Buku Islam yang Bagaimana?
--Anwar Holid
Islamic Book Fair (IBF) Maret 2009 padat sesak oleh pengunjung. Meski diselenggarakan sederhana dan ada kekurangan, pengunjung tetap antusias dan panitia tetap konsisten dengan nilai yang dibawa.
JAKARTA - Berkat keramahan teman-teman dari Penerbit Mizan, aku berkesempatan mengunjungi Islamic Book Fair (IBF) pada Minggu, 1 Maret 2009. Kami ke sana terutama untuk menyiapkan dan meliput talkshow The 7 Laws of Happiness for Muslim Family yang menghadirkan Arvan Pradiansyah dan Asma Nadia. Tiba di sana kira-kira pukul 14.00-an, jadi aku punya waktu mengelilingi istana olahraga yang disulap jadi ruang pamer dan jualan itu.
Jelas karena hari Minggu, pengunjung membludak banget. Rasanya bahkan lebih padat waktu terakhir aku datang ke sini, yaitu atas undangan Kompas, di acara Kompas-Gramedia Fair tahun 2007, persisnya di Pertemuan Peresensi Pustakaloka-Kompas pada Jumat, 4 Mei 2007.
Tapi aku sendiri kurang nyaman di tempat yang terlalu padat. Kesannya seperti pasar kaget di Gasibu tiap Minggu. Ramai sih, tapi pengorbanannya banyak. Kita nggak bisa lihat-lihat buku dengan nyaman atau memperhatikan sesuatu dengan baik.
"Gue pikir hanya mobil dan motor saja yang bisa macet, nggak tahunya orang juga bisa macet," begitu terdengar seseorang persis di depanku. Semua bagian di tempat itu penuh. Aku berkeliling, mengingat penerbit yang sengaja ingin aku datangi atau melihat hal menarik. Ternyata di bagian sayap kiri gedung itu bocor, jadi mengganggu pemandangan banget. Untung mengucur ke jalan/lorong, bukan ke stand--jadi tempat itu dihindari pengunjung.
Aku sudah lama berpendapat mestinya pameran dan bursa itu diadakan di tempat lebih nyaman, misalnya di JHCC atau di Sabuga kalau di Bandung. Tapi berbagai faktor dan kemampuan menghalangi mimpi seperti itu.
Penerbit Serambi agaknya tampil khusus karena mereka menggunakan momen ini untuk peringatan ulang tahun ke-10. Mereka menghias stand agak lain, jadi cukup mencolok. Salamadani mengeluarkan sejumlah buku baru yang cover-covernya memenangi lomba cover favorit di IBF kali ini. Mizan mengelilingi standnya dengan produk unggulan mereka. Mendisplay stand begitu rupa sampai yang terlihat hanyalah digital print cover berukuran besar, termasuk di antaranya tentu saja Maryamah Karpov karya Andrea Hirata. Beberapa penerbit yang kurang berafiliasi langsung dengan istilah "penerbit Islam" juga muncul, katakanlah kelompok Gagas Media, Erlangga, juga Panebar Swadaya. Ufuk Press dan Rajut Publishing sekilas aku anggap merupakan dua penerbit baru yang inovatif dan produknya mampu menarik perhatian. Mereka jelas menggeliat dan terus tumbuh.
Seeking Truth Finding Islam (Mizania, 2009), buku keduaku, juga sudah bersaing dengan ratusan buku lain di stand Mizan di blok buku baru, mencari perhatian agar dibuka dan dibeli. Subjek buku itu ialah tentang mualaf (convert ke Islam) dan kisah empat orang mualaf yang dianggap sebagai duta Islam di Barat. Mereka ialah Ingrid Mattson, Keith Ellison, Yusuf Islam, dan Hamza Yusuf. Aku sudah minta pada editor Mizan agar membicarakan topik seperti ini misalnya di masjid Laotze, Bandung.
Istilah Islamic Book Fair dan "penerbit Islam" buat aku sendiri terasa bermasalah, sebab ini menunjukkan kaum Islam yang sengaja memisahkan diri dari kebhinekaan Indonesia, meskipun jargon itu juga kurang konsisten dilaksanakan, selain terutama untuk kepentingan dagang. Tapi aku punya teman seorang editor Katolik yang bilang baik-baik saja dengan istilah dan acara itu, sekalian berharap suatu hari ada pameran lain buku yang segmented---minus misalnya pameran "adult book."
Bila Mizan sudah punya banyak imprint yang menerbitkan buku non-Islam, Serambi terkenal karena The Da Vinci Code, Erlangga memanfaatkan ceruk pasar Islam, GPU punya sejumlah produk khas yang didedikasikan buat kaum Muslim, atau penerbit Islam memanfaatkan isu-isu untuk menyerang keyakinan agama lain... apa lagi keistimewaan IBF ini dibandingkan pameran buku dan penerbit umum?
Di satu sisi sempit, terutama dari sudut keimanan, istilah "Islam" itu memang membedakan dari pihak lain, dan itulah yang digunakan untuk menjual segala produk di dalamnya, mulai dari kerudung, aksesoris shalat, ensiklopedia, vcd dakwah dan provokasi, seruan berjihad di Palestina, dan juga bank syariah. Maka di IBF ini aku melihat perempuan bercadar berseliweran, jauh lebih banyak dibanding pameran-pameran lain. Aku juga lihat kayaknya ada beberapa kelompok orang beramai-ramai pakai jaket PKS masuk ke sana, soalnya aku mudah melihat mereka ada di mana-mana.
Tapi Fanfan dari Promosi Mizan menolak prasangkaku. "Dilihat segi tampilan, visi, dan peserta, IBF cukup konsisten kok," tegasnya ketika kami ngobrol di belakang panggung. Panggung Utama misalnya, dari tahun ke tahun di set di tengah-tengah Istora sebagai pusat acara. Ini beda dengan Jakarta Book Fair yang lebih banyak mengadakan acara di lantai 2 atau malah di luar Istora dan KGF di ruang-ruang Kenanga. Fanfan juga menyatakan ketika IBF ini penerbit-penerbit kecil dengan komitmen keislaman kuat jadi terlihat muncul, ini berbeda ketika ada Jakarta Book Fair. Karena keterbatasan stand, penerbit seperti Mizan menyebar produk di berbagai tempat, termasuk di distributor dan toko buku. Taktik cerdas!
Karena produk pameran seperti ini tidak khas Islam, aku pernah usul lebih baik Islamic Book Fair (IBF) diganti jadi Religious Book Fair dan sejenisnya, biar bisa menampung keragaman dan keharmonisan umat beragama Indonesia. Tapi mungkin itu ide prematur dan tidak membanggakan.
Setelah keliling dan berdesak-desakan, secara kebetulan aku melihat dua kopi buku Menghampiri Islam karya Charles Le Gai Eaton (Serambi, 427 hal., 2005) di keranjang obral toko buku Gunung Agung--bukan di stand Serambi. Aku pilih yang lebih mulus--sekalipun terkecoh juga, sebab ada halaman berulang di dalamnya. Dulu aku pernah sengaja minta buku ini ke Serambi karena sudah out of print. Tapi Serambi juga kehabisan. Walhasil aku mendapat buku yang sudah sejak tahun 2006 aku idam-idamkan dengan harga Rp.29.000,- Aku kepincut ingin baca buku ini gara-gara cerita mas Siba waktu kami satu tim di Seuramo Teumuleh di Banda Aceh. Buku itu ialah terjemahan Islam and Destiny of Man yang dipuji-puji semua kritik dan selalu direkomendasikan bagi orang yang mau mengenal Islam itu apa. Charles Le Gai Eaton adalah seorang convert (mualaf) yang terkemuka di Eropa. Buku itu diawali kalimat menghentak: Agama adalah hal yang berbeda.
Itu juga yang membuat IBF tetap beda dari pameran lainnya.[]
ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid