Tuesday, October 18, 2005

[HALAMAN GANJIL]

Buku, Iman, Ruang Publik
------------------------------

>> Anwar Holid, anggota beberapa milis

Buku, di dalam Pengantar Penerbitan (Penerbit ITB, 1993) oleh Sofia Mansoor-Niksolihin didefinisikan sebagai: 'terbitan bercetak yang tidak berkala dengan tebal sekurang-kurangnya 49 halaman, tidak termasuk halaman sampul.' (Jacob, 1976). Itu adalah definisi yang ditetapkan Unesco pada konferensi 1964.

Dengan definisi seperti itu, sudah tentu kitab suci (apa pun namanya, untuk agama manapun) adalah sebuah buku. Apakah buku itu? Adalah lembar cetakan berisi huruf atau huruf pada sekumpulan kertas---definisi ini terlalu rapuh, sebab sekarang CD-ROM yang sebagian isinya teks, ensiklopedia, atau merupakan bentuk multimedia sebuah teks (bukan game atau program misalnya), dinamakan buku, dan itu ditegaskan melalui kode ISBN pada produk tersebut. Dulu, ketika kertas belum ditemukan, tulisan ditulis di lembaran dari berbagai bahan, seperti tanah liat, batu, permukaan kulit binatang, kayu, atau daun, disebut perkamen, lembaran, manuskrip, naskah, dan sebagainya, semua itu merupakan cikal bakal buku, alias codex, kitab, boek, book.

Persoalannya, suci atau tidak sebuah kitab sangat bergantung pada definisi keyakinan/keimanan setiap orang terhadap teks tersebut, terhadap apa yang dianggap sakral (suci) dan tidak. Ada teks yang secara historik terbukti Ilahiah (berasal dari wahyu, tidak terbukti merupakan buah pikiran manusia) bagi sebagian orang tak lebih merupakan igauan atau merupakan pewahyuan yang berasal dari ketidaksadaran; sebaliknya, ada teks yang sungguh-sungguh tulisan makhluk, seperti teks lagu, slogan, peribahasa, kutipan ucapan, kutipan tulisan, dapat sangat menggugah seseorang, dan dengan begitu maknanya bagi individu melebihi yang Ilahiah. Teks seperti itu tidak berlebihan bila dianggap mencapai tingkat suci, minimal dilihat dari pengaruhnya secara kejiwaan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada anggapan apakah sesuatu suci atau tidak adalah interpretasi. Sulitnya, dalam sejarah manusia, interpretasi justru sering muncul dalam bentuk perang untuk saling mengalahkan, untuk mencapai yang absolut, alih-alih upaya pengayaan pada kemanusiaan.

Mengabaikan (isi) kitab suci dari pembicaraan buku artinya contradictio in terminis. Bicara buku itu artinya membicarakan isi, teknik, penilaian, interpretasi, dan segala hal yang berkenaan dengan terbentuknya buku sebagai 'wujud'; itu sudah inheren, merupakan unsur tak bisa dipisahkan. Seperti bila membicarakan kue, kita boleh membicarakan rasa, proses, warna, bahan, resep, cara buat, penyajian, dan segala hal yang membuat kue tersebut 'ada' dan mewujud sebagai bahan pembicaraan. Bahwa faktor terbitnya buku merupakan sejarah tersendiri, itu merupakan bahan pembicaraan yang tak kalah menarik dibandingkan dengan isinya sendiri. Kadang-kadang buku bahkan melampaui isi dan sejarahnya; bila didukung oleh kondisi tertentu, ia kapan saja bisa menjadi fetish, dan itu dengan segera mengubah makna buku, sama sekali lepas dari persoalan isi dan materinya.

Buku bisa dan boleh dibicarakan dari segi apa pun; mulai dari teknisnya seperti format (bentuk), cetakan, kertas, font, lay out (perwajahan), kualitas tinta, kualitas ilustrasi, binding (jilid), sampai hal nonteknis seperti penulis, penyuntingan, penerbit, kualitas isi, terjemahan, cara penyajian, bahasa, argumen, dari mana inspirasinya, isinya plagiat atau bukan, terobosan atau cuma cuplikan, dan sebagainya. Bila pembaca boleh mengeluh soal kualitas cetakan, harga, distribusi, royalti, biaya produksi, promosi, mengulas penulis, menilai isi, kenapa juga pembaca dilarang berkomentar soal sesuatu yang masih bisa berkaitkan dengan buku? Buku bisa didekati dari segala sisi: biografi, mitologi, psikologi, psikoanalisis, konteks sosial, gender, moral, agama, seksual, genre, dan segala teori kritik sastra yang mungkin diambil.

Asal diskusi bisa dipertangggungjawabkan, argumen ada dasarnya, apa yang tidak sah, coba? Bila pembaca tahu seorang penulis kawin-cerai, kehidupan pribadinya kacau, keluarganya berantakan, tidak jujur, sombong, apa yang tidak boleh dibicarakan dari sana? Asal relevan, ada konteksnya, boleh saja. Apalagi dari isi, interpretasi, yang seringnya berdasar pada pengetahuan dan keyakinan, justru di situlah inti maksud pembaca membicarakan buku. Itulah gunanya buku. Ada orang bilang bahwa buku pasti mencerminkan diri penulisnya---tampak atau samar, mudah dikenali atau kabur, tapi dengan berbagai teknik pembacaan kritis, relasi penulis dan tulisan bisa ditelusuri, cepat atau lambat.

Misalnya membicarakan iman, kenapa pembaca harus dilarang membicarakannya, terlebih-lebih bila itu muncul setelah mereka baca buku, apalagi bila subjek buku itu pun tentang iman. Membicarakannya tentu wajar, beralasan, patut didukung. Tidak usah khawatir bahwa pembicaraan itu akan 'mengguncang' iman orang lain, dicurigai 'menghina' keyakinan tertentu, atau merusakkan reputasi agama dan Tuhan. Piscine Moliter Patel, orang saleh aneh yang menganut tiga agama, bilang: 'Dari dalamlah Tuhan mesti dibela, bukan dari luar. Medan tempur yang utama bagi kebajikan bukanlah medan tempur terbuka di arena publik, melainkan di dalam relung kecil hati setiap manusia.' Andre Comté-Sponville, seorang profesor ateis, menegaskan: Seseorang yang bilang 'Aku tahu bahwa Tuhan tidak ada' adalah orang bodoh, bukan ateis; tapi seseorang yang bilang 'Aku tahu bahwa Tuhan ada' adalah orang bodoh yang beriman. Kata seorang filosof, peradaban ini salah satunya dibangun oleh pertengkaran tentang iman, keyakinan, konsep, dan sebagainya.

Oleh karena itu membicarakan buku idealnya harus dibuka selebar dan sedalam mungkin, sebab ketertarikan orang pada buku juga tanpa batas, tak jarang merupakan rangkaian pembicaraan berantai, simultan, penuh rinci, sangat teliti---bisa merupakan pembicaraan intrinsik dan ekstrinsik buku sekaligus. Yang patut diperhatikan dan awas dari pembicaraan itu justru para komentator sendiri, seberapa dewasa dan sedingin apa dia mampu menanggapi komentar, pendapat, informasi, pandangan, interpretasi, dan lain sebagainya dari orang lain; bagaimana cara berinteraksi dengan etika tetap terjunjung tinggi, meskipun diskusi itu anarkis, sepintas lalu sembarangan, seakan-akan hanya merupakan letupan pernyataan yang kehilangan konteks. Apa pentingnya diskusi selebar dan sedalam-dalamnya bagi peserta itu? Tidak lain adalah untuk memberikan pengetahuan apa adanya, sebagaimana diketahui para pembawanya. Apalagi diskusi itu terjadi di pasar, memang sebuah ruang publik tempat anggota komunitas berinteraksi, melakukan tukar-menukar, isinya sangat beragam, tawarannya sangat banyak, dan orang hanya perlu langsung menanggapi subjek yang menarik hatinya. Di ruang publik, orang sebenarnya hanya butuh iktikad baik dan menghormati etika, agar jangan sampai membuat orang lain terluka atau tahu rambu-rambu umum apa saja yang bisa membuat orang lain marah hingga kehilangan akal sehatnya, tidak memprovokasi. Prinsipnya, menjaga agar martabat kemanusiaan tidak jatuh.

Tapi sebenarnya, kekhawatiran kekhawatiran seperti itu pada dasarnya sudah berlebihan. Manusia tidak serentan yang diduga kebanyakan orang, melainkan---seperti juga makhluk lain---sangat sulit berubah, keras kepala, egois, mau menang sendiri, defensif, suka menyangkal, hidup sesuai pemahaman sendiri. Hanya bila terpaksa saja manusia mau berubah, itu pun jarang dengan ikhlas, meski akhirnya bukannya tak mau terima. Seharusnya kita tidak usah khawatir, sebab manusia per individu sebenarnya akan terus baik-baik saja, setidaknya menurut dia sendiri. Dan bila seperti itu, apa coba yang bisa mempengaruhi seseorang?

Contoh, jangankan khawatir akan terprovokasi 'menghina' iman seseorang, untuk mengubah keyakinan sendiri saja sulit sekali kok; sejarah telah memberi banyak sekali bukti. Apa yang telah terjadi sebelum akhirnya manusia pasrah menerima bahwa Bumi bulat? Apa yang pernah terjadi ketika 'kebenaran' disebarkan? Apa yang sempat terjadi sebelum akhirnya keyakinan-keyakinan lama tumbang? Awalnya diskusi baik-baik, mengutarakan argumen, berusaha berkomunikasi sebaik mungkin, tapi bila akhirnya tidak diterima, gagal kompromi, terus 'iman' bicara, kekerasan pun dengan segera terlibat. Tapi tetap jangan khawatir, itu adalah bukti paling jelas bahwa sebenarnya manusia itu degil, sulit sekali belajar, dan hal minimal setelah 'iman' diserang, terancam teritori otoritasnya, dia membela diri, awalnya defensif, namun pada saatnya dia tak segan ofensif. Hukum ruang publik sebenarnya juga demikian: seseorang mencari individu yang bisa diajak transaksi, kalau tidak dia akan mencari komunitas (e.g. pasar) lain. Bila transaksi menyentuh kepentingan orang banyak, mampu menggerakkan banyak orang, subjeknya ramai, permintaan banyak, yang ingin ikut pun tambah banyak. Dipandang secara berjarak, interaksi itu memperlihatkan yang sebenarnya 'ramai' tak lain individu yang bertahan sendiri-sendiri, melancarkan tawaran, melontarkan serangan, mempertahankan iman, menyodorkan fakta, tak mau berubah, mencoba meruntuhkan pendapat, takut menghadapi sesuatu yang di luar pemahamannya.

Saya sarankan kita baca novel Yann Martel, Kisah Pi (GPU, 2005) agar bisa mendapat contoh pembicaraan sangat bagus tentang individu, hidup, iman, dan Tuhan.

Di ruang publik memang sering terjadi pertentangan, peperangan dan kekerasan, termasuk atas nama iman. Sekali lagi itu bergantung atas keyakinan yang dipegang pembawanya. Kita bisa ambil contoh kontroversi antara fatwa mati yang diucapkan Ayatullah Khomeini kepada Salman Rushdie setelah menulis The Satanic Verses. Ayatullah beriman pada Tuhan, sementara Rushdie beriman pada sastra. Rushdie berargumen atas nama kebebasan berekspresi, sedangkan Ayatullah berargumen orang yang menghina iman harus dihukum. Bukankah cukup fair orang berperang atas imannya? Rushdie mengerahkan organisasi penulis, masyarakat sekular (negara, pers), untuk membela dia; Ayatullah mengajak orang religius dan pemeluk teguh. Rushdie bersembunyi ketakutan, sambil sesekali melakukan serangan lewat tulisan, sedangkan Ayatullah muncul di depan, mencari, mengajak orang seiman, dengan perasaan melakukan tugas suci. Di ruang publik seperti itu bisa terjadi perang terbuka, yang tidak berkepentingan boleh abai. Ranah lain masih begitu luas untuk dijelajahi, sebab bagi begitu banyak orang iman bukanlah satu-satunya urusan penting.

**

Besar harapan kita semua bahwa ruang publik virtual seperti milis (mailing list) pada akhirnya menjadi alternatif tempat orang berbagi dengan cara sehat, penuh integritas, meski dengan nickname paling rahasia sekalipun. Alasannya sederhana, justru terbukanya kebebasan dari ruang paling privat diharapkan muncul pendapat paling jujur di ruang publik. Ruang publik seperti ini sebenarnya melatih individu jadi kritis, terbuka, bisa menerima perbedaan paling kontras sekalipun, sekaligus mengayakan pengetahuan, bisa memberi alternatif perspektif yang cukup berbeda, memberi ruang dialog cukup longgar. Bukankah itu salah satu cara manusia memuliakan dirinya, agar kita terus berusaha mewujudkan kebajikan.

Milis adalah salah satu cara menjadikan agar bara kritis yang ada di dalam diri anggotanya nyala terus, karena itu pantas bila iklim bagus harus terus dipertahankan. Dengan apa dijaganya? Dengan posting tulisan, salam dan sapa, diskusi, lontaran ide, transaksi, humor, berita, pertanyaan, sentilan, pancingan, sesekali: provokasi. Yakinlah provokasi di dunia virtual tidak akan membuat dunia real kebakaran, paling-paling membuat individu yang terlibat gerah dan bersemangat. Bersemangat menjadi pusat perhatian, mencari argumen, mengeksplorasi kemungkinan, dan di ujung, barangkali kembali mempertanyakan pembacaan, melihat kualitas diri, dan sebagainya.

Di ruang publik, didukung kemampuan literasi lebih maju, kans melahirkan individu lebih beradab, membentuk masyarakat terbuka, plural, sebenarnya lebih baik. Di tangan kaum dengan tingkat literasi relatif tinggi, yang dibutuhkan adalah mengelola informasi dan menggunakannya demi kebaikan masa sekarang, untuk kemajuan masa depan. Informasi melimpah, tingkat keterbukaan lebih besar, dan kemungkinan menerima perbedaan lebih toleran adalah faktor penting kenapa di milis---mewadahi ketertarikan anggota terhadap subjek tertentu---diskusi bisa terjadi dengan semangat meledak-ledak, sampai kemungkinan flame tersulut juga mudah. Tapi syukur, justru disebabkan oleh sifat virtual itu, pada akhirnya individu bisa berusaha untuk diharapkan kembali ke nalar, pada kemanusiaan, kesadaran, kebajikan.

Diskusi di ruang terbuka memang berisiko menimbulkan konflik, sebab dari ruang terbuka selalu muncul kemungkinan gema, gaung, bisa membuat subjek kabur. Di samping secara elegan bisa mendedah subjek sedalam mungkin, saling bantu, kadang-kadang orang mudah tersulut, kehilangan konteks, tersinggung oleh pernyataan provokatif, bila tak awas mudah menjalar ke ranah tak bertuan---tapi bukankah petualangan selalu mendebarkan dan mengasyikkan? Dibandingkan kemungkinan buruk melahirkan flame, berlarut-larut meledek tanpa rasa, provokasi tak bertanggung jawab, tentu tetap bisa diharapkan pembicaraan terus diarahkan jadi alat eksplorasi sebuah buku, tulisan, teks, sebab semua itu bisa dikuliti oleh sekian banyak orang terpelajar, dari berbagai sudut, dan masing-masing suka rela menyumbangkan wawasan dan pengetahuannya. Bagi saya sendiri, milis adalah salah satu ruang ideal untuk berbagi (sharing), berinteraksi, termasuk mencari bantuan, mendapat wawasan baru, dikoreksi; jadi sangat nalar kalau di tempat seperti ini saya justru berharap banyak pada kebaikan dan manfaat.[] 6:08 AM 1/26/05 Dedikasi untuk pasarbuku@yahoogroups.com wartax@yahoo.com HP: 08156140621

No comments: