Sastra
dan Propaganda Agama (Islam)
---Anwar
Holid
Islam
kerap dicap sebagai agama yang ekspansif. Anggapan ini bisa jadi muncul mulai
dari aktivitas dakwah yang memang terlihat ekstensif, beragam lembaga dakwah,
banyaknya khatib (pengkhotbah, penceramah, ustad), sampai penilaian sumir
terkait konspirasi terorisme dan kekerasan agama. Di Indonesia, ada banyak
penerbit maupun perusahaan media massa yang mengkhususkan diri bergelut di
pasar umat Islam, hingga muncul istilah "penerbit Islam." Istilah ini
sebenarnya berlebihan, mengingat mereka pun suka menerbitkan buku non-Islam,
bahkan tak segan menyerobot ceruk pasar "penerbit umum." Kasarnya,
demi profit hajar saja.
Di sisi
lain sayangnya buku-buku Islam juga kerap dianggap sebelah mata, kurang memberi
sumbangan berarti bagi kemajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Anggapan
ini makin terASA di ranah fiksi atau sastra umum. Karya yang berafiliasi dengan
"sastra Islam" dianggap minor dibandingkan sastra umum, entah itu
karya penulis Muslim maupun bukan. Adakah buku "sastra Islam" karya
penulis Indonesia yang berusaha diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau
Arab, misalnya? Itu merupakan tanda yang cukup jelas bahwa karya tersebut
dianggap sepele.
Setelah
pada dekade 2000-2010 dianggap mencapai puncak karena secara massif menelurkan
beragam jenis karya dan mencetak bestseller, pasar sastra Islam mengalami masa
surut. Ini tampak dari banyaknya penulis yang mengalami penolakan penerbit
akibat stagnannya pasar sastra Islam, sementara penerbit seperti As-Syaamil dan Lingkar
Pena Publishing House tutup buku, beralih rupa sebagai penerbit baru dengan pencitraan dan strategi baru
pula.
Beruntung,
dekade berikutnya memperlihatkan tanda kebangkitan . Pasar tampak bergairah
kembali, terutama berkat karya yang bersumber dari kisah nyata atau berupa novelisasi dari kehidupan
tokoh Islam. Pengikat
Surga
(Hisani Bent Soe) dan Sang Pencerah (Akmal Nasery Basral) membuktikan gejala itu. Salamadani, sebuah penerbit
berbasis di Bandung, tampak aktif mengisi peluang ini dengan menerbitkan Sang Pemusar
Gelombang (M. Irfan Hidayatullah) dan dikabarkan
sebentar lagi menerbitkan novel berdasarkan kisah kehidupan Buya Hamka karya Akmal Nasery Basral.
Tanda-tanda
tersebut seperti teramini ketika ada seorang editor memberi kabar bahwa
penerbit Islam sekarang sudah tidak terlalu berharap agar buku fiksi
terbitannya bisa mengungguli kesuksesan Ayat-Ayat Cinta (Habiburrahman
El-Shirazy, 2003). Pernyataan ini tampaknya menjadi
isyarat (harus) ada sesuatu yang baru dan berubah dalam pasar buku bertema
keislaman. Karena itu mungkin wajar bila dalam dua tahun terakhir (2010-12)
bisa kita lihat sekilas buku best seller bertema Islam antara lain berjudul Terapi Berpikir Positif dan Tuhan Tolong Aku.
Yang pertama buku motivasional a la Islam, kedua buku memoar seorang anonim.
Membaca kecenderungan itu
barangkali kita bisa menilik tiga hal:
1/ Barangkali ini tanda bahwa
pembaca (pangsa pasar) membutuhkan karya yang lebih segar selain fiksi
melodramatik setipe Ayat-Ayat Cinta. Saya mendapati penulis yang mampu
menelusupkan nilai Islam secara halus dan implisit (nonverbal) ke dalam
karyanya berpeluang memberi angin segar, bahkan bisa diterima khalayak yang
lebih luas. Di sinilah massa seakan-akan butuh dan terus menanti penulis yang
lebih luwes dan pandai menyihir cerita agar isinya tetap bisa membawa spirit
dan nilai Islam, dibarengi cara bertutur atau pengolahan gaya baru yang
memikat. Ini jelas formula abstrak yang hanya bisa dirasakan atau
dikonfirmasikan kepada pembaca, tapi biasanya penerbit atau penulis bisa
memberi kisi-kisi seperti apa gejala atau ciri cerita yang tengah disukai
pembaca. Topik Mulyana berusaha melakukan hal itu dalam Melepas Dahaga dengan
Cawan Tua. Buku tipis ini merupakan upaya revitalisasi kisah klasik Islam
agar cocok menjadi urban legend (cerita yang beredar luas di masyarakat
dan dianggap sebagai kenyataan) bagi masyarakat kota yang kosmopolit dan
terbuka.
Menariknya,
M. Irfan Hidayatullah---sebagai pelaku sastra dakwah dan orang dalam Forum
Lingkar Pena---menyatakan bahwa banyak penulis fiksi Islam karena dipengaruhi
latar belakang pendidikan maupun lingkungan, justru sengaja membuat karya yang
eksplisit mensyiarkan Islam, menjadikannya sebagai media public relation
agama. Ini terjadi bukan tanpa alasan. Situasi sosial-politik pun sudah
berubah. Ini pula yang membuat istilah sastra dakwah muncul menggantikan
berbagai istilah terkesan eufemistik mulai dari sastra profetik, sastra
religius, dan sastra sufistik dari penulis Islam zaman Orde Baru. Irfan
tampaknya bahkan bisa menerima bila sastra dakwah disebut juga sebagai sastra
propaganda Islam. Memang ada ceruk pasar di situ, misalnya kalangan aktivis
Islam dan golongan keluarga mampu yang memiliki gaya hidup Islami.
Umat
Islam pasca-Reformasi berani dan bebas secara terang-terangan (jujur) bisa
mengungkapkan seluruh identitasnya tanpa perlu kuatir diancam oleh otoritas
negara. Mereka juga membutuhkan bacaaan Islami yang eksplisit.
Maka,
sebagai eksponen pionir sastra dakwah yang awalnya "menghaluskan"
pesan Islam lewat metafora dan bahasa bersayap yang bahkan kadang-kadang sulit
dimengerti pembaca, kini Irfan justru bereksperimen menyampaikan pesan Islam
lewat gelombang aktivitas gerakan Islam secara jelas dan tegas. Dia ingin
merasakan seperti apa rasanya gemuruh dan dinamika aktivis Islam yang
bersinggungan dengan tekanan politik, pertarungan ideologi, gerakan dakwah
bawah tanah, dan kegelisahan spiritual masyarakat urban mencari jalan terang.
Dari
pemikiran dan kerja keras itulah lahir novel Sang Pemusar
Gelombang. Novel ini secara murni masih memperlihatkan kekhasan fiksi Islam dalam
arti tradisional, misalnya penggunaan kosakata beserta adopsi gaya hidup dari
Arab, dan mempertentangkannya dengan hedonisme maupun praktik yang dilarang
agama. Namun yang paling menarik ialah upayanya memadukan dinamika sejarah
Islam dengan realitas kehidupan masa kini para tokohnya. Pola ini patut
mendapat sorotan pembaca, apakah upaya penulis telah berhasil mulus atau masih
seperti tempelan yang terkesan dipaksakan?
2/ Saya
mendapati dalam dua tahun terakhir terbit banyak buku motivasional sederhana
yang sumber naskahnya dari tweets, blog, atau notes Facebook. Subjeknya
maca-macam, mulai dari self-help/pengembangan diri, entrepreneurship,
fiksi, sampai humor. Lepas dari kritik atas kualitas maupun kedalaman dari
naskah seperti itu, penerbit bisa memanfaatkan penulis baru yang mengasah
kemampuan menulisnya di Internet. Mungkin penerbit Islam bisa mengolah
sumber-sumber literatur dunia Islam yang sangat kaya dengan cara segar, sesuai
bahasa dan kebutuhan masyarakat kini. Penerbit bisa mengincar penulis yang
memiliki banyak fans, baik itu di Twitter, Facebook, blog, ataupun forum
komunitas online. Minimal dari sana penerbit bisa mengukur kira-kira seberapa
besar nilai jualnya. Sejumlah penerbit besar malah sudah mengambil langkah
tersebut.
3/
Mencari tema-tema baru yang barangkali belum tereksplor atau menjajal genre
yang mulai mendapat tempat di hati pembaca, seperti memoar yang lebih sensitif,
berani, bahkan bisa jadi memicu kontroversi. Dari sini kita akan bisa melihat
seperti apa usaha atau tindakan umat Muslim dalam mencari solusi atas isu-isu
ekstrem kontemporer, bangkit dari keterpurukan, mencari jalan terang ketika
galau dihajar badai kehidupan, atau bingung oleh arus kehidupan. Contoh isu
ekstrem kontemporer dalam dunia Islam misalnya seorang Muslim berani mengaku
gay/lesbian, tetap bangga atas identitas itu, dan mengampanyekan agar mayoritas
umat Islam toleran terhadap pilihan itu.
Tema-tema
tradisional Islam sejauh ini terbukti tetap laku, apa lagi bila secara
mengesankan diramu dengan kisah cinta, pendidikan, maupun perjuangan dari zero
to hero. Sangkala Lima (Langlang Randhawa) di satu sisi secara jelas
memperlihatkan gabungan teknik bercerita a la Laskar Pelangi dengan
spirit Negeri 5 Menara, tapi di sisi lain berani mengangkat isu sensitif, mulai
dari pacaran, konversi non-Muslim masuk Islam, aliran Ahmadiyah, termasuk
sedikit menyerempet LGBT (Lesbian Gay Bisexual Transgender). Bisa jadi
ini tanda "kemajuan" terhadap berbagai fenomena yang muncul dalam
Islam, meski nanti di karya ke depan harus dibarengi dengan kematangan dan
kekhasan menemukan cara bertutur yang lebih menarik.
Akhirul
kalam, terutama sebagai pembaca dan orang yang hidup dalam industri buku, saya
sendiri terus berharap penulis yang berkomitmen atau berafiliasi dengan Islam
terus melatih untuk mematangkan kemampuan menulisnya. Seperti dalam khotbah,
nasihat ini pertama-tama ditujukan untuk diri saya sendiri agar lebih baik
menulis; baru setelah itu saya berharap mendapat permata dan manfaat setiap
kali bersinggungan dengan buku bertema Islam, apa pun jenisnya.[]
Anwar
Holid
Editor,
penulis, publisis
Blog:
http://halamanganjil.blogspot.com
Twitter:
@anwarholid
No comments:
Post a Comment