Sunday, October 16, 2005

[HALAMAN GANJIL]

QUEEN SEBAGAI TEMAN TERBAIKKU
---------------------------------------



Agak aneh tiba-tiba aku mendengar beberapa album Queen di akhir minggu ini. Barangkali karena aku pernah menemukan file berisi seluruh lirik lagu mereka dari sebuah warnet. Aku terutama mendengar album awal mereka, kecuali 'A Night at the Opera' yang sudah begitu terkenal.

Queen adalah satu-satunya band yang aku sukai terus-menerus; band beranggotakan Freddie Mercury (vokal, piano), Brian May (gitar, vokal), John Deacon (bass), Roger Taylor (drum, vokal). Mereka inaktif ketika Freddie meninggal karena AIDS. Aku ingat waktu malam-malam sendirian di depan tv, mendengarkan berita kematiannya di TVRI; rasanya ada sesuatu yang lenyap, sekejap saja, yaitu pengakuan bahwa aku menyukai mereka sebagai band, musik yang mereka mainkan, lirik yang mereka nyanyikan (bila aku baca liriknya). Ada pengakuan, 'Mereka adalah bagian dari aspek mentalku, dan sekarang salah satunya hilang.' Apa yang tersisa dari sebuah rasa suka? Barangkali kenikmatan; kenikmatan yang mungkin imaterial, kadang-kadang sulit dijelaskan.

Waktu dulu di SMP awal-awal menyukai Queen, aku merasa itu adalah pilihan yang aneh. Hampir semua temanku favoritnya adalah The Beatles, The Rolling Stones, atau Iwan Fals. Kalau aku bilang bahwa aku suka Queen mereka tertawa seolah-olah hendak bilang bahwa itu adalah pilihan yang ganjil. Tapi rupanya hingga sekarang pun rasanya Queen tetap ada di urutan teratas kalau aku ditanya, 'Apa band favoritmu?' Kalau diingat-ingat, salah satu sebab kenapa aku bertahan suka Queen adalah kesan bahwa mereka adalah band yang sopan dan baik-baik saja. The Rolling Stones rasanya terlalu liar; sementara The Beatles rasanya terlalu kuno (kesan salah yang aku sadari beberap tahun belakangan). Kalau dibandingkan dengan band sekarang, mungkin Queen mirip Coldplay atau Dave Matthews Band yang nyaris tak pernah diberitakan buruk. (Kesan ini juga rasanya terlalu naif; sebab aku toh berjarak sangat jauh dengan mereka dalam kenyataan.) 'Noda hitam' yang kerap membuat Queen tidak populer adalah fakta bahwa Freddie mati karena AIDS, tambah kecenderungan biseksualnya. Karena suka, dulu aku pernah punya semua album (kaset) mereka. Tapi karena Uaku sering sebal oleh orientasi musik rock itu, dia sering bilang 'apa artinya itu buat kamu?' Sampai aku ketemu seorang guru praktik di SMP yang juga suka Queen; akhirnya semua kaset itu berikan pada dia. Rasanya aku memberikan sesuatu yang sangat berharga, dan aku tak menyesal sama sekali. Sekarang aku masih punya beberapa kaset Queen; yang paling 'berharga' adalah album Flash Gordon, soundtrack film tersebut. Gantinya aku punya satu disk CDROM mp3 penuh dengan album Queen. Bahkan dulu aku punya kliping sisipan Queen dari Hai, yang mungkin masih ada kalau aku selisik seluruh simpanan klipingku. Tapi kadang-kadang muncul pertanyaan yang pernah dilontarkan Uaku dulu, 'apa artinya itu buat kamu?' hingga akhirnya aku cukup biasa saja suka pada Queen, tidak sampai tergila-gila, yang menganggap seolah-olah itu adalah sesuatu yang begitu berharga.

Favorit orang memang beda-beda, dan cenderung bisa berubah. Aku dulu heran ada teman sekelas suka Bob Dylan, Joan Baez, Astrud Gilberto; waktu karena penjelajahan aku bisa beralih ke musik-musik yang cenderung aneh, termasuk jazz, eksperimental, etnik, aku tahu bahwa kesukaan itu tentu biasa saja. Sekarang ini rasanya aku bisa mendengar semua musik, termasuk lagu-lagu Pance Pondaag kalau terpaksa. Buatku sendiri, Queen sekarang seolah-olah sesuatu yang ada dalam bawah sadar; aku tahu rasanya mustahil bagian lenyap dari diriku, meskipun kalau hilang, aku yakin juga akan baik-baik saja. Queen sekarang hanya salah satu dari sekian banyak band atau penyanyi yang aku sukai. Aku sekarang suka Coldplay, Dave Matthews Band, juga Pat Metheny, Michel Portal, Peter Gabriel, belum A Perfect Circle atau Opeth (khusus album Damnation).

Banyak yang suka Queen; karena itu favoritku bukan lagi big hit mereka seperti Bohemian Rhapsody, Another One Bites the Dust, atau Love of My Life dan We Will Rock You, melainkan lagu-lagu minor seperti '39, Don't Try Suicide, Soul Brother, Seven Seas of Rhye dan Brighton Rock. Kecenderungan ini ternyata ada penjelasannya dalam kajian popular culture, yaitu orang cenderung resisten terhadap selera massa, ingin jadi elite, ingin beda, eksklusif. Jadi, sadar ada jutaan orang suka Queen, aku mencari (dan menemukan) sesuatu yang bukan selera pasar, pada lagu-lagu yang orang jarang tahu. Padahal harus diakui, selera seperti itu manusiawi banget sebenarnya, sekadar agar seseorang merasa mudah dikenal, tampak khusus.

Setelah Freddie mati aku pernah baca Queen berusaha mencari penyanyi utama; konon, kandidat utamanya adalah George Michael atau Roger Daltrey. George Michael pernah nyanyi bareng mereka di 'The Freddie Mercury Tribute Concert', membawakan Somebody To Love, yang menurutku sangat bagus. Aku sendiri sangat mengejutkan ternyata sangat suka satu album George Michael, Listen Without Prejudice Vol. I; bagiku sendiri itu adalah album pop pertama yang bisa aku nikmati secara maksimal, bahkan sampai beli CD-nya. Tapi akhirnya berita itu tak jadi kenyataan. Roger Daltrey adalah mantan vokalis The Who, yang sudah biasa bekerja sama dengan Brian May. Barangkali memang sudah demikian seharusnya, bahwa Queen adalah satu dalam empat orang. Setelah inaktif, mereka meninggalkan kesan tak ada yang harus menggantikan Freddie; persis seperti Led Zeppelin yang langsung bubar setelah Bonzo mati, Nirvana setelah Cobain bunuh diri. Rasanya hanya beberapa band yang bisa bertahan begitu lama tanpa perubahan formasi sekalipun, salah satunya adalah Queen. Moral seperti ini dijalani band lebih muda seperti U2, Dave Matthews Band, dan Coldplay. Lebih banyak band yang berubah formasi; atau terus jalan meski ditinggalkan unsur utamanya, seperti kasus Pink Floyd yang ditinggal Roger Waters, Genesis oleh Peter Gabriel, Marillion oleh Fish, atau Van Halen oleh David Lee Roth.

Waktu SMP gara-gara suka Queen aku ingin bisa main gitar. Kebetulan kakak teman sekelasku sudah bisa dan aku berusaha belajar dari dia. Tapi gagal. Aku kerap mengeluh, kenapa suaranya nggak sebagus di kaset? Dia ngakak betapa naif aku menyangka musik itu terdengar sebagaimana adanya tanpa bantuan peralatan dan teknologi untuk mendapatkan bunyi yang merdu. Tapi salah satu hasil dari kebiasaan mendengar musik adalah aku rasanya bisa mudah menyimpulkan memutuskan mana musik yang cocok atau tidak buat aku.

Persis sekarang ini, bagiku Queen telah menjadi relik. Aku senantiasa tergerak bila kembali mendengar musik mereka; tapi cukup begitu. Dia pernah ada di dalam diriku, dan aku biarkan hidup, belum ditolak atau dilenyapkan. Seberapa banyak yang telah aku lupakan dalam diriku? Barangkali rasa sebal, pengalaman buruk, trauma (kalau ada), borok-borok hidup. Tentu saja Queen bukan segala-galanya; tapi setidaknya ia adalah 'sesuatu' yang bisa menemaniku hidup, dengan musik dan sisi indahnya. Aku ingin menghargai sesuatu sebagaimana adanya; mengambil yang baik, mensyukuri kenikmatan yang aku ambil dari hidup. Barangkali harus aku akui, bisa jadi Queen adalah salah satu hal terbaik yang pernah aku dapat dari menyukai musik.[]5:42 AM 8/22/05

No comments: