Kisah yang Akan Membuat Orang Percaya pada Tuhan
---Anwar Holid
Kisah Pi
Judul asli: Life of Pi
Penulis: Yann Martel
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: GPU, 2004 (cetak ulang 2012)
Tebal: 448 halaman
Harga: Rp.55.000,-
ISBN: 979-22-1106-3
'SAYA punya cerita yang bakal membuat Anda percaya pada Tuhan,' kata seorang tua pada Yann Martel saat sedang di India mencari sesuatu untuk dijadikan bahan novel. Dia sedang berharap mendapat hal hebat untuk ditulis. Kisah dengan orangtua itu membuatnya bertemu dengan Piscine Molitor Patel, yang sepenggal hidupnya terkatung-katung di Samudra Pasifik selama 227 hari di sebuah sekoci bersama seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kg. Waktu itu Pi Patel berusia 16 tahun. Dia bersama keluarganya sedang dalam pelayaran pindah dari India ke Kanada. Samudra Pasifik adalah lautan terluas di dunia, sekitar 165.000.000 km persegi, alamnya ganas, cuaca, gelombangnya tak bisa ditebak; dan 'petualangan' di sana bersama binatang buas tentu sebuah kisah sulit dipercaya.
Bagaimana bila kisah Pi semata-mata kebetulan dan tidak ada bukti Tuhan pernah ikut campur tangan? Barangkali kita masih ingat film Life is Beautiful; seorang ayah harus memandang bahwa kamp Nazi tempatnya disekap kerja paksa tak lebih merupakan lapangan main petak umpet bersama anaknya, tempat mereka bersenang-senang. Bagaimana orang harus mau menjungkir-balikkan realitas dan idealitas itulah yang dibutuhkan ketika menghadapi situasi absurd yang mustahil bisa dicerap nalar normal. Pi---dalam kekalutan menghadapi situasi terburuk, semangat mencintai Tuhan, mengasihi sesama makhluk dan mempertahankan nyawa---menganggap hidup dengan harimau di tengah lautan adalah pertunjukan sirkus paling hebat sedunia, tempat seorang pawang disoraki seluruh penonton karena berhasil mengalahkan segala rintangan, meski berdebar-debar takut tiba-tiba diserang.
Di situlah taruhannya. Orang diuji oleh keyakinannya. Orang religius seperti Pi diuji sepanjang waktu akan keyakinannya, apa Tuhan betul-betul sebagaimana diimaninya: Dia penuh kasih seperti Yesus, perkasa seperti dewa Hindu, personal seperti kata imam. Di puncak putus asa Pi pernah ragu, benarkah Tuhan bersama dia yang terkena bencana, diancam kematian, ketakutan, ketika harapan dan keyakinan nyaris tak ada gunanya. Saat berteriak-teriak minta tolong, kehabisan energi, tak seorang pun pernah mendengarnya, masihkah iman pantas dipertahankan atau Tuhan layak diseru? Dalam keadaan seperti itu rasanya Tuhan bukan merupakan hal penting.
Terlunta-lunta di lautan mahaluas, nyaris tanpa kemungkinan selamat sudah merupakan bencana mengerikan yang tak akan berani dibayangkan siapa pun; apalagi ditambah binatang buas yang kapan pun bisa memangsa, tak peduli orang bermaksud menyelamatkannya; sebab binatang tak punya akal, dan keduanya tak punya cara berkomunikasi. Satu yang sangat alamiah dalam buku ini ialah interaksi lama dengan binatang buas tidak membuatnya jadi manusiawi. Binatang tetap liar, berbahaya, memiliki dunia dan nasibnya sendiri---termasuk tak tahu cara berterima kasih. Wajar saat digesek perlahan-lahan oleh penderitaan, cobaan, tanpa harapan, di tepi kematian, keyakinan orang beriman melemah sedikit; tapi begitu muncul harapan, iman kembali menguat, dan Tuhan hadir sebagai cahaya yang bersinar di dalam hati. Sangat wajar bila dalam keadaan tanpa harapan dan putus asa, diterjang penderitaan terus-menerus, seseorang berpaling pada Tuhan.
Di samudra inilah Pi mengalami peristiwa paling buruk yang bisa dibayangkan orang, menghadapi titik terendah kehidupan. Dia bukan saja dicabut dari kenyamanan sebagai anak keluarga kaya, terpelajar, harmonis, terkemuka; kemudian dihempaskan pada kenyataan seluruh keluarganya lenyap, yang tersisa dia sendiri, bersama kenangan, pikiran, ketakutan. Tanpa aba-aba dia diceburkan pada bahaya dan kepapaan sekaligus; bahaya di tengah alam yang tak tahu apa-apa selain instink dan keseimbangan; kepapaan bahwa satu-satunya hal tersisa yang layak diberikan seseorang kepada makhluk di dekatnya adalah kasih sayang.
'KITA TAK TAHU apakah Tuhan ada,' begitu tulis André Comte-Sponville, filsuf kontemporer Prancis dalam bukunya, The Little Book of Philosophy. 'Itu sebabnya kita harus bertanya apakah percaya Dia ada atau tidak. Tuhan lebih merupakan misteri daripada konsep, lebih merupakan pertanyaan daripada fakta, lebih merupakan taruhan daripada pengalaman, lebih merupakan harapan daripada pikiran.' Tegasnya: Seseorang yang bilang 'Aku tahu bahwa Tuhan tidak ada' adalah orang bodoh, bukan ateis; tapi yang bilang 'Aku tahu bahwa Tuhan ada' adalah orang bodoh yang beriman.
Religiositas dan Tuhan adalah ‘kawan lama’ sastra; pertemuan keduanya kadang-kadang merupakan pergumulan tak terhindarkan. Confessions karya St. Augustine, misalnya, merupakan salah satu karya klasik sumber khazanah agama dan sastra sekaligus. Indonesia juga terus-menerus melahirkan penulis religius dan pada saat bersamaan mampu mencapai titik estetika mumpuni. Amir Hamzah, Y.B. Mangunwijaya, Kuntowijoyo, A.A. Navis, adalah satu-dua contoh penulis yang sama sekali tak membedakan apa mereka sedang berekspresi dalam ketaatannya sebagai pemeluk teguh atau tengah mencurahkan ekspresi sastra. Cerpen 'Robohnya Surau Kami' (A.A. Navis) merupakan contoh bagaimana agama, religiositas, ketuhanan, diungkap dalam karya sastra dengan cara yang sangat bagus.
Bila merupakan kelebihan, dalam sastra subjek Tuhan atau religiositas biasanya lebih mungkin diungkapkan secara indah, ekspresif, sering personal. Tuhan yang agung, sempurna, kadang-kadang terasa tiada bila dihadapkan kemalangan, dengan doa-doa tak terjawab. Tuhan kadang-kadang begitu jauh, tak terjangkau, namun pada saatnya dia begitu dekat, tak berjarak dengan jiwa seseorang. Di situlah ketika manusia terombang-ambing antara harapan dan keputusasaan Tuhan kerap mengambil peran sebagaimana dipahami kaum beriman. Kata Ludwig Wittgenstein, 'Percaya pada Tuhan artinya sadar bahwa hidup memiliki makna.'
MARTEL menceritakan kisah Pi ini dengan mempesona, tampaknya bahkan berpotensi memaksa pembaca tak mampu menutup buku kecuali bila halaman berakhir. Dia bertutur lugas, memikat, detail luar biasa, studi zoologinya kaya, sisi humornya mengejutkan; semua unsur itu membuat keterbacaan buku ini tinggi, bisa dinikmati siapa saja, tak terkecuali pembaca remaja pecinta Harry Potter. Martel nyaris habis-habisan mengeksplorasi genre realisme magis yang kerap dinisbatkan menjadi ciri utama sastra poskolonial. Dia menggunakan banyak sekali unsur poskolonial, mulai dari tokoh, seting, subject matter, konflik, dan sudut pandang. Realisme magis---genre sastra yang memadukan unsur fantastik dengan narasi realistik, dan secara bersamaan mengabstraksi akar persoalan sosial---memungkinkan Martel menghadirkan peristiwa supranatural dan mampu menyediakan beragam interpretasi multifaset. Bagaimana kesalehan yang aneh membuat Pi pernah mengalami beberapa kali 'penglihatan' (visions), disalami seluruh isi alam sebagai manifestasi kesatuan kosmos; di saat lain karena ditindas putus asa berkepanjangan dia pun mengalami halusinasi, delusi, berkali-kali panik, hingga nyaris kehilangan akal sehat, termasuk 'berbincang-bincang' dengan harimau menjelang dirinya sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.
Di bagian pertama pembaca berkenalan dengan Pi yang mengesankan, saleh, luar biasa. Pi beda sendiri dalam keluarganya. Melakukan ritual tiga agama sekaligus pasti menimbulkan kontroversi dan kebingungan. Berseting di India, yang sangat tepat dipilih karena memiliki akar agama begitu tua, dalam kepolosan seorang remaja mempertanyakan keagungan Tuhan, Pi membentur-benturkan pandangan tentang absolutisme agama. Jika Tuhan yang menciptakan agama, kenapa kita tak boleh mengambil semua jalan-Nya? Dengan komentar terkesan sembarangan, tapi sukar disanggah, dia bicara toleransi agama, bahkan terhadap kaum ateis. Dia minta dibaptis, tapi juga minta sajadah untuk shalat, tetap melakukan puja. Semua itu membuat bingung keluarga, apalagi ketiga guru agamanya. Ditanya kenapa tidak memilih salah satunya, Pi menjawab: 'Semua agama itu baik adanya. Aku cuma ingin mengasihi Tuhan.' Dia mengutip diktum Gandhi, dengan begitu para otoritas agama pun terdiam.
Kemampuan Martel menggali psikologi terdalam manusia, pada saat bersamaan terus mempertahankan ketegangan upaya penyelamatan, cara bertahan di lautan, relasi paksaan dua makhluk di tempat tak sempurna, ternyata menghasilkan efek dramatik luar biasa. Demikian dramatik hingga orang kerap hanya mampu terkesan oleh unsur kegilaan fantastiknya, namun sangat sulit mau percaya. Bagi Pi sendiri pengalaman itu adalah semacam penggenapan kasih Tuhan untuknya. Kata dia, 'Tuhan juga sulit dipercaya, coba tanyakan pada siapa pun yang mempercayainya. Kenapa Anda tidak bisa menerima hal-hal yang sulit dipercaya?' (hal.417). Pi rupanya tahu Tuhan bekerja secara rahasia.
Menamatkan bagian keduanya adalah membaca sebuah cerita tentang keberanian dan ketabahan yang sangat menakjubkan dalam menghadapi situasi yang luar biasa sulit dan tragis---demikian komentar salah satu pendengarnya. Apa kisah itu benar-benar bisa membuat seseorang percaya pada Tuhan? Tidak selinear itu; tapi setidaknya pembaca dijamin akan mendapat banyak hal berharga dari peristiwa yang menghancurkan ego manusia, kemudian bangkit lagi, hadir lebih utuh dan sadar.
KARIR kepenulisan Yann Martel sendiri berubah cukup drastik karena buku ini. Dulu dia masih termasuk obscure writer yang tak diperhatikan kritik atau pembaca manapun. Namanya bahkan tidak masuk di antara 225 penulis dalam daftar The Salon.Com Reader's Guide to Contemporary Authors yang otoritatif. Berbeda dengan dua buku awalnya---kumpulan cerita Facts Behind the Helsinki Roccamatios (1993) dan novel Self (1996)---yang cepat kandas di pasar, Life of Pi merupakan bestseller di negara-negara Persemakmuran, mendapat beragam penghargaan, yang paling terkemuka ialah The Man Booker Prize pada 2002. Novel ini menyebabkan namanya segera menyeruak sebagai penulis utama, diwawancarai media literer terkemuka, hidup nomadennya disingkap banyak orang, ditanya dari mana pandangan Pi berasal.
Pada akhir November 2012 20th Century Fox merilis film berdasarkan novel ini disutradarai Ang Lee; sementara penulis Kanada kelahiran 25 Juni 1963 tersebut menghasilkan tiga buku baru setelah menelurkan novel yang sangat sulit dilupakan ini.[]
Anwar Holid, penulis dan editor.
Resensi ini awalnya dimuat Kompas, Minggu, 06 Februari 2005.
Link terkait:
http://www.gramediapustakautama.com/buku-detail/86399/Kisah-Pi
http://en.wikipedia.org/wiki/Yann_Martel
Monday, December 24, 2012
Saturday, December 22, 2012
Tiga Film Bila Hidupmu Dalam Tekanan
---Anwar Holid
Mengejutkan banget betapa film yang bisa membuat aku menangis berkali-kali sampai nyeri ke hati bukanlah Life of Pi yang aku tonton bareng Ilalang (12 th) di bioskop keren sambil pakai kacamata 3D dan cemilan gurih, tapi dua film yang aku kopi dari warnet waktu mengirim kerjaan. Film pertama ialah That’s What I Am, ke dua yaitu It's Kind of a Funny Story. Dua film ini aku dapatkan kurang dari satu jam dengan biaya Rp.2.500,- Sementara waktu nonton Life of Pi aku mengeluarkan hampir Rp.100.000,- untuk semua ongkos termasuk menyumbang PMI dan bayar angkot.
Yah, aku harus jujur bilang bahwa Life of Pi juga film yang bagus, keren, dramatik, termasuk sedikit bisa bikin senyum. Tapi ia tidak membuatku menangis atau terharu lebih dalam, meskipun efek-efek visualisasinya menakjubkan. Tiga scene yang paling mengesankan buatku ialah waktu Pi ada di tengah lautan membayangkan bahwa dirinya bersama seluruh alam semesta ini ditelan Krisna, waktu dia di tengah malam ditemani kelap-kelip ubur-ubur dan dilewati ikan-ikan yang pindah, juga perpisahannya yang berakhir antiklimaks dengan Richard Parker padahal tentu saja dia berharap kejadian ini akan berlangsung mengharukan setelah melewati badai hidup bareng sedahsyat dan selama itu. Satu hal, Life of Pi menurutku 'terlalu berusaha' untuk dramatik, sampai aku merasa apa harus segitunya membuat orang agar terpesona oleh efek dan kejutan-kejutan yang tampak artifisial?
Hal itu tidak terjadi pada That’s What I Am dan It's Kind of a Funny Story. Aku mengira, si pendownload awalnya terpesona oleh (500) Days of Summer karena dua film ini juga merupakan drama coming-of-age. Cuma sedikit bedanya ialah kadar komedi di dua film ini lebih kurang dibandingkan film terakhir.
That’s What I Am berkali-kali membuat dadaku nyeri sampai akhirnya memerihkan mata dan membuatku menangis berkali-kali. Dari dulu aku cukup yakin bahwa film yang begitu saja bisa membuatku menangis pasti film hebat. Waktu nangis aku teringat perpisahan dengan guru-guru praktik SD yang entah kenapa bikin aku mewek di akhir acara dan sepanjang jalan pulang. Begitu juga waktu aku berpisah dengan guru praktik di SMP, barangkali menyadari bahwa aku bakal sulit lagi ketemu orang yang aku hormati dan seakan-akan bisa mengerti aku. Perasaan bahwa kita terlibat begitu emosional dengan seseorang, apalagi dia berpengaruh dalam hidup kita.
That’s What I Am terjadi di SMP di California, Amerika Serikat, berlatar pertengahan tahun 1960-an, sebagian warganya percaya takhayul dan prasangka, masih dihantui ancaman komunisme, padahal negara bagian ini baru mencatat sejarah memiliki kepala sekolah perempuan pertama. SMP ini punya guru teladan dan favorit murid, Mr. Simon. Dia mengajar sastra. Mr. Simon memasangkan Andy Nichol dengan Big G untuk mengerjakan tugas menulis akhir semester. Big G adalah salah satu siswa yang dianggap paling aneh, kerap jadi bahan celaan, bahkan serangan fisik, meski badannya paling bongsor.
Masalah jadi tambah rumit ketika Andy mulai tertarik pada Mary Clear, gadis paling cantik sesekolah, yang sayangnya pernah pacaran dengan Ricky Brown, jagoan di sekolah itu. Saat itu muncul isu bahwa Mr. Simon seorang homoseksual, membuat sebagian orangtua siap-siap mengusirnya karena menganggap homoseksual enggak pantas jadi guru, bisa menularkan bahaya, membawa pengaruh buruk. Andy tertekan dan kalut dengan situasi yang dihadapinya. Pertemanannya dengan Big G memunculkan banyak masalah bagi Andy, ketertarikannya pada Mary Clear membuat dia diancam Ricky Brown, kedekatan dan hormatnya pada Mr. Simon membuatnya bertanya homoseksual itu apa.
Masa itu adalah masa ketika masyarakat belum bisa menerima seseorang membuat pengakuan bahwa dirinya seorang homoseksual, lain sama sekali di zaman sekarang ketika orang dengan berani, mudah mengakui orientasi seksualnya, atau dengan percaya diri bilang, 'Aku gay dan aku bangga mengakuinya.' Masyarakat juga belum tahu pasti, tapi mereka berani berprasangka, menghakimi, dan lebih dari itu: siap bertindak atas nama massa. Di masa-masa galau itu Andy dan Big G berhasil menuntaskan tugas karangan berjudul "Toleransi." Berkat Mr. Simon dan Big G-lah akhirnya Andy menemukan diri dan berani menyatakan siapa dirinya sesungguhnya.
Secara keseluruhan It's Kind of a Funny Story lebih lucu dan segar dibanding That’s What I Am yang bawaannya menekan dan kurang humor, meski mayoritas ceritanya di rumah sakit jiwa. Film ini menceritakan Craig, anak SMU yang stres, depresi, dan hidupnya merasa kacau menghadapi berbagai 'beban' sehari-hari mulai dari tugas sekolah, orang di rumah, ancaman masa depan, seksualitas, ketertarikan pada wanita, bingung terhadap banyak hal yang tidak dimengerti, dan kalut oleh pilihan hidup. Stres ini bisa membuatnya muntah tanpa sebab secara berlebihan, menyebabkannya ingin bunuh diri.
Beruntung dia memenuhi panggilan hot line layanan publik, yang mengantarnya masuk rumah sakit jiwa. Anak SMU masuk rumah sakit jiwa? Padahal dia punya orangtua yang manis, bertanggung jawab, keluarga harmonis. Craig seperti mengidap sindrom sakit "orang biasa." Gejalanya ialah dia merasa dirinya biasa saja, kuatir bila dirinya nanti tersingkir sebagai orang biasa. Orang biasa adalah orang yang menghabiskan hidupnya seperti kebanyakan orang. Dia punya karir, kehidupan sosialnya bagus, hidup normal, tapi dia tidak menonjol dibandingkan orang lain. Craig bingung kenapa dirinya bisa masuk sekolah favorit, padahal siswa-siswa lain punya keistimewaan terhadap bidang tertentu. Dia panik enggak bisa baca peta pada umur 5 tahun, sementara mendapati fakta bahwa pada umur segitu Mozart sudah bisa menciptakan komposisi. Dia kesulitan mengungkapkan minat dan bakat seni pada kedua orangtuanya. Persoalan terbesarnya barangkali karena dia tidak bisa menyatakan dirinya seperti apa dan dunia terdekatnya malah memgaburkan pada pencarian terhada makna.
Dari satu sisi mungkin kita bisa mengecam bahwa Craig tidak pantas sakit jiwa atau dia terlalu manja. Tapi ayolah, siapa yang pantas bilang bahwa satu masalah itu ringan atau terlalu serius bagi seseorang. Orang bisa gila karena cinta, sebagaimana orang bisa stres karena kerja, gagal memahami Tuhan, terlalu ekstrem berpendirian, penghasilan minim, enggak punya jodoh, perannya dilecehkan, menganggur, gagal memahami hidup, disalahpahami orang-orang terdekat, mengalami disfungsi seksual, karir berantakan, ditipu klien, takut mengutarakan kejujuran, merasa sengsara, kesulitan mengekspresikan perasaan, tidak bahagia, tidak bisa membelanjakan uang, atau dihantui agama maupun ideologi, bingung dengan orientasi seks, atau ingin bunuh diri karena enggak dapat perhatian dari orangtua. Masalah orang beda-beda dan tidak setiap orang punya daya tahan maupun keyakinan bahwa dirinya bisa menanggung masalah dan beban dirinya. Poinnya adalah: Jangan menyepelekan masalah orang lain, siapa tahu itu adalah masalah terberat dia dan dia bingung menyelesaikannya.
Di rumah sakit jiwa inilah Craig mendapat terapi hingga stresnya berangsur-angsur berkurang. Dia belajar bahwa sebagian orang punya beban atau kasus jauh lebih berat dan berbahaya. Lebih membahagiakan lagi dia bisa menyalurkan tekanan batinnya lewat seni dan kehadirannya secara signifikan mempengaruhi sesama pasien. Begitu ke luar dari rumah sakit jiwa dia tahu apa yang akan dilakukan dalam hidupnya.
Adegan paling menyenangkan buatku dalam film ini ialah waktu Craig secara lip-synch menyanyikan "Under Pressure" dari Queen dan David Bowie. Pas banget dengan situasi filmnya, meski aku tahu opini ini dipengaruhi bahwa aku seorang #1 fan Queen.
Ke tiga film ini secara halus memperlihatkan sebenarnya masalah dalam hidup seseorang membuat dirinya tumbuh dan dewasa lebih matang. Yang dibutuhkan manusia bisa jadi cuma rasa syukur bahwa dirinya bisa mengambil sesuatu dari masalah, baik lega hidup itu punya makna atau kedekatan dengan Tuhan. Begitu orang lolos dari bencana masalah, jiwanya mengerti. Masalahnya, sebagian orang dilecehkan, tidak punya kesempatan, aksesnya ditutup, tidak punya kepercayaan diri bahwa dirinya pantas menyelesaikan masalah dan bingung mencari solusi dalam menjalani hidup. Masalah seseorang barangkali sangat serius, menguatirkan, membuatnya nyaris putus asa, tapi sedikit keyakinan dan keberanian bisa menyelamatkan hidup.[]
Anwar Holid, bekerja sebagai editor dan penulis.
Link terkait:
Life of Pi
That’s What I Am
It's Kind of a Funny Story
Subscribe to:
Posts (Atom)