Budi & Rani (ki-ka) menikah. Foto dari Internet. |
Celebrate the Difference!
--Septina FerniatiMalam minggu 16 November kemarin konon adalah hari toleransi sedunia. Saat itulah kedua teman saya menikah. Yang satu etnis Tionghoa dan satunya Jawa. Banyak perbedaan nyata di antara keduanya. Tetapi kelihatannya mereka bergeming dan tetap yakin dengan cinta mereka. Setidaknya itulah yang dikatakan mempelai lelaki ketika memberi pidato sambutan. Saya dan orang-orang yang hadir pun bisa merasakan, memang cinta memenuhi udara malam itu.
Belakangan saya serius menghayati perbedaan. Sebabnya karena keluarga saya pun sedang belajar toleransi. Salah seorang kakak saya menikah dengan seorang Skotlandia yang berbeda segala. Dan mereka sudah punya dua anak. Keberadaan mereka menjadi pelajaran berharga untuk kami semua, karena mereka tetap saling mencinta meski tentangan dan prasangka disuarakan oleh seluruh keluarga. Kakak saya sangat mencintai keluarga kecilnya. Kami semua melihat binar cinta di matanya untuk mereka. Mana tega Ibu saya bilang soal syariat kalau sudah begitu. Meski berat penyesuaian di masa-masa awal, dalam hati saya yakin Tuhan Maha Cerdas dan tahu hal-hal semacam itu takkan membatasi apa pun.
Saya pernah punya sahabat Tionghoa yang meninggal karena lupus. Dia seorang Kristen yang saleh. Kami kadang bertengkar, tapi lebih sering berdamai. Menjelang kematiannya dia terus ingat menelepon dan bicara dengan saya. Dengan terbata-bata karena semakin susah bicara dia bilang, “Tolong doain gue ya…” Atau, “Gue harap bisa cepet melewati ini semua. Sakit banget…” Saat kematiannya saya menangis seperti anak kecil. Memang tidak mudah berteman dengannya. Ada-ada saja peristiwa mengesalkan kalau sifat perfeksionisnya muncul. Tapi begitu dia tiada, ada yang juga hilang dari hati saya.
Dulu pernah ada Sentot dan Seno. Kami sering main Superman sama-sama. Dari tempat tinggi kami biasa main terbang-terbangan. Keluarga mereka punya salib besar dari kayu yang dipasang di ruang keluarga di atas televisi. Saya suka mengamati.
“Itu Yesus yang dipalang untuk menebus dosa manusia,” kata Sentot suatu hari.
“Boleh gak aku pinjem?”
“Salibnya?”
Aku mengangguk.
“Gak boleh. Kamu bakal dimarahin Ibu kamu. Lagian kata mamaku susah cari salib sebagus itu.”
Dan ibuku memang marah ketika kusampaikan keinginanku atas salib itu. Beliau bilang aku seorang Muslim, dan seorang Muslim punya tata cara berbeda dalam menjalankan keyakinannya. Ibu juga bilang, “Semua agama mengajarkan doa dan persahabatan. Makanya kamu boleh main dan dekat dengan siapapun, walaupun berbeda. Karena doa dan persahabatan mah sama saja di agama manapun.”
Setelah mereka, ada Hiskia dan Lia. Kami sering makan di atas satu piring yang sama. Kami gembira kalau Lebaran dan Natal tiba. Hiskia bahkan suka ikut puasa saat Ramadan. Katanya, “Nemenin, biar kamu seneng!” Hiskia menjadi sahabat saya beberapa tahun lamanya. Sampai orang-orang heran dan takjub. Kami memang teramat akrab. Sampai-sampai saat natal pun keluarga Hiskia tak pernah alpa memberi saya hadiah, seolah saya bagian dari keluarga mereka.
Menjelang Natal, biasanya ada satu kali acara makan besar di rumahnya. Bu Sitepu ibunya Hiskia selalu meminta saya bersiap agar ikut acara itu. Ritualnya begini: saya dan Hiskia juga Lia bersama undangan yang hadir berdiri mengantri menuju meja makan yang sangat besar. Bu Sitepu sibuk mempersilakan semua tamu menyantap hidangan. Padaku Bu Sitepu suka bilang, “Nah, kamu gak boleh makan yang ini ya. Pokoknya big no!” Tangan Bu Sitepu teracung tegas. “Yang lain silakan. Tante masak di kuali yang berbeda. Jadi kamu bisa makan dengan aman.”
Dan beberapa kali menginap di rumah mereka membuat saya tahu kebiasaan berdoa mereka. Sebelum makan, sebelum tidur, mereka selalu berdoa dengan kedua tangan terkatup di depan dada dan mata tertutup juga kepala menunduk. Doanya selalu diawali dengan, “Ya Tuhan, kami mohon perlindungan-Mu…” Bawah sadar saya merekam peristiwa itu. Sampai hari ini saya suka berdoa seperti mereka berdoa. Dengan kedua tangan terbuka dan kepala tertunduk saya mengawali doa saya dengan berucap, “Ya Tuhan Allah Ta’ala, aku mohon perlindungan-Mu…” Dengan bahasa yang saya kuasai saya malah merasa doa jadi hidup dan bermakna.
Foto dari Internet. |
Saya kenal banyak doa dalam bahasa Arab. Tapi saya paksakan diri untuk tahu arti dan maknanya, agar doa itu terasa mengalir. Kalau saya mengerti doa yang saya suarakan, semua jadi terasa pas.Meski sempat susah memikirkan anaknya yang menikah di Australia sana, Ibu tetap berbaik sangka. Dia tak pernah marah ataupun menyesali semua. Buatnya bila kakak dan suaminya bahagia dan bisa terus saling mencintai dan menghargai, itu sudah sangat melegakan.
Saya bisa membayangkan berkecamuknya perasaan Ibu. Dalam diri kami mengalir darah Banten yang selalu dikait-kaitkan dengan kuatnya keyakinan. Jadi sudah pasti takkan mudah baginya menerima perbedaan baru dalam keluarga besar kami. Saya belajar menguatkannya. Suka saya ingatkan lagi kata-katanya dulu; bahwa doa dan persahabatan (cinta) sama saja di keyakinan apa pun. Dan perbuatan menjadi tolok ukur semua. Saya ingat Nabi berkata, “Yang paling beriman di antara kamu (kaum Muslimin/kaum yang berserah) adalah yang paling menjaga etikanya.”
Karenanya saya yakin memang akhlak/perbuatan adalah tolok ukur semua. Bukan selainnya. Kalau ada yang bilang keyakinan adalah inti dari segala, hidup akan sangat sempit. Dan kita takkan pernah belajar lagi karena sudah merasa paling benar. Padahal keberbedaan setidaknya menunjukkan kuasa Tuhan yang Maha Welas Asih. Dia Pencipta segala. Dan Dia Tak Berbatas. Dia juga Maha Cerdas. Sedikit banyak saya agak yakin Dia juga punya rasa humor yang menarik.
Bagi saya Tuhan Allah Ta’ala tidak sekaku yang pernah saya bayangkan. Tuhan sangat mengalir, penuh cinta dan kasih sayang. Dia juga suka melucu dan senang memberi kejutan. Dia mencintai orang-orang yang saling mencinta karena-Nya.
Kelak kalau ada ujian dahsyat menimpa, semoga tidak terbersit di hati kedua teman saya tadi bahwa cinta punya expired date atau masa kedaluarsa.
Selain mengaminkan doa yang dipanjatkan di tengah ruangan resepsi, saya juga berdoa, “Ya Allah, biarkan cinta meneguhkan kami semua. For good…”[]
Septina Ferniati, guru mengajar di AKSARA, Masjid Salman-ITB, Bandung.