Teguran Tengah Tahun untuk Anwar Holid
Aku takut bahwa aku kurang bersyukur. Sudah 168 hari tahun 2011 berjalan. Sudah dua puluh empat minggu berlalu. Namun rasanya sedikit sekali yang sudah aku nikmati.Aku masih gagal memaksimal kemampuan dan mengerjakan dengan baik janji-janji yang mestinya aku penuhi. Ini menyedihkan, tapi rasanya keterlaluan kalau aku terus mengeluh karena gagal mengalahkan diri sendiri. Dari dulu aku yakin bahwa pergulatan terberat manusia terjadi di dalam diri sendiri, dan sekarang aku harus bilang aku tengah terjungkal, kesulitan bangkit, dan rasanya terus lunglai sampai mau tewas. Yang bisa aku lakukan hanya hal-hal kecil dan terlalu sering merasa mendapat ironi untuk menyenangkan diri.
Ironi terbesar yang paling aku rasakan sekarang ialah sindrom sukses. Rasanya aku kini terlalu sering dengar berita tentang kesuksesan spektakuler, sampai aku kesulitan memaknai apa gagal itu haram dan berusaha cuma omong kosong? Sindrom ini rasanya membuat aku tambah gampang sinis dan apatis, mematahkan semangat minimal untuk berbuat standar. Kesuksesan membuat aku curiga bahwa ada rahasia yang tidak diceritakan oleh para orang sukses tentang perbuatannya. Tapi curiga hanya membuat kebahagiaanku tergerogoti. Aku tampaknya lagi gelisah dan sedih.
Rasanya aneh setengah tahun 2011 ini terus berjalan tapi waktu rasanya terus membuatku tersudut menghadapi dunia. Namun, lepas dari berbagai kekurangan, krisis emosi, finansial, wanprestasi, juga iman menurut pendapat beberapa orang, dalam enam bulan terakhir ini aku merasa sedikit lebih puas---tapi apa artinya pernyataan ini kalau ternyata setelah diukur dengan parameter tertentu malah minus. Ada empat hal paling krusial yang sulit aku kalahkan:
* kerjaku lamban (lelet)
* kurang bekerja dengan cerdas (work smart)
* masih pasif (kurang agresif)
* gampang berpuas diri
Aku masih kerap berdebat soal uang atau upaya menghargai profesionalisme dan waktu kerja. Sebagian orang bilang santai saja kalau kita gagal dan enggak ada uang, tapi apa jadinya kalau aku benar-benar kesulitan uang, terdesak oleh berbagai kebutuhan, tapi malas minjam. Orang bilang uang bukan segalanya, tapi kalau kamu tetap kesulitan memenuhi banyak kebutuhan karena keuanganmu minim atau nyaris bangkrut, maka kamu hanya bisa manyun. Aku bicara kebutuhan loh, bukan keinginan. Aku sudah kehabisan keinginan untuk beli cd, film, jalan-jalan, atau rumah baru dengan halaman luas dan tanah yang subur; tapi aku butuh asuransi untuk anakku, perlu membunuh kekhawatiran yang kadang-kadang muncul dalam diriku. Aku pernah diutangi oleh orang yang sama-sama kehabisan uang, termasuk didatangi orang yang butuh uang, bahkan menggunakan dalih akibat pindah agama segala. Beberapa orang mengira aku sudah memasuki fase "bebas finansial", padahal sesekali aku masih harus pinjam ke orang lain yang lebih sukses. Jadinya aku merasa absurd.
Aku baca ada orang yang ingin membangun Indonesia, tapi aku lihat para pemulung banting urat dan otot hingga bertonjolan di Tanah Abang tetap kelihatan telanjang, kumuh, kotor, keringat mengucuri perut telanjangnya yang buncit. Mereka luput dari sasaran program dan slogan CSR dari perusahan ataupun pribadi yang kelihatan mulia. Anjing! Aku tahu pemilik program itu hanya menyasar segolongan pasar yang dinilai sejalan dengan kelas dan pemikirannya. Kalau tidak, lewat. Aku sempat baca bahwa pemerintah mengaku kesulitan mengentaskan jumlah kemiskinan karena menurut pengamat, mereka miskin terobosan. Aku masih dengar korupsi adalah kucing-kucingan, sejenis petak umpet dengan biaya luar biasa tinggi. Ha ha ha... Aku malas terbuai kata-kata. Kamu percaya ada orang yang mau membangun negeri? Fuck. Aku enggak. Aku lebih percaya bahwa aku ingin fokus pada diri sendiri dan aku tahu itu susah sekali---terutama untuk meningkatkan penghasilan atau mengembangkan karir.
Secara sporadis aku berkomentar hidup itu berat (life is hard). Mungkin itu bentuk ngotot yang negatif. Kalau kamu hanya punya beberapa ribu rupiah, akankah kamu merasa sukses? Kalau kamu Gayus, akankah kamu harus merasa gagal? Yang kelihatan adalah Gayus banyak uang dan kamu enggak bisa beli barang. Yang enggak kelihatan, itu urusan kamu dengan Tuhan---atau tekanan yang harus kamu tanggung. Kalau kamu Nunun Nurbaeti, apa kamu akan mengaku salah?
Secara kasar, aku menilai diriku masih punya sebentuk keberhasilan. Aku punya karir, kerjaan, keluarga, sedikit impian, teman, keyakinan, pendapat, sikap, bebas. Aku bukan pengangguran. Aku berinteraksi dengan orang banyak dan aku berani jujur.
Tapi apa itu cukup? Tidak. Itu sebabnya aku masih merasa hidup itu aneh, lepas bahwa aku berusaha ikhlas atau berusaha menumbuhkan sikap kreatif dalam diriku. Kata Sting, "Be yourself no matter what they say." Rasanya aku sudah jadi be myself---lepas dari fakta bahwa aku mungkin menggelepar-gelepar kesulitan mengalahkan kemalasan.
Pukul rata, aku bahagia dengan pekerjaan dan karir, juga dengan hidupku. Tapi aku masih merasa ada sesuatu yang kurang dan itu perlu ditingkatkan. Aku merasa masih ada sesuatu yang salah, tapi kadang-kadang aku ragu atau takut menjelaskan apa persisnya. Mungkin kekuranganku, sikap individualistik dan abai. Juga karena rentan terhadap amarah dan kesabaran. Aku suka belajar, tapi sulit melakukan nilai itu. Aku berprasangka orang menyembunyikan sesuatu dari dirinya, pamrih, dan enggan bilang yang terburuk dari dirinya atau sebenarnya mereka berencana menyikat kamu. Tapi apa guna prasangka itu? Aku mungkin paranoid. Aku nyaris curiga para segala sesuatu. Mungkin aku sakit.
Contoh sederhana dari prasangkaku: Kalau sebagian orang percaya bahwa Soeharto itu Bapak Pembangunan Indonesia, kenapa setelah dia jatuh sebuah badan antikorupsi PBB berani menetapkan bahwa dia adalah koruptor terbesar yang pernah ada? Kenapa PBB takut mendakwa begitu ketika dia masih jadi presiden? Bahkan yang paling absurd, dulu PBB memberi penghargaan untuk pencapaian ini-itu kepada dirinya. Sungguh sia-sia upaya itu. Kalau kamu yakin Soekarno ingin membangun negerinya, aku yakin mestinya dia sudah lupa untuk beristri banyak. Itu kan menambah pengeluaran pribadi atas nama negara. Aku meragukan integritasnya. Aku menyangsikan niatnya. Sebab dari fakta, mereka meninggalkan ceceran kotoran yang terlalu busuk. Tapi apa dengan begitu aku harus mati-matian menolaknya? Apa manfaatnya buatku?
Aku sering melihat kontras dan kesulitan menyeimbangkannya. Lama-lama aku menganggap itu omong kosong, menilai itu sebagai sesuatu yang harus dihadapi orang secara pribadi. Kalau aku kekurangan uang, hadapi saja. Berdamai atau atasi. Sejumlah hal sulit aku pahami. Terus belajar atau abaikan---mungkin itu bukan urusanmu. Kalau bukan urusanmu, tinggalkan. Perhatikan urusanmu sendiri. Urusanmu sendiri banyak dan belum beres. Bantu orang lain demi kebaikan dan alasan kemanusiaan. Hanya kamu yang tahu apa kamu menjalani hidup yang jujur atau palsu.
Waktu berlalu tanpa pandang bulu. Harusnya sejak awal tahun kamu kehabisan alasan untuk berdalih atau mengeluh. Ayo Anwar, gugah diri sendiri. Jaga dirimu baik-baik. Miliki hidup yang hebat---minimal untuk kamu sendiri!
Wartax,
alter egomu.
Cipunegara, 10 Juni 2011