Tuesday, October 18, 2005

[HALAMAN GANJIL]

GAKIN
--------

>> Anwar Holid, ayah seorang anak

Gakin. Terdengar seperti kata yang aneh. Belum diakui sebagai kosakata bahasa Indonesia.

Tapi bila gakin adalah 'keluarga miskin', ini sebuah frasa yang jelas maksudnya. Kita pasti tahu artinya. Kedua kata itu ada dalam KBBI dan kenyataan.

Keluarga miskin di negara kita ini sekarang (paro ke-2 2005) bisa mendapat kartu keluarga miskin (kartu gakin) senilai seratus ribu per bulan sebagai imbangan atas kenaikan BBM dan harga-harga lain. Kupon itu mungkin harus didapat dengan cara yang berbelit-belit dan sukar (mungkin mirip menguruss KTP dan surat-surat lain), sampai akhirnya ternyata banyak keluarga yang nyata-nyata miskin tak mendapat kartu itu, sementara keluarga (orang) yang jelas-jelas mampu malah bisa mendapat kartu itu.

Ini kan ganjil sekaligus memalukan sekali. Keluarga miskin yang tinggal berdekatan dengan pengurus/panitia kartu tak mendapatkannya. Barangkali panitia menganggap mereka pura-pura miskin atau gagal menyaksikan keberadaan keluarga miskin itu. Sementara itu keluarga yang mampu malah mendapat kartu itu. Barangkali keluarga itu kerabat panitia dan bisa mendapat kartu dengan mudah, gratis, tanpa prosedur, seolah-olah itu sumbangan dari gerombolan Robin Hood. Memang benar, menurut berita, banyak penerima kartu salah sasaran dan orang mampu yang menerima kartu itu ternyata kerabat panitia kartu gakin.

Memalukan sekali. Orang yang masih mampu mengaku-ngaku miskin dan dibiarkan mengambil jatah orang miskin sementara orang miskin dipersulit mengakui kemiskinannya, menyangka jangan-jangan bila mereka mengaku ternyata itu adalah hasil kemunafikan. Keadaan memang begitu terbalik-balik. Di tempat tinggalku sendiri ternyata ada keluarga mampu yang berhasil mendapat kartu itu. Mereka sangka barangkali itu adalah semacam rezeki yang jatuh dari langit, tak disangka-sangka datangnya.

Mengakui miskin saja rasanya sudah merupakan beban mental, semacam penghinaan diri. Tapi ternyata kalau ada imbalannya, orang mau-mau saja melakukan apa pun untuk mendapatkannya. Coba bayangkan kalau kita diteriaki orang lain, 'Dasar miskin kamu!' Kita pasti nggak rela, atau berusaha menolak mentah-mentah, bila perlu termasuk dengan marah. Kalau kita gagal beli barang kemudian ada orang bertanya, 'Kenapa nggak terbeli? Nggak mampu ya? Apa kamu kekurangan uang?' Kita pasti berusaha mengelak dengan alasan karena kita memprioritaskan hal lain. Padahal sebenarnya harga itu tak terjangkau karena memang kurang uang. Kita memang makhluk yang pandai bersilat lidah.

Miskin barangkali salah satu tabu manusia. Kita sering sekali dengar cerita bagaimana seseorang menyamar karena malu bahwa dirinya miskin, baik dengan berbohong, menyombong, membual, menyewa, mengutang, dan mencuri. Ada banyak kisah mengenaskan tentang keluarga miskin; namun ternyata jumlah cerita mulia, utama, dan mengharukan tentang kemiskinan tak kalah banyaknya. Silakan mencari mana yang kita sukai.

Baru-baru ini aku baca 'Ketika Hati Harus Memilih' (Erico Verissimo), juga bercerita tentang kemiskinan. Aku kenalan dengan Eugenio Fontes. Seorang anak yang lahir dari keluarga miskin. Ayahnya penjahit. Saking miskin bagian pantat celananya bolong-bolong, dan dia diteriaki anak-anak satu sekolahan. Dia terus diperingatkan oleh guru agar membayar SPP. Betapa memalukan jadi orang miskin. Sampai kemiskinan itu menggerogoti harga diri dan merupakan hantu paling menakutkan bagi dirinya, bahkan ketika dia sudah jadi dokter, menikah dengan perempuan dari keluarga kaya, bisa menyediakan segala rupa. Betulkah kemiskinan sejenis penyakit yang harus dihindari, dibasmi? Betulkah kemiskinan yang betul-betul ingin dia lenyapkan dari pandangannya? Manakah yang lebih berharga: membasmi kemiskinan atau mencari kebahagiaan? (Pertanyaan nggak nyambung!)

Saking miskin, seorang anak SD bisa bunuh diri. Karena malu miskin, seorang anak bisa memutuskan menyangka lebih baik mati daripada dirundung malu. Karena miskin orang merasa wajar memilih jadi pelacur. Karena miskin seseorang bisa begitu dendam pada orang kaya. Karena miskin orang bisa jadi buas di hadapan orang lain, termasuk bisa membunuh. Orang jadi bisa mata gelap dan bertarung habis-habisan. Karena miskin seorang ibu jadi tega membunuh bayi yang baru dilahirkannya. Karena miskin seseorang bisa menjual anaknya sendiri, atau menjual organ tubuhnya. Karena miskin orang berharap bisa mengubah keadaan dengan memasang togel. Karena miskin ada seseorang yang mempertaruhkan hidupnya dengan mencuri. Karena miskin orang rebutan kartu gakin.

Fakta itu menunjukkan sebenarnya 'miskin' hanya punya sedikit efek pada kita, orang yang barangkali sedikit lebih mampu. Kita tahu kemiskinan di depan mata, tapi seperti sebagian pengurus kartu gakin itu, gagal melihatnya. Kita menyangka kita juga termasuk miskin, akibatnya kita nggak berbuat apa-apa.

(Aku bersyukur belum pernah mengalami peristiwa mengerikan seperti itu. Rasanya aku belum pernah dihina-hina karena pakaianku buruk atau diancam karena orangtuaku nggak bisa bayar SPP.)

Sementara orang lain bela-belain korupsi biar kaya. Rela disuap atau menyuap biar lebih mudah mendapat kekayaan. Mau melakukan apa pun agar terhindar dari kemiskinan: merampok, mark-up anggaran, bikin sindikat, mengancam, memaksa dapat bagian, bekerja sama melakukan kejahatan, jual narkoba, dapat jatah siluman, dan sebagainya. Tega merusak alam dengan alasan produksi dan eksplorasi; terpaksa nggak tidur sehari semalam biar bisa makan. Orang lain bisa mencatut apa saja---sumbangan, proyek, aspal, minyak, sembako, pajak, penghasilan---untuk mengelak dari kemiskinan. Haram nggak ada ceritanya.

Bagaimana rasanya miskin?
Seperti apa itu miskin?
Seberapa pantas seseorang disebut miskin? Atau boleh mengaku miskin?
Sebenarnya apa arti miskin?
Dalam hal apa kita miskin?
Apa bedanya dengan kaya?
Seberapa berani kita mengklaim bahwa kita juga miskin?
Ada orang miskin yang kaya. Ada orang kaya yang miskin.


Orang miskin adalah mereka yang berhak mendapat sedekah; mendapat sedikit bagian dari harta milik seseorang yang lebih mampu. Mereka berhak mendapat hibah. Dalam Islam, mereka adalah satu satu penerima zakat dan sedekah. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

Tapi 'keadaan kekurangan' menurutku bermasalah. Itu berhubungan dengan mental.

Bila seseorang bilang, 'Rasanya aku miskin habis tidak bisa menghadiahi pacar berlian atau gaun seharga sekian.' Atau ternyata, 'Penghasilanku belum cukup untuk membiayai dua istri dan tiga anak.' Miskin semacam apa itu? Barangkali itu namanya kemiskinan yang berlebihan.

Misalnya aku kekurangan uang untuk memperbaiki rumah, belum bisa beli mobil atau belum bisa ke luar negeri, apa aku berhak bilang dalam keadaan kekurangan atau miskin? Apa karena miskin maka aku sejak dulu belum juga membelikan Ilalang sepeda? Apa karena miskin aku kadang-kadang kecewa merasa uang terlalu cepat habis? Apa karena miskin aku kerap melarang Ubing belanja ini-itu? Apa karena miskin akhirnya Ilalang masuk TK yang mungkin tidak istimewa? Apa karena khawatir miskin aku malas sekali dengan ide punya anak lagi? (Bukankah ini wajar?) Apa karena miskin aku lebih memilih bertahan dengan produk bajakan? Apa karena miskin aku membiasakan diri bilang cukup? Apa karena miskin aku tak bisa buru-buru menolong penulis yang kritis di rumah sakit? Apa karena miskin aku masih berharap dapat undian berhadiah mobil sedan? Penghasilanku belum cukup untuk itu semua.
Barangkali, mungkin karena miskin aku banyak gagal atau belum mengalami sejumlah hal. Mungkin karena miskin aku nggak pernah zina dengan pelacur. Mungkin karena miskin aku belum pernah merasakan narkoba atau beli minuman keras.

Tapi justru karena mental, seharusnya aku buru-buru bergerak meski tetap kekurangan banyak hal. Bukankah katanya uang tidak bisa membeli kebahagiaan? (Ah, masa).

Manusia selalu kekurangan. Karena itu manusia senantiasa merasa miskin. Sangat sedikit orang yang bisa dengan rela bilang, 'aku cukup.' Bukankah ada sebuah buku jelas-jelas mencantumkan: Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya. Pernyataan ini jelas-jelas bombastik, tapi mari bertaruh, apa ada yang salah dengan pernyataan itu? Coba uji sendiri, misalnya, apa iman dan keyakinan kita tetap bisa utuh bila digoda oleh uang haram sebanyak empat puluh milyar?

Sampai di mana seseorang akan terus merasa miskin atau cukup? Sampai kapan seseorang merasa boleh meminta-minta? Mempertaruhkan hidup dari belas kasih, derma, atau kemurahan hati orang lain?

Konon, dulu, di zaman ketika orang suci kerap berwujud papa dan hina, meminta-minta, mengemis, mengharapkan sumbangan orang lain, ternyata itu dilakukan untuk menertawakan gaya hidup berlebih-lebihan. Dalam agama apa pun ternyata kisah orang suci yang miskin ternyata jamak. Tapi coba sekarang. Apa kita mau menyisihkan receh pada pengemis jalanan, pengamen, peminta-peminta, pembawa kencleng, pembawa surat permohonan yang bisa setiap saat kita jumpai? Kita malah dengan mudah mengecam: 'Ah, itu memang pekerjaan mereka.' Kenapa kita tidak khawatir jangan-jangan mereka orang suci yang menyamar?

Rasanya miskin juga identik dengan kurang. Misalnya, 'Dia miskin pengalaman'; 'Pendapatnya miskin'; 'Karyanya miskin aksi'; 'Ia miskin kasih sayang.' 'Permainannya miskin variasi.'

Tapi untunglah, aku harus memuji Tuhan untuk ini, andai benar aku miskin, itu belum membuat aku putus asa sampai meminta bantuan teman-teman untuk ramai-ramai menyumbang untuk memenuhi segala kekuranganku. Barangkali nanti, suatu ketika, kalau aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi dan itu satu-satunya harapan.

Aku adalah salah satu keluarga (orang) yang belum dipaksa oleh Nasib biar ikut merebutkan kartu gakin dan bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhan hidup dari seluruh berkah yang berhasil kami dapat. Aku bersyukur untuk keadaan yang kami alami.

Tapi aku memang judes, sinis, sebal, gelisah ternyata kartu gakin itu tetap saja bisa bikin kisruh dan membuat keadaan jadi memalukan.

Jadi ingat, dulu seorang teman bilang, 'Cukup itu ada di sini.' Dia menunjuk dadanya. Betapa lega bisa menghayati itu.

Semoga kita diberkahi oleh rasa cukup dan kemiskinan kita dikurangi.[]19:09 18/10/05 web http://halamanganjil.blogspot.com

No comments: