poster menyambut tahun baru 2010
Thursday, December 31, 2009
Wednesday, December 30, 2009
Sebuah sisi Universitas Bengkulu. (Foto dari Internet)
Pengajar Iya, Penulis Juga
BNI-Kompas Gramedia Goes to Campus di Universitas Bengkulu mengundang Frans Parera dan Anwar Holid untuk mengisi sesi penulisan buku untuk para dosen universitas itu pada Rabu, 2 Desember 2009.
BENGKULU - "Kalau ada ilmu tentang menulis kreatif yang benar-benar efektif, saya pasti bersemangat jadi orang pertama yang mempraktikkannya, biar karya saya juga cepat bertambah banyak," kata Anwar di hadapan sekitar empat puluhan dosen yang hadir.
"Roy Peter Clark bilang, 'Penulisan itu kemampuan yang bisa Anda pelajari.' Saya menyimpulkan pada dasarnya menulis itu merupakan kerja personal yang butuh pendekatan tertentu, namun tetap bisa dipelajari. Artinya, penulis harus menemukan sendiri cara terbaiknya ketika berkarya. Seorang penulis bisa saja hidup di tengah kerumunan komunitas, mendapat masukan, dukungan, atau kritik dari kawan dan koleganya, tapi begitu mulai duduk menulis, dia harus melakukannya sendirian. Dalam kasus tertentu menulis memang merupakan kerja sama dua orang atau lebih maupun orang lain mengetikkan dikte seseorang, sesuai isi kepala atau cerita dirinya."
Biasanya menulis mengenal dua cara: pertama, menulis 'otomatis' (menulis bebas, free writing). Penulis melakukannya secara langsung, mengandalkan intuisi, mengalir begitu saja, asumsinya segala ide (gagasan) sudah terbayang dalam kepala. Dengan menulis otomatis, penulis diharapkan lebih bisa ekspresif menumpahkan atau melampiaskan perasaan. Penulis fiksi tidak hanya kerap menggunakan cara ini, penulis nonfiksi pun---ketika menggarap biografi, melakukan investigasi, atau mengisahkan ekspedisi---suka meminjam teknik ini. Penulis seolah-olah telah punya bayangan akan bercerita apa, dan itulah yang dia kejar dan terus dia tuangkan ke dalam kertas atau komputer.
Kedua, menulis dengan menyusun outline (garis besar) atau storyline lebih dulu; biasanya para jurnalis menggunakan teknik ini. Mula-mula penulis menentukan poin per poin subjek yang ingin dijelajahi, dan sambil berusaha menuntaskan paragraf demi paragraf, mereka mengolah data (bahan, informasi, wawancara, temuan lapangan) yang sebelumnya dikumpulkan. Dari sana juga dia menentukan alur tulisan, termasuk sudut pandang maupun keberpihakan (kecenderungan) penulis. Setelah jadi, kemudian mengolah sekali lagi agar menjadi artikel yang mantap dan memuaskan. Bagi penulis, outline bermanfaat untuk membimbing penulisan agar tetap dalam jalur benang merah yang padu; bagi sebagian orang, cara ini memudahkan, karena segala kebutuhan menulis sudah tersedia.
Di dalam Writing Tools (2006) Roy Peter Clark menyarankan agar penulis memecah proyek penulisan yang besar dan menyita energi jadi bagian-bagian kecil agar lebih mudah diselesaikan. Di awal penulisan draft, tulislah sebebas mungkin, kendurkan kritik terhadap diri sendiri, jelajahi segala kemungkinan terhadap subjek yang ingin dikejar. Jauh lebih penting disiplin menyelesaikan draft dulu daripada mengejar kesempurnaan teks. Memoles dan mengedit tulisan merupakan urusan belakangan setelah seluruh isi kepala tercurahkan sederas-derasnya. Baru setelah merasa puas dan tuntas, periksalah hasilnya---kalau bisa bersama orang lain, lebih khusus lagi dengan editor.
Agar target penulisan lebih segera tercapai, amat penting untuk menulis sedikit demi sedikit secara rutin setiap hari. Konsistenlah dengan kebiasaan itu. Misal Anda hanya bisa menulis selama satu jam setiap hari setelah shalat subuh, lakukanlah. Kasarnya: bila Anda bisa menulis satu halaman bersih setiap hari, pada hari ke-365 minimal Anda punya sebuah draft naskah yang sudah cukup untuk dibaca ulang atau ditilik-tilik lagi kemungkinan penerbitannya.
BILA sudah siap menawarkan naskah pada penerbit, carilah penerbit yang kira-kira cocok untuk naskah Anda. Bila Anda menulis buku ajar (textbook), penerbit perguruan tinggi lebih cocok buat Anda. Perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang memiliki unit penerbit. Kalau naskah Anda lebih pantas dikonsumsi publik luas, jangan sungkan menawarkannya pada penerbit umum atau penerbit dengan kecenderungan khusus.
Frans Parera sangat menekankan pentingnya perkembangan penerbit universitas (university press). Dia memprovokasi para pengajar agar menjadi penulis saintifik (scientific writer). Universitas Bengkulu sendiri telah memiliki unit penerbit, yaitu UNIB Press, aktif sejak 2008, dan telah menerbitkan sejumlah judul. Sebagian pengajar pernah menerbitkan buku, menulis naskah buku ajar, tembus di jurnal ilmiah internasional, juga menjadi blogger. Namun masih ada yang rancu membedakan penerbit dan percetakan, sampai bertanya, "Kalau saya mau menerbitkan buku, berapa biaya yang harus saya keluarkan?"
"Berhubunganlah baik-baik dengan editor," saran Anwar. "Editor itu mewakili penerbit, bertugas menilai kelayakan naskah, memberi masukan baik terhadap isi naskah maupun bahasa, termasuk apa naskah itu punya peluang pasar atau tidak. Editor yang baik pasti sangat bermanfaat untuk mematangkan naskah. Sepengalaman saya bekerja sama dengan para editor, mereka berdedikasi betul untuk menghasilkan naskah yang berisi, memberi masukan cara menjelaskan sesuatu dan seterusnya sampai naskah itu pantas dikonsumsi khalayak."
Penerbit biasanya punya dua cara untuk mendapatkan naskah. Pertama menyeleksi tawaran naskah yang masuk ke kantor mereka; kedua mencari penulis yang mau mengerjakan tema-tema usulan mereka---karena bermaksud mengisi pasar dan sudah yakin pertimbangan pasarnya. Penulis bisa memilih mana yang cocok dengan keyakinan dan kebutuhannya. Sebagian orang memilih menerima order karena merasa dengan begitu naskahnya lebih punya kepastian terbit. Tapi sebagian penulis menolak bekerja seperti itu karena merasa subjeknya tak mereka sukai atau isinya bukan yang benar-benar mereka ingin tulis (tidak sesuai dengan hati nurani). Jika demikian, menulislah yang murni ke luar dari pikiran dan nurani Anda. Jika naskah itu bagus dan berbobot, kemungkinan besar ia bisa mendapat penerbit.
Satu hal yang juga harus juga kita sadari ialah bahwa penerbit dan buku punya tabiat dan nasib masing-masing. Langsung sukses itu jarang-jarang terjadi. Brian Hill dan Dee Power dalam The Making of a Bestseller meneliti bahwa kegigihan menjadi kunci utama keberhasilan para penulis sukses. Mereka gigih untuk terus berusaha menghasilkan karya bermutu.
Kadang-kadang, di luar keyakinan dan kerja keras semua pihak yang ikut terlibat, buku Anda ternyata gagal di pasar, diabaikan sama sekali oleh pembaca, terlalu cepat diretur oleh toko buku, atau sebaliknya malah dikecam habis-habisan oleh pembaca dan kritikus. Jangan berkecil hati. Lihat sisi baiknya. Tidak semua barang dagangan itu laku. Kadang-kadang petani gagal panen. Klien bisa mengeluh atas pekerjaan kita. Kegagalan bisa terjadi kapan saja. Pasti ada sejumlah faktor kenapa sebuah buku gagal, meskipun di awal-awal penerbitan semua pihak merasa yakin bahwa ia akan sukses. Bisa jadi buku itu tak mendapat publikasi sepantasnya dari penerbit, barangkali isunya sudah "lewat" dari perhatian massa, terbit di waktu yang salah, atau pembaca ternyata sukar memahami cara penulisan Anda. Meski awalnya selalu membuat sakit hati dan sulit diterima, semua buku penulisan dan teknik kreativitas selalu mengajarkan belajarlah dari kegagalan. Ambil masukan dari kritik paling pahit yang pernah Anda terima. Bertanyalah kepada editor, pembaca kritis, para ahli, atau bagian marketing kenapa kira-kira buku Anda sampai gagal.
"Jangan terlalu percaya pada jargon publish or perish (kalau tidak menerbitkan buku, Anda akan hancur)," kata Anwar. "Saya hanya menyarankan Anda untuk menerbitkan naskah terbaik. Kalau tidak, lupakan dulu keinginan menerbitkan buku secara serampangan. Lebih baik kita rujuk atau gunakan dulu buku-buku bermutu karya orang lain. Jangan menambah sampah pikiran pada buku kita. Saya lebih setuju pada anjuran agar kalangan akademik mendayagunakan ilmu dan kemampuannya untuk mencerahkan publik---yang oleh Budhiana, seorang wartawan di Bandung, dinamai 'intelektual publik.'"
Kalangan akademik memang berpeluang besar memberi sumbangan kecerdasan kepada masyarakat luas. Cuma kendalanya pun cukup berat. Misal kalangan akademik kerap dituduh sulit mengubah cara penulisan yang terkenal kaku, kering, dan kurang imajinatif, sehingga gagal menarik perhatian kalangan pembaca lebih luas. Apa yang bisa kita lakukan? Bekerja samalah dengan editor, penerbit, atau penulis profesional yang bisa menyampaikan maksud dengan lebih jernih, lentur, dan imajinatif. Sebagian kalangan akademik beranggapan mereka memiliki standar istilah teknis tertentu yang bila diubah maka akan menurunkan kadar keilmiahan subjek tersebut. Benarkah tulisan ilmiah harus disampaikan lewat kalimat pasif yang melelahkan, mempertahankan "objektivitas" kaku dan sama sekali mengabaikan subjektivitas? Anggapan ini mungkin perlu dibongkar lagi. Ada banyak cara segar untuk mengungkapkan gagasan.
Kalau tidak, belajarlah menulis secara populer, yaitu menulis dalam bahasa baku yang lebih bisa dipahami umum. Kuasailah bahasa dan seluruh perangkat komunikasinya. Bahasa punya standar tertentu yang membuatnya tetap berwibawa meskipun ia ditujukan pada khalayak umum. Hampir setiap media massa memiliki ruang untuk interaksi bagi kalangan terpelajar, misal ruang opini, dengan keterbacaan yang tetap tinggi. Kuasailah alat ungkap yang menarik, gunakan kalimat bertenaga, berani, bahkan kalau perlu provokatif, manfaatkan visualisasi, berdayakan imajinasi, eksplorasilah berbagai kemungkinan baru cara komunikasi efektif, biar maksud kita sampai dengan lebih baik lagi. Buku-buku otoritatif tentang upaya menulis lebih baik, membuat pembaca terpesona dan terlibat dalam tulisan sekarang cukup banyak tersedia di toko buku. Kalau tidak, berlatih dan belajarlah dari karya-karya yang bagus atau penulis favorit kita masing-masing. Biasanya dari sana kita juga bisa menemukan seperti apa ciri tulisan yang bagus itu.
Seberapa penting menulis buku bagi seorang dosen, peneliti, maupun akademikus? Yustikasari, seorang pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, menyatakan: "Menulis buku penting sebagai salah satu media untuk transfer ilmu. Dengan menulis, baik artikel dan buku sesuai dengan bidang ilmunya, penghargaan dari perguruan tinggi biasanya berupa tambahan kum (nilai) untuk naik pangkat." Bila semata-mata untuk kum dan naik pangkat, Frans Parera menilai alasan itu "sangat egoistik" karena mengabaikan perasaan dan aksesibilitas pihak lain terhadap bacaan.[]12/3/09
Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
Situs terkait:
http://www.gramedia.com
[HALAMAN GANJIL]
Kegagalan Mencolok Tahun 2009
---Anwar Holid
Bila sebagian orang mengumumkan sejumlah keberhasilan di tahun 2009 kepada publik, biarlah aku melakukan kebalikannya: menyimpan keberhasilan, dan malah "membagi" kegagalan, syukur-syukur ada pembelajaran dari sana. Arvan Pradiansyah pernah menulis: Kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran. Dulu, Steven Spielberg pernah bilang: Failure is inevitable. Success is elusive. Gagal pasti terjadi; sementara sukses sulit dicari dan susah dipahami. Lepas dari sana, aku teringat pada kawan yang menanggapi betapa nasib manusia itu beda-beda: "Aku malas mengomentari kondisi orang, karena orang menghadapi hidup dan dunianya sendiri-sendiri. Yang menurut seseorang berat, ternyata mudah bagi orang lain. Hidup mah ada-ada saja."
Keberhasilanku biasanya langsung habis dibagi buat keluarga. Atau kalau menyangkut keuangan, biasanya langsung dialokasikan ke utang, meski ini sangat sulit aku lakukan akhir-akhir ini. Misal di pengujung 2009; aku pikir akan sedikit berjaya, ternyata aku sudah harus minta bantuan seorang kawan. Shhh...
Aku mencatat tujuh jenis kegagalan mencolok yang semoga jadi pelajaran.
(1) Gagal bekerja kantoran lagi. Buatku ini sangat mengesankan dan pantas mendapat perhatian khusus. Sampai dua kali aku gagal kerja di lembaga baru. Pertama di sebuah majalah politik berbasis di Jakarta. Awalnya aku antusias dan sudah menyiapkan segala sesuatu untuk bergabung dengan mereka, karena secara finansial aku merasa imbalan mereka menjanjikan. Tapi begitu datang ke sana, dua hari itu kepalaku sakit secara keterlaluan, sampai aku sangat terganggu. Ini aneh. Biasanya wajar aku rada pening dalam perjalanan luar kota. Setelah istirahat, aku segera pulih. Tapi kali ini tidak, meski aku berusaha rileks. Aku tetap sakit sampai esoknya. Padahal krunya juga ramah-ramah. Apa karena mereka perokok semua? Alasan ini rasanya keterlaluan. Waktu aku langsung minta pulang dan berhenti, sang pemimpin redaksi sampai tanya, "Apa ini kamu pertama kalinya pisah dari keluarga? Enggak mau coba sampai satu minggu?" Aku merasa ini mungkin semacam "blink" bahwa aku harus berhenti.
Lepas dari sana, seorang kawan menyarankan agar aku melamar jadi staf di sebuah lsm yang terkenal karena kinerja mereka di bidang "bisnis sosial" atau "wirausaha sosial." Dengan keyakinan bahwa aku cukup memenuhi syarat, aku menyiapkan segala sesuatu, termasuk mendapatkan rekomendasi dari tiga orang yang aku anggap tepat. Dalam wawancara, salah satu pertanyaan tersulit ialah: "Apa motivasi kamu ingin bekerja di sini?" Wah, apa ya? Apa aku ingin dapat bonus tahunan dan thr? Apa aku punya idealisme yang patut diwujudkan atau ingin dapat gaji bulanan? Aku pikir rekomendasi dan cv bisa sedikit menjelaskan reputasi, kemampuan, dan kinerjaku. Ternyata tidak. Menariknya, dalam surat penolakannya, lsm itu bilang: "Pengalaman Anda impressive, tapi kami mohon maaf, mas Anwar belum cocok untuk kebutuhan saat ini atau barangkali kita belum jodoh ya...?!" Belum jodoh katanya! Ha ha ha... Lumayan, surat penolakan itu menghibur aku.
Walhasil aku kerja sendiri lagi. Aku bukan pengangguran. Kerjaanku ada saja, sebagian belum tuntas. Untung, seorang kawan bilang ke aku: "Dalam kepalaku tuh, kalau ingat kamu, pasti tertera bahwa kamu sudah betah jadi tenaga outsource. Kerja freelance. Masak kamu ingin ngantor lagi?" Ha ha ha... belum tahu dia, aku kemarin melayangkan surat lamaran lagi.
(2) Gagal menerbitkan buku. Sebenarnya ini naskah seputar dunia perbukuan yang menjadi inti perhatian karirku. Aku berusaha menjadikannya komprehensif. Dulu naskah ini siap diterbitkan imprint penerbit yang terkenal karena buku-buku kepenulisannya. Tapi sayang imprint itu gulung tikar, dan akibatnya naskahku gagal terbit. Naskah ini bahkan sudah disusun oleh editor kesohor---dan aku bangga karena itu. Lantas penerbit lain dari kelompok yang sama menerimanya, bahkan sudah menyentuhnya, setelah naskah itu membengkak karena sumbernya memang bertambah. Draft covernya pun sudah siap. Cerita-cerita punya cerita, di rapat tingkat tinggi, para pengambil keputusan penerbit itu menilai naskahku terlalu tebal, terlalu serius, dan kurang populer. Jadi ditunda entah sampai kapan. Aku sendiri sudah menyerahkan keputusannya pada manajer bersangkutan, termasuk untuk mengurangi ketebalannya. Aku bilang, aku lebih suka kompromi pasar saja. Daripada terbit tapi seret dan menyulitkan penerbit. Tapi kalau enggak terbit-terbit juga? Ah, santai saja. Nanti bisa masuk arsip sebagai "Unpublished Work of Anwar Holid." Siapa tahu jadi warisan magnum opus. (Emm, berlebihan.)
Optimisnya: di akhir tahun ini ada editor yang menyetujui proposal buku baruku. Semoga bisa terbit tahun 2010.
(3) Gagal jadi juara 1 lomba penulisan. Pertama lomba resensi Dreams from My Father (Barack Obama) penerbit Mizan. Aku juara ke-4 (dapat hadiah buku senilai 500 ribu rupiah). Nada resensiku santai sekali, mengambil angle yang menurutku jarang diambil peresensi lain. Tapi memang resensi juara 1-nya sangat bagus dan komprehensif. Salut. Aku mendedikasikan hadiah itu untuk anak-anakku, dengan memilih buku anak semua.
Kedua gagal masuk 20 besar lomba Kisah 2009 Penerbit Erlangga. Aku menyiapkan tulisan ini dengan sangat serius dan awalnya optimistik minimal masuk 10 besar. Tapi ketika lihat pengumuman karyaku ke laut dan malah punya Fenfen yang terjaring, aku langsung lemas. (Fenfen adalah juara 1 pada periode 2007.) Apa yang salah dengan tulisanku? Terlalu dingin dan kering mungkin atau terlalu panjang untuk lomba suatu kisah? Memang awalnya aku meniatkan tulisan itu sebagai memoar. Nanti akan aku posting tulisan itu di blog atau Facebook.
(4) Gagal bekerja sama dengan orang lagi. Kegagalan ini sangat menyesakkan, apalagi mereka editor. Tadinya aku berharap bisa mendapat keuntungan dengan menjalin hubungan dengan orang-orang seprofesiku, tapi hasilnya di luar dugaanku. Tentu ada yang salah dengan cara pendekatanku, atau mereka terlalu mudah tersinggung, kurang humor, kurang jujur, dan kurang tahan kritik. Aku sudah minta maaf, tapi salah seorang malah bertanya retorik: "Untuk apa minta maaf mas?" Astaga, apa orang ini kehabisan empati dan sulit menilai integritas seseorang? Dari insiden ini aku belajar sekali lagi bahwa kejujuran itu dampaknya memang luar biasa.
(5) Gagal meresensi buku-buku bagus. Ini klise, jelas terkait dengan kemampuanku menalar sebuah buku, atau gagal mengaitkan buku itu dalam konteks yang lebih hebat. Atau sebaliknya: jangan-jangan aku terlalu rewel terhadap sebuah buku? Jadi editor di satu sisi malah membuatku bisa sangat tersiksa kala membaca buku, sebab aku gagal mematikan radar idealitas terhadap buku. Aku harus lebih ikhlas terhadap buku, menerima buku sebagaimana adanya, dan menulisnya secara lebih sederhana.
Buku bagus yang gagal aku resensi antara lain:
* Three Signs of a Miserable Job (Patrick Lencioni, Elexmedia, 298 hal.). Novel sangat mengesankan bernada motivasional-inspirasional tentang kepuasan kerja/karir, di ujungnya ada satu studi kasus betapa kepuasan kerja itu ternyata saling terkait. Sangat kena baik buat manajer maupun pekerja.
* Membongkar Manipulasi Sejarah (Asvi Warman Adam, Penerbit Kompas, 257 hal.) Buku sejarah dengan berbagai topik, cukup ekstensif membahas kontroversi seputar G30S. Aku memilih buku ini sebagai salah satu dari sepuluh buku tahun 2009 karya penulis Indonesia yang pantas diperhatikan.
* The Second Plane (Martin Amis, Vintage, 204 hal.) Buku ini membuat Martin Amis dicap menderita Islamofobia. Fokus pada kontroversi peristiwa 9/11 dari tahun 2001-2007. Tapi aku kesulitan menyimpulkan mau dia apa dengan argumen-argumen itu. Buku yang tampak terlalu serius bagi penulis yang terlalu mudah sinis. (Dugaanku ini sulit dipertanggungjawabkan.)
* Bocah Muslim di Negeri James Bond (Imran Ahmad, Mizan). Memoar lucu tentang bagaimana rasanya menjadi seorang Muslim sejak kecil di Inggris Raya khususnya, dan di Dunia pada umumnya. Seberapa universal Islam itu sebenarnya? Meskipun tidak taat-taat amat, Imran Ahmad terus berusaha menjadi Muslim dan manusia yang lebih baik, dia juga sekuat tenaga menghindari dosa sebisa mungkin.
(6) Gagal menulis novel. Mungkin ini bisa diabaikan karena merasa bukan bidangku, meskipun aku punya niat. Imajinasiku kayaknya terlalu kering dan kaku, sementara aku juga tidak meluangkan waktu untuk menuliskannya secuil demi secuil. Padahal storyline sudah aku siapkan dan ide kayaknya sudah terbayang di dalam kepala. Mungkin harus jadi proyek tahun 2010 (sebelum peringatan kiamat dua tahun lagi benar-benar terbukti.)
(7) Gagal menulis di Korantempo atau Tempo. Ini sedikit aneh dan menyedihkan. Aku terus berusaha menawarkan tulisan ke media ini, tapi masih gagal hingga detik ini. Apa tulisanku tidak cocok? Tidak. Sudah jelas: Jika tulisanku tak dimuat, pasti karena masalah kelayakan penulisan. Kata redaksinya: "Dalam soal penolakan, kami punya banyak alasan: rata-rata karena penulisannya buruk. Meski sebuah ide menarik, jika penulisannya tidak bagus dan tidak mulus, kami langsung menolaknya."
Baiklah. Aku dapat pelajaran dari sini, yaitu: Non illegitimi te carborundum. Janganlah kegagalan membuat kamu kendor.
Aku menghadapi fajar 2010 dengan semangat dan optimistik. Sejumlah rencana telah aku siapkan, ada janji yang sudah aku sepakati, sebagian kerja juga belum beres dan harus dilanjutkan. Minimal sampai tri wulan pertama aku pasti sibuk. Kalau umurku sampai, pada Maret 2010 aku akan berbagi ilmu penulisan lagi, kali ini di sebuah perusahaan di Bogor, terus ada kerja publisitas yang ingin aku libati dengan baik. Life is worth living. Semoga sukses. Semoga tetap waras, Wartax! [] 24/12/2009
Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Tuesday, December 29, 2009
[BUKU INCARAN]
Adakah Rahasia Atas Terbitnya The Lost Symbol?
--Anwar Holid
BANDUNG - Sambil cuci perabot rumah tangga di pagi hari Senin, 28 Desember 2009 kepalaku terus-menerus heran memikirkan The Lost Symbol (Dan Brown) yang di Indonesia akan diterbitkan Mizan pada 25 Januari 2010. Seminggu sebelumnya aku menerima email Pembaca Mizan mengadakan lomba "Mengapa Saya Ingin Membaca The Lost Symbol" yang subjeknya terlalu terburu-buru ditulis sebagai "Haidah Awal Tahun 2110: The Lost Symbol." (Perhatikan betapa hebat salah ejanya!)
Mizan menerbitkan karya Dan Brown? tanyaku terheran-heran. Awalnya aku pikir yang mengirim email itu adalah Serambi, penerbit Indonesia yang sebelumnya sudah menerbitkan The Da Vinci Code dan Angels & Demons. Begitu sadar ternyata bukan, aku membatin: bagaimana perasaan Serambi begitu tahu bahwa hak terjemahan novel terbaru penulis andalan mereka diambil alih penerbit lain? Kenapa penerbit tempat kerjaku dulu itu begitu ngebet menerbitkan novel thriller itu? (Ah, persoalan ini jelas di luar jangkauanku, tapi kepalaku terus bertanya-tanya.)
"Ah, Wartax, kamu kayak enggak tahu saja!" sergah seorang kawan berusaha memadamkan kepenasaranku.
Apa Mizan begitu terdorong oleh harapan mendapat untung dari kemungkinan penjualan sefenomenal The Da Vinci Code? Ratusan ribu pembaca buku-buku Dan Brown sebelumnya pastilah bisa diharapkan dan digerakkan untuk kembali membeli karya barunya. Selain alasan itu, kira-kira apa lagi yang membuat Mizan bersemangat mengejar target di awal 2010 ini? Menikmati gempa dari sensasi fiksi tentang perkumpulan rahasia yang melibatkan konspirasi sekte agama, ritual kuno, dan ambisi kekuasaan?
Aku dulu pernah menulis gara-gara ingin meramaikan trend maupun harapan mendapatkan profit bisa membutakan pelaku bisnis. Waktu itu penerbit Dastan sedang mengiklankan Daughter of God (Lewis Perdue). Aku bilang, ngapain juga penerbit yang berafiliasi dengan Islam sampai tega menerbitkan buku meski ide di dalamnya diharamkan doktrin Islam? Seorang Muslim beriman bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan. Islam mengharamkan ide "anak Tuhan." Lah, mereka malah menerbitkan "Putri Tuhan"---dengan teaser "Misteri menakutkan yang mengguncang fondasi keimanan." Kalau buku itu diterbitkan penerbit Kristen/Katolik atau umum yang tak berafiliasi dengan Islam, aku bisa maklum.
Begitu juga ketika Mizan menerbitkan The Lost Symbol. Selain terdorong oleh hasrat menerbitkan produk yang penjualannya memecahkan rekor dalam sejarah pasar novel dewasa, apa lagi keinginan Mizan terhadap novel yang isunya fokus pada Freemasonry? Bukankah sebagian kelompok Islam mensinyalir bahwa Freemasonry terlibat dengan Zionisme dan mempromosikan kepentingan mereka di dunia? Wikipedia menyebut bahwa Hamas menyatakan Freemasonry, Rotary, dan kelompok sejenis "bekerja demi kepentingan Zionisme dan berdasarkan perintahnya..." Kritik lebih keras malah mengaitkan Freemasonry pada Dajjal. Pembaca umum, Muslim moderat, fanatik, atau liberal, kira-kira akan mengharapkan apa dari novel seperti itu?
Gerakan Freemasonry memang misterius. Gale Encyclopedia of the Unusual and Unexplained memasukkan Freemasonry dalam entri Secret Societies and Conspiracies.
Baru setelah menuliskan ini pertanyaan dalam kepalaku spontan tenang. Logika bisnis itu cuma satu, yaitu untung, meski wujudnya bisa jadi absurd.[]
Anwar Holid, editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Link terkait:
http://lostsymbolindonesia.wordpress.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Lost_Symbol
http://en.wikipedia.org/wiki/Freemasonry
Friday, December 25, 2009
[BUKU INCARAN]
10 BUKU INDONESIA 2009 LAYAK PERHATIAN
---Anwar Holid
Judul disusun berdasarkan urutan alfabet.
1/ 9 dari Nadira (Leila S. Chudori; KPG, 270 hal.)
Buku ini hadir setelah penulisnya absen menerbitkan buku lebih dari dua dasawarsa lalu, persisnya setelah Malam Terakhir (1988) mendapat respons positif dari berbagai kalangan karena kepekatan ceritanya dengan sosial-politik dan gaya berceritanya yang amat kuat dan bisa jadi tanpa tedeng aling-aling terhadap berbagai kemunafikan.
9 dari Nadira cukup berbeda dari Malam Terakhir, ia lebih merupakan cerita cukup panjang saling terkait yang berpusar pada tokoh utama perempuan bernama Nadira. Hidup normal Nadira sendiri terganggun oleh kisah dalam diari peninggalan ibunya yang mati bunuh diri, masa kecilnya yang bandel, luka terlalu dalam dengan kakak sulung perempuannya, hubungannya dengan ayahnya yang mengalami post power syndrome, kakak lelakinya yang bujang lapuk, karirnya sebagai wartawati, wawancaranya dengan seorang psikopat pelaku pembunuhan berantai, rekan kerja yang mencintainya tapi dia abaikan, perkawinannya yang bermasalah. Meski realis, Leila masih bisa mengelaborasi mitos, agama, beban psikologi, trauma, kekecewaan, dan misteri batin manusia jadi jalinan kisah yang memikat.
2/ Akar Berpilin (Gus tf; GPU, 70 hal.)
Kumpulan 38 sajak yang imajinatif dan kaya nuansa, kebanyakan menelisik sifat manusia dan bertanya siapa sebenarnya makhluk bernyawa penuh gejolak yang terbalut daging dan tulang ini. Memang buku ini tak akan memuaskan dalam sekali baca, namun ia akan tetap menarik untuk dibolak-balik. Puisi Gus tf menantang untuk kita baca berulang-ulang karena mengandung permainan bahasa dan makna yang lumayan sulit, tapi tidak sampai membuat puisi itu jatuh jadi gelap. Ungkapan-ungkapannya eksploratif.
3/ Jangan Main-Main dengan Tuhan (Bambang Joko Susilo; Republika, 156 hal.)
Lebih terkenal sebagai penulis cerita kanak-kanak dan remaja, Bambang Joko Susilo juga tetap berusaha memperlihatkan kinerjanya di dunia sastra dewasa. Tema kumpulan cerpen ini fokus pada tema maut dan peristiwa kematian, hampir semua menggunakan sudut pandang orang pertama, sebagian besar setting terjadi di tempat yang terkesan sebagai pinggiran kota, sehingga mengesankan cerpen-cerpen di dalamnya secara longgar memiliki keterkaitan.
Kisah dalam cerpen Bambang Joko Susilo bersahaja, memprihatinkan, sekaligus mampu memaksa pembaca mengakui kejujuran dan pandangannya yang tanpa kompromi terhadap berbagai kemunafikan. Biasanya si protagonis jujur, teguh memegang prinsip dan moralitas, membuat ekspresi dan emosi karakter terungkap dengan baik---meskipun ada juga cerpen dengan tokoh frustrasi yang akhirnya kalap padahal sebelumnya mati-matian menahan diri terhadap gempuran yang mengikis mentalnya.
4/ Membongkar Manipulasi Sejarah (Asvi Warman Adam, Penerbit Kompas, 257 hal.)
Buku sejarah yang renyah, kaya informasi, dan mengoreksi banyak salah anggapan terhadap berbagai peristiwa sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Setengah dari isi buku ini menelusuri perhatian utama Asvi pada kontroversi pendapat mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang memang mengubah perjalanan bangsa Indonesia. Asvi dengan tegas menolak istilah "G30S/PKI" (versi pemerintah Orde Baru) atau "Gestapu" (versi pers militer) karena menilai bahwa dalang dari peristiwa tersebut berbeda-beda, masih terasa sebagai konspirasi, dan masih merupakan misteri yang belum terpecahkan secara definitif.
Asvi sering menimbang berbagai simpang-siur terhadap suatu peristiwa sejarah dengan secara jeli dan tegas. Misal, dia kukuh mengingatkan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono ialah presiden Indonesia ke-8, bukan ke-6 sebagaimana keyakinan pers dan anggapan masyarakat umum selama ini. Kenapa kekeliruan anggapan itu sulit diubah? Dia juga mendukung berbagai alternatif temuan baru dan kemungkinan bahwa peristiwa sejarah bisa berlangsung di luar dugaan pihak resmi, dan mengusahakan agar tesis maupun fakta itu terus dikaji kebenarannya, bukan malah ditutup-tutupi. Selama ini pendapat bahwa para Wali Songo ada kemungkinan berasal dari Cina dihalang-halangi, Asvi mencoba mengangkatnya berdasarkan berbagai arsip lama yang selama ini terabaikan.
5/ Menuju Jurnalisme Berkualitas (Ignatius Haryanto, ed.; KPG, 424 hal.)
Buku ini merupakan kumpulan karya finalis dan pemenang Mochtar Lubis Award 2008, terdiri dari lima kategori, yaitu pelayanan publik, tulisan feature, pelaporan investigasi, foto jurnalistik, dan liputan mendalam jurnalisme televisi.
Hal paling berharga dari buku ini ialah kita bisa membaca dan belajar tentang tulisan bermutu, sekaligus tahu alasan kenapa karya tersebut memang benar-benar mantap. Ini memberi kepastian bahwa karya yang bagus itu memang bisa diukur, ada faktor dan kriterianya. Menurut penyuntingnya: aneka contoh (karya ini) akan sangat berguna bagi para pembaca dan membuat mereka bisa mencecap langsung seperti apa karya jurnalistik yang baik itu.
Buku ini terutama berharga sekali bagi mahasiswa jurnalistik dan siapapun yang tertarik dengan kepenulisan, orang yang ingin menekuni citizen journalist, termasuk blogger. Kita bisa membaca baik tulisan pendek yang berisi, maupun tulisan amat panjang yang benar-benar memikat. Secara tersirat buku ini juga menguatkan kaitan antara industri pers yang sehat, berkembang baik, dengan kualitas karya jurnalistik yang juga hebat---meskipun ini bukan sesuatu yang mutlak.
6/ Miracle of the Brain (Tingka Adiati; GPU, 207 hal.)
Setelah bangkit dari koma, suami Tingka Adiati kembali hanya untuk diurus sebagai pasien selama lebih dari satu tahun lamanya. Apa yang bisa dilakukan istri dalam keadaan seperti itu? Tingka segera memutuskan dirinya akan total mendampingi suaminya, menjalani drama amat mengharukan yang bisa dibayangkan oleh pasangan suami-istri atau orang-orang yang merasa siap berkorban nyawa bagi kekasihnya.
Selama bulan-bulan yang mengguncangkan itu Tingka mengalami turning point---suatu titik balik yang menandai perubahan kehidupan seseorang menjadi lebih baik dan baru sama sekali. Saat itulah dia membuktikan makna cinta dan kasih sayang kepada suami, anak-anak, dan keluarga. Dia juga mendapatkan visi baru tentang iman, hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, dan spirit dalam menghadapi kehidupan. Dalam buku memoar inilah semua luapan emosi seorang istri dalam merawat suami yang terkena stroke selama lima belas bulan kemudian terekam secara menggetarkan. Selain menulis cukup detil cara merawat pasien stroke, memenuhi kebutuhan terapi untuk suaminya, Tingka merefleksikan hidup dan perjalanan perkawinannya. Periode itu berlangsung amat drastik dan dramatik.
Tingka sepenuhnya menghayati pemulihan penderita stroke sebagai fase manusia dewasa balik lagi ke tahap bayi, tanpa daya, bergantung orang lain, dan kebutuhannya harus langsung terpenuhi---sebab kalau tidak bisa berakibat fatal. Dia berkali-kali menghadapi situasi amat buruk, namun kekuatannya bisa kembali pulih untuk membuktikan betapa seorang istri bisa begitu setia, sayang, tegar, sekaligus berbakti pada keluarga. Pantas bila Budiarto Shambazy amat salut kepada Tingka. Katanya, "Tingka telah menjadi manusia ikhlas dengan merawat suaminya, sejak sakit sampai wafat dan membesarkan tiga anak tanpa berkeluh kesah---jauh melebihi kemampuan sebagian dari kita, manusia biasa."
7/ Nyi Vinon (Vinondini Indriati; Daun Buku, 398 hal.)
Vinondini menulis tentang dirinya, trah keluarga, orang-orang terdekat, pikiran, keyakinan, juga nilai yang berhadap-hadapan dengan keyakinannya sebagai individu. Dia menunjukkan betapa individu itu bisa sangat unik. Betapa orang kebanyakan---apalagi "bukan siapa-siapa"---bisa memiliki idealisme yang amat kuat, mengejutkan, juga memiliki komentar amat jeli tentang agama, politik, pendidikan, masyarakat, sosial, termasuk pengamatan diri yang jernih.
Membaca autobiografi Vinon bisa membuat orang terkesima, "Ternyata ada orang seperti ini!" Meski kadang-kadang kepribadiannya tampak aneh, Vinon membuktikan bahwa seorang individu itu khas, merdeka, unik sama sekali. Berkat orisinalitas dan keunggulannya, Nyi Vinon berpeluang menjadi buku standar dalam genre autobiografi di Indonesia.
8/ Salamatahari # 2 (Sundea; Pikiran Kecil, 62 hal.)
Dalam buku tipis-mungil ini, semua benda jadi bernyawa, dekat, punya pikiran, dan bermain-main dengan penulisnya. Menulis secara naif---dengan ejaan yang sengaja mengabaikan kaidah EYD dan informal---Sundea berhasil menghidupkan peristiwa sehari-hari jadi pengalaman mistik dengan benda-benda. Mengagetkan betapa sesuatu yang tampak sangat remeh mendadak mungkin saja bisa menjadi sesuatu yang ajaib. Kadang-kadang pikiran Sundea tampak aneh sekali dalam memandang benda. Sekilas, pembaca umum akan menganggap buku ini akan mudah dipahami karena bercerita dengan bahasa kanak-kanak, tapi pikiran dewasa penulisnya kerap menyelinapkan persoalan subtil seperti kematian, kondisi jiwa manusia, dan bagaimana biar kita bisa setiap menghargai kehidupan hingga ke hal sekecil-kecilnya.
9/ Seribu Tahun Cahaya (Mad Soleh; Pustaka Bimasakti, 245 hal.)
Novel humor tentang Indonesia pada tahun 2100. Dunia dan segala sejarahnya sudah begitu banyak berubah. Tahun itu Indonesia menjadi negara adidaya yang memelopori penjelajahan luar angkasa di luar sistem tatasurya dan menjadi pusat pertemuan ilmuwan dari berbagai belahan dunia.
Indonesia menjadi negara federal, ibu kotanya pindah ke Lamongan yang lebih segar, sebab Jakarta tetap macet dan gagal diperbaiki. Presidennya seorang visioner bijak bestari bernama Notonegoro---meskipun dia dahulu sempat mengidap skizofrenia, tapi sudah sembuh total.
Cerita dalam Seribu Tahun Cahaya melibatkan sains dan teknologi luar angkasa yang pelik, namun juga mempersoalkan sifat-sifat dasar dan abadi dalam diri manusia, seperti kasih sayang, persaingan, dan kegaiban masalah hati. Semua berlangsung secara nalar dan terkendali. Humor-humornya bisa melontarkan kita pada kesumpekan persoalan hari ini, membuat kita lebih optimistik bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang hebat juga. Penulisnya, seorang sarjana ilmu farmasi dari Universitas Airlangga, Surabaya, sungguh-sungguh menciptakan dunia bualan secara meyakinkan. Secara fantastik dia kembali mengenalkan khazanah musik lama mulai dari The Beatles, Pink Floyd, dan Benyamin S., termasuk kuliner tradisional Indonesia yang abadi digemari orang dari berbagai negeri.
10/ Simply Amazing (J. Sumardianta; GPU, 188 hal.)
J. Sumardianta membongkar naskah ini sedemikian rupa hingga menjadi buku berisi pergumulan manusia dengan drama kehidupannya, terutama demi memuliakan diri dan menemukan nilai yang paling berharga, yaitu spiritualitas. Singkatnya, buku ini berisi kontemplasi perihal masalah sederhana yang berdampak luar bisa dalam hidup tokoh-tokohnya.
Sumardianta berhasil dengan jeli memastikan kenapa dan kapan momen-momen spiritualitas seseorang bisa tumbuh (mengalami epifani), lantas membentuk karakter orang tersebut secara permanen. Pengalaman spiritual bukan hanya monopoli orang beragama, melainkan bisa juga terjadi pada orang yang awalnya ateis, atau beralih iman. Spiritualitas itu berbeda sedikit dengan religiositas (keagamaan), ia membutuhkan intensitas penghayatan yang lebih besar dengan kehidupan manusia dan Tuhan.
Keunggulan lain buku ini ialah memperlihatkan betapa pemahaman J. Sumardianta terhadap iman lain---terutama Islam---bagus. Dia mampu menyelami kedalaman spiritual agama Islam, Buddhisme, maupun Hindu, dan itu cukup mengagetkan bagi seorang guru kolese, yang bukan saja begitu akrab dengan spiritualitas Katolik, melainkan juga sangat jelas komitmen imannya. Lewat pancaran spiritualitasnya, di buku ini Sumardianta mengajari kita soal toleransi dan kebajikan yang amat penting agar terhindar dari bahaya SARA.[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
CATATAN: Tulisan ini awalnya muncul di http://www.jakartabeat.net
Friday, December 11, 2009
Titik Balik Dalam Kehidupan
Tingka Adiati
--Anwar Holid
Miracle of the Brain
Penulis: Tingka Adiati
Penerbit: GPU, 2009
Tebal: 207 halaman
Ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-4809-8
Harga: Rp.30.000,-
JIKA KITA mengalami kebetulan luar biasa, berarti Tuhan sedang mengedip kepada kita. Kedipan itu ialah pesan cinta yang berbunyi: "Nak, Aku memikirkanmu. Kamu baik-baik saja. Bertahanlah." Demikian tulis Squire Rushnell dalam When God Winks. Kira-kira seperti itulah pengalaman Tingka Adiati, seorang ibu rumah tangga sekaligus jurnalis.
Pada Minggu, 13 Januari 2008 menjelang dini hari dia menerima telepon bahwa suaminya jatuh ketika sedang bekerja di kantor. Suaminya ialah Bambang Wahyu Wahono, seorang wartawan di sebuah harian. Di tengah keheningan dan keseriusan menjelang deadline, rekan wartawan yang sama-sama masih ada di sana tiba-tiba mendengar suara berdebum orang jatuh, dan tak bangun-bangun. Ketika didekati, Bambang tampak muntah-muntah serta kondisinya sudah sangat serius.
Setelah masuk rumah sakit, Tingka tahu suaminya mengalami perdarahan dan menerima vonis bahwa dia terkena stroke. Sakit ini membuat sang suami koma selama sembilan hari, badan bagian kirinya lumpuh total, gagal bicara, dan ingatannya hilang. Setelah bangkit dari koma, suaminya kembali hanya untuk diurus sebagai pasien selama lebih dari satu tahun lamanya. Apa yang bisa dilakukan istri dalam keadaan seperti itu? Tingka segera memutuskan dirinya akan total mendampingi suaminya, menjalani drama amat mengharukan yang bisa dibayangkan oleh pasangan suami-istri atau orang-orang yang merasa siap berkorban nyawa bagi kekasihnya.
Selama bulan-bulan yang mengguncangkan itu Tingka mengalami turning point---suatu titik balik yang menandai perubahan kehidupan seseorang menjadi lebih baik dan baru sama sekali. Saat itulah dia membuktikan makna cinta dan kasih sayang kepada suami, anak-anak, dan keluarga. Dia juga mendapatkan visi baru tentang iman, hubungan yang lebih intim dengan Tuhan, dan spirit dalam menghadapi kehidupan. Dalam buku memoar inilah semua luapan emosi seorang istri dalam merawat suami yang terkena stroke selama lima belas bulan kemudian terekam secara menggetarkan. Selain menulis cukup detil cara merawat pasien stroke, memenuhi kebutuhan terapi untuk suaminya, Tingka merefleksikan hidup dan perjalanan perkawinannya. Periode itu berlangsung amat drastik dan dramatik.
Sebelumnya, keluarga Tingka ada dalam kondisi ideal. Karir suaminya berjalan normal, sementara dia aktif sebagai wanita karir. Rumah tangganya pantas disebut sempurna: harmonis, kesejahteraan sosial terjamin, anak-anak yang manis. Tapi takdir mendadak menggelincirkan mereka dalam kondisi kritis. Dia harus menerima fakta bahwa hidup bisa begitu tega memperlakukan manusia.
Alih-alih frustrasi, Tingka bersama anak-anaknya dengan tabah dan berani memasuki babak baru kehidupan keluarganya. Dia ikut aktif merawat, memilih dan mengerjakan berbagai terapi yang tepat, terus menyemangati suami dari kondisi koma sampai akhirnya bisa bicara lagi dan pulih sekitar enam puluh persen--kemajuan yang sangat pesat dan luar biasa bagi pasien stroke parah. Buah dari ketelatenan inilah yang dimaksud dengan "miracle of the brain."
Perjuangan tersebut menjadi ungkapan jujur seorang manusia biasa tatkala menghadapi kondisi luar biasa. Emosinya tumpah amat lugas dan apa adanya. Tingka bukan tipe perempuan melankolik. Mereka juga ber-"loe-gue" dalam mengekspresikan rasa sayang. Ketika sudah cukup pulih, suaminya berkata, "Loe baik banget, Ting. Bagaimana gue balasnya?" Jawab Tingka, "Semua ini gue lakukan karena gue cinta loe. Gue enggak minta balasan apa-apa selain loe semangat terus supaya sembuh dan pulih. Gue dan anak-anak kangen banget sama loe yang dulu. Loe mau kan semangat terus?"
Begitu pula saat dia frustrasi karena serba salah menebak-nebak maksud suaminya ketika kondisinya memburuk. "Bang, loe kenapa sih? Gue enggak ngerti loe maunya apa, soalnya loe kan enggak bisa bilang. Gue cuma menebak nih. Gue minta maaf ya kalau tebakan gue salah terus sehingga loe bete."
Tingka sepenuhnya menghayati pemulihan penderita stroke sebagai fase manusia dewasa balik lagi ke tahap bayi, tanpa daya, bergantung orang lain, dan kebutuhannya harus langsung terpenuhi---sebab kalau tidak bisa berakibat fatal. Dia berkali-kali menghadapi situasi amat buruk, namun kekuatannya bisa kembali pulih untuk membuktikan betapa seorang istri bisa begitu setia, sayang, tegar, sekaligus berbakti pada keluarga. Pantas bila Budiarto Shambazy, seorang kolumnis, amat salut kepada Tingka. Katanya, "Tingka telah menjadi manusia ikhlas dengan merawat suaminya, sejak sakit sampai wafat dan membesarkan tiga anak tanpa berkeluh kesah---jauh melebihi kemampuan sebagian dari kita, manusia biasa."
Ketegaran Tingka dalam buku ini memang seolah-olah terasa begitu ilahiah. Betapa tidak, Bambang menghembuskan napas terakhirnya persis dalam pelukan istrinya.
SATU-SATUNYA "lubang" cukup serius dalam memoar ini ialah penulis tampak sengaja menghindari persoalan biaya (finansial). Bisa jadi Tingka menganggap masalah tersebut terlalu sensitif untuk diungkapkan. Atau karena dia telah masuk dalam fase "kebebasan finansial." Lepas dari itu, pembaca pasti penasaran bagaimana dia membiayai semua itu dengan lancar, seakan-akan tak berpengaruh pada kondisi keuangan keluarga? Bagaimana dia membayar seluruh biaya medis kelas satu, menyewa perawat, menebus obat-obatan, dan lain sebagainya. Apa ditanggung perusahaan, dari klaim asuransi, tabungan, dan kekayaan keluarga? Kita tahu, sakit yang parah dan lama selalu menguras emosi, energi, dan uang. Memang sekilas terungkap latar belakang mereka berasal dari keluarga berada.
Karena tak disinggung, tampaknya biaya bukanlah masalah bagi penulis. Berapapun biayanya selalu bisa ditanggung. Padahal kalau sumber biaya disebutkan, misalnya dari asuransi, itu malah akan jadi pembelajaran berharga bagi setiap pembaca, yaitu agar setiap keluarga memiliki asuransi kesehatan (jiwa). Begitu juga bila dari tabungan, biar pembaca tahu manfaat menabung untuk keperluan darurat.
Kisah Tingka ini menghenyakkan, apalagi bila kita lihat betapa memprihatinkan nilai kesetiaan sekarang ini. Kita juga bisa menyaksikan adanya cinta yang lebih baru, tulus, dan kasih sayang yang memberi energi mulia bagi kehidupan. Kasih sayang, keikhlasan, dan pengorbanan seorang istri pada suami dan keluarga, apalagi di saat duka, bisa menginspirasi banyak orang senasib. Miracle of the Brain bisa menyebarkan sikap optimisme kepada pembacanya, terutama keluarga yang sama-sama pernah mengalami musibah serupa. Bisa jadi akan lebih dramatik lagi bila ada sineas yang mampu mengangkatnya ke layar perak.[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Foto-foto diambil dari Internet, kecuali foto cover buku, oleh Anwar Holid.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid
Situs terkait:
http://www.gramedia.com
Monday, December 07, 2009
[BUKU INCARAN]
Menara Penopang Asa
--Anwar Holid
Negeri 5 Menara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Tebal: xiii + 416 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6
- Jadi Negeri 5 Menara itu kamu rekomendasikan enggak? tanya kawanku di hari Sabtu menjelang matahari ada puncak kepala.
- Emm... aku rekomendasikan. Memang kenapa gitu? aku jadi agak bingung
- Kok kamu belum bikin [BUKU INCARAN] untuk novel itu?
- Ha ha ha... enggak ada di [BUKU INCARAN] bukan berarti buku itu enggak pantas direkomendasikan.
- Soalnya aneh kamu sudah sering ngomongin buku itu, tapi resensinya enggak ada saja.
- Banyak buku bagus yang aku kesulitan nulis resensinya. Aku ingin meresensi Negeri 5 Menara dan menghubungkannya dengan sastra pesantren, atau fiksi islam kontemporer.
- Apa yang paling menarik dari Negeri 5 Menara?
- Kalau kamu suka dengan harapan dan kerja keras untuk mewujudkan mimpi, tema pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi untuk terus semangat, optimisme, hal-hal grandeur... kamu akan suka novel ini.
- Wah, Laskar Pelangi banget dong!
- Ha ha ha... kamu terlalu cepat menilai.
- Terus kelemahannya apa?
- Menurutku novel ini datar. Ia kayak kekurangan passion. Humornya biasa saja. Aku dan Herry Mardian sepakat soal ini. Dia bahkan sudah baca novel itu sejak masih berupa draft.
- Apa maksud kamu dengan "kekurangan passion"?
- Aku juga sulit menerangkannya. Kira-kira mungkin seperti ini: ia kurang dramatik. Ada kedalaman emosi yang belum tergali di sana. Cara bertuturnya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat aku betul-betul terkesan pada salah satu tokohnya.
- Mungkin novel itu lebih mementingkan ide daripada drama.
- Benar. Ide novel ini ialah bagaimana seseorang terbangkitkan untuk mewujudkan mimpi, mantap dengan pilihan itu. Sejak awal memang ambisius. Mulanya terpuruk, terus jadi semangat dan sukses. Tapi dalam novel, aku butuh drama dan kejadian kritis kenapa seseorang bisa bangkit dan mengalahkan salah anggapnya sendiri.
- Memang novel ini cerita soal apa?
- Cerita tentang sekelompok santri yang tinggal di satu pondok. Masing-masing punya kisah kenapa mereka sampai di sana. Salah seorang dari mereka tadinya menolak masuk pesantren, selain karena bercita-cita ingin jadi insinyur, ada kesan pesantren itu sekolah kelas dua. Dia maunya masuk SMU negeri. Tapi orang tuanya memaksa dia masuk pesantren. Akhirnya sekalian saja, dia milih pesantren yang amat jauh dari kampungya, di Jawa Timur. Dia tadinya dari Bukittinggi. Novel itu berisi pengalaman dan kesan selama mondok, seperti apa pendidikan di sana, dan dapat apa saja mereka.
- Kok judulnya Negeri 5 Menara? Apa hubungannya?
- Ayolah, kamu harus baca sendiri. Kamu harus beli novel itu, kataku sedikit ketus.
Aku memang campur aduk menilai Negeri 5 Menara. Aku sudah membicarakan novel ini kepada sejumlah orang, terutama kawan yang menurutku bakal tertarik dengan tema pendidikan dan persahabatan, juga kemungkinan visualisasi dari novel tersebut. Ternyata harapanku merana. Kawan-kawanku lebih suka cerita dengan tema biasa, sehari-hari, tapi mungkin efeknya "dalam banget." Untuk drama, pertanyaan utama mereka ialah "ceritanya apa?" Mungkin aku salah ketemu orang.
Poinnya ialah: Aku khawatir kehilangan respek pada novel ini, takut terlalu rewel pada kekurangannya, sampai lupa mencatat keberhasilan atau keunggulannya---padahal bisa jadi itu hanya masalah selera. Tapi beruntung sejumlah resensi berhasil melihat sisi positif novel ini, di antaranya tampak pada resensi di Kompas Minggu, 1 November 2009. Peresensi menyebut ini sebagai novel motivasional-pendidikan yang inspiratif.
Karena isi dan settingnya di pesantren, aku langsung memberi cap "sastra pesantren" untuk Negeri 5 Menara. Keunggulan soal sastra pesantren salah satunya ada pada karya Djamil Suherman (1924 - 1985) terutama kumpulan cerpen Umi Kulsum. Di sisi lain novel yang mendapat banyak sekali endorsement ini membetot lagi genre "fiksi Islam" ke bentuk tradisionalnya, yakni dengan secara ekstensif menggunakan istilah dan percakapan berbahasa Arab---sebenarnya ini wajar, sebab di pesantren semua orang wajib berbahasa Arab. Bahkan ruh semangat itu ada dalam adagium "Man Jadda Wajada" (siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil) yang memberi sengatan energi dan kehidupan bagi para tokohnya. Meski begitu isu pluralisme juga cukup menonjol tampil. Justru nuansa inilah yang membuat novel ini berhasil jadi terasa lebih universal, bisa dinikmati siapapun.
Begitu menamatkannya, dalam kepalaku tumbuh dugaan: ada apa di balik penerbitan novel ini? Rasanya ajaib GPU mau menerbitkan "fiksi Islam" yang tampak konservatif. Apa karena ambisius, merupakan trilogi, dan menebarkan sikap positivisme? Bisa dipicu dua alasan ini: (1) ingin menampilkan pesantren sebagai tempat unggul, menghalau citra pesantren sebagai sarang terorisme; (2) tema pendidikan sedang laris di pasar buku.
Citra pesantren kini memang terpuruk. Ia bukan cuma dituduh sebagai sarang pelatihan terorisme dan akar kekerasan sekelompok umat Islam berhaluan ekstrem, sistem pendidikan Indonesia pun menganaktirikannya. Asrori S. Karni, seorang wartawan, bahkan berani menyebut bahwa perlakuan pemerintah Indonesia terhadap sekolah berbasis agama boleh dibilang diskriminatif dan pilih kasih. Ini ironik. Ketika bangsa Indonesia kerap bangga tampak sebagai bangsa religius, keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan agama justru amat rendah. Umat Islam pun sekarang posisinya terpojok. Pada Ramadhan 1430 H polisi Indonesia bahkan usul agar khutbah tarawih diawasi. Ini konyol sekali dibandingkan dengan sumbangsih umat Islam terhadap peradaban Indonesia. Rupanya polisi siap mencurigai bangsa sendiri. Paranoid.
Sekarang, lihatlah Pondok Madani, pesantren tempat kisah ini berlangsung. A. Fuadi membuka gerbang pesantren selebar mungkin, membeberkan isinya, dan mengisahkan kejadian di sana dengan jujur. Tak ada pelajaran mengokang senjata di sini, tak ada latihan keterampilan merakit bom, juga tak ada cuci otak tentang jihad dalam konotasi menghancurkan lawan atau intoleran terhadap keyakinan lain. Jihad di sini ialah "bersungguh-sungguh dalam berusaha," diajarkan kepada ribuan murid berusia remaja. Santrinya bukan hanya belajar agama secara sempit, melainkan dinamik dan hidup, langsung berhadap-hadapan dengan realitas sosial. Negeri 5 Menara niscaya berhasil mengembalikan citra ideal pesantren, apalagi mereka mengelolanya secara swasembada dan profesional. Mereka melatih semua orang di dalamnya menjadi pribadi yang kuat sekaligus berakal sehat dalam kehidupan sosial. Pondok Madani merupakan perwujudan sekolah asrama yang ideal dan mentereng, kurikulumnya pun lengkap. Sisi fisik, mental, dan religiositas anak didiknya diperhatikan secara seimbang. Pondok Madani persis memenuhi syarat sebagai pesantren ideal.
Meski faktanya pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam lanjutan setelah belajar informal di surau, sebagian orang ternyata masih menganggap pesantren itu misterius. Ini tergambar dari pernyataan Andy F. Noya, host acara Kick Andy dan pemimpin perusahaan media. Komentarnya: "Jarang ada novel yang bercerita tentang apa yang terjadi di balik sebuah pondok yang penuh teka-teki." Pernyataan ini terdengar absurd bagi seorang jurnalis senior yang pernah mewawancarai Aa Gym dan Gus Dur. Bukankah sudah begitu banyak alumnus pesantren yang terkemuka dan menonjol di negeri ini? Bukankah hampir semua kiayi haji yang terkemuka pasti sekalian mengelola pesantren? Bisa jadi kabut yang menutupi citra pesantren sekarang ialah gencarnya berita buruk dari berbagai media informasi. Keasingan ini diperkuat oleh catatan kaki novel ini, misalnya dengan merasa perlu menerangkan arti kata "ustad."
Hal mencolok lain dari novel ini ialah banyaknya salah eja, sampai mudah menimbulkan prasangka bahwa naskah ini tidak diproof reading. Kesalahan mulai dari nama orang, istilah, penggunaan huruf kapital dan tanda baca, bahkan kata-kata itu sendiri. Contoh: Goenawan Muhammad (mestinya Goenawan Mohamad), Amstrong (mestinya Armstrong), tasafuw (mestinya tasawuf---sulit memaklumi ejaan seperti ini lolos mengingat "tasafuw" tak berarti apa-apa), kota kata (mestinya kosakata), yg (masih berupa singkatan).
Menurut berita, sampai November 2009 Negeri 5 Menara sudah terjual lebih dari 15000 kopi. Ini merupakan bestseller nasional yang mengejutkan, sungguh luar biasa bagi seorang novelis pendatang baru. Para pembaca awal novel ini sangat potensial menjadi captive market sekuelnya: akan ada cerita apa pada keenam anggota Sahibul Menara ini? Mereka juga pantas berharap dan memberi saran agar jilid kedua dan ketiganya nanti hadir lebih hebat dan dalam.[]
Anwar Holid, alumnus pesantren kilat Ramadhan Daarut Tauhid, Bandung. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Situs terkait:
http://negeri5menara.com
A. Fuadi ikutan Facebook dan ada halaman Negeri 5 Menara di sana. Berkawanlah dengan dia.
Menara Penopang Asa
--Anwar Holid
Negeri 5 Menara
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2009
Tebal: xiii + 416 halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6
- Jadi Negeri 5 Menara itu kamu rekomendasikan enggak? tanya kawanku di hari Sabtu menjelang matahari ada puncak kepala.
- Emm... aku rekomendasikan. Memang kenapa gitu? aku jadi agak bingung
- Kok kamu belum bikin [BUKU INCARAN] untuk novel itu?
- Ha ha ha... enggak ada di [BUKU INCARAN] bukan berarti buku itu enggak pantas direkomendasikan.
- Soalnya aneh kamu sudah sering ngomongin buku itu, tapi resensinya enggak ada saja.
- Banyak buku bagus yang aku kesulitan nulis resensinya. Aku ingin meresensi Negeri 5 Menara dan menghubungkannya dengan sastra pesantren, atau fiksi islam kontemporer.
- Apa yang paling menarik dari Negeri 5 Menara?
- Kalau kamu suka dengan harapan dan kerja keras untuk mewujudkan mimpi, tema pendidikan, kesetiakawanan, idealisme, motivasi untuk terus semangat, optimisme, hal-hal grandeur... kamu akan suka novel ini.
- Wah, Laskar Pelangi banget dong!
- Ha ha ha... kamu terlalu cepat menilai.
- Terus kelemahannya apa?
- Menurutku novel ini datar. Ia kayak kekurangan passion. Humornya biasa saja. Aku dan Herry Mardian sepakat soal ini. Dia bahkan sudah baca novel itu sejak masih berupa draft.
- Apa maksud kamu dengan "kekurangan passion"?
- Aku juga sulit menerangkannya. Kira-kira mungkin seperti ini: ia kurang dramatik. Ada kedalaman emosi yang belum tergali di sana. Cara bertuturnya biasa saja. Tidak ada sesuatu yang membuat aku betul-betul terkesan pada salah satu tokohnya.
- Mungkin novel itu lebih mementingkan ide daripada drama.
- Benar. Ide novel ini ialah bagaimana seseorang terbangkitkan untuk mewujudkan mimpi, mantap dengan pilihan itu. Sejak awal memang ambisius. Mulanya terpuruk, terus jadi semangat dan sukses. Tapi dalam novel, aku butuh drama dan kejadian kritis kenapa seseorang bisa bangkit dan mengalahkan salah anggapnya sendiri.
- Memang novel ini cerita soal apa?
- Cerita tentang sekelompok santri yang tinggal di satu pondok. Masing-masing punya kisah kenapa mereka sampai di sana. Salah seorang dari mereka tadinya menolak masuk pesantren, selain karena bercita-cita ingin jadi insinyur, ada kesan pesantren itu sekolah kelas dua. Dia maunya masuk SMU negeri. Tapi orang tuanya memaksa dia masuk pesantren. Akhirnya sekalian saja, dia milih pesantren yang amat jauh dari kampungya, di Jawa Timur. Dia tadinya dari Bukittinggi. Novel itu berisi pengalaman dan kesan selama mondok, seperti apa pendidikan di sana, dan dapat apa saja mereka.
- Kok judulnya Negeri 5 Menara? Apa hubungannya?
- Ayolah, kamu harus baca sendiri. Kamu harus beli novel itu, kataku sedikit ketus.
Aku memang campur aduk menilai Negeri 5 Menara. Aku sudah membicarakan novel ini kepada sejumlah orang, terutama kawan yang menurutku bakal tertarik dengan tema pendidikan dan persahabatan, juga kemungkinan visualisasi dari novel tersebut. Ternyata harapanku merana. Kawan-kawanku lebih suka cerita dengan tema biasa, sehari-hari, tapi mungkin efeknya "dalam banget." Untuk drama, pertanyaan utama mereka ialah "ceritanya apa?" Mungkin aku salah ketemu orang.
Poinnya ialah: Aku khawatir kehilangan respek pada novel ini, takut terlalu rewel pada kekurangannya, sampai lupa mencatat keberhasilan atau keunggulannya---padahal bisa jadi itu hanya masalah selera. Tapi beruntung sejumlah resensi berhasil melihat sisi positif novel ini, di antaranya tampak pada resensi di Kompas Minggu, 1 November 2009. Peresensi menyebut ini sebagai novel motivasional-pendidikan yang inspiratif.
Karena isi dan settingnya di pesantren, aku langsung memberi cap "sastra pesantren" untuk Negeri 5 Menara. Keunggulan soal sastra pesantren salah satunya ada pada karya Djamil Suherman (1924 - 1985) terutama kumpulan cerpen Umi Kulsum. Di sisi lain novel yang mendapat banyak sekali endorsement ini membetot lagi genre "fiksi Islam" ke bentuk tradisionalnya, yakni dengan secara ekstensif menggunakan istilah dan percakapan berbahasa Arab---sebenarnya ini wajar, sebab di pesantren semua orang wajib berbahasa Arab. Bahkan ruh semangat itu ada dalam adagium "Man Jadda Wajada" (siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil) yang memberi sengatan energi dan kehidupan bagi para tokohnya. Meski begitu isu pluralisme juga cukup menonjol tampil. Justru nuansa inilah yang membuat novel ini berhasil jadi terasa lebih universal, bisa dinikmati siapapun.
Begitu menamatkannya, dalam kepalaku tumbuh dugaan: ada apa di balik penerbitan novel ini? Rasanya ajaib GPU mau menerbitkan "fiksi Islam" yang tampak konservatif. Apa karena ambisius, merupakan trilogi, dan menebarkan sikap positivisme? Bisa dipicu dua alasan ini: (1) ingin menampilkan pesantren sebagai tempat unggul, menghalau citra pesantren sebagai sarang terorisme; (2) tema pendidikan sedang laris di pasar buku.
Citra pesantren kini memang terpuruk. Ia bukan cuma dituduh sebagai sarang pelatihan terorisme dan akar kekerasan sekelompok umat Islam berhaluan ekstrem, sistem pendidikan Indonesia pun menganaktirikannya. Asrori S. Karni, seorang wartawan, bahkan berani menyebut bahwa perlakuan pemerintah Indonesia terhadap sekolah berbasis agama boleh dibilang diskriminatif dan pilih kasih. Ini ironik. Ketika bangsa Indonesia kerap bangga tampak sebagai bangsa religius, keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan agama justru amat rendah. Umat Islam pun sekarang posisinya terpojok. Pada Ramadhan 1430 H polisi Indonesia bahkan usul agar khutbah tarawih diawasi. Ini konyol sekali dibandingkan dengan sumbangsih umat Islam terhadap peradaban Indonesia. Rupanya polisi siap mencurigai bangsa sendiri. Paranoid.
Sekarang, lihatlah Pondok Madani, pesantren tempat kisah ini berlangsung. A. Fuadi membuka gerbang pesantren selebar mungkin, membeberkan isinya, dan mengisahkan kejadian di sana dengan jujur. Tak ada pelajaran mengokang senjata di sini, tak ada latihan keterampilan merakit bom, juga tak ada cuci otak tentang jihad dalam konotasi menghancurkan lawan atau intoleran terhadap keyakinan lain. Jihad di sini ialah "bersungguh-sungguh dalam berusaha," diajarkan kepada ribuan murid berusia remaja. Santrinya bukan hanya belajar agama secara sempit, melainkan dinamik dan hidup, langsung berhadap-hadapan dengan realitas sosial. Negeri 5 Menara niscaya berhasil mengembalikan citra ideal pesantren, apalagi mereka mengelolanya secara swasembada dan profesional. Mereka melatih semua orang di dalamnya menjadi pribadi yang kuat sekaligus berakal sehat dalam kehidupan sosial. Pondok Madani merupakan perwujudan sekolah asrama yang ideal dan mentereng, kurikulumnya pun lengkap. Sisi fisik, mental, dan religiositas anak didiknya diperhatikan secara seimbang. Pondok Madani persis memenuhi syarat sebagai pesantren ideal.
Meski faktanya pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam lanjutan setelah belajar informal di surau, sebagian orang ternyata masih menganggap pesantren itu misterius. Ini tergambar dari pernyataan Andy F. Noya, host acara Kick Andy dan pemimpin perusahaan media. Komentarnya: "Jarang ada novel yang bercerita tentang apa yang terjadi di balik sebuah pondok yang penuh teka-teki." Pernyataan ini terdengar absurd bagi seorang jurnalis senior yang pernah mewawancarai Aa Gym dan Gus Dur. Bukankah sudah begitu banyak alumnus pesantren yang terkemuka dan menonjol di negeri ini? Bukankah hampir semua kiayi haji yang terkemuka pasti sekalian mengelola pesantren? Bisa jadi kabut yang menutupi citra pesantren sekarang ialah gencarnya berita buruk dari berbagai media informasi. Keasingan ini diperkuat oleh catatan kaki novel ini, misalnya dengan merasa perlu menerangkan arti kata "ustad."
Hal mencolok lain dari novel ini ialah banyaknya salah eja, sampai mudah menimbulkan prasangka bahwa naskah ini tidak diproof reading. Kesalahan mulai dari nama orang, istilah, penggunaan huruf kapital dan tanda baca, bahkan kata-kata itu sendiri. Contoh: Goenawan Muhammad (mestinya Goenawan Mohamad), Amstrong (mestinya Armstrong), tasafuw (mestinya tasawuf---sulit memaklumi ejaan seperti ini lolos mengingat "tasafuw" tak berarti apa-apa), kota kata (mestinya kosakata), yg (masih berupa singkatan).
Menurut berita, sampai November 2009 Negeri 5 Menara sudah terjual lebih dari 15000 kopi. Ini merupakan bestseller nasional yang mengejutkan, sungguh luar biasa bagi seorang novelis pendatang baru. Para pembaca awal novel ini sangat potensial menjadi captive market sekuelnya: akan ada cerita apa pada keenam anggota Sahibul Menara ini? Mereka juga pantas berharap dan memberi saran agar jilid kedua dan ketiganya nanti hadir lebih hebat dan dalam.[]
Anwar Holid, alumnus pesantren kilat Ramadhan Daarut Tauhid, Bandung. Bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Situs terkait:
http://negeri5menara.com
A. Fuadi ikutan Facebook dan ada halaman Negeri 5 Menara di sana. Berkawanlah dengan dia.
Wednesday, November 18, 2009
Berbagi Ilmu Penulisan
---Anwar Holid
Writing is a journey to the unknown.
--Charlie Kaufman
Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.
Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan kebiasaan baca juga.
Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru.
Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan "terpaksa" kalau bukan memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari "menulis" model ini ialah ribuan puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung "mengikat puisi itu" dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping rumahnya. Koleganya---kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.
Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang bisa dipelajari. "Kamu hanya butuh alat, bukan aturan," demikian tegas Roy Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat pernyataan.
Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran lain mendesak, emosi perlu diluapkan.
Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis yang berlaku di media massa atau digunakan oleh penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir.
Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan.
Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing---sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan dan pikirannya tersampaikan.
Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses editing (penyuntingan). Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.
Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah lama kami tak kontak.
Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh.
Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[]
Anwar Holid sehari-hari bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Wednesday, November 11, 2009
Keep Your Mind Thinking
Yang Bisa Saya Rumuskan Per Hari ini Tentang Menulis Ilmiah
---Alfathri Adlin
Saya ingat bahwa sejak awal belajar menulis, saya sudah memulainya dengan nekad menuliskan ‘analisis sok ilmiah’. Tulisan utuh pertama saya adalah tentang jilbab yang dikaitkan dengan semiotika dan budaya populer. Tulisan tersebut sangat emosional dan buruk sekali. Dengan percaya dirinya saya kirim tulisan itu ke Republika. Hasilnya? Ditolak mutlak. Namun tulisan ini kemudian berevolusi terus-menerus setiap tahun hingga akhirnya memanjang menjadi tiga puluhan halaman dan di muat di Jurnal IIIT. Kemudian saya revisi lagi dan masuk dalam antologi "Menggeledah Hasrat." Hanya itu saja dari tulisan awal saya yang berevolusi terus menerus, tulisan-tulisan awal lainnya pada umumnya sudah hilang entah ke mana. (Lagi pula kalau membacanya lagi pastilah memalukan.)
Selain emosional, tulisan-tulisan saya di fase awal sangatlah divergen. Panjang sekian puluh halaman, penuh kutipan dan saduran, namun tidak ada fokus dan kesatuan tema. Selama bertahun-tahun saya selalu menulis dengan cara seperti itu. Namun, karena bantuan dan masukan dari sekian banyak teman yang cerdas dan berbakat dengan mengedit dan memberi saran tentang bagaimana sebaiknya saya menulis, sedikit demi sedikit mulai ada perbaikan. Ketertarikan terhadap ‘yang sok ilmiah’ itu juga terlihat pada saat menerjemahkan buku di Mizan. Saya lebih memilih buku yang membahas suatu topik ilmiah (Posmodernisme dan Cultural Studies) sekalipun disajikan secara populer. Dan saat ini, saya bekerja sebagai editor yang salah satu tugasnya menangani naskah penulis lokal khusus kajian
humaniora. Nah, dengan sepenggal pengalaman menulis itu, dan beberapa pengamatan pribadi saat mengedit buku penulis lokal, saya mencoba memberanikan diri memaparkan apa yang saya mengerti per hari ini tentang menulis ilmiah.
Terlihat pada judul"tulisan ini bahwa saya memang memplesetkan slogan yang sangat sering dipakai oleh Anwar Holid: Keep Your Hand Moving. Plesetan ini selain buat lucu-lucuan, sebenarnya juga untuk menekankan aspek yang berbeda dari menulis ilmiah. Slogan "keep your hand moving" mengisyaratkan suatu keproduktifan membuat tulisan, bahkan kalau bisa dilakuken setiap hari. Istilah kerennya`prolifik. Apakah menulis ilmiah pun harus dilakukan saban hari (mengikuti nasihat mas Hernowo)?
Jenis tulisan itu bermacam-macam. Ada tulisan personal, sastrawi, ilmiah, dan lain sebagainya. Tulisan personal adalah salah satu tulisan yang bisa dilakukan setiap hari. Namun keprolifikan serupa tidak bisa dituntut dalam menulis ilmiah. Untuk menulis ilmiah yang"baik, orang perlu membaca, merenung" panjang dan menyusun argumen yang sistematik dan tajam. (Belum lagi kalau mau menulis kajian filsafat, untuk memahami buku rujukan yang dipakai sebagai bahan menulis membutuhkan waktu yang tidak sebentar.) Kesemua proses menulis ilmiah itulah yang saya rumuskan menjadi "keep your mind thinking."
Di dunia ilmiah banyak pemikir besar yang sepanjang hidupnya hanya menghasilkan sedikit buku atau tulisan, namun meskipun terbilang tidak prolifik, pemikiran mereka mengubah paradigma pada masa berikutnya. Contoh paling ekstrem ialah Ferdinand de Saussure yang dinobatkan menjadi bapak linguistik modern dan pencetus semiologi (sekarang lebih dikenal dengan istilah semiotika) justru melalui buku yang tidak pernah ditulisnya. Pengantar Linguistik Umum yang monumental serta mengubah wajah filsafat dan linguistik abad ke-20 itu "hanyalah" catatan kuliah dari para murid yang kemudian mereka kumpulkan dan rangkai menjadi sebuah buku legendaris.
Saya ingat sebuah cerita. Suatu ketika Einstein tengah berada di sebuah pesta dan dia melihat seorang fisikawan yang selalu sibuk mencatat dengan membawa notes. Einstein bertanya kepada fisikawan itu tentang kebiasaannya. Sang fisikawan menjelaskan bahwa itu membantunya untuk bisa selalu sigap mencatat setiap lintasan ide yang melintas di benaknya, sehingga bisa dia catat dan tuliskan nantinya. Sang fisikawan menganjurkan Einstein untuk mencobanya juga. Einstein berkata: "Entahlah apa itu berguna buat saya, karena saya hanya punya satu ide sepanjang hidup saya."
Dalam dunia ilmiah, biasanya pemikir besar memang "hanya" memiliki satu ide besar yang kemudian dia kembangkan dan beranak-pinak menjadi sekian buku atau tulisan. Tak jarang dalam perjalanan karirnya, sang pemikir bisa merevisi pemikiran-pemikiran terdahulunya---itulah pentingnya mencantumkan tanggal dalam setiap tulisan agar para kritikus mengetahui dan memahami evolusi pemikiran sang penulis ilmiah tersebut. Jadi, dalam menulis ilmiah, keprolifikan bukanlah hal yang "didewakan." Ketajaman tawaran pemikiran dalam tulisan itulah yang lebih "didewakan."
Kalau Anda ingin menulis yang sastrawi---juga termasuk esai personal---kemampuan memikat melalui "craft" (keahlian merangkai) kata-kata mutlak diperlukan. Sementara dalam dunia menulis ilmiah, "craft" kata-kata untuk membuat tulisan yang memikat bukanlah hal utama.
Contoh paling ekstrem dari hal ini adalah Max Weber. Melalui bukunya yang membahas tentang Kapitalisme dan Etika Protestan, Max Weber menancapkan pengaruhnya yang panjang hingga hari ini dalam dunia sosiologi dan bidang humaniora lainnya. Namun, ada satu hal yang memprihatinkan dari Max Weber: tulisannya buruk sekali. Aneh bukan? Seseorang bisa mempengaruhi dunia pemikiran justru melalui tulisan yang kualitasnya nyaris dodol. Tapi itulah dunia menulis ilmiah.
Kalau boleh saya menganalogikannya, menulis ilmiah itu menyerupai percakapan William Wallace dengan pamannya dalam film Brave Heart. Dalam suatu upacara peringatan para pahlawan perang Skotlandia di malam hari, Wallace kecil tampak tertarik pada pedang pamannya. Mengetahui hal itu, pamannya berkata kepada Wallace kecil: "Kamu bisa membaca?" Wallace menggeleng. Kemudian pamannya berkata: "Pertama-tama aku akan melatih kamu menggunakan ini (sambil sang paman menyentuhkan telunjuknya ke jidat Wallace), setelah itu baru aku akan melatih menggunakan ini (sambil sang paman mengacungkan pedangnya)."
Ya, dalam menulis ilmiah itu yang paling utama ialah Anda melatih kemampuan berpikir analitis-teoretik terlebih dahulu, soal "skill" menulis itu bisa dilatih belakangan. Dan tidak perlu "ngotot" untuk prolifik, dahulukanlah ketajaman analisis-teoretik.[]
Alfathri Adlin bekerja sebagai editor (nonfiksi) Penerbit Jalasutra. Dia bisa dikontak lewat Facebook.
Bagaimana Cara Supaya Novel Saya Bisa Tembus ke GPU?
---Hetih Rusli
Judul di atas adalah jawaban dari pertanyaan, "Mbak, gimana sih caranya supaya novel saya bisa nembus ke GPU? Seperti apa naskah yang Mbak sukai?" Ah, mari saya tuliskan tipsnya di sini.
1. Tokoh
Novel-novel laris biasanya memiliki tokoh-tokoh yang melekat di benak pembaca. Sebut saja tokoh seperti Harry Potter, Scarlett O'Hara, Holden Caulfield, atau Edward Cullen. Buat tokoh dengan karakter kuat, nama yang khas bisa membantu. Tapi yang terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas kertas.
Keputusan-keputusan yang diambil si tokoh dalam perjalanannya di sepanjang novel itu harus sesuai dengan karakter si tokoh. Seorang Edward Cullen akan melemparkan dirinya di depan mobil demi menyelamatkan gadis yang dia cintai, sementara Holden Caulfield akan memutar bola matanya lalu menganalisis kejadian tersebut dengan sinis. Scarlett O'Hara akan membunuh orang lebih dulu dibanding harus mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan keluarganya, sementara Harry Potter tidak ragu mengorbankan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.
Dan tolong deh, enggak perlu menyebutkan semua karakteristik tokoh lengkap dengan sifat-sifatnya pada halaman 2, paragraf pertama sehabis si tokoh datang terlambat ke sekolah. Misalnya, "Len adalah gadis berusia 16 tahun berambut pendek berponi dan hobi main basket. Dia sedikit tomboy tapi baik hati, makanya dia punya banyak teman. Len anak tunggal konglomerat yang setiap hari diantar jemput ke sekolah dengan Jaguar. Dia berbintang Libra, makanya dia sering plin-plan mengambil keputusan. Len naksir Leo, anak basket yang juga ketua OSIS. Len paling suka pelajaran seni di sekolahnya, mungkin karena ibunya pelukis. "
Dijamin pada halaman 20, Len sudah tidak menarik lagi karena saya nyaris sudah tahu "segalanya" tentang Len dalam satu paragraf, dan pada halaman 30 saya sudah malas bacanya...
2. Alur Cerita
Kadang-kadang pengarang sering mengajak pembacanya muter-muter enggak keruan hanya karena si penulis kepingin saja memasukkan jalinan peristiwa atau dialog yang kalau ditanya kenapa dia melakukannya, jawabannya adalah, "Because I like it."
Alur cerita seharusnya dibuat untuk menghasilkan efek tertentu. Ada hubungan sebab akibat yang terjadi di dalam alur. Kejadian A menghasilkan peristiwa B, yang berlanjut ke C, dan seterusnya. Bahkan dialog pun harus ada tujuannya. Bukan cuma, "Hm, lucu nih kalo gue masukin adegan tokohnya nongkrong kongkow-kongkow di Starbucks lalu ngobrol-ngobrol seperti yang suka gue lakuin sama temen-temen gue."
Yang lebih menyebalkan adalah pengarang-pengarang yang suka banget pamer pengetahuan padahal enggak nyambung sama alur cerita, hanya untuk menunjukkan, "Nihhh... gue ceritain ya... Gue kasih tau nih tentang gimana membuat roket." Hanya karena dia tahu caranya...
3. Tema Cerita
Tidak perlu membuat cerita yang harus BEDA dan ORISINAL yang TIDAK ADA DUANYA, walaupun beda, orisinal, dan tak ada duanya memang menarik perhatian pada pandangan pertama. Daur ulang adalah hal biasa, dan tambahkan bumbumu sendiri. Baca saja "Twilight Saga", Shakespeare akan menari dalam kuburnya melihat bagaimana konsep kisah cinta terlarang yang tak kesampaian dan hanya bisa dipisahkan maut yang ditulisnya 400 tahun lalu diramu sedemikian rupa oleh Stephenie Meyer. Sementara Joss Whedon akan nyengir mendengar konsep "vampire with a soul." "Ke mane aja, Mbak Steph?" mungkin itu kata Anne Rice. Dan yeah, sedikit cinta segitiga tidak pernah merugikan untuk dijadikan tema atau subtema.
Banyak pengarang memulai cerita dengan membawa kegelisahan dan gagasan, tapi melupakan fakta bahwa tulang punggung fiksi adalah cerita. Sehingga cerita dipaksakan masuk untuk memuat gagasan dan kegelisahan tersebut. Jangan melemparkan kegelisahanmu bulat-bulat kepada pembaca. Mulailah dengan cerita, selipkan kegelisahan dan gagasan itu dalam bab demi bab dalam novel. Selain membuat pembaca jadi penasaran setiap membalik halaman, efek cuci otaknya dijamin akan lebih dahsyat.[] Friday, March 20, 2009
Hetih Rusli bekerja sebagai editor di Gramedia Pustaka Utama. Halaman Facebooknya ialah http://www.facebook.com/hetih.
Wednesday, November 04, 2009
Pink Floyd ketika masih berlima.
Crazy Diamonds, You Shine Like the Sun
---Anwar Holid
Pada edisi Oktober 2008, UNCUT menerbitkan cover story berjudul "Pink Floyd 30 Greatest Songs" yang antara lain dipilih sendiri oleh Dave Gilmour, Nick Mason, dan puluhan insan musik lain, terutama kalangan dekat mereka, seperti manajer, desainer cover, produser, sound engineer, konduktor, musisi junior yang amat terpengaruh oleh mereka, fotografer sezaman mereka, dan lain-lain. Secara menyesakkan Roger Waters terpaksa diabaikan sebagai pemilih, karena dia secara hukum dilarang menggunakan nama Pink Floyd; sementara Richard Wright dan Syd Barrett sudah meninggal.
Ke-30 lagu itu ialah:
01. Shine on your crazy diamond
02. See emily play
03. Interstellar overdrive
04. Arnold layne
05. Another brick in the wall (part 2)
06. Wish you were here
07. Set controls for the heart of the sun
08. Astronomy domine
09. Jugband blues
10. Fearless
11. Lucifer
12. Careful with that axe, eugene
13. Atom heart mother (suite)
14. Is there anybody out there?
15. Breathe
16. Goodbye bluesky
17. Apples and oranges
18. Comfortably numb
19. Have a cigar
20. See-saw
21. One of these days
22. High hopes
23. Brain damage
24. Chapter 24
25. Fat old sun
26. Time
27. If
28. Green is the colour
29. Money
30. Echoes
Buat aku sendiri, daftar ini lebih memuaskan dibandingkan seleksi dalam Echoes - The Best of Pink Floyd (2001). Entahlah, urutan tersebut merupakan hierarki atau acak. Tapi kalau sekilas diperhatikan, boleh jadi alasannya kesetimbangan. Daftar itu diawali dengan lagu yang amat panjang (25 menit), ditopang lagi di tengah-tengah (23 menit), dan ujungnya (23 menit). Echoes kekurangan aspek itu, bahkan sengaja memberikan edisi potongan untuk lagu-lagu panjang.
Yang mungkin cukup seru, tak ada lagu terpilih dari album The Final Cut dan A Momentary Lapse of Reason. Sementara lagu dari The Dark Side of the Moon dan The Wall mendominasi. Sebagian kritikus maupun penggemar Pink Floyd menilai bahwa The Final Cut merupakan album solo Roger Waters yang harus dikerjakan anggota Pink Floyd, dan sebaliknya, A Momentary Lapse of Reason kerap dinilai sebagai album solo Dave Gilmour yang dikemas atas nama Pink Floyd, minus Roger Waters. Namun lebih dari semua itu, ke-30 lagu itu memperlihatkan rentang karir dan karya Pink Floyd secara seimbang.
Perjalanan karir Pink Floyd terbagi dalam tiga fase utama. Pertama di awal terbentuknya band itu, di bawah kepemimpinan Syd Barrett. Kedua setelah Barrett meninggalkan band itu karena emosinya labil dan sakit mental, dan kepemimpinan segera diambil alih oleh Roger Waters. Ketiga setelah ketiga anggotanya berseteru dan bermusuhan dengan Roger Waters, dan akhirnya ganti David Gilmour memimpin Pink Floyd. Periode pertama dan ketiga berlangsung relatif sebentar bila dibandingkan periode ketika mereka menghasilkan sejumlah master piece dengan arahan artistik di bawah Roger Waters.
Menurut statistik, Roger Waters punya andil 70 % dari semua karya Pink Floyd. Meski begitu, harus diakui statistik itu tidak berarti mengesampingkan kualitas sumbangsih keempat anggota lainnya. Ada banyak lagu Pink Floyd yang dengan mudah memperlihatkan virtuositas masing-masing anggota. Contoh peran Richard Wright dalam The Great Gig in the Sky; Dave Gilmour dalam One of These Days, dan Nick Mason dalam Echoes. Jadi meskipun Syd Barrett sudah lama sekali inaktif dan Roger Waters secara menyakitkan kalah di pengadilan, ruh keduanya masih begitu terasa dalam karya Pink Floyd. Bahkan boleh dibilang kedua orang itu senantiasa menghantui Pink Floyd dan menjadi patokan bagi setiap karya mereka. Karya, reputasi, dan sosok mereka mustahil tumbang hanya oleh kegilaan maupun arogansi dan egoisme.
Mendengarkan ke-30 lagu itu membuat aku seakan-akan menyaksikan layar lebar berisi perjalanan sebuah band yang sarat drama, kegilaan, kreativitas, sekaligus ironi, kesedihan, dan perseteruan.
"Kami tak pernah berhasrat ingin jadi terkenal ataupun bintang rock 'n' roll," kata Richard Wright. Di awal formasi sebagai band kampus Regent Street Polytechnic, bisa jadi niat itu jujur. "Kami lebih ingin jadi seniman daripada musisi rock," kata Nick Mason dalam BBC 7 Ages of Rock bagian 2. Dari latar belakang keluarga, semua anggota Pink Floyd berasal dari golongan kelas terdidik-mapan. Kemakmuran sudah menjadi bagian mereka sejak orok. Jadi mereka lebih butuh aktualitas atau keinginan mencapai status baru yang prestisius.
Richard Wright sendiri, misalnya, jauh lebih terpengaruh Miles Davis (pemain trumpet & komposer jazz terkemuka) dibanding pemain piano/keyboard dari ranah rock. Album debut mereka, The Piper at the Gates of Dawn (Agustus 1967), juga tampak merupakan album rock yang nyeleneh daripada mudah didengar dan didendangkan. Apalagi mereka sejak awal menampilkan instrumental rumit berdurasi cukup panjang, Interstellar Overdrive (9,41 menit), dan nanti ditradisikan di album ke-2, dengan A Saucerful of Secrets (12 menit.) Mana ada grup rock biasa berani melakukan terobosan seperti itu? Kecenderungan itu sudah agak lain bila dibandingkan dengan pendekatan The Beatles yang tengah sedang populer.
"Kami memainkan musik yang sulit dipahami perusahaan rekaman," papar Wright. Tapi lepas dari itu, eksperimen dan jangkauan musik mereka sungguh luar biasa. Bila mula-mula mereka main di klub underground, lama mereka mengemuka, jadi pionir, dan sangat berpengaruh. Merekalah bapak dari genre psychedelic rock, art rock maupun progresif rock. Dan lebih dari itu semua, keberhasilan mereka secara komersial nyaris tak tertandingi oleh grup mana pun yang sealiran mereka. Gabungan musik mereka---blues, rock, jazz, bunyi-bunyi "aneh"---kerap bernuansa depresif, bahkan disisipi oleh jeritan atau lolongan orang, belum lagi raungan gitar, timpalan bebunyian dari keyboard, dentuman bass, juga suara-suara kehancuran dari simbal dan tempo yang bikin gelisah dari drum. Lagu seperti "Shine on your crazy diamond", "Echoes", "Interstellar overdrive" merupakan contoh sempurna dari musik Pink Floyd yang kompleks, namun terasa dalam, seakan membawa pendengarnya ke lorong jauh atau melesak ke dalam bawah laut nan mencekam. Tapi sejumlah lagu normal Pink Floyd juga sangat mudah diingat, enak didengar dan didendangkan, misalnya Goodbye bluesky, Wish you were here, dan If (balada), Comfortably numb (bernuansa slow rock yang anthemic), dan yang paling legendaris: Another brick in the wall (part 2).
Wajar ketika EMI pertama kali mengontrak mereka, Pink Floyd digadang-gadang akan mengubah perjalanan musik. Tapi yang pertama-tama terjadi bukanlah sukses gila-gilaan, melainkan kegilaan dalam arti harfiah. Sakit itu menyerang motor mereka, Syd Barrett, mahasiswa seni yang kreatif dan eksentrik. Perilakunya yang aneh dan labil, konon terutama disebabkan oleh kecanduan narkotika jenis LSD yang membuat orang berhalusinasi, membuat riwayat seninya benar-benar tamat. Dalam keadaan labil, misalnya ketika di panggung, Barrett hanya bisa mondar-mandir, membuat bingung teman-temannya yang main musik dengan serius. Sementara massa penonton, yang kerap terpesona oleh mitos dan salah anggap, malah mengira itu bagian dari pertunjukan, senang melihatnya. Antik. Di studio, kadang-kadang Barrett mencoba menawarkan lagu baru kepada teman-temannya, tapi setiap kali latihan, iramanya selalu ganti-ganti, dan lama-lama membuat mereka frustrasi. Klimaksnya, Barrett dipecat dan ditinggalkan oleh teman-temannya, terutama atas inisiatif Roger Waters. Untuk menopang gitar dan vokal atas absennya Barrett, mereka meminta teman main gitar Barrett untuk bergabung, namanya David Gilmour.
Begitu Barrett inaktif, Waters mengambil peran sebagai pengendali utama musik Pink Floyd. Bahkan segera menjadi motor penggerak paling utama. Tapi dia pun rupanya punya trauma dan sifat arogan dan egois berlebihan, yang di puncak pertentangan justru membuatnya jadi seorang desertir. Pink Floyd masa Roger Waters merupakan periode emas. Mereka menghasilkan sejumlah album legendaris yang luar biasa, terutama Meddle, Dark Side of the Moon, Wish You Were Here, Animals, dan The Wall. Namun dominasi Waters akhirnya keterlaluan sampai membuat semua orang di sekelilingnya bermasalah, dan akibatnya memusuhi dia. Waters bahkan pernah memecat Richard Wright usai pembuatan The Wall.
"Ada pertentangan pribadi yang amat besar antara aku dan Roger, sampai pada titik aku mustahil bisa bekerja sama lagi dengan orang itu. Jadi aku cabut," kata Wright.
Bahkan saudara perempuan Barrett saja bisa bersaksi betapa Waters jadi menyebalkan. Konon, salah satu sebab Waters jadi selfish ialah karena dia kehilangan ayah sejak kecil. Di puncak ketegangan itu, Waters membubarkan Pink Floyd setelah merilis The Final Cut. Tapi rupanya Mason dan Wright---sebagai sesama founding member---menolak prakarsa itu, apalagi David Gilmour dan produser juga ada di belakang mereka. Gilmour sudah bukan anak bawang lagi. Dia telah menjelma sebagai salah satu gitaris rock terhormat sedunia dan lagu ciptaannya maut. Maka peranglah mantan empat sekawan itu di pengadilan, memperebutkan nama Pink Floyd dan harta gono-gininya. Keputusan pengadilan mungkin lebih menyakitkan lagi buat Waters, sebab Mason dan Gilmour memenangi perkara, berhak atas mayoritas lagu band itu, dan lebih penting lagi: mereka yang berhak menggunakan nama Pink Floyd. Waters memboyong semua isi hak cipta album The Wall---hanya berbagi sedikit dengan Gilmour yang ikut menciptakan 1-2 lagu di sana, dan seluruh isi The Final Cut, dan maskot balon babi Pink Floyd.
Bisa jadi keputusan itu fatal bagi Waters. Sebagai brand, Pink Floyd merupakan nama besar. Trio ini terus mentas dan berkarya. Pertunjukan Pink Floyd konon sulit sekali ditandingi karena begitu spektakuler, terutama dari segi visualisasi, efek, teknologi, dan cahaya. Mereka menghasilkan dua album studio A Momentary Lapse of Reason (1987) dan Division Bell (1994)---album terakhir mereka sejauh ini. Di sela-sela itu mereka merilis dobel album live, A Delicate Sound of Thunder dan P*U*L*S*E*, ditambah kompilasi the best, Echoes: The Best of Pink Floyd (2001.) Konser Pink Floyd senantiasa penuh sesak, dan pada 1997 mereka mencatat rekor sebagai salah satu band dengan pendapatan konser terbesar di dunia; puncaknya pada 1994 ketika mereka mencatat rekor mendapat 193,6 juta dolar AS dari 59 kali show.
Sementara itu, pertunjukan paling kolosal Roger Waters bisa jadi waktu dia menggelar konser The Wall - Live in Berlin (1990) di Jerman, untuk memperingati runtuhnya Tembok Berlin delapan bulan sebelumnya. Tapi meski ditonton sekitar 250.000 orang, secara finansial harapan dia gagal---boleh jadi karena awalnya ini merupakan konser amal, sementara penjualan albumnya enggak balik modal. Waters sendiri tetap konsisten mengusung konsep album dalam album solonya, tapi suksesnya hanya biasa saja, jelas sulit bila dibandingkan dengan Pink Floyd.
Perseteruan satu lawan tiga itu ternyata ada akhirnya. Pada 2 Juli 2005 Pink Floyd ikut dalam konser amal Live 8 yang diinisiasi oleh Bob Geldof. Reuni itu sangat bersejarah, dinanti-nantikan semua penggemar Pink Floyd nyaris seperempat abad lamanya, sebab kuatir batal, terutama takut bahwa kebencian Waters pada Gilmour mengemuka dan merusakkan momen itu. Tapi syukurlah, walau di bawah tekanan, mereka sukses reuni untuk membawakan "Breathe", "Money", "Wish You Were Here" dan "Comfortably Numb." Setelah konser para penggemar berharap lebih jauh dari itu; tapi itu agak mustahil. Positifnya, reuni itu memperbaiki hubungan mereka. Nick Mason kembali akur dengan Rogers dan diajak untuk main drum di konser Roger Waters, termasuk ketika dia membawakan seluruh isi album The Dark Side of the Moon di Hyde Park, London.
Jelas karena renta dimakan usia, setelah konser Live 8 itu Richard Wright sakit-sakitan, bahkan batal menghadiri pelantikan Pink Floyd terpilih masuk dalam UK Music Hall of Fame, pada 16 November 2005. Dan kira-kira dua tahun setelah ikut dalam konser David Gilmour Live in Gdansk (Polandia), Wright meninggal dunia pada 26 Agustus 2008. Itulah penampilan terakhirnya di panggung. Dua tahun sebelumnya, pada 7 Juli 2006, Syd Barrett diberitakan meninggal dunia pada umur 60 tahun.
Sekarang Pink Floyd telah jadi jimat dan reruntuhan. Mereka menyisakan warisan yang besar. Tiga anggotanya yang masih hidup sudah pada tua, gemuk, lamban, tapi juga lebih bijak, dan mau mengakhiri karir dengan cara lebih baik. Selain pernah menampilkan sisi gelap kehidupan dalam diri masing-masing, toh berlian-berlian ini tetap bersinar.[]
Anwar Holid, penggemar Pink Floyd yang belum pernah merasakan LSD. Dia bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Situs terkait:
http://zine.rukukineruku.com/?p=331 (esai tentang kreativitas dan kegilaan Syd Barrett oleh Budi Warsito)
http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Pink_Floyd
Contoh lagu Pink Floyd:
http://www.mediafire.com/?jjjtdmrnmxw (The Great Gig In The Sky)
http://www.mediafire.com/?bzithh3g1nz (Is There Anybody Out There?)
http://www.mediafire.com/?x21qjtmyu25 (Jugband Blues)
Subscribe to:
Posts (Atom)