Friday, April 30, 2010
Cara Cepat Menghakimi Buku
--Anwar Holid
Apa yang harus dilakukan seseorang bila ia ingin segera bisa memperkirakan subjek sebuah buku? Mula-mula orang tersebut mesti memperhatikan anatomi buku. Sofia Mansoor-Niksolihin, mantan direktur Penerbit ITB, berpendapat secara umum anatomi buku terdiri dari tiga bagian:
1. Halaman awal, yaitu segala halaman yang isinya berupa materi non isi naskah karya penulis. Ciri bagian ini antara lain halamannya menggunakan angka romawi kecil. Halaman awal antara lain berisi: halaman copyright, daftar isi buku, halaman persembahan, pengantar, ucapan terima kasih, slogan, dan lain-lain.
2. Halaman isi (nas), yaitu isi utama yang dijelajahi oleh penulis.
3. Halaman penyudah, yaitu sesudah halaman isi selesai. Cirinya antara lain berupa: catatan, lampiran, daftar buku (bibliografi), indeks (penjurus), kredit foto, dan sejenisnya.
Bagaimana cara kita agar bisa lebih cepat menyimpulkan subjek sebuh buku, baik sebelum memutuskan membeli atau membacanya maupun mengategorikan buku itu masuk jenis apa.
Pertama, baca sinopsis (book description) yang ada di cover belakang (back cover). Tentukan kira-kira sinopsis buku itu subjeknya tentang apa? Namun seiring perkembangan komunikasi marketing dan pentingnya posisi back cover, penerbit kini cenderung mengubah book description sebagai cara untuk mempersuasi calon pembaca alih-alih menerangkan isi buku dengan jernih. Mereka bisa membungkus sinopsis sambil membangkitkan penasaran, provokasi, bahkan kalau perlu sekalian menggantinya dengan tumpukan blurb dari orang-orang terkemuka yang dinilai akan mampu menaikkan daya jual.
Kedua, baca cepat pengantar penulis, bab pendahuluan atau pertama, bisa juga pengantar orang lain yang biasanya ada di bagian awal. Tentukan semua pembicaraan mereka kira-kira mengarah pada subjek apa?
Ketiga, kalau masih ragu, cari informasi tambahan lain tentang buku itu, antara lain berupa resensi, informasi dari di internet, atau detail produk buku bersangkutan---biasanya ada di website penerbit masing-masing atau di toko buku online. Penelusuran ini mudah dilakukan berkat adanya search engine seperti Google. Situs ensiklopedia gratis seperti Wikipedia bahkan sering menyediakan informasi lebih lengkap tentang sebuah buku, ditambah link sumber terkait dan penerimaan publik terhadap buku itu.
Perhatian: jangan tertipu oleh judul. Kita harus sensitif dan perhatian terhadap judul. Contoh sebuah buku berjudul: "BOB MARLEY dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809." Di toko buku Gramedia Merdeka, Bandung, buku ini ditaruh di rak "biografi", sementara di toko buku Gramedia Parisj van Java ditaruh di rak "sosial politik." Kecerobohan ini pasti terjadi karena petugas toko buku terkecoh oleh nama "BOB MARLEY"---yang memang lebih terkenal sebagai penyanyi, atau mirip seorang tokoh massa dan pemimpin gerakan sosial, padahal jelas-jelas lanjutan judul itu---yaitu "dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809"---sudah pasti mengacu ke buku cerpen, atau minimal mengarahkan pikiran orang pada sastra dan fiksi. Orang memang suka tergesa-gesa menyimpulkan, dan celakanya salah.
Nah, kalau buku berjudul "Biola Tak Berdawai" kira-kira akan masuk rak mana? Bagian buku musik atau keterampilan?
Kesalahan-kesalahan mendasar seperti itu kini membuat penerbit berusaha sedini mungkin memposisikan klasifikasi buku sejelas mungkin, bahkan mereka menugaskan "checker" agar memantau bahwa buku tersebut masuk ke rak yang tepat. Di cover belakang kini umum ada keterangan seperti NON FIKSI, FIKSI, MEMOAR, CULTURAL STUDIES, BIOGRAFI, PANDUAN, PSIKOLOGI, PUISI, MASAKAN, REFERENSI, HOW TO, SEJARAH, MOTIVASI, FILSAFAT, AGAMA ISLAM, dan lain sebagainya. Ini sebenarnya sudah membantu calon pembaca dan pihak toko buku, walaupun terasa terlalu umum. Perhatikan intensitas penerbit; bisa jadi buku itu memang betul biografi, misalnya biografi seorang tokoh agama. Nah, lantas mau ditaruh di mana buku seperti itu: rak "agama" atau "biografi"? Di sinilah pentingnya keputusan pemilah klasifikasi buku.
Contoh lain bila ada buku berjudul "Humor Gus Dur", kira-kira lebih pas masuk bagian buku humor (kalau ada), ke bagian sosial-politik, atau malah biografi? Di sini pentingnya menentukan isi buku minimal dari sinopsis dan pengantar.
Semoga Anda tepat mengambil buku sesuai keinginan, tidak terkecoh dan salah pilih.[]
Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Sunday, April 25, 2010
[BUKU INCARAN]
Cerita, Mantra, Diaspora
---Anwar Holid
Pada Kamis sore, 22 April 2010 saya datang ke acara Kamisan FLP Bandung di halaman Masjid Salman ITB yang akan membicarakan Mantra Maira (Jalasutra, 2010, 132 hal.) karya Sofie Dewayani. Saya berharap kawan-kawan FLP sudah baca buku itu, atau sebagian dari karya Sofie, karena karyanya bisa digoogling atau sudah tersedia di sriti.com, dan Sofie juga punya blog di multiply. Tapi rupanya mereka yang berkumpul di awal pertemuan belum ada yang baca karya dia. Ini membuat saya jadi kesulitan mau menelisik beberapa topik yang muncul setelah baca buku tersebut.
Di awal pertemuan, mula-mula sudah ada sekitar 20 orang berkumpul, dan terus berdatangan sampai menjelang magrib peserta bertambah lebih dari separo. Salah satunya ialah Wildan Nugraha. Dia sempat menulis esai tentang cerpen dan Facebook yang jadi subjek dalam cerpen Bangku Belakang karya Sofie, yang juga masuk dalam Mantra Maira. Dia bilang Bangku Belakang merupakan contoh cerpen yang mampu merespons fenomena sosial-kontemporer dengan pas dan halus.
Berisi sebelas cerpen, Mantra Maira ialah buku yang mungil, tipis, dan serius. Saking tipis, kalau mau kita bisa menamatkan buku ini hanya dalam beberapa jam. Meski begitu, subjek cerpen Sofie rata-rata serius, dengan bentuk khas sastra koran Indonesia, yaitu pendek-pendek. Kesan serius tampak dari cara penyajian bukunya. Faruk HT memberi kata pengantar dengan topik 'sastra pasca-aksara' dengan pendekatan Saussurean, sementara sang penulis juga mengawali bukunya dengan esai mengenai hubungan aksara dan manusia memanfaatkan pemikiran Jack Goody, Walter J. Ong, Shirley Brice Heath.
Faruk dan Sofie sama-sama mengusung topik literasi---yang secara tersirat sepakat mereka anggap merupakan budaya manusia yang lebih unggul dan reflektif dibandingkan lisan. Keseriusan tambah menghebat manakala sebelas cerpen itu dibagi tiga dengan komposisi 4-4-3 menggunakan judul ala makalah ilmiah, yaitu 'teks dan internalisasi individual,' 'modernitas dan identitas,' dan 'kelas dan literasi.' Apa masing-masing cerpen ini benar-benar berbeda satu sama lain, sehingga perlu dengan tegas dipisah? Subjek tentang individu pasti mudah terkait dengan identitas, dan teks pasti mudah menyerempet ke soal literasi.
Pertanyaan utama saya atas buku ini: apakah 'sastra pasca-aksara' itu?
Mayoritas cerpen dalam Mantra Maira berisi tentang diaspora orang Indonesia di Amerika Serikat. Ini mungkin akan mengingatkan orang pada Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (Umar Kayam) atau Orang-Orang Bloomington (Budi Darma). Kadar diaspora dalam buku ini berlapis dengan tema keperempuanan yang sangat kuat, dan itu membuat saya berani melabeli buku ini sebagai salah satu contoh ecriture feminine alias tulisan perempuan.
Budi Darma, salah seorang legenda hidup sastra Indonesia, menyatakan buku ini "menarik berkat kewajarannya mempergunakan nuansa-nuansa wanita, melalui pilihan kata yang biasa dipergunakan wanita, gaya bahasa khas wanita, dan permasalahan yang dihadapi oleh wanita."
Karena para hadirin belum pada baca Mantra Maira, saya jadi bersemangat menyarankan agar kawan-kawan membaca buku ini, apa lagi buku ini cukup murah, hanya Rp.20.000. Lagian, Sofie Dewayani bersimpati pada gerakan FLP. Dia pernah bicara pada Silaturahim Nasional FLP 2008.
Seorang peserta malah bertanya pada saya, "Karena mas terkenal rewel sama buku, bagaimana kualitas editing buku ini?" Jujur saja, untuk buku setipis ini, mestinya editing bisa sempurna. Tapi buku ini masih mengandung salah tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan pemenggalan kata.
Sofie Dewayani dulu kuliah di Jurusan Teknik Lingkungan ITB, tapi konon kini dia memutuskan menanggalkan semua yang dipelajarinya di sana dan beralih ke sastra dan humaniora. Dia sekarang tengah mengambil program doktoral di University of Illinois, Amerika Serikat. Buku dia sebelumnya ialah Rumah Cinta Kelana (2002).[]
Anwar Holid bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141.
Tag: Seharusnya kamu merasa beruntung karena terganggu oleh bacaan. (Hal. 42).
Sofie Dewayani ikutan Facebook, bertemanlah dengan dia.
Situs terkait:
http://dialogkecil.multiply.com --> blog Sofie Dewayani
http://www.jalasutra.com
Saturday, April 17, 2010
[halaman ganjil]
210 butir kapsul habbatussauda
---anwar holid
aku sudah hampir menghabiskan 210 butir kapsul habbatussauda cap kurma ajwa kurang-lebih dalam waktu empat bulan ini. ceritanya sekitar awal januari lalu istriku dikasih sebotol habbatussauda oleh keluarga rezha, waktu istri dan anak-anak kami libur akhir tahun di rumah mereka dan agus salim di jakarta. awalnya aku ragu apa bakal tertarik mengonsumsi suplemen seperti itu. di minggu-minggu pertama aku merasa bahwa kapsulnya nyaris terlihat tak menyusut. tapi di pertengahan april ini aku baru sadar, lama-lama ternyata mau habis juga. perlahan-lahan aku agak rutin mengonsumsi empat butir per hari; dua di pagi dan dua di sore. kadang-kadang malah sekali tenggak.
ini pengalaman pertamaku minum suplemen yang digadang-gadang oleh umat islam sebagai 'pengobatan a la nabi muhammad.' perhatikan saja klaimnya: botol ini sampai perlu mencantumkan hadis riwayat bukhori-muslim yang bunyinya: 'sesungguhnya di dalam habbatussauda (jintan hitam) terdapat penyembuh bagi segala macam penyakit, kecuali kematian.' jujur, aku antara nyengir dan ingin ketawa dengar hadis seperti ini. aku juga ragu bahwa ini hadis sahih, jadi mesti dicek. hadis ini nadanya terdengar agak murahan, misalnya mirip dengan hadis palsu yang bunyinya 'barangsiapa membaca la ilaha illallah, allah akan menjadikan baginya seekor burung yang punya tujuh puluh lidah. pada tiap-tiap lidah tujuh puluh ribu bahasa yang memohon ampun kepada allah untuk orang tersebut.' bahkan aku dulu agak kaget waktu mendapati pernyataan 'terkadang kefakiran itu mendorong kepada kekufuran' ternyata bukan hadis, melainkan ungkapan dari bahasa arab saja.
jadi mengabaikan angan-angan bahwa habbatussauda ini semacam elixir yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan bakal membuat nyawaku jadi lebih awet atau vitalitasku jadi naik drastik, aku berprasangka baik saja meminumnya. toh benda ini diklaim bisa meningkatkan imunitas dan melancarkan peredaran darah. bila tiga manfaat itu saja sudah sangat hebat, di botol ini disebutkan khasiat dan kegunaan habbatussauda bertambah-tambah, yaitu:
* membantu mengatasi berbagai penyakit, seperti rematik, asam urat, dll.
* membantu mengobati gangguan jantung, ginjal, liver, dll.
* membantu menormalkan/menstabilkan kolesterol, darah tinggi, dll.
* membantu mengobati kanker, dll.
* membantu meningkatkan asi dan imunitas.
aku sengaja mengetik 'dll' persis karena malas mengulang item yang terlalu banyak mereka sebutkan.
hebat benar kan kandungan habbatussauda ini? dan lebih luar biasa lagi kalau kita mau mempercayainya!
aku ingat waktu mulai makan habbatussauda ini kondisi kesehatanku lagi rada-rada jelek. aku batuk-batuk ringan. mungkin karena waktu itu lagi puncak musim penghujan dan hujan setiap hari terjadi dengan curah besar dan waktu lama. beberapa hari kemudian kondisiku tambah jelek, kini ditambah pilek dan rada meriang. aku bilang ke fenfen, 'waduh, kok jadi lebih parah ya? apa ada hubungannya dengan minum habbatussauda?' 'eh, iya. kata rezha kalau orang baru minum ini memang bakal sakit dulu. racun-racun dalam tubuhnya dibuang dulu. istilahnya detoksifikasi.' dengan begitu aku terus mengonsumsinya. mungkin keterangan fenfen ini benar. lama-lama batuk-pilekku sembuh, dan hingga hari ini aku belum jatuh sakit yang sampai bisa bikin tumbang, misalnya demam tinggi atau meriang. alhamdulillah. artinya selama periode ini aku cukup fit. aku kadang-kadang memang merasa kepalaku terasa berat atau rada pusing, tapi aku tahu persis itu karena aku panik kesulitan menyelesaikan target atau kepayahan menahan emosi biar enggak meledak kala menghapi banyak situasi menjengkelkan. ini mah tekanan biasa. aku menyebutnya dengan istilah 'problema lelaki berumah tangga.'
jadi meski awalnya agak bosan minum habbatussauda karena merasa kapan nih akan habisnya, toh aku bisa menyantapnya juga. sekarang tinggal beberapa butir lagi. nanti bila benar-benar habis, akankah aku mau membeli sendiri? aku ragu. aku malah jadi teringat seorang kawanku, yang kebetulan jarang bertemu, namanya gofar. terus-terang aku suka rada kasihan atau enggak tega sama dia, karena dia sering jadi bahan ledekan kawan-kawan soalnya dia kelihatan terlalu alim dan konservatif banget. dulu dia bilang bahwa profesinya ialah jualan habbatussauda. waktu dia 'jual obat' ke aku, aku cengar-cengir saja dengar penuturannya. antara takjub dan sangsi. satu-satunya yang kurang aku suka dari habbatussauda ialah baunya cukup menyengat.
tapi lepas dari segala kesangsian dan kebodohanku, aku bersyukur atas kesehatan akhir-akhir ini. berkat nikmat sehat inilah aku lebih kuat sedikit demi sedikit menyelesaikan tugas, sementara vitalitasku terjaga.
makasih rezha![]
Wednesday, April 14, 2010
alhamdulillah, selesai meresensi tiga buku ini:
[1]
Tinta Emas di Kanvas Dunia: Jejak Langkah Ahli Bedah Saraf DR. Eka Julianta Wahjoepramono
Penulis: Pitan Daslani
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 226 + xxi
ISBN: 978-979-709-466-9
[2]
Mantra Maira (Kumpulan Cerita Pendek)
Penulis: Sofie Dewayani
Penerbit: Jalasutra, 2010
Tebal: xxiv + 108 hlm
ISBN: 978-602-8252-27-0
Harga: Rp. 20.000,-
[3]
What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya
Judul asli: What the Dog Saw and Other Adventures
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: GPU, 2010
Tebal: 480 hal.; Ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5249-1
Harga: Rp.80.000,-
loh, resensinya mana? kok enggak diposting? ya nanti dong kalow ada kepastian resensi yang aku tawarkan ke media massa itu dimuat (mode: berharap) atau ditolak (mode: sedih).
semoga dua buku pertama yang aku resensi mendapat sambutan hangat dari publik pembaca, termasuk ulasan atau kritik yang ramai. soalnya buku ketiganya sih sudah bestseller duluan. he he he...
[1]
Tinta Emas di Kanvas Dunia: Jejak Langkah Ahli Bedah Saraf DR. Eka Julianta Wahjoepramono
Penulis: Pitan Daslani
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 226 + xxi
ISBN: 978-979-709-466-9
[2]
Mantra Maira (Kumpulan Cerita Pendek)
Penulis: Sofie Dewayani
Penerbit: Jalasutra, 2010
Tebal: xxiv + 108 hlm
ISBN: 978-602-8252-27-0
Harga: Rp. 20.000,-
[3]
What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya
Judul asli: What the Dog Saw and Other Adventures
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: GPU, 2010
Tebal: 480 hal.; Ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5249-1
Harga: Rp.80.000,-
loh, resensinya mana? kok enggak diposting? ya nanti dong kalow ada kepastian resensi yang aku tawarkan ke media massa itu dimuat (mode: berharap) atau ditolak (mode: sedih).
semoga dua buku pertama yang aku resensi mendapat sambutan hangat dari publik pembaca, termasuk ulasan atau kritik yang ramai. soalnya buku ketiganya sih sudah bestseller duluan. he he he...
Thursday, April 08, 2010
[RESENSI]
Perayaan Kecil Cerpen Indonesia
---Anwar Holid
BOB MARLEY dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809
Penulis: Hasan Al Banna, et al.
Penerbit: GPU, 2009
Tebal: 152 halaman; ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5215-6
Harga: Rp 35.000,-
Sriti.com merupakan situs berisi data base terbesar cerpen Indonesia. Muncul Agustus 2000, situs yang didirikan sejumlah mahasiswa IPB penggemar sastra ini konsisten tiap minggu mengupdate isinya. Maklum, cerpen merupakan salah satu produk paling banyak yang muncul di koran. Tiap minggu, semua koran memilih cerpen untuk pembaca mereka. Otomatis awak Sriti.com, atau atas inisiatif penulisnya, setiap minggu mendapat cerpen baru yang sudah layak terbit dan pantas dibaca. Terbayang, tentu kini mereka butuh ruang lebih besar lagi untuk menampung muatannya.
Sebagai "tempat pembuangan akhir" cerpen koran, salah satu kekuatan utama Sriti ialah justru kebebasan kepentingan kelompok---dalam hal ini kepentingan editor dan kebijakan media massa bersangkutan. Sriti nonsektarian, bisa menerima berbagai aliran dan bentuk, terlebih lagi cerpen itu telah berhasil memenuhi selera dan kriteria editor desk sastra. Sikap ini tecermin betul dari terpilihnya dua belas cerpen terbaik dalam periode 2008-2009 yang terkumpul dalam buku ini. Kita bisa dengan mudah merasakan perbedaan "Bob Marley" dengan buku sejenis, misalnya buku tahunan Cerpen Terbaik Kompas. Bagaimana awak Sriti menentukan pilihan dan menjelaskan seleranya?
De gustibus non est disputandum, begitu kata pepatah Latin. Soal selera itu mustahil diperdebatkan. Ia hanya bisa dibiarkan; diamini atau ditinggalkan. Di lihat dari sini, kita paham bahwa selera itu kadang-kadang ternyata harus mau kompromi dengan kepentingan pasar atau merupakan kemenangan selera mayoritas---berdasarkan hitungan statistik. Yang terjaring kriteria, itulah yang menang. Maka kita bisa mendapatkan berbagai subjek dalam buku ini, termasuk beragam cara bertutur dalam menulis cerpen.
Ada cerpen realistik, seperti Kematian Bob Marley (Hasan Al Banna), Guru Safedi (Farizal Sikumbang), Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang (Bamby Cahyadi), juga Induak Tubo (Zelfeni Wimra). Ada yang absurd, antara lain Malam Basilisk (Dinar Rahayu), beraroman realisme magis dengan nuansa gothik, misalnya Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus (Intan Paramaditha) dan Malam Kunang-kunang (Rama Dira J.)
Apa yang bisa kita dapat dari buku ini? Pertama-tama ialah cerpen yang baik itu harus bisa memasung perhatian pembaca dari awal hingga akhir tanpa jeda, dalam sekali baca. Cerpen normal koran di Indonesia bisa jadi hanya butuh waktu antara 10-30 menit untuk membacanya, panjangnya rata-rata sekitar 12000 karakter. Kondisi ini memaksa penulis untuk berlatih agar bisa berkisah secara efektif, ekonomis, mengejutkan, dengan nalar tetap terjaga, dan kalau bisa setelahnya membangkitkan rasa penasaran pembaca. Contoh paling sederhana dalam buku ini ialah Cinta pada Sebuah Pagi (Eep Saefulloh Fatah). Kisah cerpen ini mudah ditebak, namun Eep berhasil menghadirkan "twist" (pelintiran) secara mulus. Sisanya pembaca akan bertanya-tanya: Apa Arnando seorang pemalas atau istrinya terlalu terobsesi oleh karir, hingga rumah tangga mereka malah diselingkuhi oleh pembantu yang bisa memanfaatkan kekosongan di antara mereka? Ironik. Begitu juga dengan absurditas: kalau mampu memadukan kenyataan dan ilusi dengan baik, sebuah cerita abdurd juga tetap enak dinikmati.
_____________________________________________________________________
Dua belas cerpen dalam buku ini:
1/ Kematian Bob Marley (Hasan Al Banna)
2/ Induak Tubo (Zelfeni Wimra)
3/ Kandang (Yanusa Nugroho)
4/ Cinta pada Sebuah Pagi (Eep Saefulloh Fatah)
5/ Satu Kunang-kunang, Seribu Tikus (Intan Paramaditha)
6/ Malam Basilisk (Dinar Rahayu)
7/ Guru Safedi (Farizal Sikumbang)
8/ Malam Kunang-kunang (Rama Dira J)
9/ Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang (Bamby Cahyadi)
10/ Tanah Lalu (Yetti A. KA)
11/ Kunti Tak Berhenti Berlari (Berto Tukan)
12/ Batubujang (Benny Arnas)
_____________________________________________________________________
Dari buku ini kita mendapat bukti bahwa koran terbitan nonibu kota pun bisa bersaing menghasilkan cerpen yang kuat. Karena pilihannya sangat banyak dan beragam, Sriti bisa mendapat karya dari Sabang sampai Merauke. Terpilihlah cerpen dari Singgalang Padang, Padang Ekspres, Suara Merdeka, Batam Pos, dan Jawa Pos---mendampingi cerpen dari koran yang sudah sangat kuat reputasi sastranya, seperti Kompas dan Koran Tempo. Di sinilah sikap nonsektarian Sriti patut dipuji dan menjadi penting nilainya. Karena bersedia menampung sumber dari mana saja, lahirnya buku ini berpotensi menginisiasi tradisi berharga sejenis buku tahunan The Best American Short Stories, yang menyeleksi cerpen karya penulis Amerika Serikat dan Kanada dari semua sumber penerbitan cerpen dalam setahun. Kalau proyek "Bob Marley" berhasil, ia jelas patut dilanjutkan, bahkan bila perlu dengan mengundang "badan" perbukuan agar mendapat meningkatkan kualitas dan masukan berharga.
Di proyek awal ini Akmal Nasery Basral dan Enda Nasution memberi masukan soal sastra elektronik (sastra Internet, cyber literature) berhadap-hadapan dengan sastra koran konvensional. Mereka berdua lebih ingin memperjelas sebenarnya sastra elektronik Indonesia itu seperti apa. Apa makna proyek Sriti.com ini pada konteks sastra Indonesia? Apa penerbitan antologi Bob Marley bisa masuk kategori sastra elektronik karena bahannya berkumpul di server tertentu? Atau malah benar-benar mengekalkan sastra koran, sebab awalnya merupakan bagian dari koran standar. Justru karya-karya yang berasal dari komunitas sastra di Internet diabaikan sama sekali.
Editing buku antologi ini kurang memuaskan. Di sana-sini salah eja dan inkonsistensi tanda baca terjadi berkali-kali. Kalau dilihat bahwa Sriti.com sudah menerima "bahan matang" karena awalnya sudah terbit dahulu dan diperiksa editor media bersangkutan, kesalahan ini mengecewakan, karena tak ada peningkatan kualitas setelah penerbitan pertama. Ini urusan elementer, tapi ini untuk ketiga kalinya saya menemukan buku keluaran GPU yang editingnya mengecewakan. Kita boleh bertanya, apa cerpen-cerpen ini sebenarnya mendapat sentuhan editing atau tidak? Salah satu yang juga ingin saya soroti ialah banyaknya penggunaan "tidak" untuk menyatakan negasi. Dalam hal ini, para penulis betul-betul ingin gampang. Mereka mudah sekali menggunakan "tidak" plus kata kerja, sifat, atau keterangan untuk menyatakan negasi alih-alih mencari diksi yang lebih kuat dan bertenaga. Tentu "tidak" bukan dilarang digunakan bila tepat penggunaannya, misal untuk menegaskan penolakan (sangkalan). Hanya saja penggunaan gampangan seperti itu memperlihatkan bahwa penulis malas mengeksplorasi kosakata. Contoh:
tak henti --> terus-menerus
tak terbelalak --> jadi apa? pandangan biasa, sayu, terpejam, atau tatapan kosong?
tak dikenal --> asing, aneh, ajaib
tak berketentuan --> kacau, sembarangan,
tak terelakkan --> pasti terjadi.
tidak tahan --> menyerah, ampun-ampunan, kalah
Sriti.com kini memasuki usia sepuluh tahun. Komunitas ini bisa diandalkan menjadi pembaca sekaligus pengawal cerpen yang hebat, sebab lingkaran pendukungnya juga bertambah luas. Di masa depan kita boleh berharap akan lahir produk pilihan seleksi yang lebih baik lagi dari sini.[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Situs terkait:
http://www.sriti.com
http://www.gramedia.com
Monday, April 05, 2010
[HALAMAN GANJIL]
Editor itu ialah Diplomat yang Ramah
---Anwar Holid
Suatu hari aku jalan-jalan ke sebuah kuil yang dilengkapi fasilitas tembok ratapan. Di dinding itu orang bisa menempelkan apa pun, baik tulisan pengharapan, doa, luapan emosi, segala macam perasaan, atau ajakan untuk bertindak. Karena sedang santai, aku perhatikan tempelan itu satu per satu dengan agak saksama, sampai mataku tertuju pada sebuah kertas Post-it bertuliskan: "menolak naskah".
Emm, pasti seorang editor yang menulis hal itu. Meski sama-sama editor, sekarang ini aku mustahil bisa menulis "menolak naskah", karena aku kini tidak ngantor di sebuah penerbit. Dulu sesekali aku melakukan hal serupa, walaupun aku agak yakin bahwa bila idenya menarik, sebuah naskah itu sebenarnya bisa dinegosiasikan buat diterbitkan. Tapi kita tahu pertaruhan penerbit macam-macam dan mereka menuntut editornya untuk bekerja lebih menghasilkan. Beberapa bulan lalu aku pernah melihat pernyataan serupa di dinding sebelah lain. Seorang editor kenalanku menulis: "menolak 12 naskah seharian ini." Hebat banget.
Walah, ada apa dengan para penulis kita? Kenapa usahanya sia-sia, sampai para wakil penerbit itu menolak kerja kerasnya?
Di bawah ratapan sang editor tadi muncul tanggapan dari para koleganya. Entah rekan seperusahaan atau sesama editor yang sama-sama berkunjung ke kuil itu.
"Naskah apa mbak? Kalau jelek dan bikin pusing editor, tolak saja."
"Ini naskah dari penulis yang enggak kooperatif. Padahal isinya biasa aja. Kalau diusahakan bagus perlu banyak sekali upaya, dan kalau sukses toh tetap akan merepotkan dengan kemunculan kritik atau resensi yang tidak menyentuh esensi, belum lagi sms, telepon, kayak enggak kenal waktu, enggak ngerti mana editor, mana bagian marketing. Belum emotional costnya. Siapa kamu gitu? YUP. TOLAK SAJA!"
"Setuju. Apalagi pengarang yang belum apa-apa sudah merasa karyanya bagus. Ditalak saja, eh, ditolak saja!"
"Wah, persis pengalamanku tuh. Sudah naskahnya kacau banget, dibetulkan perlu waktu lama, sampai aku rewriting 156 halaman. (Helo.. aku kan 'cuma' editor), pengarangnya bilang aku lelet dan menelantarkan naskah, bilang it's so unfair-lah dan lain-lain... terus dia menentukan tanggal launching sebagai cara ngasih tahu deadline ke aku. Edan... banyak tuh yang enggak tahu diri kayak gini. Tolak saja ya penulis yang tidak akomodatif itu. Setelah mereka kita tolong dengan segala kemudahan, toh yang dapat nama juga mereka, sementara yang repot dan nanggung risiko dicaci maki kan kita."
Emm, aku membatin baca komentar agak panjang ini. Kayaknya ada yang tumpang tindih di sini. Kalau naskahnya kacau banget, kenapa diterima? Apa kualitas isinya sebanding dengan kekacauan penulisannya? Apa itu naskah pesanan? Kenapa juga seorang editor sampai harus melakukan rewriting atas sebuah naskah? Bukankah tugas editor itu memberi saran perbaikan pada naskah, sementara yang harus melakukan rewriting penulis bersangkutan? Lagi pula, tugas editor itu MEMANG menolong penulis. Kenapa harus pamrih nama? Editor dan penulis itu karir yang berbeda. Editor berkarir di penerbit---nama, reputasi, dan prestasinya ditentukan oleh sejumlah hal tertentu, misal target jumlah halaman yang harus dia edit per bulan, berapa judul yang harus terbit, berapa naskah yang dia akuisisi. Sementara tugas penulis menghasilkan karya sebaik mungkin. Kegagalan dan keberhasilan penulis juga banyak faktornya, misal dari segi penjualan dan kualitas karya.
Kita pasti mau ikhlas mengamini bahwa seorang penulis telah sukses bila buku-bukunya jadi bestseller, minimal sukses secara finansial. Tapi jangan kira penulis yang buku-bukunya seret di pasar otomatis bisa dicap gagal, karena bisa jadi ia berhasil di sisi lain, misalnya berkat memenangi anugerah sastra, atau oleh media tertentu dianggap sebagai "buku terbaik tahun ini", atau masuk daftar "buku paling berpengaruh dasawarsa ini." Kegagalan dan kesuksesan punya wajah sendiri-sendiri.
Aku ingat pernah menangani naskah dengan penulis muda. Rasanya kami sudah berusaha maksimal memberikan yang terbaik, berhati-hati, penuh dedikasi. Tapi ternyata buku itu segera dilupakan pembaca, sampai-sampai penulisnya tampak frustrasi pada cara penerbitan biasa dan kini lebih memilih menerbitkan novel barunya via online.
Dulu aku pernah kenalan dengan seorang penulis. Aku buta reputasinya seperti apa. Tapi kemudian aku tahu, ternyata dia sudah menerbitkan tiga buku yang semua bestseller. Buku pertamanya sudah cetakan lima, buku keduanya cetakan delapan, dan buku ketiganya (yang terbaru waktu itu) sudah naik cetakan ketiga. Di kelompok massa tertentu, namanya juga terkemuka. Bahkan dari cerita sang penulis ini, dirinya suka tiba-tiba dicurhati seseorang yang depresi atau gelisah. Pernah juga seorang pemilik jaringan hotel berbintang memintanya terbang ke luar Jawa khusus untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Orang ini yakin bahwa penulis itu orang yang tepat dan bisa memberinya jalan kebahagiaan. Ada juga orang yang mengaku jadi batal bunuh diri setelah baca buku-bukunya. Hebatkan? Jadi meski kupingku baru dengar nama dia sebagai penulis, pengalamannya menakjubkan. Memang siapa aku yang merasa bisa menghakimi ini-itu?
"Iya betul. Ternyata aku enggak sendiri.. aku rasa editor lain juga pernah deh ngalami seperti ini. Sudah dibaiki, ditolong, dikabulkan permintaaannya ini-itu, tapi kalau salah dikit saja, ngomong ke mana-mana deh, mending bener omongannya.. just blame the editor.. cukup sudah! Aku enggak mau lagi sama penulis kayak gini. Kamu aku talak dan aku tolak!"
"Orang-orang itu enggak tahu kali bahwa editor yang bikin buku jadi bagus dan berdaya jual... Kalau bawa maunya sendiri ya terbitin saja sendiri..."
Komentar ini mengesankan bahwa editor itu dewa yang bisa menentukan nasib buku. Esprit de corpsnya terlalu tinggi. Dia memandang profesi ini terlalu agung. Enggak juga. Kadang-kadang editor juga salah nilai dan salah spekulasi. "Blinknya" tumpul. Lihatlah para editor yang terbukti pernah menolak ribuan naskah, tapi setelah naskah itu diterbitkan penerbit lain, atau diterbitkan sendiri, ternyata meledak gila-gilaan menjadi buku hebat yang pernah ada. Maukah editor salah nilai dan prediksi itu mengakui kegagalannya? Bukankah naskah Harry Potter (J.K. Rowling) jilid pertama pun awalnya ditolak banyak penerbit? Pada tahun 1984, Louise Erdrich---penulis Amerika Serikat kelahiran 1954 keturunan Indian Chippewa & imigran Jerman---menulis naskah Love Medicine yang menurut banyak orang agak aneh cara bercerita dan isinya. Ketika dia menawarkan naskah itu ke sejumlah penerbit, semua menolak. Suaminya, Michael Dorris, memutuskan untuk jadi agen naskah Love Medicine sekaligus jadi teman kerja untuk memperbaiki naskah tersebut. Hasilnya, ada penerbit yang tertarik menerbitkannya. Cetakan pertama novel itu terjual 400.000 ribu eksemplar, dan pada tahun 1984 memenangi Book Critics Circle Award. Aku dengar Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko) ditolak sebuah penerbit sebelum akhirnya diterima GPU dan kini menjadi tesaurus otoritatif pertama bahasa Indonesia. Buku dan penulis punya nasib sendiri-sendiri.
"Kadang-kadang aku merasa kok begini amat ya posisi editor. :("
"Mesti pindah ke Inggris atau Eropa mbak, di sana editor itu dewa, he he he."
Orang ini jelas teringat tulisan Stephen King di On Writing, A Memoir of the Craft (2000). Di buku memoar tentang proses penulisan itu dia bilang: "menulis itu manusiawi, namun mengedit itu ilahiah."
"Penulis seharusnya memang kooperatif dan jika perlu selalu sehati dengan editor. Sayang memang di Indonesia ini penghargaan pada editor dan penulis sama-sama kacau. Konon di luar negeri kedudukan editor sama."
Komentator ini tampak mudah meremehkan bangsa sendiri dan terlalu memandang luhur bangsa lain yang tampak lebih unggul. Sebagai penulis, aku pernah bekerja sama dengan editor yang menurutku mereka sangat berdedikasi untuk menghasilkan naskah berisi, memberi masukan cara menjelaskan sesuatu, memberi pertimbangan tentang kemungkinan efek dari tulisan dan pembacaan, dan seterusnya sampai naskah itu pantas dikonsumsi khalayak. Editor yang baik pasti sangat bermanfaat untuk mematangkan naskah. Memang kadang-kadang seorang editor harus mau menghadapi penulis sombong menjijikkan dan menyebalkan, yang mengganggap naskahnya seperti perawan tingting yang haram diutak-atik. Itu mungkin risiko bekerja di perusahaan. Editor seperti itu harus kuat dalam berargumen dan mengambil keputusan. Kalau jalan lain tertutup, minta saja atasan Anda menyelesaikan masalah seperti itu. Elsie Myers Stainton, dalam Author and Editor at Work (1982) bilang: An editor is the agreeable diplomat who offers suggestions, considers compromises, and even withdraws from the controversy if necessary. Editor itu ialah diplomat ramah yang memberi saran, menimbang kompromi, dan jika perlu bahkan mundur dari kontroversi.
Buku bisa lahir dari mana saja. Bahkan proses kelahirannya bisa jadi tak melibatkan editor. Ordinary People (Judith Guest) terbit berkat saran resepsionis di penerbit Fontana (1976) yang kebetulan baca-baca onggokan naskah. Kok bisa? Sebab para editornya merasa terlalu suci untuk mau melirik sebuah naskah tanpa agen kiriman penulis bukan siapa-siapa. Hasilnya? Buku itu sukses, baik sebagai bestseller maupun menuai kritik dan pujian di mana-mana. Buku itu dianggap melanjutkan tradisi The Catcher in the Rye (J.D. Salinger). Lantas Rebort Redford mengadaptasinya sebagai film yang sangat sukses pada 1980. Redford juga memenangi penghargaan sebagai Best Director baik di ajang Academy Award maupun Golden Globe Award.
"Jadi, apa ada saran lain yang ingin Anda sampaikan kepada para pengarang?" tanya Judy Mandell kepada Jackie Farber, editor senior dari Delacorte dan Dell. Jawab Farber: "Hendaklah pengarang mau mendengar perkataan editor. Seyogyanya mereka mau menimbang-nimbang gagasan dan usulan editor."[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
PENGAKUAN:
1/ Sebagian dari bahan tulisan ini berasal dari posting dan respons wall seseorang di Facebook. Saya edit sedikit biar jadi agak lebih baku.
2/ Wawancara Jackie Farber dengan Judy Mandell diambil dari posting "Membangun Hubungan Editor-Pengarang" terjemahan bang Mula Harahap di milis pasarbuku@yahoogroups.com.
Editor itu ialah Diplomat yang Ramah
---Anwar Holid
Suatu hari aku jalan-jalan ke sebuah kuil yang dilengkapi fasilitas tembok ratapan. Di dinding itu orang bisa menempelkan apa pun, baik tulisan pengharapan, doa, luapan emosi, segala macam perasaan, atau ajakan untuk bertindak. Karena sedang santai, aku perhatikan tempelan itu satu per satu dengan agak saksama, sampai mataku tertuju pada sebuah kertas Post-it bertuliskan: "menolak naskah".
Emm, pasti seorang editor yang menulis hal itu. Meski sama-sama editor, sekarang ini aku mustahil bisa menulis "menolak naskah", karena aku kini tidak ngantor di sebuah penerbit. Dulu sesekali aku melakukan hal serupa, walaupun aku agak yakin bahwa bila idenya menarik, sebuah naskah itu sebenarnya bisa dinegosiasikan buat diterbitkan. Tapi kita tahu pertaruhan penerbit macam-macam dan mereka menuntut editornya untuk bekerja lebih menghasilkan. Beberapa bulan lalu aku pernah melihat pernyataan serupa di dinding sebelah lain. Seorang editor kenalanku menulis: "menolak 12 naskah seharian ini." Hebat banget.
Walah, ada apa dengan para penulis kita? Kenapa usahanya sia-sia, sampai para wakil penerbit itu menolak kerja kerasnya?
Di bawah ratapan sang editor tadi muncul tanggapan dari para koleganya. Entah rekan seperusahaan atau sesama editor yang sama-sama berkunjung ke kuil itu.
"Naskah apa mbak? Kalau jelek dan bikin pusing editor, tolak saja."
"Ini naskah dari penulis yang enggak kooperatif. Padahal isinya biasa aja. Kalau diusahakan bagus perlu banyak sekali upaya, dan kalau sukses toh tetap akan merepotkan dengan kemunculan kritik atau resensi yang tidak menyentuh esensi, belum lagi sms, telepon, kayak enggak kenal waktu, enggak ngerti mana editor, mana bagian marketing. Belum emotional costnya. Siapa kamu gitu? YUP. TOLAK SAJA!"
"Setuju. Apalagi pengarang yang belum apa-apa sudah merasa karyanya bagus. Ditalak saja, eh, ditolak saja!"
"Wah, persis pengalamanku tuh. Sudah naskahnya kacau banget, dibetulkan perlu waktu lama, sampai aku rewriting 156 halaman. (Helo.. aku kan 'cuma' editor), pengarangnya bilang aku lelet dan menelantarkan naskah, bilang it's so unfair-lah dan lain-lain... terus dia menentukan tanggal launching sebagai cara ngasih tahu deadline ke aku. Edan... banyak tuh yang enggak tahu diri kayak gini. Tolak saja ya penulis yang tidak akomodatif itu. Setelah mereka kita tolong dengan segala kemudahan, toh yang dapat nama juga mereka, sementara yang repot dan nanggung risiko dicaci maki kan kita."
Emm, aku membatin baca komentar agak panjang ini. Kayaknya ada yang tumpang tindih di sini. Kalau naskahnya kacau banget, kenapa diterima? Apa kualitas isinya sebanding dengan kekacauan penulisannya? Apa itu naskah pesanan? Kenapa juga seorang editor sampai harus melakukan rewriting atas sebuah naskah? Bukankah tugas editor itu memberi saran perbaikan pada naskah, sementara yang harus melakukan rewriting penulis bersangkutan? Lagi pula, tugas editor itu MEMANG menolong penulis. Kenapa harus pamrih nama? Editor dan penulis itu karir yang berbeda. Editor berkarir di penerbit---nama, reputasi, dan prestasinya ditentukan oleh sejumlah hal tertentu, misal target jumlah halaman yang harus dia edit per bulan, berapa judul yang harus terbit, berapa naskah yang dia akuisisi. Sementara tugas penulis menghasilkan karya sebaik mungkin. Kegagalan dan keberhasilan penulis juga banyak faktornya, misal dari segi penjualan dan kualitas karya.
Kita pasti mau ikhlas mengamini bahwa seorang penulis telah sukses bila buku-bukunya jadi bestseller, minimal sukses secara finansial. Tapi jangan kira penulis yang buku-bukunya seret di pasar otomatis bisa dicap gagal, karena bisa jadi ia berhasil di sisi lain, misalnya berkat memenangi anugerah sastra, atau oleh media tertentu dianggap sebagai "buku terbaik tahun ini", atau masuk daftar "buku paling berpengaruh dasawarsa ini." Kegagalan dan kesuksesan punya wajah sendiri-sendiri.
Aku ingat pernah menangani naskah dengan penulis muda. Rasanya kami sudah berusaha maksimal memberikan yang terbaik, berhati-hati, penuh dedikasi. Tapi ternyata buku itu segera dilupakan pembaca, sampai-sampai penulisnya tampak frustrasi pada cara penerbitan biasa dan kini lebih memilih menerbitkan novel barunya via online.
Dulu aku pernah kenalan dengan seorang penulis. Aku buta reputasinya seperti apa. Tapi kemudian aku tahu, ternyata dia sudah menerbitkan tiga buku yang semua bestseller. Buku pertamanya sudah cetakan lima, buku keduanya cetakan delapan, dan buku ketiganya (yang terbaru waktu itu) sudah naik cetakan ketiga. Di kelompok massa tertentu, namanya juga terkemuka. Bahkan dari cerita sang penulis ini, dirinya suka tiba-tiba dicurhati seseorang yang depresi atau gelisah. Pernah juga seorang pemilik jaringan hotel berbintang memintanya terbang ke luar Jawa khusus untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Orang ini yakin bahwa penulis itu orang yang tepat dan bisa memberinya jalan kebahagiaan. Ada juga orang yang mengaku jadi batal bunuh diri setelah baca buku-bukunya. Hebatkan? Jadi meski kupingku baru dengar nama dia sebagai penulis, pengalamannya menakjubkan. Memang siapa aku yang merasa bisa menghakimi ini-itu?
"Iya betul. Ternyata aku enggak sendiri.. aku rasa editor lain juga pernah deh ngalami seperti ini. Sudah dibaiki, ditolong, dikabulkan permintaaannya ini-itu, tapi kalau salah dikit saja, ngomong ke mana-mana deh, mending bener omongannya.. just blame the editor.. cukup sudah! Aku enggak mau lagi sama penulis kayak gini. Kamu aku talak dan aku tolak!"
"Orang-orang itu enggak tahu kali bahwa editor yang bikin buku jadi bagus dan berdaya jual... Kalau bawa maunya sendiri ya terbitin saja sendiri..."
Komentar ini mengesankan bahwa editor itu dewa yang bisa menentukan nasib buku. Esprit de corpsnya terlalu tinggi. Dia memandang profesi ini terlalu agung. Enggak juga. Kadang-kadang editor juga salah nilai dan salah spekulasi. "Blinknya" tumpul. Lihatlah para editor yang terbukti pernah menolak ribuan naskah, tapi setelah naskah itu diterbitkan penerbit lain, atau diterbitkan sendiri, ternyata meledak gila-gilaan menjadi buku hebat yang pernah ada. Maukah editor salah nilai dan prediksi itu mengakui kegagalannya? Bukankah naskah Harry Potter (J.K. Rowling) jilid pertama pun awalnya ditolak banyak penerbit? Pada tahun 1984, Louise Erdrich---penulis Amerika Serikat kelahiran 1954 keturunan Indian Chippewa & imigran Jerman---menulis naskah Love Medicine yang menurut banyak orang agak aneh cara bercerita dan isinya. Ketika dia menawarkan naskah itu ke sejumlah penerbit, semua menolak. Suaminya, Michael Dorris, memutuskan untuk jadi agen naskah Love Medicine sekaligus jadi teman kerja untuk memperbaiki naskah tersebut. Hasilnya, ada penerbit yang tertarik menerbitkannya. Cetakan pertama novel itu terjual 400.000 ribu eksemplar, dan pada tahun 1984 memenangi Book Critics Circle Award. Aku dengar Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko) ditolak sebuah penerbit sebelum akhirnya diterima GPU dan kini menjadi tesaurus otoritatif pertama bahasa Indonesia. Buku dan penulis punya nasib sendiri-sendiri.
"Kadang-kadang aku merasa kok begini amat ya posisi editor. :("
"Mesti pindah ke Inggris atau Eropa mbak, di sana editor itu dewa, he he he."
Orang ini jelas teringat tulisan Stephen King di On Writing, A Memoir of the Craft (2000). Di buku memoar tentang proses penulisan itu dia bilang: "menulis itu manusiawi, namun mengedit itu ilahiah."
"Penulis seharusnya memang kooperatif dan jika perlu selalu sehati dengan editor. Sayang memang di Indonesia ini penghargaan pada editor dan penulis sama-sama kacau. Konon di luar negeri kedudukan editor sama."
Komentator ini tampak mudah meremehkan bangsa sendiri dan terlalu memandang luhur bangsa lain yang tampak lebih unggul. Sebagai penulis, aku pernah bekerja sama dengan editor yang menurutku mereka sangat berdedikasi untuk menghasilkan naskah berisi, memberi masukan cara menjelaskan sesuatu, memberi pertimbangan tentang kemungkinan efek dari tulisan dan pembacaan, dan seterusnya sampai naskah itu pantas dikonsumsi khalayak. Editor yang baik pasti sangat bermanfaat untuk mematangkan naskah. Memang kadang-kadang seorang editor harus mau menghadapi penulis sombong menjijikkan dan menyebalkan, yang mengganggap naskahnya seperti perawan tingting yang haram diutak-atik. Itu mungkin risiko bekerja di perusahaan. Editor seperti itu harus kuat dalam berargumen dan mengambil keputusan. Kalau jalan lain tertutup, minta saja atasan Anda menyelesaikan masalah seperti itu. Elsie Myers Stainton, dalam Author and Editor at Work (1982) bilang: An editor is the agreeable diplomat who offers suggestions, considers compromises, and even withdraws from the controversy if necessary. Editor itu ialah diplomat ramah yang memberi saran, menimbang kompromi, dan jika perlu bahkan mundur dari kontroversi.
Buku bisa lahir dari mana saja. Bahkan proses kelahirannya bisa jadi tak melibatkan editor. Ordinary People (Judith Guest) terbit berkat saran resepsionis di penerbit Fontana (1976) yang kebetulan baca-baca onggokan naskah. Kok bisa? Sebab para editornya merasa terlalu suci untuk mau melirik sebuah naskah tanpa agen kiriman penulis bukan siapa-siapa. Hasilnya? Buku itu sukses, baik sebagai bestseller maupun menuai kritik dan pujian di mana-mana. Buku itu dianggap melanjutkan tradisi The Catcher in the Rye (J.D. Salinger). Lantas Rebort Redford mengadaptasinya sebagai film yang sangat sukses pada 1980. Redford juga memenangi penghargaan sebagai Best Director baik di ajang Academy Award maupun Golden Globe Award.
"Jadi, apa ada saran lain yang ingin Anda sampaikan kepada para pengarang?" tanya Judy Mandell kepada Jackie Farber, editor senior dari Delacorte dan Dell. Jawab Farber: "Hendaklah pengarang mau mendengar perkataan editor. Seyogyanya mereka mau menimbang-nimbang gagasan dan usulan editor."[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Eksponen TEXTOUR, Rumah Buku, Bandung. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
PENGAKUAN:
1/ Sebagian dari bahan tulisan ini berasal dari posting dan respons wall seseorang di Facebook. Saya edit sedikit biar jadi agak lebih baku.
2/ Wawancara Jackie Farber dengan Judy Mandell diambil dari posting "Membangun Hubungan Editor-Pengarang" terjemahan bang Mula Harahap di milis pasarbuku@yahoogroups.com.
Subscribe to:
Posts (Atom)