--Agus Kurniawan
Saya dan anak-anak menggemari novel J.R.R. Tolkien. Sejak mengenalkan karyanya kepada dua anak saya--Putri (13 th.) dan Faiza (9 th.), mereka kerap berlomba mengasosiasikan imaji Tolkien terhadap tanah kelahiran mereka sendiri, Bandung Selatan. "Ayah, kita sedang di Shire, ya," teriak girang Faiza ketika kami merambahi perbukitan eksotik Naringgul di perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur Selatan, yang dihampari oleh permadani hijau kebun teh dan goresan kelak-kelok jalan tembus ke Pantai Jayanti. Di mata Faiza, bisa jadi orang-orang Naringgul yang ke luar dari pemukiman perkebunan itu dianggap seolah para Hobbit yang lagi berhamburan dari rumah-rumah pendam mereka. "Awas, kita memasuki hutan Fangorn. Tuh, pohon-pohon sedang saling bicara. Balik yuk ah, takut!" kata Putri ketika kami mulai memasuki gerbang hutan tersisa, yang memang bikin merinding. Maaf, Anda tak boleh protes. Dalam semesta subjektivitas, kita memang memiliki otonomi penuh untuk berandai-andai.
Konon masa kecil Tolkien terbilang manis. Dia tinggal di Sarehole, pedesaan di pinggiran kota Birmingham. Sekalipun jaraknya tak jauh, Sarehole dan Birmingham amat berlainan. Ketika itu awal abad ke-20, Inggris sedang gegap terpapar industrialisasi. Tak terkecuali Birmingham, kota industri besar di sisi barat daratan. Tetapi anehnya, Sarehole tak terimbas. Inilah sedikit dari pedesaan tua yang masih kebal. Di sana terpajang keelokan surga lawas: padang hijau, hutan kecil, sungai bening, dan jembatan batu. Juga tempat penggilingan kuno--sekarang jadi museum--dan rawa-rawa. Begitu terpana Tolkien pada masa lalunya hingga mengabadikan keagungan itu ke dalam sebuah desa imajiner: Shire.
Birmingham, atau tepatnya industrialisasi, selalu tampak buruk di mata Tolkien--ini kelak melahirkan para kritikus fanatik terhadap karya-karyanya. National Geographic mencoba mewakili kemurungan sang sastrawan itu dengan paragraf, "Produk-produk kerajinan dari kota-kota kecil tersapu oleh badai mekanisasi. Tekstil, galangan kapal, besi, dan baja, mengangkangi tanah Inggris sebagai industri strategis baru. Orang-orang berduyun-duyun menyesaki kota, beralih profesi menjadi buruh, dalam jumlah yang semakin berlipat-lipat. Batubara menghidupi pabrik-pabrik itu, tetapi sekaligus juga meracuni udara dengan jelaga pekat dan mewariskan lubang-lubang menganga bekas penambangan di seluruh negeri."
Tolkien melukiskan kegamangannya dengan cara lebih satir. Kutukan industrialisasi itu dalam imajinasi Tolkien adalah Isengard. Dipelopori oleh Saruman, penyihir paling sakti tapi khianat, Isengard bertiwikrama dari tanah indah menjadi "kota" bengis. Tak lagi dihuni oleh manusia, tetapi oleh para orc, monster tak berakal budi, yang hanya tahu sedikit hal: bekerja bagai mesin, patuh bak zombiE, dan menghancurkan layaknya iblis. Para monster itu tiap hari menebangi hutan dan menggali lubang-lubang menganga di dalam tanah demi satu tujuan, yakni menciptakan prajurit-prajurit tempur.
Memang, kerusakan alam bukanlah trauma utama Tolkien. Perang lebih menakutkannya. Ketika itu Perang Dunia I, usia Tolkien baru awal 20-an, dan lebih lagi dia masih pengantin baru. Menjadi seorang letnan dalam legiun Inggris, Tolkien menyaksikan manusia-manusia setengah hidup yang berjudi nyawa di parit-parit pertahanan di sepanjang kota Paris. Diiringi desingan artileri, para prajurit itu selama berbulan-bulan hidup di dalam kubangan lumpur, menyatu dengan mayat busuk. Begitu mengerikannya kondisi mereka hingga tak lagi mirip manusia. Tolkien mengasosiasikan para prajurit itu sebagai barisan tentara orc. Mereka merayap dari kedalaman bumi, untuk membunuh dan menghancurkan.
*****
Saya tinggal di pinggiran Bandung Selatan, kota kecamatan yang sepanjang jalannya dipenuhi industri. Pada saat-saat tertentu--misalnya pagi hari, halaman atau lantai luar rumah akan terlapisi samar-samar oleh bebutiran mirip bubuk kopi. Warnanya memang seperti kopi. Hitam, tetapi bau. Itulah sisa pembakaran batubara dari pabrik-pabrik. Cerobongnya menjulang; anak saya menyebutnya sebagai Menara Isengard. Sungai di belakang kampung pun senasib. Tahun 80-an sungai itu berair bening layaknya pegunungan. Penduduk memanfaatkannya sebagai sarana mandi dan mencuci, selain untuk pengairan. Anda boleh juga membayangkannya sebagai Rivendell, keraton para peri dalam dongeng Tolkien, yang dihiasi oleh anak-anak sungai berkilauan. Tetapi naasnya kini pabrik-pabrik di kampung saya gencar mewarnainya. Kadang biru, kadang bersemu merah, kadang kekuningan. Kusam karena berbaur lumpur. Mereka setiap hari menggelontorkan berkubik-kubik limbah pewarna--tanpa diolah--ke sungai, lalu membumbuinya dengan aroma menyengat. Saya sering menggoda anak saya, "Put, jangan-jangan pemerintah yang mengizinkan terjadinya pencemaran akut ini adalah Saruman?"
Tolkien pernah sekali bercerita tentang banjir. Dalam The Silmarillion, dia bertutur tentang Numenor, koloni makmur ras manusia di tengah lautan. Sayang rajanya kemaruk, menginginkan hidup kekal dengan cara mengakuisisi keabadian dari seorang dewa bernama Valar. Kemarahan Valar ternyata mengerikan, mereformasi bentuk bumi menjadi datar. Akibatnya air laut tumpah, menenggelamkan seluruh dataran Numenor. Para kritikus menganggap ini sebagai alegori kisah Nabi Nuh ataupun Atlantis, tapi Tolkien menampiknya.
Berbeda dengan Numenor, Bandung Selatan tak hanya sekali terlibas banjir. Nestapa ini justru seolah abadi. Sepanjang tahun, ratusan pemukiman di bibir Citarum rutin terbilas. Ruas jalan utama penghubung antar kecamatan terendam, menyisakan tenda-tenda pengungsi di sisi jalan. Majalah Tempo beberapa bulan lalu mendokumentasikannya genangan air itu dalam foto-foto bernuansa coklat pekat seluas berhektar-hektar. Rumah-rumah penduduk--entah reyot atau mewah--mengapung di permukaaannya. Tragisnya, itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Tapi kini saya senang, konon tahun 2018 kejadian ini tak kan terulang. Menurut janji Wagub Jawa Barat Deddy Mizwar, sungai Citarum pada tahun itu akan kembali sebening Rivendell, dan penduduk Dayeuh Kolot, Baleendah, atau Bojongsoang bisa bernapas lega. Ya, semoga saja.
Pada usia remaja Tolkien merasa beruntung bisa berwisata ke Swiss. Dulangan kenangan tentang pegunungan Alpen yang mengendap selama bertahun-tahun akhirnya mengilhami sang sastrawan untuk menciptakan semesta fiktif, yang dia sebut legendarium. Rivendell (hunian para peri), Celebdril (tempat pertarungan sampyuh antara Gandalf dan Balrog--setan api), Anduin (sungai terpanjang dalam dongeng Dunia Tengah), Khazad-dum (kerajaan bawah tanah terbesar para Dwarf yang memiliki tangga tak berujung ke puncak gunung), juga Misty Mountains atau Hithaeglir (surga petualangan para Dwarf yang dijadikan tema soundtrack film The Hobbit) konon terinspirasi langsung oleh ekspedisi Tolkien tahun 1911 itu.
Saya ingin menularkan kegairahan Tolkien muda pada anak-anak saya, mengeksplorasi keindahan tanah kelahirannya sendiri, Bandung Selatan. Dataran bekas danau purba ini sesungguhnya tak kalah menginspirasi. Sekelilingnya berjajar barisan gunung dan hutan langka: Patuha, Tilu, Puntang, Malabar, Guntur, Papandayan. Bahkan tak kurang orang sekaliber Franz Wilhelm Junghuhn pun mengaguminya, dan menjadikan tempat ini sebagai tetirah. Kita bisa menyusuri hutan Puntang atau Patuha yang perawan, dan membayangkan diri sebagai Frodo atau Sam Gamgee menjelajahi The Old Forest. Atau kita bisa menyusuri hutan mati di lereng Papandayan agar bisa menikmati padang edelweis, seperti Bilbo Baggins dan para Dwarf menyibak Mirkwood.
Sungguh, saya tak mengharuskan anak-anak saya menciptakan legendarium sebagaimana Tolkien. Saya hanya berharap mereka belajar menghikmati alam, sembari berdoa agar gunung dan hutan-hutan ini tak segera dimakan zaman.[]
Foto dari Internet.
Silakan berteman dengan Agus Kurniawan di https://www.facebook.com/goeska.
No comments:
Post a Comment