Friday, May 23, 2025



Becoming Led Zeppelin: Cerita Tiga Kakek Rocker
dan Wawancara Langka John Bonham

Oleh: Anwar Holid 


Becoming Led Zeppelin (stdr. Bernard MacMahon, 2025)  adalah film dokumenter tentang tahun-tahun awal terbentuknya sebuah band legendaris yang sangat berpengaruh di dunia rock dan heavy metal. Menghadirkan ketiga personel yang sudah sepuh, yaitu Jimmy Page, Robert Plant, John Paul Jones, sementara John Bonham yang sudah meninggal dunia dihadirkan melalui rekaman wawancara yang katanya langka dan baru kali ini disiarkan.

 

Ketiga personel Led Zeppelin dihadirkan dalam satu ruang, lantas bicara dari sudut pandang masing-masing. Dikisahkan juga latar belakang keluarga, masa kecil, dan musik-musik yang mempengaruhi dan membentuk mereka. Yang paling banyak bicara ialah Jimmy Page, gitaris sekaligus konseptor, produser dan pemimpin mereka. Jimmy membentuk Led Zeppelin setelah band dia sebelumnya, The Yardbirds, bubar. Dia ingin membentuk band yang inovatif dan eksploratif, bukan sekadar terpengaruh oleh musik blues. Jimmy adalah gitaris yang berani memainkan gitar dengan digesek atau disentak, sehingga menghasilkan suara yang kompleks, liar, dan imajinatif. Dia menggali berbagai elemen dan inspirasi dari beragam jenis musik, seperti musik Afrika, Arab, dan India.

 

Didukung ketiga temannya yang juga berbakat, harapan Jimmy disambut antusias dan ditangani serius oleh manajer mereka, Peter Grant. Peter membantu mereka mendapatkan kontrak rekaman dengan label besar dan sudah mapan (Atlantic Records), juga mengurus jadwal konser dan tur. Led Zeppelin bahkan sudah jadi incaran berita sebelum menghasilkan debut album. Mereka memang mengasah dan mematangkan lagu-lagu awalnya dari konser ke konser. Pernah band ini tampil di sebuah universitas, sebagian penontonnya adalah orangtua yang membawa anak-anak. Mungkin karena suara musiknya terlalu menggelegar dan memekakkan, banyak di antara mereka yang menutup telinga. Lucu. Rupanya publik belum siap dengan Led Zeppelin. Ini terbukti dari banyaknya review negatif atas album debut mereka. Banyak yang menyatakan bahwa album tersebut membosankan. Tapi, seiring waktu dan pengalaman, Led Zeppelin memperbaiki kualitas karya, sehingga bisa semakin banyak menarik perhatian massa. Paduan Jimmy & Robert semakin harmonis dan asyik dinikmati. Tarikan vokal Robert kerap bersahut-sahutan dan berkejaran dengan suara dari gitar jimmy, ditambah pukulan drum John Bonham yang sangat bertenaga dan atraktif, diimbangi ritme bas dari John Paul Jones yang tenang. Terlebih lagi John Paul Jones adalah seorang multi-instrumentalis yang mampu memperkaya dan memperindah ide-ide Jimmy Page.

Led Zeppelin yang masih hidup (ki-ka):
John Paul Jones, Robert Plant, Jimmy Page.

 Mungkin karena basis utama dokumenter ini ialah penuturan dari para personel, secara sinematografi penyajian film ini terasa agak membosankan dan monoton. Kita seperti menyimak tiga orang kakek menceritakan awal masuk dunia kerja, bagaimana rasanya tidak langsung diterima, namun bertekad untuk jalan terus berusaha kuat. Meski begitu kedalaman riset film ini sungguh terasa. Kita benar-benar dilempar mengarungi waktu, bahkan diperkuat oleh konteks situasi sosial, politik, dan budaya yang tepat. Kita bisa merasakan ketika musisi mencipta penuh pertimbangan, menghasilkan ekspresi yang meluap-luap namun begitu intim, ditunjang keterampilan luar biasa. Dari film ini kita saksikan Led Zeppelin selalu tampil di panggung yang simpel dan kompak (bahkan terkesan sempit), meskipun kala bermain di tempat nan megah dan lapang. Panggung tersebut memberi kesan betapa ikatan kreativitas mereka menyatu dengan kental dan saling menguatkan. Sutradara juga menyajikan konteks waktu yang relevan dengan era dan situasi sosial yang terjadi.

 

Bagi fans garis keras, dokumenter ini tentu sangat menyenangkan disaksikan, sebab menampilkan sesuatu yang baru dan detil yang langka. Sementara bagi fans rock atau heavy metal umum, film ini menambah sejarah tentang terbentuknya salah satu dinosaurus di genre musik yang keras nan gegap-gempita.[]

Note: Judul artikel ini merupakan saran dari redaksi Tinemu.com, waktu tulisan ini pertama kali terbit.

______________________________
Kredit Film Becoming Led Zeppelin 

Sutradara: Bernard MacMahon
Skenario: Bernard MacMahon, Allison McGourty
Bintang: Jimmy Page, John Paul Jones, John Bonham, Robert Plant
Sinematografi: Vern Moen
Editing: Dan Gitlin
Music: Led Zeppelin
Produksi: Big Beach, Paradise Pictures
Distribusi: Sony Pictures Classics
Rilis: 7 Februari 2025 
Durasi: 121 menit 
______________________________ 

Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis. Blog: halamanganjil.blogspot.com. IG: @anwarholid.

 

Wednesday, March 26, 2025


Eksplorasi Sosial dan Eksperimen yang Menggugah

Oleh: Anwar Holid 

 

Judul: Pelayaran Terakhir - Kolase Kisah dari Bumi Timah hingga Jawa 
Penulis: Anggit Rizkianto
Penerbit:  MCL Publisher, 2024
Tebal: 284 hlm.
ISBN: 9786235915449


Di bulan Ramadan tentu relevan j‭ika kita mengajukan bacaan bernuansa Islam atau menyangkut kehidupan orang Muslim. Entah sengaja atau kebetulan, seluruh cerpen di buku Pelayaran Terakhir karya Anggit Rizkianto (MCL, 2024) ini berkaitan dengan kehidupan orang-orang Islam, meskipun bisa jadi muatan agamanya sangat tipis dan lebih tersirat dalam kebiasaan atau latar kehidupan sehari-hari. Alasan ini saja sudah membuat buku ini pantas direkomendasikan. Muatan cukup eksplisit misalnya terasa di cerpen "Pilkada di Kampung Lada." Cerpen ini mengetengahkan pertentangan antara seseorang yang berusaha taat menjalankan ajaran agama, tapi malah banyak berdampak buruk pada kehidupan dan sosial, terutama pada orang-orang terdekatnya.

Kik Saman pulang kampung setelah merantau di Jawa. Dia kembali setelah istrinya meninggal dunia dan mengundurkan diri dari pekerjaan yang dianggapnya tidak Islami (tidak berkah.) Di kampung dia menikah lagi, jadi petani lada, dan jadi guru ngaji di masjid yang sesuai dengan keyakinannya. Dia sering berkonflik dengan masyarakat setempat, meskipun di sisi lain dihargai dan dianggap sangat paham ilmu Islam. Dia melarang istrinya jualan rokok, menolak bersalaman setelah salat, tidak mau mengumandangkan azan saat penguburan jenazah, tidak mau tahlilan, mengecam budaya yang dianggap musyrik, namun membayar rendah upah kerja ipar yang mengerjakan kebun. Dia terlibat kampanye untuk tidak memilih kepala daerah non-muslim, tapi setelah kandidat yang didukungnya menang, marbot di masjidnya kehilangan gaji bulanan sehingga urusan masjid banyak terlantar.

Cara bertutur Anggit terasa tenang, mengalir stabil, membuat pembaca terseret untuk terus mengikuti narasi hingga akhir. Dia memiliki daya tarik tersendiri, mampu mengubah hal-hal biasa menjadi narasi yang memikat. Karena cerita-ceritanya banyak yang tragis dan melankolis, suasana yang dihasilkan kerap menorehkan perenungan atas kesedihan nasib manusia. Anggit paling menyimpan kejutan di ending cerita sering dibiarkan terbuka, sedikit menyisakan pertanyaan dan kesan menggantung yang memancing pembaca untuk berpikir lebih jauh. 

Semua cerpen di buku ini termasuk kategori long short-story (cerpen panjang), sehingga terasa kompleks dan menawarkan eksplorasi lebih luas dibanding cerpen biasa. Pendekatan ini memungkinkan Anggit menggali lebih dalam karakter dan situasi yang diciptakan, termasuk bereksperimen dengan teknik penulisan "cerita dalam cerita" — misalnya di cerpen "Tamu."

Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini sarat dengan nuansa lokal Indonesia, khususnya kehidupan masyarakat Pulau Belitung. Anggit menampilkan kekayaan budaya dan keragaman hayati daerah tersebut dengan baik, mencakup detail seperti jenis makanan khas, ikan, dan tumbuhan yang menjadi bagian integral cerita. Latar sosial-budaya bukan sekadar tempelan, tetapi diungkapkan dengan rinci dan berperan penting sebagai elemen pendukung narasi, memperkuat atmosfer dan konteks cerita. Di luar Belitung, Anggit menghadirkan kisah berlatar urban Surabaya.

Fokus cerpen kebanyakan menyinggung kehidupan masyarakat biasa, kelas pekerja, dan kelompok lemah. Pilihan ini membuat isu yang muncul mencerminkan realitas yang kuat, bahkan di sana-sini memunculkan petisi pada ketidakadilan, misalnya atas nasib wanita atau konflik yang lahir karena perbedaan ras (etnis). "Lelaki Patah Hati yang Membela Tauhid" menghadirkan fakta keras betapa seorang pemuda Jawa gagal menikahi gadis pujaannya karena ditolak keluarga calon istri yang keturunan Arab. Pemuda ini menggugat, meski Islam mengajarkan kesetaraan manusia, tetap ada pemisah yang terlalu berat untuk dirobohkan. 

Cerpen "Pelayaran Terakhir" yang dijadikan pengikat buku ini, menghadirkan Asna menanti kepulangan suaminya dari pelayaran terakhir setelah puluhan tahun jadi pelaut. Usai pulang kampung, tak lama kemudian sang suami meninggal dunia. Waktu menjelang Idul Fitri, Asna tetap menganggap suaminya masih hidup. Dia menyiapkan masakan yang banyak untuk keluarganya, meski kedua anaknya juga tidak bisa mudik karena ada Covid-19. Masakan itu dibagi-bagikan ke tetangga dan pengontrak rumahnya. Di malam takbiran, setelah salat Isya, Asna tertidur dan mimpi seperti menyambut suami dan anak-anaknya pada datang pulang mudik. Dia sadar oleh azan Subuh, tapi sebenarnya tidak ingin bangun selama-lamanya. Di tangan Anggit, paduan penantian, harapan, dan kesedihan itu menghadirkan suasana realisme magis yang sangat menggugah.

Sebagai debut fiksi, Pelayaran Terakhir sungguh tidak mengecewakan. Secara keseluruhan, buku ini cocok bagi pembaca yang menghargai narasi eksploratif dengan sentuhan budaya dan realitas sosial yang tajam. Akmal Nasery Basral, prosais yang membaca awal naskah ini memberi endorsement: "Kumpulan cerpen ini menunjukkan Anggit Rizkianto sebagai pengamat sosial yang jeli dan pecinta estetika yang murni. Dia mencoba menyeimbangkan kadar dua elemen itu dalam semua karya yang tersaji." Di review singkatnya, begini komentar Ivan Lanin atas kumpulan cerpen ini: "Alur tiap cerita cukup cepat dengan narasi yang mengalir, enak dibaca, dan mudah dipahami. Deskripsi yang diselipkan di sana-sini membuat saya membayangkan adegan yang terjadi. Dialog dibubuhkan dengan cukup tepat. Anggit tampak ingin mengangkat satu topik untuk direnungkan pembaca melalui cerita-ceritanya."[]


Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis. IG: @anwarholid. 

Tuesday, February 27, 2024

Keutamaan The Message Of The Quran

Oleh: Anwar Holid

 

Foto: Wartax.


Pada awal Januari 2024 aku baru sempat mulai baca buku The Message Of The Quran karya Muhammad Asad (Leopold Weiss) seiring aku meneruskan ngaji Al-Qur’an masuk ke juz dua puluhan dan kini mulai baca juz 26. The Message Of The Quran merupakan salah satu buku paling tebal (1396 hal.) dan paling mahal yang pernah aku beli — itu pun aku pesan lewat ordal Mizan. Meski dulu waktu menerima semangat membuka-buka dan sempat membaca review Ulil Abshar Abdalla atas buku ini, ternyata buku ini akhirnya cukup lama cuma jadi pajangan yang jarang ditelisik dalam-dalam.

 

Waktu mulai cukup intens membaca The Message Of The Quran, aku langsung kagum dengan kejernihan dan kekuatan makna tafsir Al-Qur’an yang diungkapkan penulis. Terjemahan Al-Qur’an di buku ini memberi dimensi dan pencerahan baru dari pengetahuan yang selama ini aku baca dari terjemahan Al-Qur’an standar Departemen Agama, baik berupa tafsir terjemahan di samping ayat bahasa Arabnya maupun terjemahan kata per kata. Tentu pemahaman baru tersebut muncul berkat kualitas terjemahan yang tersampaikan dengan baik dan memuaskan. Sering Muhammad Asad menggabungkan beberapa ayat jadi satu paragraf, sehingga membuat pesan Al-Qur’an menjadi terasa lebih utuh dan lebih jelas dipahami bagi pembaca awam. Ini berbeda dengan penyajian Al-Qur'an standar Departemen Agama yang menampilkan terjemahan ayat demi ayat, sehingga kadang-kadang muncul pikiran bahwa isi ayat Al-Qur'an bisa sangat sendiri-sendiri dan terpisah dari inti surat secara keseluruhan.

 

Yang sangat menakjubkan dari Muhammad Asad ialah keluasan wawasan ilmu, pengetahuan, pertimbangan (moderasi), termasuk kedalaman bahasanya. Kualitas Asad ini tecermin dengan sempurna dari catatan kaki bukunya. Di catatan kaki ini beliau mengungkapkan secara luas sekali khazanah keilmuan, baik dari segi sejarah, kejelian memilih makna, serta komentar dan memberi  informasi berharga untuk memahami setiap ayat Al-Qur'an. Secara khusus dia melampirkan dan membahas empat hal pelik yang selama ini sangat penting untuk dipahami setiap pembaca Al-Qur'an, yaitu simbolisme dan alegori (majasi) dalam Al-Qur'an, al-muqaththa'at (huruf-huruf terpisah, seperti alif lam mim), istilah dan konsep jin, terakhir mengenai isra' mi'raj.

 

**

Seorang teman di WAG mengomentari The Message Of The Quran: Ini juga terjemahan favorit saya. Tapi, belakangan setelah lebih banyak belajar, saya mulai agak kritis membaca terjemahan Muhammad Asad ini. Yang perlu diingat adalah bahwa Muhammad Asad menafsirkan, bukan sekadar menerjemahkan. Sebagian besar terjemahan ayatnya sudah melalui proses penafsiran.

 

Untuk yang terbiasa dengan bacaan “sekuler”, terjemahan Asad ini sangat nyaman dibaca karena banyak bagian-bagian Al-Qur’an yang sifatnya di luar nalar diterjemahkan menjadi lebih rasional. Misalnya Al-Mulk ayat 5 yang umumnya diterjemahkan sebagai bercerita tentang bintang-bintang sebagai pelempar setan, oleh Asad ditafsirkan sebagai bintang-bintang sebagai bahan tebakan/ramalan oleh pengikut setan (ahli nujum).

 

Sebaliknya, terjemahan Asad ini mungkin tidak cocok bagi pengikut tasawuf. Setelah membaca-baca Futuhat al Makkiyah, saya baru paham bahwa Ibnu Arabi menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur'an secara literal, tapi dengan takwil yang masuk entah ke akal atau ke hati.

 

**

Sekadar komentar, banyak pasase di The Message Of The Quran merupakan rangkaian panjang kalimat yang beranak-pinak dan berkoma-koma, sehingga berisiko bisa melelahkan pembacaan. memang dengan pembacaan yang hati-hati kalimat sangat panjang itu tidak membingungkan atau terasa janggal, hanya saja terasa kurang efektif.

 

Mungkin aku tidak akan bisa segera menamatkan buku ini, namun aku merasa bisa menikmatinya secara optimal tiap kali membacanya.

**
Note:

Sekilas tentang Muhammad Asad (Leopold Weiss): Muhammad Asad lahir pada 2 Juli 1900 di Galicia,  sekarang bagian dari kota Lviv, Ukraina — dulu bagian dari Kekaisaran Austro-Hongaria). Dia studi di bidang filsafat dan sejarah seni, sempat menjadi asisten perintis film (Dr. Murnau) dan genius teater (Max Reinhardt), di Berlin. Pada 1922, Asad menjadi reporter harian Frankfurter Allgemeine Zeitung, kemudian menjadi koresponden untuk negara Timur Dekat. Berkat kesan mendalam dari pengembaraannya di negara-negara Islam Timur Tengah dan Asia Tengah, dia memeluk Islam pada usia 26 tahun. Pada 1952, Asad ditunjuk mewakili Republik Islam Pakistan di Markas Besar PBB di New York sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh. Asad wafat pada usia 92 tahun di Granada, Spanyol. Ketika menulis The Message of the Quran, dia sampai perlu tinggal bertahun-tahun dengan suku Badui Arabia demi memperoleh wawasan unik tentang semantik bahasa Al-Qur'an. Orang-orang Arab Badui memang masih banyak menggunakan bahasa Arab seperti yang dipergunakan dalam Al-Qur'an. Beberapa karyanya yang lain: The Road to Mecca, Islam at the Crossroads, The Principles of State and Government in Islam, dan Shahih Al-Bukhârî: The Early Years of Islam. Sumber: Mizanstore.[]