[Repost]
A Sort of Homecoming, An Evening with Dream Theater & Octavarium (Double CD)
Band: Dream Theater
Rilis: 2005
Label: Universal Music
Genre: Progressive Metal, prog-rock
Produser: Dream Theater
Rating: ***
Di Bandung, bisa jadi hanya Rumah Buku/Kineruku yang memiliki double cd langka ini: gabungan antara konser tur Dream Theater usai merilis album Train of Thought (2003) dan Octavarium (2005). CD pertama berisi live concert di Madison Square Garden, sebuah gedung pertunjukan legendaris di New York City, Amerika Serikat. CD ini antara lain berisi single hit "Caught in A Web" (dari album Awake tahun 1994), permainan drum solo Mike Portnoy, lantas berduet dengan bitang tamu Scott Rockenfield (drummer Queensryche), solo guitar John Petrucci, banyak melakukan jam session dan improvisasi berlama-lama, termasuk membawakan nomor instrumental berdurasi terpanjang mereka, yaitu "Stream of Consciousness" (11 menit).
Banyaknya jam sessions dan improvisasi ini membuat James LaBrie (vokalis) jadi sering menganggur. Bagi penikmat musik, terlebih-lebih penggila genre prog-rock, menu sajian seperti itu jelas seperti oleh-oleh dari surga---tentu surga versi pecinta musik, bukan versi penganut agama. Improvisasi dalam "The Spirit of St. Louis" misalnya, mula-mula seakan-akan mengurung pendengar di dalam hutan yang penuh oleh bunyi-bunyi misterius dan menakjubkan, namun mulai pertengahan hadir kejar-kejaran cukup lama antara solo dan melodi gitar John Petrucci dengan hentakan drum Portnoy, dibungkus dalam suasana sensasional yang melambungkan angan-angan. Sangat memuaskan.
Cd kedua persis berisi album Octavarium (2005). Member Rumah Buku/Kineruku sangat beruntung bila mau meminjam album ini, karena pinjam satu item dapat dua album. Dijamin.
Dream Theater merupakan band yang penuh pengabdian, baik demi mencapai kualitas keterampilan musikalitas maupun memuaskan para fans. Durasi lagu mereka panjang-panjang dan dengan senang hati mengumbar kepiawaian masing-masing anggota. Mereka jelas bukan jenis band yang jadi favorit pilihan di acara musik di teve-teve, tapi tetap saja mereka memiliki nomor yang mudah dinikmati dan sebenarnya cukup mudah didengar dan didendangkan, seperti "I Walk Beside You" dan "Caught in A Web."
Mau didengar per cd atau simultan langsung dua cd juga sama nikmat---tapi tentu durasinya jadi tambah lama lagi. Dengan dua cd seperti ini, dijamin pendengar segera mudah beralih-alih nuansa; dari suasana progressive rock/metal yang cepat, rumit, rancak, berubah-ubah tempo secara drastik, bisa juga menuju ke irama slow rock yang manis, antara lain berkat "Answer Lies Within" dan "I Walk Beside You."
Kekurangan A Sort of Homecoming yang mungkin bisa mengganggu para pendengar perfeksionis bertelinga super ialah sound yang dihasilkan dari konser ini terasa kurang jernih. Bisa jadi ini masalah teknis mixing rekaman, namun sebentar menyesuaikan equalizer akan menyelesaikan persoalan minor tersebut.
Sebagai band, Dream Theater saat kini boleh dibilang merupakan eksponen genre progressive rock/metal yang paling sukses dan berpengaruh sangat besar. Mereka juga inovatif dalam berkarya, termasuk antara lain merilis album "official bootleg" yang mula-mula disalurkan lewat Dream Theater's International Fan Club (DTIFC). Nah, cd pertama dari A Sort of Homecoming ini merupakan salah satu produk dari DTIFC.
Lepas bahwa Dream Theater sering dikritik karena selalu gagal menciptakan hits melalui jalur mainstream atau sukses komersial lewat jalur umum, band ini diakui oleh semua kritik sebagai band yang pantang menyerah dalam menyiasati perubahan zaman dan penjelajahan musik. Album studio terakhir mereka ialah Black Clouds & Silver Linings (2009), dan di tahun 2010 tersiar kabar mengejutkan dari band ini bahwa Mike Portnoy---drummer sekaligus satu dari tiga orang founding father dan konseptor band ini---memutuskan ke luar dan bergabung dengan band junior yang mengaku terpengaruh oleh Dream Theater, yaitu Avenged Sevenfold.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Monday, November 22, 2010
[Inmemoriam]
Cahaya Lilin yang Menerangi Sekeliling
--Kenangan Bersama Pak Mula HarahapOleh: Bambang Joko Susilo
SAYA pertama kali bertemu Pak Mula sekitar tahun 2000. Waktu itu, seusai mengikuti pelatihan penulisan cerita anak yang diadakan oleh Pusat Perbukuan di Cipayung, Bogor, tahun 1999, saya menghadap Pak Frans M. Parera, Direktur Bank Naskah Gramedia, untuk menyerahkan lima naskah cerita anak. Kebetulan Pak Frans ikut memberi ceramah dalam pelatihan tersebut.
Dua minggu kemudian saya ditelepon Pak Frans. "Bambang, kamu milih ingin jadi pengarang atau mau bekerja?"
Saya langsung menjawab, "Ingin jadi pengarang, Pak!"
"Kalau begitu naskahmu sekarang ada di tangan Pak Mula Harahap. Coba temui dia!"
Lalu Pak Frans memberi alamat kantor Penerbit Komindo Mitra Utama di Jalan Howitzer, Cempaka Putih. Saya langsung menemuinya. Dari kantor itu saya dibawa Pak Mula menuju kantornya yang lain di daerah Rawa Lumbu.
Sesampainya di ruang kerjanya, lelaki bertubuh jangkung dengan ciri rambut putih setengah gondrong, berkumis, dan brewokan itu langsung menyelonjorkan kakinya di atas meja dengan posisi menyilang sementara saya duduk di hadapannya. Saya agak terkejut melihat gayanya itu, tapi saat itu juga saya dibuat tahu, dengan tampilan seperti itu Pak Mula seolah ingin menunjukkan dirinya bahwa ia orang yang bertipe santai dalam menjalani hidup. Ia menyalakan rokok sigaretnya, menghisap dengan gaya santai pula, lalu sambil mendecak-decakkan ujung lidahnya bertanya, "Sejak kapan kau menulis cerita anak-anak?" suaranya ngebas dan berwibawa.
Saya pun bercerita tentang suka-duka pengalaman saya jadi penulis sambil menunjukkan buku kumpulan cerpen anak, Bebek dari Kakek (Balai Pustaka,1997). Pak Mula tertawa. Ia tertawa karena tiba-tiba teringat puluhan ekor bebek yang dipeliharanya di kandang belakang kantor Penerbit Kesaint Blanck. Saya diajaknya melihat bebek-bebek itu. "Bapak ternak bebek?" saya terheran-heran.
Lelaki yang selalu tampil bersahaja itu bercerita, saat menempati kantor itu ia didatangi seorang penduduk setempat yang menawarkan dua ekor bebek karena butuh uang. Pak Mula membelinya dengan niat menolong dan menaruhnya di kandang belakang. Lama-lama bebek itu menjadi banyak. "Sekarang pusing kepala saya dibuatnya!" katanya. (Belakangan 'ternak' bebeknya ditutup karena bau kotorannya dan suara berisik kwek-kweknya diprotes penduduk kampung yang tinggal di belakang kantornya itu).
Lalu, saya diajaknya kembali ke meja direkturnya. Dari percakapan singkat dengannya akhirnya saya tahu, Pak Mula dulunya juga seorang pengarang cerita anak. Cerpennya pernah dimuat di majalah si Kuncung; ia mengagumi Soekanto SA. Hari itu saya dipinjami beberapa buku karangannya untuk saya baca. Karangan Pak Mula, yang memakai nama Mulauli Haharap dalam setiap bukunya, sangat bagus. Tokohnya lucu dan jenaka, dan kadang nakal. Happy endingnya selalu mengejutkan!
Hari berikutnya, saya disuruh datang untuk menandatangani kontrak buku saya yang akan diterbitkannya. Saya diberi uang panjar satu juta rupiah. Akan tetapi, hingga satu setengah tahun kemudian, buku itu tidak terbit juga. Saya datang mondar-mandir ke kantornya untuk melihat proses editing naskah itu, baik yang ada di kantor Cempaka Putih maupun yang menumpang di Penerbit Kesaint Blanck di Rawa Lumbu. Klimaksnya terjadi tahun 2002, Jakarta dilanda banjir besar. Kantor Pak Mula di Cempaka Putih ikut kebanjiran. Dan lebih celaka lagi, lima naskah cerita anak saya yang sedang dalam proses terbit terkena imbasnya, terendam air.
Setelah banjir reda, dengan sisa-sisa semangat yang ada, saya kembali mendatangi kantornya menanyakan kelanjutan penerbitan buku saya. Pak Mula seperti menyerah. Agaknya ia sedang mengalami kesulitan uang, sehingga tidak jadi menerbitkan naskah saya. Saya pun agak lemas. Lalu ia mengamati keadaan saya, "Hei, kurus sekali kau sekarang?" katanya dengan logat Medan yang kental.
"Ternyata tidak mudah hidup jadi pengarang, pak!" jawab saya.
"Kalau begitu, coba kerjakan Warta IKAPI. Besok ada acara pembukaan Islamic Book Fair di Senayan. Liputlah!" Kemudian Pak Mula memberi saya uang dua ratus ribu.
Itulah awal saya dekat dengan Pak Mula dan awal kembali terjun ke dunia wartawan. Padahal sejak mengikuti pelatihan cerita anak, saya sebetulnya sudah berkomitmen ingin jadi pengarang. Tapi tak apalah, pikir saya. Hitung-hitung ini untuk memperluas pergaulan.
Hampir tiga tahun saya menangani Warta IKAPI sambil menggunakan sela waktu yang ada untuk mengarang. Saya pun sempat diminta menangani Siaran IKAPI Pusat. Setelah mengalami titik jenuh, akhirnya secara baik-baik saya minta izin kepada Pak Mula mengundurkan diri untuk kembali terjun ke dunia mengarang secara total agar bisa menghasilkan karya lebih baik. Sejak itu saya mulai jarang bertemu dengan Pak Mula. Apalagi setelah saya menikah tahun 2008. Waktu saya tersita habis hanya untuk menulis dan menulis demi mengejar kebutuhan hidup, sebab saya tidak punya penghasilan lain selain dari mengarang. Hanya sesekali kami bertemu di pameran buku. Namun komunikasi lewat sms atau telepon tetap berjalan.
Pada Ramadhan 1431 H kemarin, tiba-tiba keinginan saya berjumpa dengan Pak Mula begitu kuat. Setelah lebaran, saya berniat menemuinya. Bahkan saya telah mengepak beberapa buku cerita anak saya yang telah terbit untuk saya hadiahkan kepadanya. Akan tetapi Tuhan ternyata berkehendak lain. Berita itu datangnya begitu mengejutkan bagai petir di siang bolong. Beliau dipanggil ke pangkuan-Nya pada 16 September 2010 secara mendadak terkena serangan jantung. Alangkah sedih hati saya kehilangan orang sebaik beliau.
Bagi saya, perjalanan hidup Pak Mula yang singkat di dunia ini bagai nyala lilin yang menerangi sekeliling. Dirinya rela terbakar dan ikhlas berkorban demi untuk kebaikan dan kemajuan orang lain. Terlepas dari kekurangannya yang ada sebagai manusia, kita tidak bisa memungkiri bahwa jasa beliau sangat besar di dunia perbukuan.
Selamat jalan, Pak Mula. Selamat istirahat dengan tenang di Pangkuan Allah yang Maha Asih lagi Maha Agung. Jasamu takkan kami lupakan. Sejarah dan waktu telah mencatat dan mengukir namamu dengan indah. Selamat jalan, abangku...[]
Bambang Joko Susilo, pengarang, penulis cerita anak, mantan wartawan Warta IKAPI.
Link terkait:
http://mulaharahap.wordpress.com
Saturday, November 20, 2010
[REVIEW]
The Guru Behind the Axe
---Anwar Holid
Black Swans and Wormhole Wizards (album studio)
Musisi: Joe Satriani
Rilis: Oktober 2010
Rekaman: Skywalker Sound, California, Amerika Serikat, 2010
Durasi: 53:23 menit (11 track)
Label: Epic/RED
Genre: rock instrumental, hard rock
Produser: Mike Fraser & Joe Satriani
Rating: ***
Apa sebenarnya daya tarik rock instrumental bila sebagian musisi rock mutakhir telah menemukan genre post-rock yang mengksplorasi wilayah itu secara gila-gilaan? Apalagi rock instrumental dari dulu tipikalnya sangat bergantung pada permainan gitar? Ambil contoh "Brighton Rock" dari Queen, sebuah lagu yang memberi kesempatan sehebat-hebatnya kepada Brian May, gitaris mereka, untuk unjuk kepiawaian dan sebentar mengistirahatkan ketiga personil lain. Post-rock tidak mengistimewakan gitaris, dan justru memberi keleluasaan para anggotanya untuk menciptakan suasana yang cenderung psikedelik tanpa harus dibatasi oleh interpretasi terhadap lirik.
Tapi nyatanya genre instrumental rock tetap bertahan dan hingga kini secara konsisten melahirkan dewa-dewanya---terlebih-lebih gerakan yang dikomandani para gitaris utama (lead guitarist). Di antara para dewa itu tersebutlah nama Joe "Satch" Satriani yang reputasinya satu tingkat di atas mereka sebab beliau bergelar "Profesor Satchafunkilus" dan sudah lama dikenal sebagai mahaguru para dewa gitar itu. Kirk Hammett, Alex Skolnick, dan Paul Gilbert hanyalah sedikit dari muridnya yang sangat menonjol di kelas masing-masing, begitu juga muridnya yang terkenal lebih flamboyan dan atraktif bernama Steve Vai. Bila para muridnya sudah pada jago dan malang melintang menguasai dunia persilatan, apa perlu sang guru juga turun gunung? Mau membuktikan apa lagi dia bila tetap bersikeras ingin unjuk kebolehan? Barangkali ada pendekatan lain atau jurus baru yang hendak dia perlihatkan, bahwa dia terus berusaha inovatif dan dinamik.
Black Swans And Wormhole Wizards merupakan album yang dirilis sang mahaguru setelah dirinya bergabung dengan para veteran hard rock dalam supergrup Chickenfoot. Grup ini terbilang sukses sebab di Amerika Serikat saja album debut mereka terjual lebih dari 500 ribu kopi. Sejumlah pengamat menilai bahwa Satch melakukan pendekatan cukup lain dalam Chickenfoot, karena dia harus mengiringi vokalis untuk bernyanyi dan membangkitkan emosi, sementara pemain bas dan drummer mereka pun harus mendapat ruang setara. Pendekatan seperti itu konon terbawa lagi dalam Black Swans And Wormhole Wizards, meski tentu saja unsur vokal dan lirik dihapus bersih-bersih dari sini. Untuk proyek album ini Satch mengatur ulang studio dan peralatannya demi mendapatkan sound dan chemistry yang hebat di antara pendukungnya.
Hasilnya ialah mirip pertemuan antara album Joe Satriani dengan Strange Beautiful Music yang soulful, melodius, bluesy, enggak mengumbar efek atau teknologi berlebihan, cenderung minimalis, namun justru mencari sound yang dalam, catchy, serta mampu melahirkan efek emosional. Satch kembali ke pola lama yang terbilang tradisional dalam menjelajahi musik rock, sederhana, dan langsung menggebrak, sementara di tengah-tengah itu dia mengeksplorasi kekuatan dan kekhasannya di setiap track. "Premonition", sebagai track pembuka, menggambarkan itu dengan baik. Lagu ini dinamik, mampu membuat pendengar melonjak-lonjak, dan penuh dengan sayatan dan kocokan gitar yang menggairahkan. Unsur bluesy dan balada misalnya terungkap pada "Littleworth Lane", "Two Sides To Every Story", "The Golden Room", serta track pamungkas, "God Is Crying." Sisi simpel Satch hadir dalam nomor "Solitude" dengan memanfaatkan echo dan sentuhan sederhana, meskipun durasinya terasa terlalu singkat.
"Wind In The Trees", selain menjadi track terpanjang (berdurasi lebih dari 7 menit) bagi saya terdengar begitu sempurna dan karena itu mungkin bisa dibilang merupakan track terbaik di album ini. Lagu bertempo lambat ini seakan-akan mengumpulkan semua chemistry dan penjiwaan seluruh musisi pendukung yang terlibat dalam album ini, yaitu Allen Whitman (bass), Mike Keneally (keyboards), dan Jeff Campitelli (drums & perkusi). Keindahannya terletak pada harmoni antara gitar dan keyboards yang lama, intens, dan saling timpal sampai menjelang akhir lagu. Sangat melodius sekaligus emosional.
Di zaman post-rock, rock instrumental memang jadi terasa usang dan terkesan jadi pertunjukan perseorangan, bahkan bila itu merupakan karya sang mahaguru sekalipun---meski komentar ini mungkin sulit diterima dan bisa jadi gegabah di mata penggemar umum musik rock. Album seperti ini tetaplah kelanjutan dari formula-sukses-khas Satriani. Dia misalnya menolak merambah musik klasik atau orkestra sekadar untuk mengayakan khazanah, sebagaimana telah dilakukan Uli Roth, Vai, ataupun Malmsteen. Sementara mengubah instrumentasi jadi bernuansa post-rock juga berisiko dikecam lantaran latah dan belum tentu sukses. Satch lebih suka sedikit menoleh pada musik etnik (terutama dari wilayah Arab dan Afrika) atau mengentalkan unsur musik blues. Itu merupakan sikap dan pilihan sang profesor. Wajar bila sebagian orang tetap sulit menerima rock instrumental sebab jenis ini tidak menawarkan interpretasi lirikal. Dalam kasus aura musik Profesor Satch, dia menyodorkan imajinasi yang cenderung sci-fi dan futuristik, selain terasa sensasional.
Karena itu lebih menarik mengungkap sisi lain kesuksesan Black Swans and Wormhole Wizards. Di negeri Abang Sam, album ini terjual 10.000 kopi pada minggu pertama rilisnya, bertengger di urutan no. 45 daftar The Billboard 200. Rekor tersebut menjadi posisi pembukaan tertinggi bagi catatan penjualan album sang mahaguru dalam rentang karir musiknya yang panjang. Artinya album studio ke empat belas beliau ini masih diminati para umat penikmat musik rock dan jelas akan digalakkan lagi di panggung konser.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Monday, November 15, 2010
Menjala Keemasan Masa Kanak-Kanak
---Anwar Holid
Baru sekarang aku berkesempatan mengakses sebuah karya Tere-Liye, yaitu Pukat (Penerbit Republika, 2010, 343 hal.), padahal dia sudah menulis selusin karya fiksi dan banyak orang mengaku mengoleksi lebih dari setengah buku-bukunya. Blogger di tatayulia.wordpress.com mengaku: "Kalau ditanya siapa penulis/pengarang novel Indonesia yang paling saya favoritkan saat ini, jawabannya adalah Tere-Liye." Bambang Joko Susilo, penulis yang berdedikasi tinggi di ranah buku kanak-kanak, juga berpendapat positif tentang karya Tere-Liye. Bambang berkomentar: "Tere-Liye menurutku penulis berbakat, hebat, dan produktif. Bahasanya lincah dan lancar. Bukunya banyak yang best seller." Selain pembaca dewasa-umum, mayoritas pembaca karya Tere-Liye ialah anak-anak dan remaja.
Pukat merupakan buku ketiga dari tetralogi Serial Anak-Anak Mamak. Hanya karena munculnya acak, Pukat menjadi buku kedua yang terbit. Volume pertama dari seri ini yang sudah terbit ialah Burlian (2009), meski ia merupakan buku kedua. Kenapa membingungkan begitu? Di diskusi Goodreads.com, Tere-Liye menerangkan, "Serial Anak-Anak Mamak dimulai dari anak-anak cowok dulu, baru cewek, dan tidak urut kecil-besar atau sebaliknya. Bisa mulai dibaca dari mana saja." Tere menjanjikan bahwa dua buku tentang anak perempuan Mamak akan segera beredar, yaitu Eliana dan Amelia.
Dalam diskusi pada Jumat, 12 November 2010 di Masjid Salman ITB, Tere-Liye menyatakan bahwa Serial Anak-Anak Mamak punya ciri khas antara lain tiap judulnya memuat kisah tertentu (spesifik) tentang seorang anak di keluarga itu, bukan merupakan sekuensial, fokus memotret kehidupan anak-anak dan keluarga, serta bernostalgia dengan masa kanak-kanak di kampung---sebab sebagian pembaca kota tak mengalami peristiwa tersebut.
_________________________________________
DETAIL BUKU
Pukat
Penulis: Tere-Liye
Penerbit: Republika, 2010
Tebal: vi + 351 hal.; 205x135x0 mm; softcover
ISBN-13: 9789791102735
Harga: Rp 50.000
_________________________________________
Seluruh keluarga Mamak menjuluki Pukat sebagai si anak pandai dan panjang akal karena rajin mencari tahu jawaban atas segala pertanyaan. Sifat tersebut berbeda dari Burlian yang dianggap si tukang tanya, meski dia dijuluki anak spesial. Karena pandai dan hampir tahu segala rupa, secara alamiah Pukat tumbuh menjadi anak yang bijak dan jujur. Meski begitu ada kala dia juga kurang sabar, enggan mengalah, bahkan bila perlu ngotot demi memegang prinsip yang dianggapnya benar.
Keluarga mereka tinggal di kampung di pulau Sumatera. Kampung itu cukup terpencil, berada di dekat hutan tropik, belum memiliki sarana listrik, namun jalan menuju kota cukup terbuka, dilalui jalur rel kereta api, dan ada stasiun kereta api di sana. Sungai di kampung itu masih jernih, di sanalah anak-anak mandi, saling terjun, dan bermain bola. Meski terbilang sederhana, keluarga Pukat memiliki televisi hitam-putih bertenaga aki untuk para tetangga dan kawan-kawan mereka suka menumpang nonton bersama.
Fokus dalam novel ini ialah ketika Pukat kelas 5 hingga lulus SD. Dalam dua tahun itu dia mengalami sejumlah peristiwa dramatik yang amat berbekas sekaligus membentuk mentalnya menuju masa pertumbuhan hingga dewasa. Kala itu, misalnya, dia bersama Burlian untuk pertama kali diajak ayah naik kereta api mengunjungi kawannya di kota kabupaten. Malang, persis ketika masuk terowongan panjang, kereta mereka dibajak dan para penumpangnya dirampok secara terencana. Setelah saling olok dan bantah-bantahan, Pukat akhirnya bermusuhan amat sengit dengan kawan dekat sekaligus pahlawan permainan bola air mereka, Raju. Bersama Can dan Burlian, dia juga nyaris mati terbakar hidup-hidup ketika ayahnya bersama para tetangga membuka hutan untuk dijadikan ladang. Kampung mereka juga sempat dilanda banjir dan menyengsarakan semua penduduknya.
Di masa kanak-kanak itu Pukat belajar arti kejujuran, kerja keras, rasa tabah, kasih sayang orang tua, persahabatan, berani bertindak, menghargai rezeki, sekalian belajar perbedaan pertumbuhan anak laki-laki dan perempuan, serta betapa panjang dan mengesankan perjalanan segenggam beras sampai akhirnya menjadi nasi yang siap disantap. Sikap positif di masa pembentukan mental yang bisa dikatakan terjaga itu membuat Kak Seto (Seto Mulyadi) memberi endorsement sebagai berikut: "Pukat mengajak kita untuk memahami nilai kejujuran, persahabatan, dan kreativitas yang dikemas dalam sebuah kecerdasan spiritual yang jernih." Karena itu, selain pantas disarankan sebagai bacaan anak-anak dan keluarga, idealnya novel ini dikoleksi perpustakaan sekolah di seluruh Indonesia.
Tere-Liye cukup mengesankan menuturkan kisah Pukat. Drama dan kelakuan khas anak-anak hadir secara proporsional dan segar, tokoh-tokohnya memiliki jiwa dan emosi, begitu pula dengan kejutan maupun denyut masyarakat kampung yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Penulis bertutur dari sudut pandang "aku" sebagai Pukat. Dia mengenang masa-masa pertumbuhan itu dalam perjalanan pulang dua belas jam dari Amsterdam ke Jakarta, ketika dirinya di luar dugaan menemukan jawaban atas teka-teki dari uanya yang seumur hidup jadi pertanyaan besar dalam dirinya dari surat yang dikirim Burlian dari Tokyo. Pertanyaan itu ialah "Apa harta karun paling berharga di kampung ini?" Penemuan itulah yang memberi dia energi untuk mudik menziarahi pusara uanya dan menyatakan dirinya telah menemukan rahasia atas limpahan kasih sayang yang selama ini memberkatinya.
Namun, karena merupakan kisah dari pengalaman orang dewasa yang sudah jadi orang kota, Pukat kini sudah sulit sekali melepaskan diri dari belitan kosakata urban seperti konfirmasi, disiplin, teknis, komunikasi, eksotis, juga ekstase yang jadi terdengar aneh dalam konteks cerita masa kanak-kanak, apalagi settingnya terjadi pada tahun 80-an. Sisi plusnya, novel ini mengandung kekayaan kosakata Indonesia yang khas, seperti lanting, umbut, dan belincong.
Sayang kualitas penyuntingan buku ini terbilang masih buruk. Ada banyak kesalahan di novel ini yang mengganggu pembacaan, terutama dari cara penulisan, penggunaan tanda baca, ejaan, juga inkonsistensi istilah. Kesalahan mendasarnya terlalu banyak. Contoh paling klise antara lain penulisan 'rubah', 'dimana', 'ijin', juga 'takjim.' Kecerobohan ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah bagi industri penerbitan Indonesia masih menumpuk---terutama untuk editor dan penulis. Bagi penulis berpengalaman seperti Tere-Liye, kekurangan ini patut disayangkan.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Link terkait:
http://darwisdarwis.multiply.com --> blog Tere-Liye
http://www.goodreads.com/author/show/838768.Tere_Liye
Facebook: Darwis Tere-Liye
Tuesday, November 09, 2010
Energi Menulis: Dari Mana Datangnya?
---Anwar Holid
Penulis punya pengalaman khas masing-masing yang menyebabkan mereka mampu bertahan untuk menghasilkan karya.
Kita lihat misalnya Jamal berlatar belakang seni rupa; dulu Clara Ng menerbitkan buku sendiri; Veven SP Wardhana terinspirasi fakta sejarah; Anjar sudah "mengandung" kisah dalam novel Beraja sejak 2000; sementara Djenar Maesa Ayu sejak awal kemunculannya konsisten membawa subjek seksualitas dari beragam aspek.
Tujuh tahun lalu aku dengar seorang peserta diskusi bertanya kepada Djenar Maesa Ayu kenapa kebanyakan ceritanya bertema seks. Dia menjawab, "Barangkali karena saya suka seks ya?" Ada kejujuran di sana, dan itu jadi salah satu pokok dalam proses menulis. "Kalau tidak jujur waktu menulis, buat apa karya itu?" dia balik tanya. Karena inti menulis ialah mengungkapkan perasaan secara kreatif, melepaskan gagasan, mencari pengakuan, sejumlah orang berpijak pada sesuatu yang sangat dekat dengan dirinya. Itulah hal yang dapat mereka ungkapkan dengan tepat dan tegas. Penulis harus tahu persis yang dihadapi dan ditulisnya.
Kenapa sejumlah orang memilih menulis fiksi? "Sebab dalam fiksi segala kemungkinan ada," jawab Veven. Ada dunia imajinasi dalam diri manusia atau angan-angan maha luas yang coba mereka isi dengan upaya pencarian makna. Di sana mereka mencari kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pelampiasan emosi, mental, maupun spiritual setelah lelah menghadapi alam fisikal yang kering, sukar berkompromi, bahkan kerap dipenuhi kebohongan. Jamal mendapat kenikmatan menulis fiksi karena dia mampu mereka-reka jalan hidup seseorang, menentukan nasib tokoh ciptaannya. Rupanya keinginan berperan bebas sebagai Tuhan (playing God) memotivasi Jamal dalam berkreasi.
Karena ada keinginan bermain-main dengan bahasa, jelas para penulis harus kreatif melakukan sejumlah eksplorasi literer. Perhatikan frasa "matahari malam hari" pada judul Centeng karya Veven. Apa frasa tersebut terkesan janggal atau malah membangkitkan rasa penasaran para pembaca? Clara Ng menjuduli novelnya Tujuh Musim Setahun, dan itu membuat orang terangsang untuk bertanya-tanya: di manakah tempat yang punya tujuh musim dalam setahun? Atau dia ingin menggunakan perlambang untuk mengungkapkan sesuatu secara khusus?
Permainan bahasa menunjukkan bahwa manusia memiliki dinamika dalam komunikasi dan persisten mencari kemungkinan baru. Misal, sebagian pengguna bahasa Indonesia masih merasa asing dengan kata "beraja", padahal sebenarnya bisa ditemukan di berbagai kamus bahasa Indonesia yang otoritatif. Anjar, seorang novelis tinggal di Bandung, dalam hal ini berusaha mengingatkan bahwa kita memiliki kekayaan bahasa luar biasa. Memang, demi menjaga dan mengembangkan bahasa, kita berutang banyak kepada penulis. Merekalah yang secara sinambung membangkitkan lagi kata yang lama dilupakan atau mencoba menciptakan kemungkinan makna dengan inovasi, menempuh cara ungkap berbeda yang sebelumnya di luar imajinasi generasi terdahulu.
Fiksi memiliki logika sendiri. Segila-gilanya imajinasi dalam fiksi, penulis biasanya tetap merujuk pada sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ada alasan masuk akal kenapa sebuah dunia dalam ceritanya bisa berlangsung secara ajaib atau di luar nalar. Kekayaan pengetahuan, kedekatan dengan seseorang, atau subjek yang mereka kuasai, juga latar belakang kehidupan, biasanya kerap dirujuk untuk menjelaskan bahwa sejumlah peristiwa, percakapan, dan kejadian dapat ditelusuri jejak-jejaknya. Dalam novelnya, Clara Ng perlu menulis halaman bibliografi untuk membuktikan dirinya menolak berspekulasi tanpa dasar eksperimen yang pernah dilakukan orang lain, baik itu ilmuwan, sejarahwan, dan kritikus. Jamal melampirkan biografi filsuf Soren Kierkegaard dalam novelnya. Kini ada banyak novel yang ditambahi catatan kaki---baik yang sama-sama fiktif ataupun faktual.
Di luar latar belakang dan subjek karya, para penulis otomatik memberi pelajaran tentang proses dan kesabaran. Menurut pengakuan Clara Ng, total sekitar empat tahun dia habiskan untuk mewujudkan Tujuh Musim Setahun. Sebelum jadi novel, naskah itu awalnya berupa catatan berserak baik di kertas, komputer, juga ingatan. Dia mencoba menyimpan iktikad itu sekuat tenaga, memelihara, menjaga agar tak lenyap, bahkan ketika proses penciptaan terhenti oleh banyak hal. Sujinah, penulis In a Jakarta Prison, tak menyerah menulis meski di penjara tanpa proses pengadilan lebih dari lima belas tahun lamanya karena alasan politik. Dia menjadikan karya sebagai kesaksian atas hidupnya yang getir, keras, penuh perjuangan dan idealisme.
Pada dasarnya upaya menulis sebuah karya merupakan proses berlanjut. Pengorbanan waktu dan energi untuk menyelesaikannya membutuhkan kesabaran luar biasa. Berproses lebih dari dua tahun demi menunggu kelahiran buku tentu belum bisa dihadapi setiap orang dengan mudah. Anjar membuktikan dia berhasil melewati masa sejak awal persemaian hingga memetik buah atas bukunya. Ada sejumlah karya yang baru bisa terbit setelah bertahun-tahun kesulitan menemukan penerbit.
Di awal abad ke-21 para penulis berdesak-desakan muncul ke ranah sastra dan industri perbukuan. Generasi terbaru juga beruntung dapat menikmati kemajuan teknologi dan beragam media ekspresi. Dunia penerbitan tambah dinamik meramaikan khazanah sastra Indonesia. Di luar media cetak umum, banyak penulis melatih kemampuan dan eksperimentasi melalui internet, blog, Facebook, situs pribadi, termasuk Twitter. Energi menulis mereka meluap-luap secara luar biasa, gagasannya kadang-kadang tak tertampung sarana umum, dan eksplorasinya menarik untuk diperhatikan.
Bagi sejumlah orang, energi menulis bisa jadi tak pernah terbayang kapan akan muncul dan menggerakkan proses kreatif. Namun belajar dari banyak penulis, kita tahu proses itu ialah gabungan antara tekad besar, proses menciptakan, dan upaya memenangi pertarungan melawan keragu-raguan.[]
Note: Versi ini merupakan revisi dari yang aku tulis pada Rabu, 28 Mei 2003.
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Tenang,Tuhan Selalu di Sekitar Kita
---Anif Punto Utomo
Buku ini bukan bercerita tentang pencarian Tuhan, namun mengingatkan keberadaan Tuhan. Suatu ketika, Stalin bersama seluruh anggota politbiro terbang menuju salah satu negara bagian Uni Soviet. Ketika pesawat melintasi daerah pegunungan yang terkenal dengan jurang-jurang menganganya, mendadak pesawat mengalami gangguan. Pilot segera mengumumkan kerusakan tersebut dan meminta penumpang memasang sabuk pengaman. Kemungkinan selamat fifty-fifty.
Pesawat terguncang dengan keras. Seluruh penumpang panik. Tiba-tiba, di antara kepanikan penumpang itu terdengar teriakan spontan, "Tuhan, tolonglah aku." Semua kaget dan menoleh ke suara itu. Ternyata, teriakan minta tolong kepada Tuhan itu ke luar dari mulut Stalin, sang ateis dedengkot komunis Uni Soviet. Peristiwa itu membuktikan kesadaran bahwa Tuhan itu ada---sekalipun pada diri orang ateis.
Lantas, di manakah Tuhan? Seperti ditulis Arvan Pradiansyah dalam buku terbarunya, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan bukanlah sosok yang jauh. Tuhan sangat dekat dengan kita, bahkan selalu memperhatikan kita. Tuhan selalu berada di sekitar kita. Tuhan juga tak pernah sekali pun mengabaikan dan meninggalkan kita. Dalam khazanah mengingatkan akan adanya Tuhan, dari budaya Jawa muncul istilah Gusti Allah ora sare. Artinya, Tuhan tidak pernah tidur. Karena itu Tuhan memang selalu ada, bukan hanya mengawasi, tapi juga mencatat apa yang kita perbuat.
____________________________________
DETAIL BUKU
You Are Not Alone: 30 Renungan tentang Tuhan dan Kebahagiaan
Penulis: Arvan Pradiansyah
Penerbit: Elex Media, 2010
Halaman: 252 hal., soft cover
ISBN: 978-979-27-7918-9
Kategori: Spiritualitas; Inspirasional; Pengembangan Diri
Harga: Rp.52.800,-
_____________________________________
Biasanya, manusia baru ingat Tuhan jika sedang terjadi musibah. Semakin besar musibah yang menimpa diri manusia, semakin kental ingatan akan Tuhan. Setiap saat nama Tuhan disebut. Sebaliknya, ketika sedang diuji dengan kegembiraan, nama Tuhan nyaris tidak pernah disebut. Ingatan akan Tuhan seolah masuk ke dalam laci dan terkunci rapat. Laci itu kelak akan dibuka ketika kegembiraan berganti dengan musibah.
Kehadiran Tuhan dirasakan Arvan ketika bersekolah di London, Inggris. Pada awal-awal kedatangannya, dia merasa kesepian. Sepi karena meninggalkan keluarga di tanah air, kawan dan sahabat, dan karena belum menemukan sahabat di kota itu. Di dalam suasana kesepian itulah kemudian dia merasakan lebih dekat dengan Tuhan. Baru tersadar bahwa di tengah kesepian di dunia ini Tuhan selalu hadir di dekat kita. Hati pun menjadi tenang. Pada dasarnya, menurut Arvan, kita tidak pernah sendirian. Karena itulah buku kelimanya ini diberi judul You Are Not Alone.
Dalam buku ini Arvan juga berani menyentuh masalah sensitif, yakni tentang orang beragama dan orang baik. Orang beragama belum tentu baik, begitu salah satu judul tulisannya. Bahasan ini sempat jadi perbincangan panas ketika dia mengangkatnya dalam siaran radio secara live. Topik ini memang sangat relevan, setidaknya kalau kita lihat fenomena yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Ketika kehidupan beragama tampak begitu menonjol, perilaku melupakan Tuhan pun tak kalah meriah. Masjid dan gereja banyak didatangi umat, tetapi pub dan diskotek juga tak pernah sepi. Doa selalu dipanjatkan setelah shalat, tetapi korupsi jalan terus.
Situasi itu mencerminkan bahwa kesalehan spiritual tidak seiring dengan kesalehan sosial. Maksudnya, seseorang telah menjalankan ajaran agama sesuai perintah Tuhan, tetapi perilaku sosialnya bertentangan dengan perintah Tuhan.
Mengapa bisa terjadi kontradiktif semacam itu? Menurut Arvan, ada tiga kesalahan pokok dalam memaknai agama. Pertama, agama dimaknai hanya sebagai bentuk ritual, kita tidak diajarkan untuk memahami kenapa ibadah itu harus dilakukan. Kedua, agama sering diartikan sebagai kewajiban yang bila dilakukan akan memperoleh pahala dan masuk surga, sedangkan jika tidak, akan diganjar dosa dan masuk neraka. Ketiga, agama sering ditafsirkan sebagai urusan kita dengan Tuhan. Padahal, esensi beragama adalah kasih. Bukankah Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Karena itu, orang beragama mestinya dikenal karena rasa cintanya terhadap sesama manusia.
Buku ini tetap menarik untuk menjadi bahan renungan---meski tidak sedalam buku-buku Arvan sebelumnya terutama The 7 Laws of Happiness. You Are Not Alone juga bisa menjadi bekal untuk mematangkan hubungan kita dengan Tuhan dan dengan sesama manusia. Ini juga bisa menjadi cermin apa selama ini kesalehan spiritual kita sudah sejalan dengan kesalehan sosial atau belum.[]
Resensi ini awalnya dimuat Republika, Minggu, 17 Oktober 2010.
Kartu Efek Domino Lalang
---Anwar Holid
Kesenangan terbaru Ilalang (10 tahun) ialah menyusun kartu hingga jadi rangkaian tertentu, lantas dirobohkan menjadi efek domino yang dramatik. Dia bisa menyusun kartu berpuluh-puluh menit baik dalam posisi tegak dan melintang---caranya dengan dilengkungkan sebelumnya---ditambah variasi antara lain berupa lorong, rangkaian bunga, memadukannya dengan tambahan buku, tanjakan, juga bisa dengan efek saling bertabrakan. Untung dia punya koleksi kartu yang amat banyak, bekas mainan favoritnya dulu, jadi rangkaian kartu itu bisa mengular panjang mengelilingi ruang.
Beberapa hari lalu dia tanya, "Yah, aku boleh pinjam kartu nama ayah enggak?"
"Buat apa?"
"Buat tambahan kartu Lalang."
Aku menjawab dengan mengambil segepok kartu nama yang cetakannya buruk. Aku sampai sungkan bila terpaksa memberi kartu itu ke rekanan baru. Sekarang ada manfaatnya. Aku berikan semua kartu itu ke dia; dan aku akan segera bikin yang baru. Kartu Ilalang tambah banyak dan itu menambah efek dramatik dalam kehancuran kartu-kartunya.
Kalau sudah mulai menyusun kartu, dia tahan berlama-lama tanpa ribut sama sekali. Konsentrasinya penuh, dan imajinasinya tentang efek domino sangat macam-macam. Dia sekarang bahkan sedikit lupa dengan game Command & Conquer yang suka dimainkan sehabis sekolah atau kalau diizinkan ibunya; dia juga jadi mengabaikan ngelayap berlama-lama dengan sepedanya.
Aku enggak tahu kapan persisnya dia mulai suka permainan itu atau dia dapat ide dari mana. Aku pernah tanya, tapi jawabnya cuma, "Dari video." Sebelumnya dia sempat tanya-tanya ke aku apa itu domino, di mana bisa dibeli, apa bahannya, dan seterusnya. Jawabanku jelas membuat dia mengira bahwa domino itu mahal, dan mustahil ayah atau ibunya bakal mau membelikan barang seperti itu. Tapi daya kreatifnya ternyata terus jalan. Dia memanfaatkan kartu-kartu yang dulu pernah digila-gilainya untuk diubah fungsi. Dulu dia menggunakan kartu untuk mengadu. Aku sendiri agak heran bagaimana dia akhirnya bisa mengumpulkan kartu sebanyak itu. Dia bilang itu dapat dari menang bertarung. Sudah lama ratusan kartu itu tampak dia lupakan, sampai akhirnya kini jadi berguna lagi.
Ilalang sangat menikmati saat mulai menyusun rangkaian dan mengembangkan imajinasi kira-kira akan seperti apa efek robohnya. Jadi saat yang dia nantikan ialah merobohkan kartu terakhir dan memperhatikan efeknya seperti apa.
Tapi jangan ditanya kalau sedang merangkai tiba-tiba kartunya tumbang sebelum waktunya, dia akan sangat ngambek. Apalagi kalau jatuhnya karena hentakan angin dari seseorang yang lewat. Wah, dia bisa nangis, marah, dan mengadu. Jadinya kelihatan rewel sekali. Huh, khas anak-anak saja.
Bagi Ilalang, kegiatan ini menyenangkan dan menenangkan. Bahkan mungkin merupakan segala-galanya. Sebuah kebahagiaan sederhana bagi anak-anak.[]
Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
Copyright © 2010 oleh Anwar Holid
Monday, November 01, 2010
[REVIEW ALBUM]
A Thousand Suns: Album Politis Linkin Park
---Anwar Holid
A Thousand Suns (album studio)
Band: Linkin Park
Produser: Rick Rubin, Mike Shinoda
Rilis: 8 September 2010
Proses rekaman: 2008-2010
Genre: Alternative rock, nu-metal
Durasi: 47:56 (15 track)
Label: Warner Bros.
Rating: ****
Setelah bertindak cukup drastik di album Minutes to Midnight (2007), Linkin Park kembali mengambil inisiatif mengejutkan di A Thousand Suns, album studio ke empat mereka. Mereka membuat album konsep. Ini merupakan langkah ambisius dan berani bagi band yang sudah sangat hype, bahkan dianggap sebagai salah satu band terdepan dan tipikal nu-metal yang masih eksis namun tengah menghadapi tantangan besar karena genre ini terdengar mulai usang dan sebagian eksponennya mengalami kesulitan mengikuti perkembangan zaman. Di titik ini, Linkin Park bisa dianggap jadi komandan bagi genre rock/alternatif yang bisa bertahan dengan baik di medan peperangan industri musik, bahkan kini kembali menguasai jalannya pertempuran.
Seperti apa konsep di album ini? Mike Shinoda menyatakan, "Bila orang membayangkan album konsep, aku kira mereka membayangkan suatu kisah tertentu---nyaris seperti opera rock atau sesuatu yang bercerita tentang kisah tertentu, mulai dari konflik dan berakhir dengan resolusi. Kami merasa tampaknya pandangan seperti itu bakal sedikit mengekang. Jadi kami memutuskan akan membiarkan konsep itu sebagaimana yang ingin kami bicarakan, lantas membuatnya sedikit lebih abstrak dan lepas." Dalam wawancara dengan MTV, dia menambahkan, "Di album ini, konsepnya ialah gabungan antara gagasan manusia dengan teknologi."
A Thousand Suns merupakan metafora untuk ledakan bom atom. Album ini secara keseluruhan bicara tentang perang nuklir, militerisme, kehancuran, juga efek peperangan pada manusia. Boleh dibilang ini album politis. Maka bebunyian ledakan hebat, dentuman, derit kekacauan, rentetan tembakan, derap pasukan tengah melakukan penyergapan, kericuhan di medan perang, suasana chaos, teriakan marah, jeritan putus asa, suasana panik dan menderu-deru, juga makian kekesalan amat terasa di sini.
Album konsep idealnya didengar dari awal hingga akhir tanpa jeda. Linkin Park mengawali album ini dengan lagu kematian ("The Requiem") yang meski bertempo lambat dan bernada murung, tapi tetap optimistik:
God save us
everyone will be burn
inside the fires of a thousand suns
Lantas dilanjutkan dengan dentuman besar diiringi pernyataan ancaman akan munculnya perang nuklir, berasal dari ucapan Robert Oppenheimer, Direktur Proyek Bom Atom Los Alamos (1943-1945) dan Komisi Energi Atom Amerika Serikat (1946-1953), yang mengutip ucapan Wishnu di Bhagawad Gita: "Now I am become Death, the destroyer of worlds."
Dua intro itu menjebloskan pendengar pada intensitas situasi perang, para tentara yang terhadang kematian, betapa mereka jadi seperti robot yang sudah diprogram melaksanakan perintah untuk mengakhiri kehidupan, meskipun dahulu mereka cinta damai. Semua orang terancam keselamatannya. Tambah lama suasana semakin kacau. Dua lagu di pertengahan album ini menggambarkan situasi dengan sangat emosional. "Blackout" dan "Wretches And Kings" benar-benar penuh dengan kegaduhan bertempo cepat yang muncul dari semua instrumen, terutama turntable, distorsi gitar, dan derap drum; sementara duet Chester Bennington dan Shinoda mewartakan kehancuran dengan hebat. Resolusi di album ini berlangsung dengan mulus; situasi kembali damai, masa-masa gawat telah lewat, dan meyakinkan bahwa ke depan akan lebih selamat. Untuk itu mereka menawarkan lagu bertempo sedang dan balada yang kuat, terutama "The Messenger" yang jadi track penutup; di situ Brad Delson memainkan gitar akustik dengan perlahan-lahan. "Secara harfiah, lagu ini sebenarnya surat kepada anak-anakku betapa aku mencintai mereka," ungkap Bennington pada Yahoo!News. Lagu ini kalem, dalam, dan kembali optimistik:
When life leaves us blind
Love, keeps us kind!
When life leaves us blind
Love keeps us kind!
Kekuatan vokal Bennington menjadi pusat emosi album ini. Dia berteriak, meradang, menjerit, ngotot, sekaligus menyanyi dengan energi dan emosi yang kental. Mereka juga mengambil kekuatan aktivisme dari orasi Mario Savio dan Martin Luther King, Jr. yang menggugah. Secara musikal mereka berbalik lagi ke rap-metal dengan haluan cukup besar; kembali ada banyak sound bites dan berbagai manipulasi bebunyian. Satu-satunya lagu yang disertai solo gitar cukup menonjol hanya "Iridescent." Shinoda kembali banyak ngerap untuk menguatkan situasi, seperti muncul dalam "The Catalyst" dan "Waiting For The End" yang berturut-turut mereka lempar sebagai single dari album ini.
Selama hampir satu jam, A Thousand Suns menjadi karya yang bisa dinikmati secara utuh dan kuat. Mungkin belum sehebat The Dark Side of The Moon (Pink Floyd) atau seberani Radiohead saat bereksperimen dalam Kid A, namun Linkin Park maju selangkah lagi ke jenjang yang lebih dewasa dari tingkat sebelumnya. Ini memuaskan, patut dipuji dan dihargai.[]
Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Buku barunya ialah Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).
KONTAK: wartax@yahoo.com | http://halamanganjil.blogspot.com
Subscribe to:
Posts (Atom)