Terjun ke Jantung Budaya Bangsa Sendiri
Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal: Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia
Penulis: Fandy Hutari
Penerbit: INSIST Press, 2011
Tebal: xiv + 164 hal.
ISBN: 602-8384-44-5
Harga: Rp.40.000,-
BAGAIMANA cara leluhur bangsa kita mencari hiburan? Seperti apa bentuknya? Di zaman feodal dan penjajahan, masih adakah peluang untuk mengisi waktu senggang dan keinginan bersenang-senang? Apa kelakuan mereka pun ada yang sudah sama-sama dekaden dibandingkan para hedonis zaman sekarang? Apa mereka suka nongkrong di pasar sambil minum tuak atau beras kencur, berduyun-duyun ke festival kuda lumping, pamer keris dan konde, ke bioskop berbekal sirop dan pecel, barangkali?
Begitulah kepenasaran yang muncul saat membuka buku ini.
Ensiklopedis, Kaya Sejarah
Fandy Hutari memanfaatkan kumpulan esai sehingga menjadi buku yang ensiklopedis dan kaya isi. Buku ini mayoritas mengungkap berbagai topik budaya dan seni. Dia penuh telisik, bersikeras mengentaskan dan memaparkan berbagai subjek langka---bahkan nyaris terlupakan---dengan rasa kepenasaran sebagai anak muda yang cinta dan bangga terhadap kekayaan maupun keagungan budaya nenek moyang kita.
Sikap dan upaya Fandy patut dihargai. Kita akan salut dan terharu atas upaya dia menyadarkan profil bangsa Indonesia lewat sejarah dan khazanah budaya. Inilah sesungguhnya diri kita. Sayang kita kerap buta akan hal itu.
Di zaman ketika banyak sekali anak muda kita begitu berhasrat mengetahui dunia luar, melakukan avonturisme dan travelling ke tempat-tempat jauh, terkesan snob dengan berbagai hal berbau luar negeri, takjub dan ternganga akan peradaban asing, bahkan sampai mengakibatkan rasa inferioritas, Fandy justru menempuh perjalanan ke dalam diri sendiri, terjun ke jantungnya, menelusup ke berbagai unsur interiornya, dan menemukan banyak hal dari sana. Di buku ini kita akan merasakan betapa perjalanan yang paling sulit justru masuk ke dalam diri sendiri.
Coba siapa yang mau lebih peduli terhadap khazanah budaya seperti rengkong, sintren, obrog, kuda renggong, sadran, dan reog, kecuali kita sendiri? Apalagi terhadap kesenian maupun hiburan rakyat yang kerap dianggap norak, rendahan, dan terabaikan seperti tari yang sangat lokal, permainan gasing, panjat pinang, juga gotong domba dan topeng monyet? Dari mana semua itu berasal, apa yang dikerjakan para pelakunya, bagaimana ia perlahan-lahan berkembang menjadi identitas suatu daerah?
Fandy menganalisis apa fungsi hiburan-hiburan itu bagi masyarakat secara keseluruhan. Dia berusaha menyampaikan secara personal, kalau perlu langsung mengunjungi tempat dan mengenal pelakunya, menegaskan bahwa budaya itu masih hidup dan terus dipraktikkan. Di tempat seperti itu hiburan kerap merupakan adonan antara estetika, religiositas, mistisisme, dan spiritualitas. Namun ada saatnya seniman dan intelektual dahulu juga memanfaatkan hiburan sebagai muslihat untuk menyampaikan ide mengenai kemerdekaan dan nilai universalisme.
Paspor untuk Membuat Karya Lebih Besar
Menimbang antusiasme dan kemampuan penulis dalam menerangkan berbagai entri di buku ini, terbayang alangkah hebat bila Fandy mendapat kesempatan atau komisi untuk menulis ensiklopedia maupun buku referensial tentang kekayaan seni dan budaya Indonesia, terutama terkait suatu daerah tertentu. Buku ini merupakan paspor dia untuk membuat karya yang lebih besar.
Sifat ensiklopedis memang membuat buku ini seperti tanpa benang merah. Ibarat rumah, ia memuat banyak hal, namun kepaduannya agak rendah. Di bagian awal buku ini kita bisa mendapat wawasan dan opini mulai dari soal dinamika kelompok sandiwara (baik berbasis tradisional maupun teater modern) dan awal tumbuhnya industri film Indonesia di zaman pra-kemerdekaan, khazanah budaya, kesenian, sekaligus hiburan lokal; sementara di beberapa bab bagian akhir dia menyajikan sejumlah profil seniman, komikus, penulis, maupun pejuang sosial. Untuk memaksimalkan kualitas, Fandy membuat bukunya kaya sejarah dan temuan. Contoh, ternyata budaya Sunda pun punya reog, meski bentuknya sangat berbeda dengan yang ada di Jawa Timur.
Satu-satunya yang patut disayangkan dari buku ini ialah kualitas cetak ilustrasi yang menyedihkan. Ilustrasi yang bertebaran nyaris di setiap halaman, bahkan sebagian di antaranya mungkin sangat langka karena saking tua, banyak yang tampak buram, pecah-pecah, bahkan cuma terlihat seperti goresan arang. Untuk detil kebaya dan batik yang butuh bantuan visual tajam, kekurangan itu jadi sangat memprihatinkan. Rupanya kualitas cetakan penerbit Jogja tidak membaik dari satu dekade lalu!
Jangankan peminat sejarah, budaya, dan sosial secara umum, semua yang mengaku sebagai orang Indonesia sepantasnya tahu dan mendalami jati diri kita dari buku ini.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010), blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
2 comments:
link artikel terlansir ke: http://blog.insist.or.id/insistpress/archives/821
update arsip lansiran rehal buku: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=13341&lang=id
Post a Comment