria juga tak ada, mungkin dia mengalami kesulitan untuk datang.
Jelas aku tak mendengar keterangan bahwa Jenna menikah dengan seorang duda beranak tiga dari panitia; tapi kalau iya, apa pentingnya? Apa itu akan menimbulkan aib bagi mereka? Apa sih bedanya 'duda', 'lajang', 'janda', dan sebagainya itu? Aku dulu pernah baca sebuah buku, mungkin judulnya "Memulai Perkawinan Baru", dan itu selalu membuat aku tertawa setiap kali ingat judulnya. Waktu mahasiswa aku pernah dengar olok-olok tentang seorang foto model seronok yang mendadak kawin dengan seorang musisi. Kawanku yang memasang poster dia di kamarnya bilang, "Jangankan jandanya, mayatnya juga gua masih mau!" Benar saja, segera setelah perkawinan singkat itu mereka cerai dan si foto model langsung jadi janda kembang.
Pada dasarnya orang ingin sempurna, dan menganggap bahwa perceraian adalah sebuah kegagalan---betapapun ada hikmahnya itu. Jika aku suatu ketika cerai, lalu menikahi jomblo kaya, yang mungkin lebih tua, tak sepadan, apakah itu akan jadi sebuah "cerita"? Aku hingga sekarang yakin bahwa pasangan suami-istri itu diciptakan sempurna pas mereka dinikahkan. Entah kenapa. Aku merasa bahwa aku dan Ubing itu sempurna, sepadan; begitu juga dengan Anna-Anwar; Mas Rindang-Mbak Ima. Bagaimana dengan Dewo dan Desi, Troilus dan Cressida? Rasanya juga baik-baik saja. Ubing selalu marah kalau aku bilang bahwa aku tidak ingin bersama dia di akhirat nanti; tapi siapa jamin bahwa aku akan bersama dia; siapa jamin aku akan bersama orang lain? Kadang-kadang aku punya keinginan, tapi tahu jika keinginan itu tak terwujud, rasanya akan baik-baik saja.
Mungkin orang itu terlalu terobsesi pada perkawinan sempurna, maka mereka seakan-akan mengharamkan perceraian. Padahal kalau kita baca hukum perkawinan dalam Islam---dan itu artinya harus dipertimbangkan masak-masak oleh pengadilan agama/negara---orang bisa (mengajukan) cerai hanya gara-gara, misalnya, pasangannya dianggap tidak cakep, terlalu miskin, atau tidak sepadan. "Tapi, yah, itu sekalian menunjukkan kualitas orang itu memang segitu," komentar temanku. Aku pernah baca seorang istri menggugat cerai karena suaminya ngorok; atau suami gugat cerai karena istrinya ngiler. Yah, perkawinan kan masalah personal, manusiawi, kerelaan. Apalagi kalau disebabkan oleh perkara zina, selingkuh, dan sebagainya. Tambah afdol/kuat alasan orang bisa bercerai dari pasangannya, mencari ganti yang baru.
Kalau melihat sejumlah perkawinan di keluargaku, rata-rata perkawinan mereka memang tak diwarnai perceraian. Perkawinan orangtuaku rasanya baik-baik saja, setidaknya sejauh yang aku tahu. Ayah-ibuku dianugerahi anak tiga. Bahasa Sunda menyebut anak itu sebagai 'bati', artinya keuntungan. Jadi, mungkin, perkawinan orangtuaku cukup baik. Dulu sekali, waktu aku kecil, aku pernah ngelihat ayah-ibuku bertengkar; aku dan Ubing juga kini pernah beberapa kali bertengkar hebat. Kalau bantah-bantahan sih kadang-kadang sulit dihindarkan. ...Tapi sejujurnya, aku cinta dia, dengan alasan apa pun. Perkawinan adik-adikku sejauh ini juga baik; meskipun aku jarang sekali dengar kabar dari mereka.
Satu-satunya perkawinan yang diwarnai peceraian justru berasal dari ua, ibu angkatku, orang paling dekat dengan aku, yang memelihara aku bertahun-tahun lamanya. Ini sebenarnya membuat kaget aku banget, tapi mungkin untungnya baru aku tahu menjelang perkawinanku dengan Ubing. Alangkah lama aku tak tahu apa-apa tentang perkawinannya, menyangka dia memang sudah tak punya suami sejak aku tinggal dengannya ketika kelas 5 SD. Gila, betapa aku anak kecil yang tak diberi tahu apa-apa. Dia tak cerita apa-apa tentang perkawinannya hingga aku dewasa; mendengar bahwa suaminya kawin lagi dengan muridnya(!); sementara dia menolak dimadu, memilih pisah, pindah ke Bandung, hidup sendiri, membawa anak tunggalnya, hingga kini. Aku beranggapan bagaimanapun uaku perempuan hebat, perempuan kuat. Dia pernah cerita, beberapa lelaki juga melamarnya, tapi dia menolak menerima mereka dengan sebaik mungkin, tak mau nikah lagi. Mungkin melajang aman buat dia. Rasanya sampai sekarang dia baik-baik saja. Dan hidup sendiri (i.e. tanpa suami) tidaklah sengeri yang disangka orang. Secara pendidikan, dia berhasil menyekolahkan semua anak yang dititipkan padanya dengan baik; kecuali mungkin aku. Anaknya sendiri secara formal berhasil; dia masuk AKABRI Laut, dan sekarang entah apa pangkatnya, tapi mungkin tinggi sebab ketahuan sejumlah orang pasti berdecak kagum dengan prestasinya. Dengan kriteria apa pun, aku yakin sebagai orangtua dia berhasil, bahkan dengan segala kebengalan yang aku miliki (atau sedikit apa pun keberhasilanku).
Keluarga Ua Sum juga baik-baik. Dulu, seingatku, hanya perkawinan Teh Tini-Kang Asep yang kerap diancam perceraian, tapi hingga akhir hidupnya, perkawinan mereka selamat. Dari keluarga ibuku, mungkin ada satu perkawinan yang rusak, yakni perkawinan pamanku, ayah Andi & Suprih. Bahkan entah siapa nama pamanku itu, karena tak pernah ketemu. Dia kabur entah ke mana (mungkin ke Singapura), begitu juga dengan ibunya. Aneh sekali ada orangtua seperti itu. Andi dan Suprih akhirnya diasuh nenek kami, sampai mereka dewasa.
Perkawinan dari keluarga Ubing aku pikir lebih variatif, berwarna. Kakaknya persis di atas dia janda tanpa anak; sekarang menikah dengan lajang. Kakak sulungnya sudah menikah dua kali; yang pertama tanpa anak, yang kedua sudah punya anak; semua suaminya bule. Kakak keduanya jadi istri kedua(!) seorang manajer perusahaan besar, dan aku kerap dengar cerita karena perkawinan itu keluarga Ubing kerap jadi sasaran kemarahan istri pertama sang manajer. Kalau kebetulan aku ada di sana dan keluarga istri pertama itu marah-marah, aku janji akan menghadapi mereka sebisa mungkin. Bukan karena aku ingin membela kakak ipar (apa hubunganku?), tapi aku hanya ingin beri pelajaran agar orang jangan sembarangan berperi laku buruk di rumah orang lain, apalagi itu rumah mertuaku. Agar orang itu tahu konteks, bukan mengancam atau menakut-nakuti istri kedua, tapi suaminya juga harus diberi tahu risiko apa artinya beristri dua. Sementara itu adik Ubing persis di bawahnya, menikah dengan mantan pacar kakaknya; nah, tentu saja ini masa lalu yang kompleks. Adik bungsu Ubing sudah pernah cerai dengan suaminya, tapi rujuk lagi, meski akhirnya talak tiga dengan buntut seorang anak perempuan. Tante Ubing menikah dengan seorang bule, yang konon womanizer (dan dia sendiri mengakuinya.)
Aku dari dulu berpendapat perkawinan itu sederhana saja. Inti perkawinan ialah kerelaan. Pendapat ini agak lain dengan keyakinan banyak orang yang bilang bahwa inti perkawinan itu cinta atau kecocokan. Seorang yang cinta atau cocok belum tentu rela. Kalau rela, kamu bisa kawin dengan janda tua dengan anak lima, meski kamu mahasiswa favorit dengan masa depan gemilang. Kamu bisa jadi mencintai seseorang, tapi ternyata dia tak rela jadi istri kedua. Bagaimana, coba? Kalau begitu kamu gagal menikahinya. Kerelaan bisa membuat suami perokok berat menghentikan kebiasaan itu demi memenuhi kebutuhan susu anaknya.
Karena sederhana, jika sudah tak rela, sebaiknya pasangan itu cerai. Jika masih ingin bersatu, rujuk. Jika ada yang masih berharga untuk dipertahankan, teruskan. Jika ingin nikah, tinggal cari pasangan. Jika malas punya anak, tinggal hati-hati dan cari caranya. Jika ingin punya anak tinggal siapkan mental dan bekal. Menyenangkan kok prosesnya. Jika mau punya istri baru, cari saja yang mau. Kalau sulit, mungkin dengan sembunyi-sembunyi juga bisa, apalagi kalau baik. (Tapi rasanya aku belum pernah dengar ada contoh perkawinan sembunyi-sembunyi yang diajarkan orang dahulu.) Jika mau suami baru, ajukan cerai. Di novel Rumah Cinta Kelana, Sofie Dewayani cerita ada seorang suami (i.e. bapak beberapa anak) ternyata punya istri baru, dan kehidupan keluarga mereka baik-baik saja. Si istri muda itu rela jadi istri simpanan yang betul-betul rahasia, bahkan istri tua tak pernah tahu suaminya nikah lagi, dan rumah tangga mereka berjalan sempurna. Barangkali itu soal manajemen dan sistem informasi saja.
Sementara itu tipe perkawinan juga macam-macam. Bahkan di Friendster ada opsi "open marriage." Nah, apa itu bukan semacam alternatif bahwa di dalam perkawinan pun masih terbuka kemungkinan mencari pasangan baru? Kadang-kadang aku merasa konyol dengan perkawinan hancur atau buruk yang ingin terus dipertahankan, dengan alasan apa pun, padahal iktikad baik masih sulit mengobati luka. Realistik saja, kalau perceraian bisa membuat orang bebas, bisa membuat orang berkembang, aku pikir lebih baik pisah saja. Sejarah mengajarkan, ternyata manusia itu terlalu mudah khawatir tentang hal yang belum terjadi, dan mudah panik terhadap masalah yang sebenarnya familiar.[]
Anwar Holid, perkawinannya dengan Septina Ferniati pada 1999 kini membuahkan anak dua.