Kaya belum tentu disayang Tuhan, miskin belum tentu disengsarakan Tuhan
---Anwar Holid
"Tahu enggak, Tuhan lebih sayang ke aku daripada ke pembantuku," begitu klaim orang kaya pada temannya yang jauh lebih miskin.
"Gimana kamu bisa segitu yakin?" sangsi si orang miskin.
"Karena Tuhan lebih sering mengabulkan doaku daripada permintaan pembantuku," tegas si orang kaya.
"Buktinya apa?"
"Loh, aku dulu berdoa minta rumah, sekarang aku punya rumah bagus. Aku minta mobil, Tuhan mengabulkan permintaanku. Sementara pembantuku untuk memperbaiki rumahnya yang kecil aja sampai sekarang tidak bisa!" jelas orang ini tenang.
"Anjrit!" semprot si orang miskin, "jadi kamu menyamakan Tuhan sama dengan bank? Yang hanya mau ramah melayani orang karena tahu mereka bisa membuat dirinya juga kaya? Enggak lagi. Tuhan bukan rentenir yang akan menggunakan debt collector kalau kamu enggak bisa bayar utang!"
"Hei, aku dan pembantuku sama-sama berdoa, tapi hasilnya beda. Jelas Tuhan lebih sayang ke aku."
"Kamu kira Tuhan pilih kasih?" sengit si orang miskin. "Tahu enggak, pembantumu lebih miskin bukan karena Tuhan mengabaikan atau tidak menyayangi dia. Dia miskin karena GAJI DARI KAMU enggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk memperbaiki rumahnya! Kamu terlalu pelit menambah sebagian rezeki untuk dia, sementara yang kamu simpan dan belanjakan sendiri terlalu banyak dengan alasan itu adalah hak kamu."
Si orang miskin ini rupanya masih sedikit lebih kaya daripada pembantu si orang kaya, karena itu barangkali dia bisa membantah ucapan lawan bicaranya.
"Kalau kamu yakin Tuhan lebih sayang ke kamu hanya karena kamu kaya, gimana dengan banyak orang yang jauh lebih beriman dari kita tapi hidupnya melarat dan dianggap hina dina?"
"Misalnya siapa?"
"Banyak. Kamu pikir Isa Almasih lebih kaya dan makmur dari kamu hanya gara-gara dia lebih beriman kepada Tuhan? Enggak. Dia tidur berbantal batu, enggak punya kekayaan. Dia melayani tanpa ada yang bayar. Dia tergerak bukan karena dipanggil perusahaan untuk ngasih motivasi. Dia melakukan itu demi melaksanakan panggilan saja. Yahya, yang membaptis Isa, lebih parah. Kepalanya dipenggal. Hidup Ayub morat-marit, lebih buruk kondisinya dari pembantu kamu. Dia penyakitan dan ampun-ampunan kere. Yunus kalah taruhan dan dilempar ke laut, terus dicaplok ikan paus."
"Ha ha... gimana dengan Sulaiman? Dia hamba Tuhan yang taat, beriman, dan dia juga raja, jadi orang paling kaya di dunia yang pernah ada. Bukankah itu bukti Tuhan sangat sayang sama dia?"
"Bukan. Sulaiman kaya karena dia anak Daud, jenderal perang sekaligus seorang raja. Dia kaya sejak orok. Mencretnya aja mungkin bijih emas. Coba kalau dia anak petani, aku yakin dia jadi penggembala. Isa Almasih berasal dari keluarga tukang kayu. Enggak ada cerita dia pernah punya cawan emas. Tapi dengan kepapaannya dia bisa ngasih roti kepada umatnya. Kamu dengan kekayaanmu tidak bisa menyejahterakan pegawaimu!"
"Jadi kamu yakin orang bisa kaya karena keturunan, bukan oleh usahanya sendiri?"
"Itu cuma salah satu faktor. Aku cuma ingin bilang, kasih sayang Tuhan, kekayaan, atau dan iman itu bisa jadi enggak ada korelasinya . Sebagian orang beriman ternyata sangat miskin dan hidupnya terhina. Banyak penjahat, tidak beriman, dan abai pada Tuhan punya kekayaan lebih hebat dan hidupnya terhormat---bahkan ada yang berani mengaku diri sebagai Tuhan. Jangan menghakimi iman orang atau kasih sayang Tuhan dari kekayaannya."
"He he he.. kamu bilang begitu karena frustrasi kesulitan menambah pendapatan."
"Mungkin," aku si orang miskin. "Tapi aku tidak geer merasa lebih dicintai Tuhan hanya karena aku lebih kaya dari tukan antar atau tukang sampah di RT-ku. Aku juga tidak merasa lebih disengsarakan Tuhan hanya karena kondisi ekonomiku lebih parah dari kamu. Aku lebih yakin kamu bisa kaya karena kamu lebih pintar cari uang dan orang mau bayar lebih besar dari aku. Aku belum bisa seperti itu dan aku mau dibayar sekadarnya. Kamu enggak mau seperti itu."
"Halah, bilang aja tarif kamu murah! Enggak ada orang yang mau bayar kamu lebih besar, karena kamu memang enggak punya nilai lebih."
"Kadang-kadang aku dibayar cukup mahal, tapi menurutku itu bukan tanda bahwa Tuhan lagi sayang atau kasihan sama aku. Itu cuman karena orang mau mengeluarkan uang lebih besar daripada yang kamu lakukan ke pembantu kamu. Itu cuman menunjukkan kebaikan seseorang ke aku, bukan membuktikan kasih sayang Tuhan."
"Aku memberi gaji sesuai pekerjaan pembantuku, bukan berarti aku tidak mampu atau tidak mau. Uang ada. Tapi aku mendidik orang biar mendapat sesuai yang diusahakannya. Biar adil."
"Ha ha... justru di situ persoalannya, bung! Apa kamu pikir adil seperti itu yang dipraktikkan Tuhan? Tuhan bukan manajer yang rewel soal gaji dan uang! Tuhan bisa memberi kekayaan gilai-gilaan kepada diktator paling jahanam yang pernah ada di dunia, meski diktator itu pasti gengsi mengakuinya. Itu kalau kamu tetap menganggap bahwa kekayaan memang benar-benar dipengaruhi sentimen Tuhan atau ada hubungannya dengan iman. Kalau kamu mau memberi rezeki kepada orang tanpa perhitungan, orang lain bisa semakmur kamu. Tuhan tidak mencelakai ciptaannya hanya gara-gara dia tidak beriman. Tuhan tidak sependendam itu."
"Buat apa aku memberi orang sesuatu yang bukan haknya?"
"Biar dia bisa memperbaiki rumah seperti cerita kamu, misalnya. Biar kamu bisa bilang bahwa Tuhan juga sayang sama orang itu, meski dia tidak punya akses atau kemampuan sehebat kamu."
"Nanti orang itu tidak tahu terima kasih dan rasa bersyukur dong?"
"Apa urusan kamu dengan beryukur atau beriman? Bukannya itu urusan orang dengan Tuhannya? Kenapa kamu merasa perlu menghakimi orang? Kamu belum pernah jatuh segitu miskin sampai melihat semua orang lebih kaya dari kamu dan merasa pantas dikasihani. Begitu kesulitan ingin mendapat sesuatu. Kamu belum pernah segitu terhina sampai semua orang melihat kamu sebagai pesakitan yang pantas untuk disingkirkan dan kamu berdoa agar orang-orang itu dibinasakan Tuhan."
"Jangan keterlaluan bung! Buat apa aku minta Tuhan membinasakan orang lain yang menghina aku?"
"Untuk membuktikan bahwa Dia sayang kamu. Bukankah kamu yakin kalau seseorang dekat atau disayang Tuhan dia bisa minta apa saja, termasuk yang gila-gilaan atau kata orang ajaib? Dan Tuhan tidak akan keberatan dengan permohonannya, apa pun itu."
"
Obrolan berakhir menggantung. Si orang kaya aneh kenapa ada orang sesengit ini bisa yakin bahwa Tuhan tidak punya pengaruh pada kehidupan seseorang. Pikirannya mendadak melantur kapan dia terakhir kali merasa kelaparan. Waktu puasa? Atau waktu diet karena dokter memerintahkannya waspada terhadap asam urat di tubuhnya? Sementara itu pikiran si orang miskin mengawang-awang atas keinginannya yang kandas. Tapi ada doanya yang lebih besar, dia ingin Tuhan membuatnya berhenti menginginkan sesuatu yang tidak dia butuhkan atau tidak dimiliki, dan mencukupi sesuatu yang menurutnya pantas diterima.
Apa kekayaan adalah bukti bahwa seseorang disayang Tuhan?[]
Anwar Holid, bersyukur atas kesederhanaan, berusaha tabah atas rasa nelangsa.
Wednesday, May 16, 2012
Wednesday, May 02, 2012
SEBELUM LALAT TERBANG DAN EMBUN MENETES
--Anwar Holid
Sehabis subuhan, aku bilang ke Fifi, 'Aku jalan-jalan dulu ya,' sambil bawa kamera saku digital Olympus Stylus 400. Di luar langit masih biru gelap, lampu-lampu di luar rumah belum dipadamkan. Rumput basah, apalagi semalam hujan deras cukup lama.
Sebenarnya tujuanku ke rumah Fifi dan Acia hari itu adalah untuk membasmi virus yang memapar laptopku. Acia jago komputer dan dia punya banyak antivirus. Setelah didiagnosis dengan berbagai program, komputerku ternyata sudah terserang parah, dan akhirnya jebol. Crash. Akibatnya aku harus memformat dan menginstall ulang. Setelah rada capek berjam-jam memulihkan laptop, aku rehat untuk refreshing. Latihan memotret.
Pagi hari setelah subuh adalah waktu paling hebat untuk latihan memfoto. Alam bisa menghasilkan warna-warna dramatis. Apalagi di Lembang yang di sekitarnya masih banyak kebun dan daerah berbukit. Untuk seorang amatir, latihan siluet, menangkap cahaya yang tampak menakjubkan, atau sesuatu yang menarik sudah cukup menyenangkan. Ketika sampai di ujung sebuah tebing, aku mendapati segerombolan semak dengan bunga warna kuning yang tak aku ketahui namanya. Warna-warni kuningnya amat kontras dengan latar hijau, semak-semak, juga suasana pagi yang mulai agak terang karena matahari sudah muncul meski masih terhalang kabut.
"Waduh, gimana motretnya ya?" batinku melihat posisi semak-semak yang ada di bibir tebing. Padahal justru di situ bunga-bunganya mekar dengan amat segar. Mendadak, batinku berkata lagi, 'Ah, latihan fokus aja lagi! Coba-coba teknik makro.' Jadi alih-alih memotret banyakan, aku memutuskan memotret bunga kuning itu satu-satu.
Pas lagi berusaha fokus, eh seekor belalang meloncat hinggap ke batang rumput di dekatku. Ternyata ia cukup besar. Cepat-cepat aku jepret. Tapi hasilnya mengecewakan. Cuma satu yang rasanya cukup pantas disimpan, itu pun badannya terhalang rumput.
Akhirnya aku balik lagi ke bunga kuning. Yang mengagetkan, kini ada seekor lalat dan nyamuk hingga di situ. Aku heran, kok ada lalat terbang ke tempat ini pagi-pagi di suhu sedingin ini? Apa ini tempat mainnya? Kalau nyamuk kayaknya wajar. Mereka bertengger persis di kelopak bunga yang mau aku potret. Aku senang sekali dapat objek itu. Lalat itu diam saja meski beberapa kali dijepret sangat dekat---mengingat spesifikasinya, aku menghindari fitur zoom. Yang hasilnya bagus cuma dua foto ternyata, itu pun nyamuknya tampak kabur. Lalat baru terbang setelah aku menggunakan blitz, sementara nyamuk terbang setelah tangkai bunga bergoyang. Begitu serangga itu pergi, mataku menyadari bahwa sinar matahari sudah menembus ke sela-sela semak, menghasilkan efek cahaya warna-warni cantik, apalagi yang menyoroti embun. EMBUN! Wahhh, aku menyadari sesuatu. Embun itu menggelembung di ujung kelopak dan perlahan-lahan menggantung mau jatuh. Ia mirip air mata yang merembes ke pipi, cuma jauh lebih jernih. Aku berusaha menangkap momen itu, meski hasilnya jelek. Tapi aku menyaksikan sendiri betapa setetes embun yang jatuh di pagi itu jadi semacam peristiwa spiritual yang lebih menggetarkan dari shalat subuh barusan.
Latihan fotografi itu membuatku membatin: barangkali aku jarang memperhatikan detil-detil kehidupan yang simpel. Ah, bukankah aku merasa seorang penganut kesederhanaan, meski termehek-mehek oleh keinginan dan materialisme? Detil kehidupan dan alam, ternyata kerap simpel. Anak-anak rewel, laki-laki kehabisan uang, perempuan merajuk, istri minta dibelikan apel, orang sakit perut atau kehilangan barang, bisa juga dalam sekejap divonis hidup di penjara. Semua butuh perhatian, sampai kadang-kadang kita seperti kehabisan energi buat menyediakan sedikit saja demi keperluan-keperluan yang dianggap remeh itu.
Lalat, nyamuk, embun, cahaya, entah bagaimana caranya membuatku memikirkan tentang Tuhan. Sebenarnya, ini rada ironik karena beberapa orang menilai aku berpendapat sinis-sarkastik mengenai zat yang dinilai maha kuasa itu. Meski maha kuasa, Tuhan toh tidak bisa membuat rekeningku jadi gendut, misalnya. Kerja keras, kekayaan, dan iman menurutku juga tidak berkorelasi. Sebagian orang beriman sangat miskin dan hidupnya terhina, tapi banyak penjahat dan orang yang abai pada Tuhan punya kekayaan lebih hebat---bahkan mengaku diri sebagai Tuhan. Jadi Tuhan itu berperan seperti apa dalam kehidupan? Ini yang kerap membuatku tertegun, atau malah bingung. Aku pernah bereksperimen dengan kemalasan dan Tuhan tidak lantas jadi kasihan dengan menyelesaikan pekerjaanku. Akibatnya, aku kekurangan penghasilan. Tuhan di sana mungkin tertawa. "Ha ha ha... sebaiknya kamu memotivasi diri lebih hebat lagi, Wartax!" Dan dengan susah payah aku mengalahkan kemalasan agar bisa menyelesaikan pekerjaan.
Tuhan barangkali mengurus hal yang tidak bisa ditangani manusia. Untuk semua yang bisa dibereskan manusia, silakan coba selesaikan sendiri. Mau menambah digit di rekening? Coba usaha lebih lihai dan cerdik lagi. Mungkin urusan itu terlalu simpel buat Tuhan, hingga Dia memilih urusan yang lebih esensial. Misalnya mengatur kapan embun jatuh, hujan harus berhenti, kapan minyak bumi terbentuk, di mana gempa harus terbelah, juga mempertahankan alam teratur sampai suatu ketika digebah dan kiamat.
Aneh banget. Kok bisa-bisanya aku menghubungkan hal-hal simpel tadi dengan sesuatu yang di luar jangkauan pemahamanku, hanya dari latihan memotret bunga dan menyaksikan lalat terbang dan embun menetes.[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
[ini hasil latihan motretnya]
Tuesday, May 01, 2012
Penerbitan adalah Bisnis, Begitu Juga dengan Buku Puisi
--Anwar Holid
Penerbitan buku puisi punya tantangan sendiri, terutama karena ada anggapan umum bahwa ceruk ini sama dengan proyek rugi. Benarkah? Bagaimana dong dengan penyair yang ingin menerbitkan puisinya?
Pertama-tama, pastikan dulu: buku puisi itu mau diterbitkan atas biaya sendiri atau akan ditawarkan ke penerbit. Mode penerbitan keduanya bisa sangat lain, denga konsekuensi masing-masing. Kalau akan diterbitkan sendiri, mau isinya dibilang mentah, belum pantas, enggak ikut selera pasar, aneh... cuek aja. Yang penting proses penerbitannya disiapkan dengan baik, antara lain lewat penyuntingan, jangan sampai salah eja, rapi, konsisten, dan padu. Ini pun boleh ada pengecualian, misal sengaja mengabaikan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Kalau akan ditawarkan ke penerbit, urusannya bisa kompleks. Karena melibatkan kepentingan penerbit, buku harus: (1) menarik perhatian editor; (2) punya nilai jual. Makin besar kemungkinan daya jualnya, makin bagus. Kuncinya memang ada pada cara meyakinkan editor bahwa puisi kamu berpotensi menguntungkan mereka---baik secara finansial maupun reputasi---dan karena itu layak terbit. Cara meyakinkannya bisa lewat presentasi, diskusi, juga mengajukan proposal penerbitan.
Kalau akan menawarkan puisi ke penerbit, perhatikan puisi itu keunggulannya seperti apa, daya jualnya bagaimana, kalau perlu bayangkan segmen pembaca dan pasarnya siapa. Mintalah pendapat teman dekat jujur yang mau mengkritik paling pahit (jangan hanya bisa kasih pandangan menyenangkan, karena itu bisa berat sebelah) atau menyewa orang yang dianggap kompeten menilai karya kamu. Atau kamu punya standar puisi yang pantas ditawarkan ke publik itu seperti apa.
Naskah seperti apa yang bisa terbit?
Penerbit tertarik pada naskah karena berbagai hal. Bisa jadi karena penyampaiannya segar, ungkapannya dalam, pendapatnya thought provoking dan kontroversial, atau pendekatannya lebih kena. Intinya: naskah harus punya kelebihan, ada sesuatu yang bisa dijual, diangkat ke permukaan. Isi bisa tentang apa saja. Persoalannya penyair mampu tidak menyampaikannya secara lain, menggunakan cara baru yang menarik, sehingga menarik buat penerbit. Kalau tertarik, penerbit bisa membayangkan naskah itu akan jadi buku seperti apa, dan marketing tahu cara menjualnya, memperlakukannya sebagai komoditas. Biasanya naskah ditolak karena penerbit takut bertaruh atau kesulitan membayangkan bahwa naskah itu bisa menguntungkan atau susah dijual.
Penerbit punya berbagai pertimbangan untuk menolak atau menerbitkan naskah. Mereka selektif, apa pun alasannya. Terkadang ada kisah aneh bagaimana sebuah buku bisa diterbitkan. Sebaliknya, ada fakta buku yang sudah dijanjikan akan diterbitkan, bahkan ada dummynya, akhirnya ternyata enggak terbit karena berbagai alasan. Penerbit menilai produknya sebagai komoditas yang harus bisa dijual. Nah, dengan isi seperti itu, apa yang kira-kira bisa dijual dari karya kamu? Ini tentu bisa bareng dengan kemasannya. Kemasan memang tidak menjamin buku bisa laku, tapi minimal desainer bisa menampilkan buku biar indah dan elegan buat dipajang.
Kita tahu, ada buku bagus dan yang jelek. Kalau isinya jelek, kita bisa mengira-ngira kenapa naskah seperti itu tetap bisa terbit, malah kemudian laris. Mungkin yang penting asal terbit, atau sebaliknya: segitu saja sudah bisa menguntungkan penerbit... apalagi kalau disiapkan dengan lebih baik. Tapi kalau benar-benar jelek, ya bilang saja itu produk gagal.
Selama proses penerbitannya disiapkan dengan baik, itu cukup. Artinya, penulis dan penerbit sungguh-sungguh menanganinya, ingin menghasilkan produk yang baik. Soal nanti ditanggapi bagaimana oleh pasar, tidak masalah; orang bisa komentar apa saja, baik atau buruk. Salah satu aspek naskah yang sangat penting untuk diperhatikan ialah kepaduan dan kelengkapan isi. Kalau isinya sudah dinilai padu, naskah siap diterbitkan. Kalau belum, ya isilah bolong-bolong di naskah tersebut.
Penerbitan adalah bisnis
Sebagian penulis suka sedih atau merasa sombong kalo karyanya dinilai sebagai komoditas. Mereka anggap itu rendah. Tapi sadarilah, buku harus bisa dijual. Karena membuatnya mengeluarkan modal. Sebagian penulis bilang peduli amat bukunya seret penjualannya, tapi aku yakin kalau bukunya laris---atau mendapat kritik besar-besaran---dia akan lebih seneng lagi, karena bukunya punya pengaruh ke publik luas. Buat apa buku kalau cuma numpuk di gudang?
Kalau penjualan buku seret, semua orang yang terlibat dalam proses penerbitannya bisa sedih dan sebel. Memang selalu ada buku puisi bagus yang gagal terbit ketika penulisnya masih hidup dan baru terbit setelah dia meninggal. Emily Dickinson contoh klisenya. Dia penyair yang baru terkemuka dan dianggap penting setelah meninggal. Selama hidupnya dia belum pernah menerbitkan buku dan hanya beberapa saja dari puisinya yang pernah dipublikasi, dan sayang disayang dia tidak sempat ngeblog..
Karena itu, percaya diri saja menawarkan naskah. Bekalnya ialah kamu tahu persis kekuatan dan kualitas puisimu. Cara paling aman untuk memulainya ialah dengan kenal editor di penerbit yang kita tawari naskah. Nanti kita bisa tanya perkembangan naskah itu pada dia. Tapi jangan terlalu sering bertanya, bisa-bisa kita dianggap rewel. Editor itu sibuk. Tuntutan kerjanya banyak. Mereka mengurus beragam naskah. Kalau perlu, kamu presentasi soal naskah kamu ke editor. Di mana-mana penerbit mau yakin soal pasar dan penjualan dagangannya. Mungkin dengan berargumen bahwa kemasan yang bagus bakal punya nilai jual lebih. Isinya sudah diakui lingkaran dekat dan reputasi penyair juga bisa menjadi pertimbangan penerbit untuk menerima naskah.
Diterbitkan ke mana?
Bentang, Gramedia Pustaka Utama (GPU), Grasindo, menerbitkan puisi. Dari kuantitas, Grasindo tampak unggul. Buku puisi terbitan Grasindo sepertinya wajib koleksi. Kebanyakan berupa kumpulan puisi yang diambil dari beberapa buku yang terbit sebelumnya, semacam 'the best' puisi penyair tersebut. Tapi kemasan buku Grasindo biasa banget. Dari segi kemasan, Bentang kayaknya paling bagus. Buku puisi mereka mayoritas hardcover, pakai jaket, membuatnya terlihat indah dan kolektibel. Tampilan buku puisi terbitan GPU juga bagus, meski sering softcover. Coba lihat Jantung Lebah Ratu (Nirwan Dewanto). Dari segi cover, pewarnaan, tipografi, lay out, ilustrasi, indah banget. Tampilan buku puisi Joko Pinurbo terbitan GPU juga bagus.
Ketiga penerbit besar ini selektif. Aku dengar, Bentang hanya menerbitkan satu-dua buku puisi setahun. Ini gila. Gramedia juga jarang, seolah penerbit ini merilis buku puisi hanya demi keragaman dan kelengkapan katalog, syaratnya pun tampak harus dari penyair mapan.
Di Jakarta ada penerbit yang cukup fokus menerbitkan buku puisi, namanya Buku Pop, dari penerbit Wedatama Widya Sastra. Tapi tampilannya cenderung sekadarnya. Penerbit Banan juga pernah menerbitkan beberapa buku puisi. Tampilannya cukup bagus, terutama dari segi cover. Di Bandung, kita harus menyebut Ultimus yang konsisten menerbitkan buku puisi hingga sekarang.
Soal percetakan
Karena pasarnya kerap terbatas dan penjualannya biasa, sebagian penerbit menganggap buku puisi cuma untuk formalitas. Atau baru mau menerbitkan atas biaya produksi dari penyair. Cara ini tidak direkomendasikan, kecuali kamu mau mengorbankan uang untuk itu. Karena kerap tipis, bisa dibilang biaya penerbitan buku puisi biasanya lebih murah dibanding novel. Bila memilih mode ini, kita perlu membicarakan percetakan.
Percetakan adalah soal harga dan permintaan. Kalau ada biaya, semua bisa dipenuhi. Semua bergantung pada jumlah halaman, ukuran, jenis kertas isi dan cover, kualitas cetakan, dan detail-detail lain yang bisa diurai satu-satu. Makin bagus kualitas cetakan, biasanya akan makin mahal, dengan hasil maksimal dan makin memuaskan penulis dan penerbit. Makin murah, biasanya makin turun kualitas cetaknya, termasuk hingga ke soal tinta. Jadi wajar kalau tintanya blobor, tembus, kelihatan kotor, dan seterusnya.
Sebagai pemanis maupun nilai tambah, buku puisi memuat biasa ilustrasi, baik berupa vignette, sketsa, gambar pensil, juga foto. Penataannya bisa satu puisi satu foto, atau tiap beberapa halaman. Tentu ini bisa memberi kesan lain. 'Puisinya menggetarkan, lay outnya enak, ilustrasinya juga keren-keren.' Ilustrasi yang bagus butuh mutu percetakan berkualitas. Tapi lebih penting lagi: terbitkan buku dengan unik dan tonjolkan kelebihannya. Kalau perlu, pertahankan idealitas bahwa buku itu akan dicetak sesuai cita-cita penyair. Jangan dikurangi kualitasnya. Mungkin harganya jadi lebih mahal, tapi akan tetap berharga dalam waktu lama, dengan begitu peluang dijual tetap terus ada.
Endorsement
Ada dua pendapat soal endorsement atas buku yang baru terbit. Sebagian orang rada anti dengan endorsement. Mereka anggap itu cuma pujian basa-basi, apalagi bila pemberinya dianggap irelevan. Kita perlu hati-hati soal ini. Aku sendiri moderat soal endorsement. Kalau irelevan, lupakan saja. Tapi kalau dinilai tepat, bagus. Untuk endorsement, carilah tokoh yang dinilai kompeten menanggapi soal puisi.
Baik, sekarang, apa puisimu siap diterbitkan? Memang banyak pihak bilang buku puisi jarang ada yang sangat laris. Tapi percayalah buku puisi bukan proyek rugi. Kalau merugikan, manusia sudah lama menghapus puisi sebagai salah satu pencapaian budi tertinggi. Tetap saja ada penerbit yang mau merilis buku puisi, apa pun mode produksinya. Puisi adalah bagian dari pencapaian budaya dan industri kita. Karena itu sampai kapanpun ia akan ada.[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Subscribe to:
Posts (Atom)