Semakin Banyak Penulis Baru, Semakin Seru
Wawancara dengan Fandy Hutari
--Anwar Holid
Barangkali rada aneh,
aku jadi cukup akrab dengan Fandy Hutari setelah kematian bang Mula Harahap.
Bang Mula adalah senior kami di dunia perbukuan. Ternyata kami sama-sama pernah
bersinggungan dengan bang Mula dan itu merupakan pengalaman mengesankan. Ketika
baca Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal, aku makin salut pada
anak muda ini. Setelah itu beberapa kali kami ngobrol di Kineruku, waktu aku
sedang kerja atau dia sedang baca-baca cari rujukan.
Berikut wawancara dengan beliau.
* Bagaimana kamu
menjalani karir sebagai penulis selama ini?
Menjalaninya sekarang,
mengalir saja. Kalau dulu dalam bayangan saya jadi penulis itu dapat uang
banyak, populer, dan lain-lain, sekarang saya tidak pernah merasakan itu. Bagi
saya sekarang, uang itu bonus. Layaknya profesi lain, ada suka dan ada pula
“kepedihan”. Sukanya, ketika orang mengapresiasi tulisan kita, dengan
mengirimkan komentar, walaupun hanya komentar pendek di jejaring sosial atau
email. Bertemu dengan orang-orang baru, entah itu sesama penulis atau pembaca
tulisan saya. Itu menyenangkan. Dukanya, mungkin saat apa yang kita kerjakan
tidak sebanding dengan hasil yang kita peroleh. Misalnya, ketika kerjaan
menulis kita, order untuk seseorang, lembaga, atau penerbit, dibayar murah,
honor ditahan, atau bahkan tidak dibayar. Tapi, menulis itu proses. Pahit dan
manis itu pengalaman. Let it flow…Slow done but sure…
* Apa kamu cukup
puas dengan pencapaian kamu sebagai penulis?
Belum. Saya dulu
menargetkan dalam setahun terbit satu buku. Dari buku pertama saya, yang terbit
pada 2009, saya memang konsisten menerbitkan satu buku satu tahun secara
beruntun: Sandiwara dan Perang (2009), Ingatan Dodol (2010), Hiburan
Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2011), dan Manusia dalam Gelas Plastik
(2012). Tapi, saya merasakan stuck akhir-akhir ini, dan entah apa saya
bisa konsisten dengan terbit buku setiap tahun. Buat saya, tak ada kata puas di
dunia ini. Hajar saja selama bisa dihajar.
* Ceritakan kenapa
kamu memilih berkarir sebagai penulis.
Terjebak. Hehehe.
Enggak juga sih. Dari kecil saya suka berimajinasi. Dulu, waktu SD saya senang
menggambar. Semasa kuliah, saya pernah diangkat menjadi koordinator media
organisasi Front Mahasiswa Nasional kampus Universias Padjadjaran. Saya,
dibantu beberapa kawan, saat itu membuat sebuah buletin kecil, Nah, di buletin
itu ada artikel saya yang pertama saya publikasikan. Buletin itu sendiri saya
jual 700 rupiah. Semasa kuliah juga saya banyak mencoba menulis artikel soal
keadaan sosial, politik, pendidikan, dan lain-lain, entah file-filenya sekarang
di mana. Terjun bebas ke dunia menulis yang sesungguhnya baru saya awali ketika
lulus dari bangku kuliah. Jujur saja, waktu itu, saya bingung mencari
pekerjaan, karena memang ijazah jurusan saya di kampus kurang menjual bagi
perusahaan. Lalu, saya yang sudah terbiasa dicekoki buku-buku, membuat makalah,
dan skripsi semasa kuliah, mencoba menuangkan apa yang saya tahu dalam bentuk
artikel. Saya sempat kaget juga artikel pertama yang saya kirimkan ke Kompas
Jawa Barat di tahun 2008 itu dimuat . Dari sana, saya mencoba terus menulis.
Menulis bagi saya sudah seperti candu. Kalau tidak menulis, saya merasa pusing,
entah kenapa. Dari artikel pertama itu, saya terus mencoba berkarier dalam
dunia tulis-menulis. Saya membuat artikel, saya kirim ke koran, majalah,
ataupun media online. Dari honor-honornya, hasilnya lumayan. Cukup untuk jajan.:D Timbul keyakinan
kalau menulis bisa menghidupi saya, walaupun setelah itu anggapan tersebut
mungkin sedikit luntur.
Pengalaman terburuk
saya adalah ketika buku saya hanya mendapatkan royalti sedikit. Padahal, saya
yakin yang membutuhkan buku saya itu banyak. Saya sendiri sering menerima
email, message di Facebook, dan lain-lain. Mereka menanyakan buku saya
dan ada pula yang memberi tanggapan. Mungkin, kalau dari pihak penerbit
mendukung promosi untuk buku itu, hasilnya tidak sedemikian buruk. Untuk hal
ini, saya berusaha jalan sendiri untuk mempromosikan buku saya. Contohnya, saya
tawarkan untuk dibedah di sebuah radio, menulis resensinya di blog, meng-upload
di jejaring sosial, dan lain-lain. Tapi, ya responsnya sedikit. Mungkin saja
buku-buku saya terlalu kecil peluang pasarnya dan sulit mencarinya, tidak
seperti buku-buku pop yang laku bak kacang goreng. Saya juga pernah mendapatkan
proyek menulis yang honornya tidak dibayar-bayar. Walaupun akhirnya dibayar
satu tahun kemudian, tapi usaha saya menagih honor itu berbuah “putusnya” tali
silaturahim sesama teman.
* Kamu fleksibel
menulis nonfiksi dan fiksi. Bisa komentar lebih jauh? Apa yang kamu incar dari
kedua genre tulisan yang sangat berbeda itu?
Menulis nonfiksi
berangkat dari latar belakang pendidikan saya, yaitu sejarah. Tulisan nonfiksi
saya berkisar pada sejarah, seni, dan budaya Indonesia. Setiap membedah
fenomena saya selalu berangkat dari latar belakang historisnya. Seperti ketika
menulis soal kuda tunggang di Bandung yang sempat dimuat di majalah Basis.
Menulis nonfiksi, buat saya kepuasan. Saya bisa berbagi ilmu saya, yakni
sejarah, kepada pembaca. Dari tulisan nonfiksi, saya berharap bisa menjadi
dokumentasi abadi dan referensi pembaca. Fiksi sendiri saya baru fokuskan di
tahun 2010. Waktu itu cerpen saya dimuat di salah satu surat kabar nasional,
walaupun honornya tak dibayar. Menulis fiksi, awalnya saya mencari semacam
kepuasan baru. Saya berpikir, menulis fiksi di Indonesia lebih laku terjual.
Selain itu, saya bisa mengisahkan tingkah laku manusia dalam setiap karakter
tokoh yang saya buat. Semacam tuhan kecil. Mungkin itu juga bentuk kepuasan.
Memang nonfiksi dan fiksi berbeda, tapi dari segi kerangka tulisan itu hampir
mirip, kok.
* Apa tantangan
terbesar kamu berkarir sebagai penulis?
Tantangan terbesar saya
adalah berusaha meyakinkan keluarga saya kalau dengan menulis kita juga bisa
kaya, ha ha ha...J Mungkin jawaban idealnya ialah bagaimana membuat tulisan
yang laku dijual, dibaca maupun dibicarakan banyak orang, fenomenal, dan abadi
dikenang orang, contohnya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, yang hingga kini
masih dicari orang itu.
* Bisa ceritakan
cara kamu menggarap atau menyelesaikan sebuah tulisan, baik pendek ataupun
panjang (berupa buku, misalnya)?
Hmmm…sebentar saya
menyulut rokok dulu.:D
Cara saya menggarap
tulisan ya dengan membaca, mewawancarai narasumber, melihat peristiwanya, atau
mengimajinasikannya sendiri. Buku saya Sandiwara dan Perang (2009) dan Hiburan
Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2011) itu nonfiksi. Data-datanya saya dapatkan
dari hasil membaca, mewawancarai narasumber, atau terjun melihat peristiwanya.
Saya ambil contoh artikel soal seni gotong domba di Jatinangor. Artikel ini
dipublikasikan Kompas Jawa Barat dan saya masukkan ke dalam Hiburan
Masa Lalu dan Tradisi Lokal. Ketika ingin menulisnya, saya merangkum segala
informasinya dari Internet sebagai studi awal. Lalu saya menghubungi seorang
kawan yang kebetulan pernah bersinggungan dengan kesenian rakyat ini. Dari dia,
saya memperoleh orang-orang yang bersinggungan langsung dengan seni tradisi
tadi. Saya lakukan wawancara, membaca, dan melihatnya langsung. Dari sana semua
data saya kumpulkan dan saya bahasakan dalam tulisan, runut secara kronologis.
Untuk nonfiksi, saya cukup mengambil realitas sekitar lingkungan saya. Misalnya,
fenomena sarjana pengangguran. Itu kan banyak ya di negeri kita yang katanya
makmur, sejahtera, aman-tenteram bla bla bla ini. Lalu, saya benturkan dengan
keadaan beberapa kawan. Saya lihat juga para pekerja “aneh”, misalnya tukang
parkir. Saya imajinasikan. Kemudian, saya tuangkan dalam tulisan. Jadilah
cerpen "Kepura-puraan", kisah tentang seorang sarjana cerdas yang
akhirnya harus mengadu nasib menjadi seorang tukang parkir di depan sebuah
warnet, sementara kawan-kawannya sudah menjadi karyawan kantoran bonafide.
Kalau berupa buku, ya tinggal kumpulkan data saja, lalu menulis. Gitu.
* Selain alasan
order dan penghasilan, kondisi apa yang bisa membuat kamu langsung tergerak
menulis?
Insting dan sifat
melankolik saya he he he. Misalnya, kalau saya melihat pengemis yang
menggendong seorang anak di lampu merah perempatan jalan, saya langsung ingin
menuliskan prototipe pengemis itu ke dalam cerita pendek. Atau, saya terkadang
melihat fenomena seni tradisi yang ada di sekitar kita, tapi jarang yang
mengangkatnya. Misalnya, kenapa sekarang seni tradisi, semacam ondel-ondel atau
kuda lumping berkeliling di pinggiran jalan raya dan mereka seperti terjebak ke
dalam lubang “meminta-minta”. Apa tak ada lahan berkreasi? Ya, seperti itulah.
Di dunia penulisan,
hadir penulis-penulis yang berasal dari dunia maya. Mereka yang awalnya iseng
nge-blog atau berkicau di Twitter, mendadak jadi penulis top. Walaupun akhirnya
konsistensi mereka dalam dunia menulis patut dipertanyakan. Sebab, yang seperti
itu terkadang musiman. Muncul lalu hilang. Tapi, ya bagus juga. Semakin banyak
penulis baru, semakin seru. Setiap orang punya rezeki masing-masing, kok.J
Penerbitan di Indonesia
sekarang kecenderungannya semakin marak penerbit indie, atau hadir penerbit
kecil yang karyawannya cuma dia seorang (dia ngedit, membuat layout, bikin
desain cover, di marketing, dia promosi, segala dia...) dan nongkrong di situs
gratis, macam Blogspot atau Wordpress. Memang, membuat penerbit itu gampang
banget sih, cuma yang saya pertanyakan moralitas ketika sudah menjadi publisher.
Tanggung jawab moral itu yang berat. Kita bertanggung jawab pada pembaca dan
penulis sekaligus.
Penerbit besar pun
sekarang banyak yang menawarkan jasa “indie” atau “print on demand” (POD). Saya
bersama beberapa teman juga sedang mengembangkan konsep penerbitan sistem POD
ini. Tentu kami menyiapkan konsep tidak asal-asalan, karena kami berpikir soal
moralitas sebagai penerbitan tadi. Maraknya penerbit indie, POD, atau penerbit
tunggal (penerbit satu orang melakukan banyak hal he he he) di satu sisi memang
memudahkan penulis untuk menerbitkan karya mereka, walaupun harus membayar
ongkos untuk edit, layout, dan lain-lain. Namun, di sisi lain, ini menjadikan
penulis terbiasa “dimanja”. Dengan adanya penerbit-penerbit ini penulis jadi
cenderung tidak mau belajar memperbaiki kualitas dan ide tulisannya. Asal
dompet tebel, mereka mudah saja terbat-terbit karya, kan?
* Terakhir, apa
target tertentu kamu di tahun 2013 ini?
Target saya tahun ini
novel saya yang ditolak penerbit-penerbit besar bisa terbit. Sebetulnya novel
ini pernah terbit oleh sebuah publishing kecil, tapi lantaran kecewa dengan
hasil cetak, sistem royalti, dan pemasarannya, saya tarik lagi. Lalu, saya
ingin kembali produktif lagi kayak dulu, menulis artikel, cerpen, buku, dan
lain-lain, sewaktu saya bekerja “tanpa kantor”. Bekerja di sebuah perusahaan
media atau penerbit besar juga impian saya di tahun ini. Saya juga ingin sekali
melanjutkan studi S2 bidang jurnalistik atau cultural studies. Amin.
Bibliografi
Fandy Hutari
1. Sandiwara dan Perang; Politisasi
Terhadap Aktivitas Sandiwara Modern Masa Jepang (Penerbit Ombak, 2009)
2. Ingatan Dodol; Sebuah Catatan
Konyol (Insist Media Utama, 2010)
3. Hiburan Masa Lalu dan Tradisi
Lokal; Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia (Insist Press,
2011)
4. Menulis di Media Massa, Why Not?! (e-book) http://www.pustaka-ebook.com
5. Be, Strong Indonesia (edisi 4
antologi cerpen) (writer4indonesia, 2010)
6. Manusia dalam Gelas Plastik
(Indie Book Corner, 2012)
Link terkait: