[HALAMAN GANJIL]
Kerja Serius dan Penghargaan Sepantasnya
------------------------------------
>> Anwar Holid
Suatu hari Ugeng, temanku yang kini sudah lama sekali tak jumpa, bilang, 'Tax, gaji kamu berapa di sini?'
- Sekian.
- Itu cukup buat hidup kamu sekeluarga?
- Alhamdulillah.
- Masih sering kekurangan?
Aku ketawa. Dia tahu orang selalu haus dan kurang.
- Kamu kerja seharian kan di sini?
- Iya.
- Tahu nggak Tax, kata dia, ada loh orang yang setiap jam gajinya senilai dengan gaji kamu. Setiap jam! Jadi mau banting tulang sekeras apa pun, tetap saja gaji kamu nggak akan nyusul dia. Sementara kamu kerja keras setiap hari untuk dapat gaji sebulan, dia bisa menunggu itu dalam sejam saja.
- Tapi apa itu cukup buat dia? tanyaku.
- Ha ha ha. Jangan dibalik-balikin begitu dong.
Sejujurnya, penghasilan dan kerja kerap nggak nyambung logikanya. Tepatnya begini: orang boleh-boleh saja menggratiskan kerja keras, amal paling mulia, sentuhan paling menakjubkan, tapi adalah kewajiban orang lain/rekanan orang untuk menghormati kinerja tersebut dengan sepantas dan semampunya. (Layak adalah kata yang kualitatif). Sederhana saja, yang penting mah ridha, ikhlas. Orang bisa ikhlas memberikan harta paling besar/banyak di jalan yang dia yakin bermanfaat, tapi bisa mungkin tetap tak rela memberi uang seratus perak pada anak kecil yang sudah sekarat. Kita nggak tahu orang sebutuh apa pada harta, penghargaan, sebab itu sesuatu yang personal (baru terbuka setelah diungkap), tapi menurutku orang lain wajib bertanya kerja itu sebaiknya dihargai seperti apa. Orang memang senang dengan yang gratisan, bahkan termasuk pada yang murahan. Orang mungkin nggak butuh materi dari sesama manusia, dia bisa ikhlas atas nama Allah, bisa damai dengan kerja keras tanpa bayaran, tapi apa karena itu orang lain jadi lantas merasa baik-baik saja bila tak membayarnya? Dengan apa sebaiknya amal baik itu dibayar? Mungkin tidak dengan materi, tapi dengan sikap, mental, perilaku. Nilai seorang guru tentu tidak pada berapa dia dibayar, tapi pada apa murid itu mampu mencerap pengetahuan yang diberikannya atau mampu mengeluarkan kemanusiaan terbaik dari dalam dirinya.
Bayaran paling pantas buat guru musik adalah bila anaknya menguasai instrumental yang diajarkan dengan teknik atau pencapaian terbaik. Banyak sekali kerja keras tak diganjar materi atau uang, tapi benarkah itu betul-betul gratis? Rasanya tidak. Aku ingat tentang yang namanya 'amal baik.' Aku yakin itu yang abadi, itu yang terus menerus akan diberikan/dibayarkan kepada orang yang bekerja keras.
Jadi inget punya kenalan penulis yang menurutku ikhlas menjalani karir penulisnya. Dia santai saja tuh menulis, termasuk sampai akhirnya bisa menerbitkan novel melalui sebuah penerbit. Dia bilang, saya menulis untuk menghibur, menyenangkan orang. Di sisi materi, dia mendapat royalti yang rutin dia berikan untuk bayaran SPP kuliah adiknya; di sisi nonmateri, dia berhasil menghibur banyak pembaca bukunya. Bayaran untuk keikhlasannya justru dua: penghiburan dan kekayaan. Tapi meski begitu aku kerap sedih dengan respons kurang pantas orang lain atas yang telah dicapainya, seolah-olah itu sama sekali tak layak dilirik.
Omong-omong tentang penulis, banyak tuh penulis yang nggak dapat apa-apa dari tulisannya, kecuali warisan tentang kemuliaan untuk manusia, reputasi (i.e. nama baik) yang mengabadikan namanya sebagai orang mulia. Boethius tidak dapat apa-apa dari risalah tulisannya, De Consolatione Philosophiae, kecuali kematian dan setelah itu betapa berharganya filsafat. Bayaran buat dia jelas bukan royalti, apalagi kekayaan, tapi keabadian. Keabadian untuk amal baiknya, keikhlasannya, pandangannya. Nyawanya boleh melayang oleh hukuman mati, tapi tidak risalahnya.
Jadi kita bisa mengembalikan pada setiap orang, bayaran apa sesungguhnya yang dia inginkan.
Orang bisa berdamai dengan banyak hal, termasuk pada kepapaan yang dialaminya. Selalu ada penghiburan untuk setiap kekecewaan; selalu ada ironi di dalam kehidupan. Ada komedi di balik tragedi. Orang bisa merasa cukup dengan kepemilikannya, sebaliknya setelah berkuasa begitu kuat pun bisa jadi hasratnya tak pernah bisa dibendung, tak tahu batas di mana keinginan itu akan berakhir. Apa justru setiap orang tahu batasnya, dan orang lain tak tahu apa yang sebenaraya terjadi?
Suatu hari aku meng-copy cd ke seorang teman. Setelah selesai, aku tanya, berapa bayarnya?
- Tiga ribu, dia bilang.
- Kok cuma tiga ribu?
- CD blank itu harganya juga tiga ribu kok.
- Loh, memang listrik, transportasi, tenaga, energi, peralatan, atau kemampuan kamu itu nggak perlu diganti?
Dia hanya ketawa, 'Itu cukup kok buatku.'
Kadang-kadang orang hanya tidak mau rugi, atau sekadar ingin beramal baik. Sesederhana itu. Asal tidak rugi, atau hatinya syukur, memuaskan dirinya, semua selesai. Orang tahu kadarnya. Kita bisa menyangka banyak tentang orang lain, tapi kadang-kadang prasangka itu sama sekali salah.
Kadang-kadang penghargaan kita pada usaha orang lain tidak pantas, itu mungkin lebih krusial untuk dipikirkan. Karena kita sulit menduga orang lain perlunya apa, mungkin bisa dikira-kira, pantasnya usaha itu dihargai seperti apa. Sesuai akal sehat nggak, sesuai dengan nurani kita nggak. Yang lebih wajar mungkin bertanya, apa penghargaan itu cukup untuk dirinya? Mungkin orang tidak merasa butuh sesuatu lagi, tapi kita tak pernah tahu persis apa yang dia inginkan bila tak ditanya. Kecuali dia bilang secara terbuka. Bila seseorang berkata, 'Aku ingin kerjaku dibayar sekian,' tapi ternyata tidak bisa dipenuhi rekanannya, apa juga gunanya bilang sekian tarifnya? Cukuplah seseorang menghargai kerja orang lain sepantas sesuai standar yang mampu diberikannya. Barangkali tak masalah bila itu sebenarnya tak pantas buat seseorang. Seorang pengemis mungkin bahkan tak pantas dibayar seratus perak, tapi kalau pemberi ikhlasnya segitu, apa pengemis jujur tak akan mensyukuri pemberian itu?
Seorang profesor mungkin tak pantas dibayar seratus ribu bahkan saat ceramah di kelas aktivis mahasiswa, tapi kalau mahasiswa hanya bisa bayar segitu, dan semata-mata haus pengetahuan, sementara profesor senang diberi kesempatan mengamalkan pengetahuan, dan kedua pihak sama-sama ikhlas, rasanya tak ada persoalan. Dalam berdagang, orang boleh berusaha mendapat untung sebesar-besarnya, asal penjual & pembeli ridha, tapi kalau nggak, orang boleh keberatan, atau asal tidak rugi.
Orang hidup dengan ukuran dan anggapannya sendiri, dia akan tahu kapan kurang dan cukup. Sulitnya justru ketika harus bersinggungan dengan orang lain. Tapi untunglah manusia menghasilkan akal sehat, kepantasan, standar, juga kebajikan, kewarasan, juga kemanusiaan. Seneca bilang, 'Manusia itu suci bagi manusia lainnya.' Yah, Islam atau agama lain juga punya banyak sekali hikmah seperti itu, tapi apa dengan itu lantas sesama Muslim orang juga mau mengamalkannya? Kan tidak. Apa dengan begitu orang mau menghargai sesamanya tanpa memandang predikatnya? Nonsense. Ada kecintaan, kedekatan, penghormatan, termasuk prioritas, yang membuat standar dan nilai jadi relatif dan berbeda-beda berlakunya. Lebih-lebih manusia mengenal adanya 'maklum', penerimaan, batas minimal, dan sebagainya.
Suatu hari aku bilang ke seorang teman, bahwa aku ingin cari utangan cukup besar untuk mengembangkan rumah. Mungkin ke saudara, teman yang lebih mampu, atau siapalah yang rela ngasih. Karena nyicil rumah itu juga hanya bisa sedikit-sedikit, tentu akan lama lunasnya. Barangkali dengan asal-asalan pula mengembalikannya. 'Enak amat kalau ada!' kata dia ketus, sambil ketawa. 'Aku juga mau dapat kalau gitu!' Bisakah aku mendapatkan yang aku inginkan itu, bahkan bila aku teriak keras-keras? Menghina diri atau menghiba di hadapan banyak orang? Rasanya belum perlu seputus asa itu. Adakah yang mau mendengar keinginan itu? Barangkali orang malah menyangka aku gila, atau putus asa. Tapi selama tidak dosa atau mengganggu kebenaran, orang bisa maklum dan aku mungkin tak salah dan sia-sia. Kenapa tidak? Barangkali ada seseorang sambil prihatin bilang ke aku, 'Hidup sekarang memang mahal ya... Kita juga kesulitan kok.' Ha ha ha. Tapi setidak-tidaknya hidup telah mengajarkan orang cara berbahagia. Dalam batas tertentu orang ingin bekerja terus, tak mau istirahat, terus mencari penghasilan, sedikit atau banyak; di batas lain orang boleh berleha-leha, berpuas-puas diri, bersyukur atas segala yang dimilikinya, sesedikit apa pun miliknya, sesederhana apa pun jenis kebahagiaan itu.
Suatu hari Alexander The Great (aka Iskandar Zulkarnain), bertemu Diogenes di pagi hari cerah. Alexander adalah kaisar, penguasa Macedonia dan belahan dunia lainnya; Diogenes adalah orang yang rumahnya di dalam tong. Alexander menyangka barangkali Diogenes butuh sesuatu darinya, dan bisa memenuhi permintaan apa pun karena dia kaisar.
- Apa yang kamu butuhkan dariku? kata Alexader.
- Coba kamu minggir sedikit, biar tidak menghalangi sinar matahari ke arahku, kata Diogenes.
Alexander boleh jadi kaisar dua belah dunia, tapi yang memiliki matahari ternyata Diogenes. Karena itu, tentu sulit menyangka bila Diogenes tidak bahagia hanya karena tidak punya benda apa-apa selain yang melekat di badannya. Dia punya kerajaan alam, lebih dari seluruh kerajaan duniawi seluas apa pun.
Pada titik paling dasar, orang bisa menyatakan punya matahari, pegunungan, laut, air, tanah, rumah, kerajaan untuk membuatnya bahagia; tapi di baliknya tetap saja mudah mengeluh karena menganggap tidak punya apa-apa, terlalu mudah digerogoti rasa tidak punya atau kekurangan, cepat khawatir pada sesuatu gejala halus yang tak mengenakkan hatinya, bisa bereaksi berlebihan atas prasangka. Orang mengeluh karena tak punya buku tertentu, padahal banyak buku lain di tempatnya tak terbaca; mengeluh rumahnya kecil atau jelek, padahal rumah tetangganya lebih sempit karena dihuni lebih banyak orang, atau persis tahu ada seseorang kehilangan tempat tinggalnya, sebab rumahnya digusur oleh penguasa. Khawatir pada utang, padahal kadang-kadang honor juga datang pada saatnya, atau masih punya piutang yang bisa dianggap sebagai tabungan. Apa yang bisa dikeluhkan seseorang ternyata sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain. Apa yang sebenarnya wajar dikeluhkan, bahkan bila kita tak punya apa-apa selain diri sendiri? Apa yang pantas disyukuri, termasuk ancaman kematian tragis atau kenyataan buruk yang tiba-tiba menjerembabkan seseorang sekalipun?
Orang kadang-kadang tak tahu apa yang bakal terjadi pada dirinya, baru setelah terjadi seseorang bisa mengira-ngira atau merekonstruksi sesuatu dalam konteks tertentu, mencoba menghubungkan segala sesuatu agar semua tampak bisa dijelaskan atau akhirnya nalar, seolah-olah memang begitu seharusnya kejadiannya. Semoga prakiraan seperti itu memang tidak terlambat sama sekali. Barangkali sebenarnya yang diperlukan orang adalah penghiburan, penenangan, pendamaian? Living Colour---salah satu band rock favoritku, sudah bubar cukup lama---pernah menyanyi begini:
...a wise man said to know thyself
'cause in the end there's no one else
just the solace of you...
Orang kadang-kadang bahkan tidak bisa menyangka yang dilakukannya baru punya dampak setelah dirinya mati. Apa sekali lagi kita harus menyatakan itu adalah tragik dan ironik? Mungkin tidak perlu. Banyak sekali realitas terjadi di luar kehendak manusia, sisa buat manusia adalah mereka jadi sedikit tahu kenapa begini, kenapa begitu, mahfum terhadap segala kemungkinan, tidak terlalu mudah terkejut (seperti aku, ha ha ha). Jelas sekali itu untuk jadi tanda bahwa salah satu hal paling penting dalam kemanusiaan adalah nilai yang diperjuangkan seseorang, sesuatu yang ingin dicapai, bayaran wajar yang dikehendaki seseorang atas usaha dan kerja seriusnya.[] 2/19/05 Penghiburan untukku, Ubing, dan Lalang.
1 comment:
Jadi inget.. dulu waktu kuliah filsafat aku juga ambil penggalan cerita Diogenes :)
*masih mencoba berdamai dengan diri*
Post a Comment