Frustrasi Melawan Frustasi
--Anwar Holid
Dulu saya baca Our Iceberg is Melting (John Kotter dan Holger Rathgeber)
terbitan Elex Media Komputindo, 2007. Buku menarik ini berisi fabel modern
tentang koloni penguin di Antartika dalam mengambil tindakan saat menghadapi
krisis karena ancaman perubahan yang terjadi pada gunung es tempat mereka
tinggal. Di buku itu saya menemukan kira-kira enam kali kata frustrasi. Sekali
dieja tepat sebagai f-r-u-s-t-r-a-s-i, sisanya salah semua, yakni dieja sebagai
f-r-u-s-t-a-s-i. Kebetulan sekali, entah kenapa buku terjemahan itu juga tidak
mencantumkan editor, jadi tak ada pihak yang langsung harus bertanggung jawab
atas keteledoran tersebut.
Contoh
lain betapa kita kesulitan mengeja frustrasi ialah Ufuk Press
menerbitkan novel berjudul Joey, Si Frustasi yang
Beruntung (Mark Robert Bowden) dengan poin huruf mencolok. Ketika seorang editor mengulas buku
itu pun, penulisan 'frustasi' ini pun luput dari perhatiannya. Berarti dia
menganggap ejaan itu sudah benar. Di bidang musik, Ebiet G. Ade dan band Tipe-X
sama-sama menciptakan lagu berjudul "Frustasi." Sementara di
milis-milis berisi para penulis dan jurnalis pun anggotanya mudah menulis salah
eja persis hal serupa.
Tiap kali menemukan salah eja saat membaca, saya tertawa. Bersama seorang teman yang jeli dan juga mudah terganggu oleh salah eja, kami kerap mengolok-olok salah eja yang dilakukan penerbit, penulis, maupun lembaga pers. Kami menganggap salah eja mampu meruntuhkan kredibilitas, membuktikan bahwa mereka abai terhadap ejaan yang semestinya. "Bagaimana kami bisa percaya terhadap keseluruhan isi wacana itu, bila dalam hal mendasar saja mereka sudah salah?" demikian pikir kami.
Boleh
jadi salah eja itu sederhana dan tidak begitu serius. Saya harus
lebih santai terhadap kesalahan elementer dalam penulisan. Kadang-kadang
kejengkelan atas kesalahan itu saya rasakan sebagai kerewelan atau sikap
perfeksionisme berlebihan terhadap penulisan. Salah eja merupakan hal yang
sangat umum, bahkan ada kala saya pun terpeleset melakukannya.
Nah,
bayangkan bila lembaga penerbitan yang selama ini terkenal menetapkan
standar tinggi dalam penerbitan dan berbahasa---misalnya Tempo, Kelompok
Kompas-Gramedia (KKG), Mizan, dan Pikiran Rakyat, atau mereka yang terlatih agar berbahasa baik seperti editor, jurnalis, penerjemah, dan penulis---justru
berkali-kali melakukan kesalahan. Apa kata dunia? Bukankah mereka memiliki gaya
selingkung (house style), terus berusaha menambah wawasan dan
mengembangkan bahasa Indonesia, termasuk rutin menyediakan kolom bahasa?
Karena
menganggap keterlaluan sebuah penerbit besar melakukan kesalahan fatal, abai terhadap akurasi ejaan, saya terpikir barangkali
kesalahan itu terjadi bukan gara-gara ketidaktahuan penerjemah, editor, atau proofreader,
melainkan secara bawah sadar para pekerja buku itu menganggap yang benar memang
frustasi, bukan frustrasi. Yang selip bukan lagi lidah atau tangan, melainkan
pikiran.
Boleh
jadi karena pengaruh budaya, aksen (logat), dan dialek, secara alamiah orang
Indonesia kesulitan mengucapkan konsonan dobel, dan berkecenderungan
menghilangkannya. Seperti orang Sunda terbalik-balik mengucapkan huruf 'p',
'v', dan 'f', orang Indonesia kesulitan mengeja frustrasi. Kata yang juga kerap
salah pengejaannya antara lain ekspresi, transfer, transportasi, dan deja vu.
Ada
apa dengan lidah dan ejaan kita? Ternyata sulit mendisiplinkan diri agar kita
dengan tepat menulis dan mengucapkan frustrasi sesuai sumbernya. Apa ini tanda
agar kita menerima "frustasi" sebagai ejaan yang benar (diterima)
daripada kita terlalu mudah salah menuliskan maupun melafalkannya? Ini mirip
dengan orang Malaysia yang dengan sadar memilih ejaan "moden" karena
lidah mereka kesulitan mengucapkan "modern."
Usul menerima 'frustasi' sebagai ejaan yang baku berisiko akan menuai protes para editor, penulis, munsyi,
dan penganut teguh EYD. Namun, perhatikan betapa lidah kita sudah terbukti
lebih nyaman mengucapkan "potret" daripada ribet mengeja sesuai sumbernya,
yaitu "portrait", yang terasa kurang praktis pengucapannya karena
mengandung tiga dempet konsonan. "Potret" sudah diadopsi jadi kosakata resmi.
Kita juga berhasil memapankan ucapan "buku" yang terdengar lebih
luwes karena berakhiran vokal sebagai ganti "boek" atau
"book."
Tiada salahnya menggunakan ejaan yang terasa lebih mudah bagi lidah dan pengucapan
kita sendiri. Sah-sah saja menyerap kebiasaan berbahasa yang lebih dulu tumbuh
dan digunakan masyarakat, lantas memopulerkan dan membakukannya.
Sejumlah kosakata asing diserap sesuai pengucapannya alih-alih penulisannya.
Biar setelah ini kita berhenti merasa patut menertawakan salah eja yang
sebenarnya bisa tidak fatal. Santai sajalah seperti orang di negara tetangga
kita juga melakukannya.[]