Kedalaman Kubah Tohari
--Anwar Holid
Aku baca
Kubah karya Ahmad Tohari waktu mahasiswa. Jelas aku kurang terkesan bila dibandingkan baca trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan
Jantera Bianglala. Novel debut beliau ini terbit tahun 1980 oleh Pustaka Jaya, lalu diterbitkan ulang Gramedia Pustaka Utama pada 1995. Buku ini terselip bertahun-tahun di lemariku di antara puluhan buku berukuran kecil, tak pernah dibaca lagi, sampai suatu hari seorang kawan bertanya, "Menurutmu siapa penulis Indonesia yang pantas menerima Hadiah Nobel?"
Aku langsung jawab, "Ahmad Tohari."
"Sepakat! Aku juga berpikiran begitu!" dia berseru.
"Iya, banyak kritik bilang setelah Pramoedya Ananta Toer meninggal Indonesia mestinya punya kandidat lain untuk diusulkan sebagai penerima Hadiah Nobel, dan mereka menyebut Ahmad Tohari."
"Ahmad Tohari tuh rasanya enggak pernah memunculkan dirinya sebagai penulis atau sok menonjolkan pengetahuan dalam novel-novelnya, tapi dia malah mampu menghidupkan tokohnya dengan sangat nyata, karakternya kuat banget. Dia bisa menciptakan tokohnya sangat lugu, sederhana, dengan sangat meyakinkan. Seolah-olah tokoh itu ada. Dia seperti dalang yang hebat banget mendongeng."
"Tuh ini ada noveletnya,
Kubah. Bawa aja kalo mau," kataku lalu mengambil dan menaruhnya di meja.
"Ah nanti saja. Aku juga lagi baca buku lain."
Novel itu tergeletak begitu saja. Tapi malah membuatku ingin baca lagi, meski sedang ada buku lain yang sedang aku bawa-bawa. Aku juga sedang kepayahan mengalahkan kemalasan menulis. Ada pendapat bahwa membaca ulang merupakan bentuk rasa bersalah. Aku setuju. Dulu aku baca
Kubah dan merasa tidak dapat apa-apa. Beberapa buku yang pernah aku baca dan baca lagi selalu memberi nuansa dan pemahaman baru dan mengesankan.
Cuma butuh beberapa hari perjalanan bolak-balik ke tempat kerja untuk menamatkan novel itu sambil duduk di bus Damri. Selama baca, yang paling kuat terasa muncul ialah intensitas bercerita. Ini yang dulu lenyap waktu aku pertama kali baca. Entah kenapa. Betapa Tohari bisa membuat pembaca tercekam pada situasi batin seseorang atau dia perlahan-lahan membangun ketegangan sampai akhirnya pembaca terengah-engah karena begitu pekat dia menghadirkan konflik, rangkaian kejadian, pembabakan, maupun menyuguhkan klimaks. Ketika sampai di ujung buku, mataku sembab tak kuasa membendung rasa simpati atas nasib seorang manusia bernama Karman.
****
|
Cover Kubah cetakan pertama. |
Karman adalah kader PKI yang menjadi sekretaris Partindo. Orang menghormatinya karena ia bekerja di kantor kecamatan. Menimbang latar belakang keluarganya, aktivis PKI secara tepat dan rahasia memilih Karman, lantas merancang perjalanan karirnya untuk menjadi seorang "priayi". Ia disiapkan untuk membangun kembali partai setelah kegagalan mereka dalam pemberontakan di Madiun. Rencana ini nyaris berhasil andai peristiwa G30S di Jakarta tidak gagal secara prematur dan malah berbalik melalap PKI dan seluruh simpatisannya secara ganas, bahkan dinilai sebagian kalangan tanpa proses hukum dan melanggar HAM. Karman selamat dari amuk massa karena ia ditemukan semaput dari kelaparan dan terserang penyakit dalam persembunyian di pinggir hutan.
Drama dalam
Kubah dibuka dari kedatangan Karman ke Pegaten setelah menjadi tahanan politik di Pulau B. Dia memulai hidup baru dengan ragu. Istrinya sudah menikah dengan pria lain, anak-anaknya terlantar dan berisiko dicap 'keturunan PKI', sementara orang yang paling dibencinya masih hidup. Ia dihantui masa lalu, rasa bersalah, dan kehilangan segala-galanya. Peluang optimismenya hanyalah keinginan samar untuk berbuat baik, yang merupakan ciri khasnya sejak kecil. Tabiat inilah yang dulu pelan-pelan dikikis oleh anggota komunis agar dirinya jadi keras, memberontak, bahkan berani mengabaikan Tuhan. Tapi meski begitu kelembutan dirinya tetap tak hilang.
Memang Ahmad Tohari mengisahkan propaganda PKI dengan stereotipe sebagaimana anggapan lama sesuai versi Orde Baru, termasuk kader wanitanya yang 'liar.' Tapi ia menuturkan secara meyakinkan, terutama cara PKI memilih dan mengader anggota, juga menelusupkan ideologi. Tohari menghadirkan kegamangan bekas tapol menghadapi hari tua, merasakan keragu-raguan seorang pesakitan dengan harapan bisa kembali diterima masyarakat secara ikhlas, dengan memaafkan dosa perilaku dan politiknya.
****
Kedalaman semacam itulah yang tak aku dapati ketika beberapa bulan lalu membaca dua novel berlatar fiksi sejarah konflik militer Indonesia karya novelis senior lain. Novel itu enak dibaca, cara bertuturnya memikat, ceritanya mengalir lancar, konfliknya hadir kuat. Tapi sejak awal aku merasa novel itu kurang dalam, seperti baru permukaan. Beliau cuma menempelkan sejarah sebagai latar belakang dan kejadian terhadap drama percintaan tokohnya tanpa menawarkan perspektif baru, temuan atas investigasi baru, atau berniat mengungkap fakta tersembunyi, meski bisa jadi kontroversial.
Mengukur kedalaman cerita itu bagaimana? Gambaran gampangnya begini: Kalau penulis menceritakan luka, terasa oleh pembaca seperti apa perihnya, bagaimana benda tajam itu menembus kulitnya, merusakkan jaringan dagingnya, darahnya mengaliri kulit seperti apa, sakitnya apa tiada terkira, tercium bau anyirnya, membuat indra kita mengalami sensasi, pori-pori melebar dan menonjol, ikut merinding.
Sebuah novel
page-turner baru merupakan awal yang baik, tapi belum memberi nilai lebih. Seorang pencerita sewajarnya bisa menyihir pembaca. Pembaca selalu berharap lebih dari upayanya menikmati cerita, bertualang mengikuti jalan cerita, terlibat secara emosional, tergetar oleh pengalaman maupun pergulatan batinnya. Ibarat makan, bikin kenyang itu biasa. Kualitas makanan ada pada taruhan kenikmatan, entah paduan bumbu yang pekat, pengolahan yang pas, pedas yang menyengat, atau penyajian yang memikat.
Kubah memang tidak mengubah pandangan mana karya terbaik Ahmad Tohari. Tapi kita jadi makin tahu betapa dalam rentang karir kepenulisannya yang panjang ia memberi sumbangsih besar pada sastra Indonesia. Pengabdian dan karyanya pantas dihargai, dengan cara apa pun. Entah memperkenalkannya kepada pembaca lebih luas, kalau perlu sampai ke luar negeri, atau dengan membaca ulang secara lebih hati-hati.[]
Anwar Holid, editor, bekerja di Rosda International.