Gawang Emosi yang Bobol
---Anwar Holid
Kesedihan utamaku setelah berumur tiga puluh delapan ialah ternyata penghasilanku masih jauh di bawah Rp.38.000.000,- per bulan. Rasanya baru kemarin aku baca gaji seorang pemain bola di English Premier League bisa mencapai lebih dari satu milyar rupiah per minggu. Seorang penyanyi seusiaku berani mematok harga tiket konsernya Rp.1.800.000,- per orang. Bayangkan pemasukannya ketika konser itu ditonton 38000 orang. Di lain waktu aku mendengar bahwa tarif bicara seseorang konsultan harganya Rp.78.000.000,- per jam, sampai membuat temanku malah tidak percaya ada pihak yang mau bayar senilai itu untuk mendengarkan kicauan atau berkonsultasi dengannya. Dia enggak tahu betapa para kompetitornya mencari akal untuk bisa menyaingi tarif itu, baik dengan menekan kolega seorganisasi dan kalau perlu menggunakan intelijen bisnis.
Kenyataan seperti itu ada kalanya membuat aku gemetaran, merasa ciut, inferior, dan tanpa daya. Persis karena penghasilan mereka gigantis dan aku hanya kelas serangga. Benar-benar dalam arti harfiah.
Lebih menyakitkan lagi rasanya ketika aku sadar betapa dari dulu yang aku anggap mulia dalam hidup itu ialah kebaikan, ketulusan, kesederhanaan, penerimaan, rendah hati. Aku membayangkan saat Mahatma Gandhi berkampanye tentang kesederhanaan maupun kemandirian apakah dia dibayar seratus juta rupee per jam oleh para pendukungnya? Ketika Isa Al-Masih mengampanyekan tentang kasih, melakukan pelayanan (service) di pasar, bertemu pelacur, apa tarifnya US$86,400 per jam? Siapakah yang mengundang dia bicara di depan orang-orang? Bukankah waktu itu belum ada perusahaan multinasional? Bahkan dia ditolak raja di negerinya? Waktu Muhammad menasihati orang-orang agar bersedekah apakah setelah itu dia menerima amplop atau transfer sebesar sembilan puluh sembilan juta dinar ke rekeningnya? Apa Malcolm X dibayar puluhan juta dolar AS ketika mengobarkan kesetaraan sipil sebagaimana Rage Against the Machine yang mendapat spirit dari keyakinannya? Apa kekayaan orang-orang itu bertambah banyak setelah memberi pelayanan (service) atau mereka justru mengorbankan habis-habisan kekayaannya untuk kelangsungan layanan yang mereka yakini? Kalau iya, aku memang terkelabui.
Kenyataan ini membuat aku lesu. Betapa kemampuanku mencari penghasilan buruknya setengah mati. Aku lemas karena dari dulu yakin bahwa orang tidak dinilai dari penghasilannya, tapi ternyata baru sadar betapa semua orang bangga dan merasa hebat kalau penghasilannya benar-benar fantastik.
"Kamu kaget ya baru tahu bahwa penghasilanku segitu?" kata seseorang kepada temannya dengan nada percaya diri yang kukuh. Wah, ke mana saja aku selama ini, sampai salah mengejar target? Aku pikir selama ini aku mengejar kebaikan atau kemuliaan, tapi ternyata nilai yang aku usung itu terdengar seperti layang-layang putus. Sejak awal aku terpesona oleh ide-ide tentang kesederhanaan, tapi akhirnya tahu bahwa itu tricky. Yang enggak tricky itu ialah kalau kamu bisa membuat para pengkritikmu melongo. Rasanya aku sudah mati langkah dan hanya bisa lemas tanpa daya melihat sebuah bola membobol gawang emosiku.
Tapi apa benar aku pantas sedih gara-gara berpenghasilan di bawah standar? Beberapa orang mengecam bahwa sedih seperti itu hanya akan membuat aku tidak bersyukur atas semua kepemilikan dan menolak fakta betapa ada orang lain yang kondisinya di bawahku. Pendapat ini menurutku cengeng. Ada di atas dan di bawah itu mirip harga murah dan mahal. Nah, harga jualku ini murah, meski kemarin seseorang malah bilang aku enggak pantas dipatok dengan harga sekian. Kemahalan. Tapi apa karena harga murah kita pantas sedih? Mungkin tidak. Harga permen berbeda satu sama lain, dan pamali untuk dibanding-bandingkan dengan barang lain.
Tapi yang lebih menyedihkan dari penghasilan nyungsep barangkali ialah menjadi palsu. "Menjadi palsu itu memuakkan," kata Holden Caulfield. Aku tidak memalsu lama-lama jadi grogi dan takut salah karena pekerjaanku tak terpakai. Berarti energi dan waktu yang aku gunakan sia-sia. Membuat penghasilanku jauh di bawah Rp.38.000.000,- per bulan. Benar-benar pukulan maut setelah aku berumur 38 tahun.[]
Anwar Holid, penulis
Keep Your Hand Moving, twitter @anwarholid