[HALAMAN GANJIL]
Kamu Berani, Tapi Agak Kelelahan
--Anwar Holid
I have never let my schooling interfere with my education.
--Mark Twain
Kalau kamu kalah, jangan sampai kamu kehilangan pelajaran.
--Arvan Pradiansyah
Sudah lebih dari setahun ini saya menjadi "tentara bayaran" untuk berbagai klien yang bisa menggunakan keahlian saya. Istilah keren untuk "tentara bayaran" ini antara lain tenaga outsource, pekerja freelance, atau ronin---mengambil istilah usang zaman lama Jepang. Klien--yang sebenarnya boss saya--memberi order dan order itu harus diselesaikan. Persis menjadi Leon dalam film The Professional. Sejujurnya saya sudah menatah moto "Profesional, Disiplin, Tepat Waktu" dalam diri dan pikiran saya; tapi silakan cek kepada para pelanggan saya, kalau mau, seberapa baik saya bekerja seperti itu. Untung tidak ada biaya atas segala wanprestasi saya itu, kecuali kredibilitas saya boleh jadi jadi berkarat di mata mereka. Bahkan ada kala saya mengembalikan order karena bingung cara menyelesaikannya, sebab akhirnya di sela-sela berbagai pekerjaan, saya tak punya waktu lagi untuk mengerjakan order itu. Order itu hanya teronggok di sudut kamar kerja saya; padahal waktu menerima saya merasa punya waktu untuk mengerjakannya. Akhirnya saya minta maaf karena gagal menyelesaikan hal itu.
Ternyata menjadi tentara bayaran cukup sulit dan membutuhkan kesabaran tertentu. Saya sering bilang kepada teman yang berkomentar enaknya jadi tenaga outsourse, "Ah, tantangan dan harapannya sama kok. Cuma kalau jadi karyawan tantangannya dengan perusahaan, sementara kalau kerja freelance tantangannya dengan keluarga dan persoalan pribadi." Ternyata kompromi dengan diri sendiri dan keluarga merupakan negosiasi panjang yang terus-menerus labil, dan boleh jadi karena itu, banyak orang putus asa bekerja freelance, dan balik kerja dalam perusahaan. Satu-dua orang mengira saya jadi boss atau jenderal karena seakan-akan menentukan sendiri masa depan saya; padahal harus saya bilang, para klienlah bos saya sekarang. Bedanya kalau dulu waktu kerja di perusahaan bos saya satu, sekarang bos saya banyak.
Ini bukan untuk pertama kalinya saya kerja sendiri secara freelance; tapi rasanya kali ini merupakan rekor dalam hidup saya bisa bertahan tak balik ngantor, bahkan berniat lebih baik lagi bekerja sendiri. Dengan berbagai pertimbangan, kadang-kadang ada niat untuk mencari kantor baru, antara lain iming-iming gaji tetap, suasana produktif, bonus, fasilitas, dan sebagainya. Saya bahkan pernah dua kali melamar ke dua lembaga, tapi anehnya ditolak semua. Boleh jadi CV yang saya buat gagal membuat mereka takjub dan yakin.
Salah satu hal menyebalkan ketika kita jadi freelance ialah bahwa kita tak akan pernah dapat THR atau bonus perusahaan. Kadang-kadang saya nyaris putus asa karena itu. Semua risiko dan keberhasilan dinikmati oleh pekerja yang bersangkutan. Jadi tahun 2008 ini untuk pertama kalinya saya tak mendapat THR dari perusahaan, selain sejumlah kebaikan sedekah dari teman, saudara, dan orangtua. Rasanya malah sungguh aneh.
Menjadi tenaga outsource kerap dituduh berarti memiliki komitmen jangka pendek terhadap pekerjaan. Boleh jadi begitu. Tapi apa saya benar-benar berkomitmen pendek terhadap banyak hal? Bila dilihat dari para pelanggan---yang ternyata dari perusahaan maupun orang yang sama lagi---saya agak yakin bahwa saya punya komitmen jangka lama terhadap pekerjaan dan klien, dan semoga keyakinan saya cukup beralasan, bahwa kinerja saya cukup memuaskan, jika bukan karena mereka kasihan pada saya. Salah satu hal paling memuaskan dengan bekerja freelance ialah kita bisa memilih mana pekerjaan yang betul-betul kita inginkan dan mana yang bisa ditolak. Kebebasannya penuh. Saya juga bisa bekerja dengan pihak yang saya kagumi, saya anggap terbaik dan membanggakan. Nanti kita bisa menilai, apakah pekerja kantoran yang harus juga mau mengerjakan hal yang mereka benci, karena terpaksa diterima, merupakan sebuah kekurangan atau malah latihan kesabaran.
/*/
Bekerja sendiri kerap membuat saya bertanya, apa yang sebenarnya saya pelajari selama ini. Apakah saya cukup baik merencanakan sejumlah hal, bertekad lebih baik, atau sekadar hidup dari proyek ke proyek, tanpa berusaha mengambil pelajaran tertentu dari sana. Perkara mengambil pelajaran ini menurut saya agak berat, karena setiap orang pasti punya pendapat, prioritas, dan skala sendiri, yang menentukan apakah hidupnya terasa bermakna atau sia-sia. Boleh jadi itu sekadar masalah sudut pandang; tapi siapa tahu ada nilai universal yang bisa dibagi di antara kita. Sebagian pekerja pergi tiap hari ke kantor sebagai rutinitas membosankan, tanpa gairah, atau sekadar memenuhi absensi biar di akhir atau awal bulan dapat gaji tetap. Tetapi sejumlah pekerja freelance pun, misalnya seniman, penulis, juga kadang-kadang merasa bosan dengan hidup mereka dan merasa lebih baik mati saja. Jadi soal mendapat makna, pelajaran, atau malah sia-sia benar-benar masalah nilai yang tengah diyakini orang bersangkutan.
Saya kuatir bila hanya hidup dari mengerjakan proyek ke proyek, tanpa ada keinginan untuk mengasah kemampuan, menambah wawasan, tanpa mendapat pelajaran dari pekerjaan itu, saya lama-lama aus dan bosan. Tapi mungkin yang lebih mengerikan lagi ialah ancaman stagnansi atau tambah bodoh karena kalah oleh kemajuan waktu. Kalau saya kerja di perusahaan atau cukup antusias sekolah, mungkin saya bisa mengajukan training, pelatihan, seminar, pengayaan wawasan, atau berusaha mengambil jenjang pendidikan lebih agar lebih berilmu. Tapi tawaran training--yang antara lain saya terima rutin dari PT Asprinet Indonesia--ternyata biayanya nggak ketulungan mahalnya buat saya. Biaya paket training mereka rata-rata tiga juta ke atas; dengan uang segitu, kalau kebetulan sedang di tangan, saya lebih memilih menghabiskannya untuk membeli asuransi jiwa atau pendidikan anak saya. Bila uang jadi masalah, apakah itu berarti penghasilan saya di bawah standar? Bisa jadi.
Dalam sebuah surat kepada seorang kawan, saya pernah membahas tentang jiwa pembelajar dalam diri saya. Kata saya: "Menurutku sendiri, aku antusias belajar dan cari ilmu, cukup rajin membaca. Aku bukan orang yang malas cari ilmu; tapi aku malas sekolah, apalagi untuk sesuatu yang tampaknya sia-sia. Kadang-kadang aku ditanya, 'Tax, apa kamu nggak mau sekolah lebih tinggi?' Biasanya aku jawab, 'Nggak. Aku lebih butuh kursus atau pelatihan/short course yang bermanfaat buat karir dan pekerjaanku.'
Seingat saya, belajar semi formal terakhir yang pernah saya lakoni ialah short course filsafat yang diadakan oleh Universitas Parahyangan dan short course resistensi kebudayaan oleh FSRD ITB. Saya menjalani short course itu dengan cukup menyenangkan, sebuah tanda bahwa saya pada dasarnya cukup antusias belajar, meskipun jangkanya pendek, kira-kira berlangsung tiga bulan. Bila bisa memilih mata kuliah yang membuat saya antuasias belajar dalam kehidupan ini, boleh jadi saya bakal antusias menjalani pembelajaran yang berlangsung. Tapi kadang-kadang dalam hidup kita harus belajar bukan saja menerima hal-hal menyenangkan, melainkan juga hal yang membuat kita muak, sakit, kontradiktif, menyebalkan, dan hal-hal buruk lain. Sudah alamiah bahwa karena ada sisi buruk dalam diri kita, kita juga harus bisa menerma sisi gelap dunia, yang kadang-kadang menyambar baik kewarasan dan kesadaran kita.
Jadi bagaimana saya belajar, bila saya cukup berani bilang diri saya ini seorang pembelajar yang antusias? Inilah yang sedang saya uji. Saya merasa senantiasa antusias belajar pada orang lain, terutama mereka berilmu pengetahuan dan berwawasan lebih luas, atau ahli pada bidang tertentu. Itulah sebabnya saya merasa sangat senang dan beruntung menyunting berbagai jenis buku karena dari sana saya sekaligus belajar banyak hal. Ketika menyunting buku arsitektur karya seorang dosen senior, segera saya merasa begitu kaya dengan pengetahuan itu---terlebih lagi dia seorang pendidik yang berdedikasi. Ketika saya menyunting buku kreativitas, saya sekaligus belajar tentang cara berpikir kreatif. Karena bekerja untuk seorang motivator dan ahli sumberdaya manusia, saya merasa beruntung mendapat percikan sikap positif dan caranya mengambil keputusan. Karena kawan saya ada yang Ph. D., putus sekolah, gagal jadi sarjana (seperti saya sendiri), punya dua ijazah sarjana, atau mengabaikan ijazah sarjananya, berkarir di dunia yang amat beda dari latar belakang pendidikannya, saya berusaha menyarikan, itu semua tanda apa sih?
Bagaimana memastikan bahwa saya benar-benar belajar dari orang yang pantas saya anggap menjadi guru, siapapun mereka, asal memberi saya sepotong kebenaran dan pencerahan? Boleh jadi agak sulit saya petakan, harus dicatat lebih detail, atau sebenarnya yang saya dapat hanya samar-samar. Selain dari orang, kemungkinan saya belajar ialah dari peristiwa, kejadian, pengalaman, termasuk berbagai tulisan apa pun yang saya baca.
Sisanya saya belajar dari buku, khususnya buku mengenai kreativitas, motivasi diri, pembelajaran, manajemen, yang saya miliki. Itu untuk memperbaiki kualitas kerja, yang dalam jargon teman saya harus smart working, terutama demi mewujudkan "simple work, hight income." Sementara untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, kompetensi, saya menjelajah ke ruang maya, baik untuk memperhatikan orang diskusi dan mengeluarkan opini, atau mencuri file di folder-folder warnet, yang hasilnya cukup heboh. Kalau beruntung, saya bisa mendapatkan kumpulan e-book menarik tentang penulisan dalam bentuk pdf, chm, ppt, dan lain-lain. Dari seorang teman penjaga warnet, saya pernah mencopy beberapa ensiklopedia yang menurut saya luar biasa menarik. Ketika mendapat semua itu saya berdecak-decak kagum, "Gila, betapa hebat yang bisa disediakan kemajuan zaman dan teknologi."
Saya agak kaget menyadari bahwa kebanyakan buku saya dari jenis itu ternyata terbitan Kaifa. Buku-buku mereka yang fokus pada ranah pembelajaran, self help, motivasi, dan manajemen ternyata banyak yang mengesankan dan mencerahkan. Misalnya buku manajemen finansial personal dan keluarga karya Suze Orman. Buku yang terlambat saya pelajari sungguh-sungguh ini mengajari saya agar tenang serta waras menyikapi istilah "investasi" dan lebih hati-hati menghadapi maupun memperlakukan uang. Dulu saya beranggapan bahwa investasi harus selalu berbentuk saham, usaha yang berjalan (income pasif), atau usaha sampingan. Menurut Orman, investasi bisa apa saja yang menguntungkan di masa depan, baik berbentuk tabungan, asuransi, bahkan mengetatkan pengeluaran untuk yang benar-benar merupakan kebutuhan utama. Pokoknya jangan membeli yang sia-sia dan tidak perlu. Jadi saya agak lega punya satu asuransi pendidikan untuk anak sulung saya; meski di samping itu beberapa bulan lalu dengan terpaksa dan menyesal saya membobol tabungan yang rencananya baru akan saya panen ketika berusia 55 tahunan untuk keperluan yang mustahil kami tunda, yaitu mengobati anak-anak yang sakit. Sekarang ini saya ingin segera memulai asuransi untuk anak bungsu kami lebih dini, tapi hingga kini belum tercapai. Entah kapan satu keinginan ini tercapai. Saya juga ingin segera punya tabungan masa tua; tapi mungkin yang ini bisa ditunda, meskipun kalau lebih cepat akan lebih baik. Beberapa kali kesempatan memang sudah datang, tapi akhirnya hal itu kalah oleh prioritas lain.
Sejauh pengalaman saya membaca buku-buku pembelajaran setahun terakhir, hanya ada dua buku non terbitan Kaifa yang sungguh-sungguh hebat. Pertama ialah Solusi Praktis Bagi Manajer (A.B. Setiaji), terbitan Kanisius, yang menurut saya meliputi semua topik kebutuhan seorang manajer, dan dibahas dengan mendasar, sederhana, dan lugas. Kedua Whatever You Think, Think The Opposite (Paul Arden), terbitan Esensi. Buku ini sangat tipis (142 h.), penuh ilustrasi, dan sebenarnya tidak praktis. Bahkan saya berani bilang isinya lebih banyak pernyataan daripada penjelasan. Hebatnya, pernyataan-pernyataan Paul Arden begitu provokatif, kalau bukan merupakan kumpulan kutipan untuk memberontak terhadap pola pikir umum yang jumud dan dianggap inovatif. Paul Arden menantang kita untuk berbuat sebaliknya. Dia mengajak kita berbuat gila, mengambil keputusan edan, membesarkan ego, menemukan diri sendiri. Kalau perlu, lemparkan diri kamu ke udara! Bisakah kamu melakukan hal revolusioner seperti itu? Semua pernyataan Arden sungguh terbalik-balik, tapi sekaligus sulit sekali dibantah. Kalimat pertama buku ini saja sangat kontradiktif: Let us start off on the right foot by making some wrong decisions. A flop.
Idealnya, setiap "tentara bayaran" seperti saya punya asuransi, terutama asuransi kesehatan, jiwa, atau masa tua untuk keluarga--karena hanya kita sendiri yang bisa menjamin kesejahteraan. Sebab saya bisa tewas kapan saja dalam tugas, dan tak ada satu lembaga pun yang merasa bertanggung jawab terhadap masa depan dan kehidupan saya. Tapi kalau semua biaya jaminan sosial itu memang tak terjangkau, apa daya? Mungkin lebih baik berkata begini, "Puji Tuhan. Nasib buruk, nasib baik, siapa tahu?" Kadang-kadang berharap keajaiban lebih menyenangkan daripada putus asa karena keadaan dan sulit mengubah kondisi.
Yang mencolok dari bekerja sorangan ialah saya nyaris tak pernah lagi rapat dan merencakan aksi secara strategik. Rasanya hidup saya jatuh dari order ke order, sementara keinginan-keinginan besar---misalnya mewujudkan buku yang benar-benar melampiaskan perasaan dan idealisme---tercampakkan karena berbagai hal, terutama kalah oleh prioritas perintah orang. Ini boleh jadi menyedihkan, apalagi buat saya yang dalam riwayat kerja di M. kerap salut oleh rencana-rencana yang dicanangkan secara teratur dan ketika kerja di P. atau J. terlibat dengan rencana agak panjang, minimal setahun ke depan. Apa karena tidak punya tim maka saya nggak perlu kompromi dengan rencana? Atau saya mengalami kebosanan, toh sejumlah rencana perusahaan besar pun saya tahu kerap gagal dan akhirnya batal sama sekali? Suatu saat saya pernah tanya ke seorang teman yang jadi manajer, "Berapa persen dari rencana perusahaan itu gagal dan sukses?" Jawabannya juga beragam. Kalau kita pakai nasihat arden, rencana dan rapat adalah omong kosong. Dia bilang, "Kalau kamu terpaksa rapat, singkirkan kursi-kursinya. Kerjakan saja, kemudian perbaiki sambil jalan." Ayo singsingkan lengan baju dan terus kerja. Tapi sulitnya rencana dan strategi merupakan jargon kemajuan industri modern yang mungkin mustahil ditinggalkan.
Kalau saya bilang pada diri sendiri, saya merasa sedang terus belajar, baik untuk kehidupan dan karir. Meskipun susah payah, saya berusaha jadi otodidak yang cukup konsisten. Tapi tentu keyakinan itu harus diuji, baik oleh orang lain, terutama klien, dan kualitas kerja. Tapi entah kenapa saya meragukan kualitas belajar saya. Mungkin karena saya tengah kesulitan untuk langsung berinteraksi, bertatap muka, tertawa bersama, bicara ngalor ngidul, membebaskan angan-angan dan unek-unek, bersama teman-teman. Memang sesekali saya bertemu dengan mereka, tapi saya merasa intensitasnya kurang. Apa saya sudah tergerus dan oleh keluarga, kehidupan, dan tekanan keinginan?
Seorang teman baik yang baru-baru ini membebaskan utang kami, mengirim surat bernada menyemangati tapi sekaligus memperingatkan: "Kamu punya keberanian untuk menjalani idealismemu dengan segala konsekuensinya, meskipun akhir-akhir ini terlihat kamu agak kelelahan menjalaninya." Seseorang melihat sesuatu yang lain dalam diri saya, dan boleh jadi memang begitu sebenarnya. Seperti bila suatu hari kita lihat seorang kawan bertingkah aneh, gerak gesturnya lain, kita dengan mudah bilang, "Ada apa sih dengan kamu hari ini? Apa kamu jatuh cinta?" Sering orang lain mampu melihat diri kita dengan lebih tepat.
Beberapa bulan lalu saya ketemu kawan yang cerita dia tengah mengambil program doktoral di almamaternya. "Memang studi kamu masih kurang ya selama ini? Atau itu tuntutan kerja dan jabatan?" tanya saya. "Sebenarnya malas sih belajar lagi. Saya sedikit agak terpaksa ikut program ini, soalnya saya takut tersingkir." DHUAR! Ucapan dia meledakkan kepala saya. Dia cerita betapa kolega-koleganya yang bertitel lebih tinggi lama-lama kok terasa bikin grup tersendiri, atau lelucon mereka lama-lama terasa pahit buat mereka yang jenjang pendidikannya lebih rendah, seolah-olah mereka tak pantas berkawan dan harus jadi lebih hina. Inilah yang paling saya benci dari efek pendidikan, bahwa orang ternyata bisa merasa sombong dengan pengetahuan yang ada dalam kepalanya. Jelaslah bahwa pendidikan melahirkan kelas baru dalam masyarakat kita, yaitu kelas priayi yang merasa pantas disembah. Saya tahu persis bahwa orang-orang berpendidikan, dengan profesi mereka yang mengagumkan, bisa bertingkah sangat memuakkan dan menjijikkan. Saya dengar cerita dari tetangga yang jadi pembantu rumah tangga seorang dokter, betapa si dokter ini bisa menunjuk-nunjuk dengan menggunakan kaki kepada dia agar beres-beres rumahnya. Keterlaluan! saya bilang. Entah kalau seluruh umat manusia sudah punya kesepakatan bahwa menunjukkan dengan kaki tetap dianggap sopan.
Namun cerita kawan saya yang tengah mengambil program doktor itu agak lain tekanannya waktu dia ketemu istri saya. Dia berharap bila sudah jadi doktor maka proyek-proyeknya---yang dia bangun bersama kawan dalam sebuah perusahaan--bisa lebih tinggi nilainya, baik dari segi finansial dan reputasi. Jadi klien lebih menghargai kinerja dia yang kini berilmu dan bebekal pengetahuan lebih besar. Sementara kolega di kampusnya tak bisa lagi memandang sebelah mata. Wow... tombak bermata dua.
Jadi sesungguhnya untuk apa sih kita belajar? Untuk apa saya cerita dan bertanya apa yang tengah saya pelajari selama ini? Saya berinteraksi dengan kawan, membaca sejumlah hal, berusaha mencerap ilmu dari sana-sini, berusaha mengambil sari kehidupan dari kawan-kawan dan kejadian... tapi kadang-kadang pesimistik dan sinis bahwa saya jadi manusia yang lebih baik. Meskipun mengaku sudah belajar, berusaha kreatif dan tegar, toh saya masih kasar, susah mengendalikan diri, kemarahan, bahkan kadar kesabaran saya bisa begitu rendah, sementara di sisi lain kadang-kadang ada target kerja yang selalu meleset dan molor terlalu lama, janji-janji lolos, dan minta maaf bisa membosankan. Jadi apa dong yang bisa saya unggulkan agar bisa menjalani hidup lebih baik dan waras?
Belajar dalam kehidupan merupakan proses yang panjang, personal, boleh jadi baru berhenti bila seseorang tengah sekarat mau melepas nyawa. Tapi menunjukkan hasil yang bagus dan mengesankan ternyata penting dan menentukan. Bila bilang bahwa saya belajar tapi hasilnya kacrut, orang lain dan klien juga akan lari, mencibir, menjelek-jelekkan di belakang, dan akhirnya berhenti memberi keran sumber nafkah. Mungkin ini namanya keseimbangan. Kamu boleh jungkir balik belajar, ngaku mati-matian memperbaiki diri sendiri, berusaha menemukan kualitas terbaik, memotivasi diri sendiri, memperkenalkan keyakinan atau metode baru, tapi jangan sampai kamu memperlihatkan kinerja yang buruk kepada orang lain, kecuali kamu tahan banting, baik oleh cemooh atau bayang-bayang sukses masa lalu. Kalau jutaan perempuan senang dan puas dengan produk Revlon, perlukah perusahaan itu memperlihatkan bagaimana mereka membuat produk itu? Mungkin tidak. Penerbit seperti GPU dan Mizan hanya berusaha terus menerus menerbitkan buku dengan kualitas paling bagus, meminimalkan kesalahan, memenuhi selera pangsa pasar mereka yang boleh jadi berkelas, tinggi. Mereka menjaga kualitas, dan memperbaiki secara berkala. Mereka tidak perlu gembar-gembor kepada publik sulitnya mengemas naskah yang hancur jadi enak dibaca, atau betapa kadang-kadang bekerja sama dengan pihak lain itu menyebalkan. Ini persis dengan ungkapan Inggris: when I do good no one remember, when I do bad no one forget.
Ayo Tax, tetap semangat terus berjuang, jangan terlalu mudah mengeluh! Jangan lupa bilang terima kasih atas kebaikan kawan dan berkah kehidupan. Ingat ucapan Nora Profit yang kamu tempel di balik pintu: Jangan sampai kamu meragukan dirimu sendiri. Kau akan rugi.[]1/14/2009
PS: Esai ini awalnya berjudul: Apa yang Aku Pelajari Selama Ini.