Sunday, May 30, 2010
Malcolm Gladwell yang Penasaran
---Anwar Holid
What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya
Judul asli: What the Dog Saw and Other Adventures
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerjemah: Zia Anshor
Penerbit: GPU, 2010
Tebal: 480 hal.; Ukuran: 13.5 x 20 cm
ISBN: 978-979-22-5249-1
Harga: Rp.80.000,-
"Keingintahuan mengenai apa yang ada di balik pekerjaan harian orang lain adalah salah satu dorongan paling mendasar pada manusia, dan dorongan itulah yang menyebabkan buku yang sekarang Anda pegang ini ditulis," demikian kata Malcolm Gladwell di pengantar What the Dog Saw (GPU, 2010, 461 hal.) Dia terus memelihara dan mengembangkan rasa ingin tahu terhadap sembilan belas macam kepenasaran dengan matang. Rata-rata menghasilkan esai yang sangat panjang untuk ukuran artikel bernada investigatif demi mengorek suatu subjek, kemudian menuliskannya dengan sangat lincah dan menggigit. Semua pembaca buku Gladwell sudah tahu betapa kuat ciri khas tulisannya, dan betapa tulisan itu membuat ketagihan.
Petualangan Gladwell demi menelusuri suatu fenomena di dalam What the Dog Saw bisa dibaca dari mana saja. Kita akan segera tahu betapa rasa penasaran manusia itu memang meluap-luap, tak terbendung bahkan oleh teka-teki atau misteri paling gelap sekalipun. Buku ini menyajikan lebih banyak lagi menu tentang betapa manusia dan drama kehidupannya bisa melahirkan peristiwa yang kerap terlalu sulit untuk saling diprediksi. Manusia bergerak lebih cepat dari prasangka ataupun prakiraan orang lain; mereka suka membuat kecele orang yang mencoba menangkap gelagatnya. Betul manusia bisa menganalisis, menebak, dan memprediksi, tapi hasrat dan antisipasi lebih cepat lagi bergerak menanggapi analisis.
Rasa penasaran ada yang sederhana dan rumit. Kalau perempuan ingin mengecat rambut dengan warna tertentu, bisa jadi itu teka-teki sederhana; sementara kalau kita ingin tahu bagaimana polisi dan detasemen khusus menentukan target operasi terorisme, mungkin itu misteri yang hebat dan mendebarkan. Tapi sama saja: keduanya butuh jawaban, dan orang seperti Gladwell dengan segala cara berusaha menjelaskannya. Upayanya jelas telah sukses membuat jutaan orang suka, meski tidak semua. Sebagian orang menilai Gladwell terlalu simplisistik (menggampangkan) dan mengabaikan faktor penting lain dalam berbagai fenomena yang rumit; dan itu membuat mereka menilai tulisannya sebagai pseudosains. Tapi yang jelas kehebatannya meyakinkan orang banyak sulit ditandingi. Wajar bila media massa seperti Time, Newsweek, juga GQ menobatkan Gladwell sebagai penulis yang dewasa ini paling mempengaruhi cara orang berpikir.
Gladwell memilah What the Dog Saw dalam tiga bagian. Urutan paling menariknya justru dari belakang. Di bagian ketiga dia membahas tentang kepribadian, sifat, dan kecerdasan manusia. Dia membicarakan kenapa sebagian orang sudah genius sejak muda, namun sebagian lain justru baru panas setelah berusia matang? Apa beda kesuksesan teori relativitas dan keberhasilan perusahaan semacam Microsoft? Bagaimana polisi mengembangkan teori kejahatan dan menangkap tersangka terorisme padahal ciri penjahat sangat kabur dan mudah sekali berubah? Kenapa seseorang bisa panik dan akhirnya kalap? Dan kisah-kisah yang lebih menyangkut indra, emosi, dan pikiran daripada sesuatu yang fisikal.
Di bagian kedua dia mengembangkan teori, prediksi, dan diagnosis. Misal seperti ini: kenapa perusahaan yang sangat terbuka, dikelola dengan baik, diisi orang-orang cerdas kelas satu, berkembang pesat, punya kapital luar biasa, sahamnya diminati investor, punya semua kriteria unggul, memenuhi standar kehebatan macam-macam, toh akhirnya bangkrut dan gagal diselamatkan? Kenapa badan intelijen yang punya analisis tiada terperi tetap gagal menemukan Osama bin Laden? Semuanya paradoks rumit yang bisa melahirkan kisah penelusuran menarik.
Di bagian pertama dia menulis tentang "genius minor", yaitu orang hebat yang perannya dianggap sepele, seperti pawang anjing, produsen pewarna rambut, atau raja saus tomat. Padahal kerja dan temuan mereka hebat juga. Gladwell membuat mereka jadi setara dengan penemu penting kelas dunia. Bayangkanlah bila orang Indonesia tak kenal sambal, bagaimana rasanya. Tapi kenapa kita tidak tergerak untuk menelusuri, siapa yang pertama-tama membuat ramuannya?
Meski begitu, isi ketiga bagian buku ini masih terasa inkonsisten. Sebab di bagian pertama kita bisa menemukan tulisan tentang Nassim Nicholas Thaleb yang terkenal berkat The Black Swan, yaitu teori probabilitas untuk menerangkan falsifikasi. Dia jelas bukan tipe "genius minor." Sementara di bagian kedua dan ketiga kita bisa menemukan topik agak ringan, seperti contek-mencontek karya yang bercampur dengan ilham atau hasil riset dan bagaimana seekor anjing menentukan ada kejahatan di depan matanya.
Keunggulan Gladwell tampaknya berporos pada dua hal: (1) cara berpikirnya unik dan cara dia menarik kesimpulan mengejutkan; (2) cara penulisannya hebat dan lincah sekali. Dalam hal teknik penulisan, bergabungnya dia sebagai staf penulis The New Yorker punya andil besar, sebab majalah ini sudah terkenal berkat gaya dan cita rasa sastranya. Dalam hal cara berpikir, dia cerdas, meskipun bukannya tanpa cela.
Sepintas, isi buku-buku Gladwell tampak klise. Sebagian orang bingung apa beda blink dengan ilham, intuisi, atau wisdom dari pengalaman yang diasah terus hingga membuat orang peka? Dalam Outliers, banyak orang masih bingung apa hubungan tanggal lahir dengan kesuksesan. Tapi toh mereka tetap semangat membaca tulisannya.
Gladwell tahu cara menuliskan petualangan-petualangan pemikirannya. Dia mampu menyabet topik yang awalnya berserakan dan kabur menjadi tajam dan membangkitkan rasa penasaran. Dia bergerak dari satu narasumber ke penyelidikan lain, berusaha langsung mengalami fakta-fakta yang mungkin terbayangkan, lantas melakukan studi literatur dan menemukan pasase yang tepat. Gladwell berkata, "Bila mau menulis buku, Anda perlu punya lebih dari sekadar cerita yang menarik. Anda harus punya hasrat untuk menceritakan kisah itu. Dalam beberapa hal Anda bahkan secara personal perlu mengupayakannya bila memang berguna bagi tulisan."
Banyak buku motivasional atau bisnis sudah membicarakan subjek yang dibahas Gladwell. Tapi kenapa buku dia tetap bisa menonjol dan bestseller gila-gilaan? Bisa jadi karena ini: (1) Argumen Gladwell kuat dan cara berpikirnya menarik; (2) Gladwell bisa merangkai fakta trivial (sepele, sering diabaikan atau dianggap rendah) ke dalam logika besar dengan cara pop-ilmiah menjadi mudah dipahami; (3) Gladwell bisa membuat koneksi antara hal klise dengan teori yang awalnya orang bingung penerapannya bagaimana dalam keseharian atau kasus khusus. Istilah teoretis yang dia munculkan juga catchy.[]
Anwar Holid ialah editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Thursday, May 20, 2010
Kompetensi Seorang Editor
---Anwar Holid
Saya memulai karir di dunia perbukuan sebagai 'asisten editor' di Mizan. Editor yang saya layani terutama ialah Hernowo, Yuliani Liputo, Rachmat Taufiq Hidayat, Taufan Hidayat, Sari Meutia, dan Tholib Anis. Tugas utama saya kira-kira mencakup copyediting, proofreading, membuat indeks, mengawasi cetak coba, dan melayani segala kebutuhan editor. Sesekali saya juga mendapat kepercayaan untuk bertugas sebagai editor---sebab itulah niat utama saya bekerja di industri buku. Kadang-kadang saya diminta mendampingi atau menemui penulis, meski belum benar-benar bekerja sama dengan mereka. Tapi minimal kami berinteraksi.
Pada periode itu salah satu yang paling saya ingat ialah Hernowo---manajer kami---tampaknya sedang memasuki masa transisi dalam karirnya. Gejalanya ialah hampir setelah rapat mingguan dia memberi tulisan untuk kami baca, baik berhubungan langsung dengan penerbitan maupun manajemen. Kami suka heran, ada apa nih mas Her kok agak berubah, yaitu sering mengutarakan pikiran-pikirannya agar kami baca. Saya waktu itu masih anak bawang di dunia kantor, jadi meskipun tulisan itu saya baca, ada kalanya langsung saya taruh di laci setelah sekali baca.
Sebenarya hampir semua editor di Mizan juga suka menulis. Yuliani berkali-kali mempublikasikan tulisan di Kompas, bahkan menimbulkan polemik. Sari Meutia, Rachmat Taufiq Hidayat, Taufan Hidayat juga suka menulis di media lain. Tulisan saya pernah dimuat Gatra dan Republika.
Suatu hari ketika datang ke Mizan lagi untuk mengerjakan order, di showroom saya membuka-buka Mengikat Makna (2001) karya Hernowo. Saya kaget dan berteriak dalam hati, "Loh, ini kan tulisan-tulisan mas Her yang dulu dia bagi-bagikan ke kami!" Rupanya dia secara padu dan menarik mampu mengolah perca tulisan yang dulu kami anggap sebagai buah kegelisahan menjadi buku tentang bacaan dan penulisan paling fenomenal di Indonesia. Berani taruhan, sejak itulah namanya menjadi terkemuka tidak hanya sebagai editor sebuah penerbit yang khas, melainkan menjadi diri sendiri. Saya pikir, Mengikat Makna merupakan buah dari pengalaman dan pembelajarannya bertahun-tahun menjadi editor senior di Mizan. Itu menakjubkan.
Karena gagal membangun karir di Mizan, saya berusaha belajar menjadi 'editor sesungguhnya' secara serabutan, baik lewat ngantor maupun dengan menjadi editor freelance, termasuk buat para penulis perorangan. Selalu ada pembelajaran menarik setiap kali berinteraksi dengan sesama penulis dan editor. Saya kembali belajar dari Hernowo waktu naskah saya akan diterbitkan MLC, meskipun akhirnya gagal. MLC ialah imprint Mizan yang dulu banyak menerbitkan buku pembelajaran, penulisan, dan perbukuan.
Inilah rangkaian nasihat selama kami berinteraksi hendak menerbitkan buku:
1/ Yang lebih penting ialah lebih dulu "menemukan" diri sendiri--- penulis mau apa dengan naskahnya, fokus atau kabur subjek yang dia jelajahi, bagaimana cara dia mengungkapkan gagasan, apa harapannya terhadap naskah, dan kelengkapan lainnya.
2/ Yang sebaiknya memberi karakter pada naskah ialah penulis sendiri, bukan orang lain. Idealnya yang memastikan sebuah buku mau diposisikan seperti apa bukan editor, penerbit, atau orang di luar penulis.
3/ Lontarkan saja apa sebenarnya keinginan penulis atau bayangan buku seperti apa yang penulis harapkan? Apakah buku ini misalnya bisa seperti buku Hernowo (Mengikat Makna) atau buku Sofia Mansoor-Niksolihin (Pengantar Penerbitan)?
4/ Jadikan tulisan itu untuk membantu penulis menemukan diri, mulai dari keinginan, harapan, karakter, apa pun. Bila menemukan sesuatu, penulis nanti akan menemukan "konsep", "judul" atau apalah yang mewakili diri penulis berkaitan dengan naskahnya. Ini akan membuat naskah jadi dahsyat.
5/ Selain menyusun naskah secara normatif---Eric Jensen menyebutnya sebagai "makna yang dirumuskan" (reference meaning)---idealnya penulis berusaha menyentuh "makna yang dihayati" (sense meaning). Tujuannya untuk mendapatkan makna terdalam sebuah naskah dan menghindari menangani naskah secara kering dan normatif.
Saya juga mendapat masukan dari Ahmad Baiquni ketika menerbitkan buku di Mizania. Dialah editor kedua buku saya. Dari Baiquni saya belajar tentang cara menyampaikan gagasan secara halus dan persuasif. Ini bisa jadi dipengaruhi oleh kepekaan Baiquni yang hebat terhadap bahasa dan kata. Dia awas terhadap efek bahasa dan kemungkinan penerimaan pembaca terhadap cara ungkap. Apa sebuah kalimat akan membuat telinga orang jadi panas atau membuat hatinya sejuk? Tentu sia-sia bila kita menulis sebuah buku tentang agama, namun efeknya malah membuat orang jadi antipati terhadap agama tersebut. Misinya gagal.
Menyimpulkan dari belajar gaya serabutan itu, menurut saya, kompetensi yang paling dibutuhkan seorang editor antara lain:
1/ Peka bahasa, luwes menulis, jernih mengungkapkan gagasan. Kompetensi ini sangat kualitatif, tapi efeknya gampang dilihat, misal dari enak-tidaknya buku dibaca, jelas-tidaknya gagasan dalam sebuah buku. Kompetensi ini sudah saya saksikan sejak awal meniti karir. Editor yang hebat pastilah pandai menulis---tak peduli apa dia pernah menerbitkan buku atau tidak. Kompetensi ini akan melanggengkan karir seorang editor. Ini otomatis menggugurkan adagium bahwa editor ialah penulis gagal. Bahkan bisa jadi sebaliknya, editor ialah penulis yang sedang mengasah pena kepenulisannya.
2/ Menangkap gagasan terbaik dari penulis dan memberi saran untuk menciptakan visi tentang sebuah buku. Dalam hal ini mari kita belajar dari Jonathan Karp, pendiri sekaligus Editor in Chief di penerbit TWELVE. Yang paling menonjol dari TWELVE ialah cara Karp menangani penulis dan naskah satu demi satu secara eksklusif untuk menghasilkan buku yang benar-benar bermakna dan mengubah masyarakatnya---Amerika Serikat. Kinerja dia membuktikan idealismenya. Dalam perjalanan karirnya, Karp mengaku sangat terkesan pada Kate Medina, editor yang dia asistensi di Random House sebelum mendirikan TWELVE. Inilah yang dia pelajari dari Medina:
Saya memperhatikan cara dia mendekonstruksi novel, atau manuskrip apa pun, dan memandang naskah itu secara menyeluruh (holistically): dari sisi struktural, tematik, dan seterusnya. Dia bisa memandang gambaran besar dan detailnya sekaligus. Dengan cara positif, dia bisa menyetir penulis, untuk menciptakan karya yang lebih baik dan hidup. Yang dia lakukan terutama ialah membuat novel itu jadi lebih jernih. Dan karena telah mengetikkan lusinan memo selama bertahun-tahun, saya mulai belajar disiplin menjadi seorang editor. Saya memperhatikan apa karakter-karakter itu terdengar nyata. Apa cara berceritanya bergerak dengan tepat. Apa bahasa punya dampak tertentu atau tidak. Rasanya seperti mendengar suara seseorang di dalam kepalamu. Saya mengenakan headphone itu dan mendengarkan dia melaksanakan pengobatan editorialnya. Itu betul-betul membentuk diri saya.
Sebenarnya ada banyak alasan kenapa Kate Medina jadi editor hebat. Saya kebetulan bisa menguping semua percakapan dia via telepon, dan saya persis ingat sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dia tak pernah menyaringkan suaranya dan selalu ramah pada semua orang. Waktu itu saya masih seorang lelaki pemarah berumur dua puluh limaan. Saya ingat pernah masuk ruangannya dan berkata kepadanya, "Kate, kamu tidak pernah berteriak." Balasnya, "Yah, aku menemukan selalu ada cara yang baik untuk menghadapi sesuatu." Itu betul-betul mengubah saya. Saya menyaksikan profesionalismenya, caranya yang sangat positif dan membangun dalam menghadapi orang. Saya juga memahami visinya.
Sebenarnya ada banyak alasan kenapa Kate Medina jadi editor hebat. Saya kebetulan bisa menguping semua percakapan dia via telepon, dan saya persis ingat sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dia tak pernah menyaringkan suaranya dan selalu ramah pada semua orang. Waktu itu saya masih seorang lelaki pemarah berumur dua puluh limaan. Saya ingat pernah masuk ruangannya dan berkata kepadanya, "Kate, kamu tidak pernah berteriak." Balasnya, "Yah, aku menemukan selalu ada cara yang baik untuk menghadapi sesuatu." Itu betul-betul mengubah saya. Saya menyaksikan profesionalismenya, caranya yang sangat positif dan membangun dalam menghadapi orang. Saya juga memahami visinya.
Kita melihat editor memberi manfaat kepada penulis. Perhatikanlah para penulis yang tulus berterima kasih pada editor, itu bukti bahwa sebagai orang luar, editor bisa memberi masukan berharga baik pada naskah dan gagasan penulis. Editor dan penulis merupakan tim; editor idealnya bisa memberi pendapat pada naskah dan memberi masukan untuk keperluan penulis, apalagi demi kepentingan bersama. Dari dulu saya yakin bahwa bila idenya menarik, sebuah naskah sebenarnya bisa dinegosiasikan buat diterbitkan, meski kita tahu pertaruhan penerbit banyak dan mereka menuntut editornya untuk bekerja lebih hebat mendatangkan keuntungan.
3/ Belajar terus dari sesama penulis dan editor. Kemungkinan ini terbuka luas sekali, apalagi interaksi antarindividu sekarang bisa terjadi begitu mudah. Pelajaran bisa dipetik di mana-mana. Kita bisa belajar apa saja, mulai dari penulisan hingga marketing. Saya mendapat manual editing dari Yuliani, tahu Karp dari Sari Meutia, tahu cara editor fiksi menilai naskah dari Hetih Rusli, masih sering membaca tulisan Hernowo, dan tahu makna menciptakan buku beserta proses penulisannya dari sejumlah penulis.
4/ Editor harus berani mengungkapkan apa yang menurut pemikirannya benar, tapi harus mampu menyampaikan pendapatnya dengan baik. Perhatikan cara editor menghadapi penulis dengan baik. Kematangan Kate Medina bisa menjadi teladan. Atau editor harus menguasai EQ dengan baik. Keberanian frontal hanya akan menciptakan musuh dan membuat sebagian orang antipati, ini bisa menjadi bumerang. Sebab sebagian editor lain kurang tahan kritik, begitu juga dengan penulis. Kalau sudah begini, bisa menimbulkan konflik. Pelajarilah cara menyampaikan kritik yang baik, sepahit apa pun itu. Meski maksudnya baik, jangan sampai kritik jadi ajang menjelek-jelekkan.
Contoh: Saya berpendapat ejaan kata untuk pekerjaan itu ialah 'karir', bukan 'karier', sebab 'karier' artinya 'pengangkut' atau dalam konteks biologi ialah gen pembawa sifat cacat.
5/ Berusaha menikmati dan menyelami segala jenis buku. Betul spesialisasi tampaknya penting, tapi saya pikir menikmati segala jenis buku akan memperkaya khazanah dan makin mengasah kemampuan berbahasa seorang editor, ujung-ujungnya akan membuat dirinya awas betapa cara bertutur, menyampaikan, dan mengungkapkan gagasan itu dinamik dan terus berkembang. Setelah sejak awal saya tertarik fiksi dan agama, akhir-akhir ini saya tertarik dengan buku-buku nonfiksi seputar kreativitas dan manajerial. Ternyata banyak sekali buku kreativitas yang sangat bermakna, misal Whatever You Think, Think The Opposite karya Paul Arden. Kita bisa belajar menulis provokatif dari buku seperti itu, membolak-balikkan logika, dan menantang kejumudan berpikir.
Terkait dengan itu semua, editor harus terus melatih kompetensi yang relevan dengan pekerjaannya, baik menguasai perangkat penulis, menganalisis naskah, mulai dari kreativitas hingga referensi, apalagi membaca dan menulis. Karena terus berhubungan dengan teks dan gagasan, editor mestinya menikmati permainan bahasa, mengotak-atik, bereksperimen, mencoba berbagai kemungkinan. Kalau setiap editor punya semangat belajar dan berlatih, saya yakin industri perbukuan akan terus dinamik, dan generasi baru editor hebat akan terus lahir.[]
Anwar Holid kini bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
PS: Pointer dari esai ini saya presentasikan di pertemuan Writing for Editors, penerbit Mizan, Bandung, 19 Mei 2010.
Monday, May 17, 2010
Wawancara dengan Ferenc Barnas, Penulis The Ninth
---Anwar Holid
"Barnas itu nama yang familiar bagi orang Sunda," demikian kata Ahda Imran, wartawan Pikiran Rakyat waktu mengantarkan diskusi The Ninth di Rumah Buku/Kineruku, Bandung pada Maret lalu. Sebagian orang bisa menggunakan variasi nama itu, misalnya Subarnas. Tapi memang asosiasi orang Indonesia terhadap nama "Ferenc" biasanya menyatu dengan "Puskas"---seorang pemain sepakbola legendaris.
Ferenc Barnas datang ke Indonesia pada 5 hingga 24 Maret 2010. Dia berencana menghadiri publisitas bukunya di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Namun ternyata acara di Jakarta akhirnya batal, jadi dia bisa lebih lama tinggal di Yogyakarta. Di sana dia sempat ke pantai Kukup, sebuah pantai yang kurang terkenal dan lokasinya lebih jauh lagi dibandingkan Parangtritis. Dari Yogya, dia ke Bandung bersama Katalin B. Nagy yang menyelaraskan terjemahan novelnya pada bahasa Hongaria. Ini merupakan kunjungan pertama Barnas ke Bandung, sementara bagi Katalin yang kedua.
"Saya suka cuaca Bandung," kata Ferenc. "Lebih sejuk dari Yogyakarta." Benar, apalagi Bandung hari-hari itu sering disergap hujan. Kami berharap pada Sabtu pagi cuaca cerah, jadi bisa ke PRFM dengan lebih segar. Benar, esoknya cuaca cerah, dan talkshow berjalan lancar. Waktu pulang menjelang waktu makan siang, kami lewat jalan Pasirkaliki, yang lurus mengarah ke gunung Tangkuban Parahu di daerah Lembang.
"Itu gunung apa?" tanya Ferenc menunjuk gunung yang puncaknya datar. Saya berusaha memberi tahu kenapa gunung itu bernama Tangkuban Parahu dan dongeng Sangkuriang-Dayang Sumbi yang mengawalinya, sampai merasa betapa pengetahuan saya pada local wisdom ternyata kurang.
Dari Bandung, Ferenc ke Jogja untuk melanjutkan publisitas di The Ninth di Lembaga Indonesia-Prancis. Wawancara berlangsung setelah dia kembali ke Hongaria.
_____________________________________
Detail Buku
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Penulis: Ferenc Barnás
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Penerbit: GPU, Februari 2010
Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover
ISBN 978-979-22-5459-4
______________________________________
* Apa komentar Anda terhadap Indonesia setelah hampir sebulan berada di sini?
Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat mengasyikkan (exciting). Saya berani menyatakan itu walaupun kali ini saya hanya berkunjung ke Bandung dan Yogyakarta. Saya sangat terkesan oleh kebaikan hati, kesopanan orang, dan keeleganan yang saya temui di mana-mana. Dunia, yaitu dunia "luas," sebenarnya sangat memerlukan sifat-sifat seperti itu terhadap segala hal, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya saya bisa sering mendapatkan tawa dan senyum di Eropa juga, saya pasti menjadi senang. Tingkat budaya bisa diukur dengan berbagai cara: yang saya sebut tadi merupakan salah satu yang saya nilai penting, bahkan mungkin paling penting.
* Apa Anda puas dengan respons publik Indonesia terhadap The Ninth maupun rasa penasaran mereka terhadap Anda sebagai pribadi?
Respons publik Indonesia di luar dugaan saya, dan bukan hanya karena saya melihat buku Anak Kesembilan muncul di antara buku "bestseller" di beberapa toko buku Yogyakarta misalnya. Di sini saya perlu menegaskan peran Gramedia Pustaka Utama: pendekatan profesional dan teliti terhadap novel saya. Saya sangat menghargai sikap para pegiat Rumah Buku di Bandung---mereka menyelenggarakan acara diskusi buku yang serius sekali, dan syukur menarik perhatian banyak orang. Di Bandung juga, wartawan dan penyiar PR FM Intan Puspita, pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan hebat kepada Anda, sebagai penyunting naskah, Katalin B. Nagy, sebagai penyelaras pada naskah asli, dan kepada saya sepanjang satu setengah jam.
Acara diskusi buku yang sama asyiknya pernah diadakan di Lembaga Indonesia-Prancis (LIP) di Yogyakarta, di mana penerjemah ulung (excellent), Saphira Zoelfikar juga hadir. Pada acara tersebut Anda juga berbicara mengenai tantangan dan masalah yang dihadapi selama proses penyuntingan buku Anak Kesembilan. Di sini juga hadir beberapa wartawan, di antaranya Francisca Purnawijayanti, wakil redaktur majalah Basis, yang pada kemudian hari mewawancarai saya dengan saksama. Dan tentu masih bisa menyebutkan beberapa nama lain, misalnya Pak Guru (J. Sumardianta), salah satu kritikus buku terkemuka di Indonesia. Saya sempat berdialog dengan dia secara menarik sebelum acara di LIP. Rasa simpati yang telah diarahkan kepada saya lebih dari mengharukan.
* Apa Anda punya harapan khusus terhadap penerbitan The Ninth di Indonesia?
Kenyataan bahwa novel Anak Kesembilan bisa terbit di Indonesia sudah sebuah pemenuhan harapan khusus. Semua yang akan terjadi pada selanjutnya adalah sesuatu tambahan yang istimewa (extra).
* Secara umum, Aspek apa yang menurut Anda paling menarik dari tanggapan publik Indonesia terhadap The Ninth?
Pertanyaan yang tertuju pada makna dan unsur spiritual, komentar berhubungan dengan batin manusia yang kompleks bisa dikatakan paling khas. Bisa saya akui bahwa karakter tanggapan serupa sangat menyenangkan.
* Selama acara publisitas The Ninth di Indonesia, apa rasa ingin tahu (penasaran) publik Indonesia berbeda dengan publik Hongaria dan pembaca edisi Inggris?
Komentar publik pada acara diskusi buku alamiah (natural) sekali. Berarti bukan berbau ilmiah, dan itu biasanya bermanfaat pada karya sastra. Dan menarik juga bahwa para komentator menjelaskan pikiran dan pendekatan orisinil dengan cara yang sering sangat orisinil juga. Seorang sastrawan profesional di Hongaria mungkin akan menghabiskan banyak waktu dengan memposisikan novel Anak Kesembilan ke dalam konteks sejarah sastra dan sejarah resepsi, dan aspek itu sendiri memang penting... Penilaian terhadap publik Amerika Serikat secara umum sulit dilakukan karena sangat anekaragam: ada yang mirip Indonesia, ada yang mirip Hongaria, dan mirip lainnya...
* Pernahkah ada review buruk (bad review) terhadap The Ninth? Bagaimana tanggapan Anda?
Menarik juga bahwa walaupun sudah lebih dari tiga puluh resensi buku pernah diterbitkan berhubungan dengan A kilencedik (dalam bahasa Hongaria, Inggris, Indonesia, Vietnam), tak ada di antaranya yang berkesimpulan negatif terhadapnya. Tentu saja ada beberapa kritikus yang pernah mengutarakan pendapat bermacam-macam, dan sebagian di antaranya tak saya setujui, tetapi itu hal biasa. Pendapat berbeda pun tak mengandung penilaian negatif yang mungkin beralasan pada dunia novel Anak Kesembilan.
* Hampir semua orang Indonesia penasaran kenapa novel ini berjudul The Ninth (Anak Kesembilan). Anda juga bersikukuh tidak ada alasan khusus terhadap angka sembilan, termasuk bagi masyarakat Hongaria. Anda malah menunjukkan pentingnya Simfoni Ke-9 (The Symphony No. 9) karya Beethoven. Seberapa besar pengaruh Beethoven pada Anda?
Simfoni ke-9 oleh Beethoven sampai hari ini sangat berpengaruh pada kehidupan saya. Tetapi karya ini hanya berhubungan sangat jauh dengan novel saya, yaitu melalui ide "persahabatan"---itu pun cenderung merupakan penyimpangan daripada kenyataan. Waktu saya mencari judul, saya tak pernah memikirkan karya Beethoven yang hebat itu. Mungkin perkataan saya sebelumnya pernah melahirkan kesalahpahaman, karena angka sembilan dalam novel Anak Kesembilan memang punya makna penting, walaupun---seperti pernah saya sebut---saya baru menemukan judul ini setelah proses penulisan sudah selesai. Jadi, saya pilih judul A kilencedik ('kesembilan') karena narator berusia 9 tahun, narator adalah anak ke-9 di antara saudaranya, novel terdiri dari 9 bab, janin berada dalam rahim ibunya selama 9 bulan, karena kalau angka 9 dikalikan dengan angka apa saja, kemudian hasil angka tersebut dijumlahkan, hasilnya selalu angka 9 (misalnya 5x9=45: 4+5=9, dsb.); karena dalam budaya Yunani, Tionghoa, Buddha, Yahudi angka 9 punya makna penting: karena narator punya 9 jari utuh (yang ke-10 cacat); karena pengambaran karakter si narator berumur 9 tahun terjadi di antaranya melalui angka (lihat misalnya: "Aku sangat mencintai angka," kata narator tentang dirinya).
* Seberapa penting peran editor bagi karir kepenulisan Anda? Apa Anda sering diskusi dengan editor naskah Anda?
Peran penyunting sangat penting dalam proses pembuatan buku. Beberapa hal hanya dilihat atau bisa dilihat olehnya, karena penyunting adalah seorang luar (outsider). Tetapi saya hanya menunjukkan karya kepadanya setelah saya merasa sudah selesai menulis karya. Baru setelah itu kami mulai melakukan "penyiangan" dan koreksi.
* Ada sejumlah novel dengan sudut pandang anak kecil. Novel dengan subjek anak kecil apa yang paling mengesankan buat Anda? Mengapa?
Seorang narator kanak-kanak dapat membantu kita untuk melihat berbagai hal seolah memandang dunia di sekitar untuk pertama kali; dan jika penulis berhasil, juga memungkinkan menangkap dunia yang baru pertama kali dilihat itu secara mental dengan "kata-kata pertama". Maksudnya, perspektif kanak (kekanak-kanakan) memungkinkan lahirnya sebuah cerita asal (story of origin) dengan cara orisinil. Biarkan pembaca untuk menilai sejauh mana maksud penulis berhasil.
* Apa Anda juga akan mengusahakan agar dua novel Anda diterbitkan dalam bahasa Indonesia?
Mungkin novel kedua yang berjudul Bagatell bisa diupayakan. Tetapi untuk memikirkan saja masih belum waktunya...
* Dari segi musik selama dalam acara publisitas The Ninth, mana yang lebih Anda sukai: Ryan Tracy, Yopi dan kawan-kawan, atau Michael Asmara?
Karya Michael Asmara sebagai komposisi musik sangat dekat pada hati saya, dia mengikuti jalur tradisi musik kontemporer yang buat saya, sebagai pendengar, sangat menentukan. Tentu saya berusaha berpikir mengenai itu sebagai penulis juga. Karya Ryan Tracy adalah sebuah adaptasi alinea pertama dari The Ninth untuk piano dan vokal, yaitu transformasi teks menjadi karya musik. Oleh karena itu buat saya lebih daripada sebuah komposisi musik, tetapi lepas dari kenyataan itu, saya sangat menyukainya. Sebagai interpretasi, musik dalam performance Yopi Setia Umbara juga mempunyai pesona misterius sendiri.
* Secara teknis, bagaimana cara Anda menyelesaikan proyek penulisan novel?
Saya memikir-mikirkan sesuatu yang saya berusaha atau mencoba catat terus, dan yang sangat lama---lima sampai enam tahun---kemudian baru menjadi jelas apa sebenarnya.
* Apa Anda pernah secara khusus mengikuti program 'creative writing'?
Tidak, apalagi di Eropa program 'creative writing' tidak atau belum selazim seperti di Amerika Serikat atau mungkin di Indonesia...
* Apa Anda sudah memulai proyek penulisan novel keempat? Tentang apa subjeknya?
Ya, saya sudah memulai. Mengenai temanya mungkin kita dapat bicarakan lain kali saja, setelah karya tersebut sudah selesai ditulis.[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
---Anwar Holid
"Barnas itu nama yang familiar bagi orang Sunda," demikian kata Ahda Imran, wartawan Pikiran Rakyat waktu mengantarkan diskusi The Ninth di Rumah Buku/Kineruku, Bandung pada Maret lalu. Sebagian orang bisa menggunakan variasi nama itu, misalnya Subarnas. Tapi memang asosiasi orang Indonesia terhadap nama "Ferenc" biasanya menyatu dengan "Puskas"---seorang pemain sepakbola legendaris.
Ferenc Barnas datang ke Indonesia pada 5 hingga 24 Maret 2010. Dia berencana menghadiri publisitas bukunya di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Namun ternyata acara di Jakarta akhirnya batal, jadi dia bisa lebih lama tinggal di Yogyakarta. Di sana dia sempat ke pantai Kukup, sebuah pantai yang kurang terkenal dan lokasinya lebih jauh lagi dibandingkan Parangtritis. Dari Yogya, dia ke Bandung bersama Katalin B. Nagy yang menyelaraskan terjemahan novelnya pada bahasa Hongaria. Ini merupakan kunjungan pertama Barnas ke Bandung, sementara bagi Katalin yang kedua.
"Saya suka cuaca Bandung," kata Ferenc. "Lebih sejuk dari Yogyakarta." Benar, apalagi Bandung hari-hari itu sering disergap hujan. Kami berharap pada Sabtu pagi cuaca cerah, jadi bisa ke PRFM dengan lebih segar. Benar, esoknya cuaca cerah, dan talkshow berjalan lancar. Waktu pulang menjelang waktu makan siang, kami lewat jalan Pasirkaliki, yang lurus mengarah ke gunung Tangkuban Parahu di daerah Lembang.
"Itu gunung apa?" tanya Ferenc menunjuk gunung yang puncaknya datar. Saya berusaha memberi tahu kenapa gunung itu bernama Tangkuban Parahu dan dongeng Sangkuriang-Dayang Sumbi yang mengawalinya, sampai merasa betapa pengetahuan saya pada local wisdom ternyata kurang.
Dari Bandung, Ferenc ke Jogja untuk melanjutkan publisitas di The Ninth di Lembaga Indonesia-Prancis. Wawancara berlangsung setelah dia kembali ke Hongaria.
_____________________________________
Detail Buku
Judul: The Ninth (Anak Kesembilan)
Penulis: Ferenc Barnás
Penerjemah: Saphira Zoelfikar
Penerbit: GPU, Februari 2010
Tebal: 296 hal.; 13.5 x 20 cm; soft cover
ISBN 978-979-22-5459-4
______________________________________
* Apa komentar Anda terhadap Indonesia setelah hampir sebulan berada di sini?
Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat mengasyikkan (exciting). Saya berani menyatakan itu walaupun kali ini saya hanya berkunjung ke Bandung dan Yogyakarta. Saya sangat terkesan oleh kebaikan hati, kesopanan orang, dan keeleganan yang saya temui di mana-mana. Dunia, yaitu dunia "luas," sebenarnya sangat memerlukan sifat-sifat seperti itu terhadap segala hal, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Seandainya saya bisa sering mendapatkan tawa dan senyum di Eropa juga, saya pasti menjadi senang. Tingkat budaya bisa diukur dengan berbagai cara: yang saya sebut tadi merupakan salah satu yang saya nilai penting, bahkan mungkin paling penting.
* Apa Anda puas dengan respons publik Indonesia terhadap The Ninth maupun rasa penasaran mereka terhadap Anda sebagai pribadi?
Respons publik Indonesia di luar dugaan saya, dan bukan hanya karena saya melihat buku Anak Kesembilan muncul di antara buku "bestseller" di beberapa toko buku Yogyakarta misalnya. Di sini saya perlu menegaskan peran Gramedia Pustaka Utama: pendekatan profesional dan teliti terhadap novel saya. Saya sangat menghargai sikap para pegiat Rumah Buku di Bandung---mereka menyelenggarakan acara diskusi buku yang serius sekali, dan syukur menarik perhatian banyak orang. Di Bandung juga, wartawan dan penyiar PR FM Intan Puspita, pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan hebat kepada Anda, sebagai penyunting naskah, Katalin B. Nagy, sebagai penyelaras pada naskah asli, dan kepada saya sepanjang satu setengah jam.
Acara diskusi buku yang sama asyiknya pernah diadakan di Lembaga Indonesia-Prancis (LIP) di Yogyakarta, di mana penerjemah ulung (excellent), Saphira Zoelfikar juga hadir. Pada acara tersebut Anda juga berbicara mengenai tantangan dan masalah yang dihadapi selama proses penyuntingan buku Anak Kesembilan. Di sini juga hadir beberapa wartawan, di antaranya Francisca Purnawijayanti, wakil redaktur majalah Basis, yang pada kemudian hari mewawancarai saya dengan saksama. Dan tentu masih bisa menyebutkan beberapa nama lain, misalnya Pak Guru (J. Sumardianta), salah satu kritikus buku terkemuka di Indonesia. Saya sempat berdialog dengan dia secara menarik sebelum acara di LIP. Rasa simpati yang telah diarahkan kepada saya lebih dari mengharukan.
* Apa Anda punya harapan khusus terhadap penerbitan The Ninth di Indonesia?
Kenyataan bahwa novel Anak Kesembilan bisa terbit di Indonesia sudah sebuah pemenuhan harapan khusus. Semua yang akan terjadi pada selanjutnya adalah sesuatu tambahan yang istimewa (extra).
* Secara umum, Aspek apa yang menurut Anda paling menarik dari tanggapan publik Indonesia terhadap The Ninth?
Pertanyaan yang tertuju pada makna dan unsur spiritual, komentar berhubungan dengan batin manusia yang kompleks bisa dikatakan paling khas. Bisa saya akui bahwa karakter tanggapan serupa sangat menyenangkan.
* Selama acara publisitas The Ninth di Indonesia, apa rasa ingin tahu (penasaran) publik Indonesia berbeda dengan publik Hongaria dan pembaca edisi Inggris?
Komentar publik pada acara diskusi buku alamiah (natural) sekali. Berarti bukan berbau ilmiah, dan itu biasanya bermanfaat pada karya sastra. Dan menarik juga bahwa para komentator menjelaskan pikiran dan pendekatan orisinil dengan cara yang sering sangat orisinil juga. Seorang sastrawan profesional di Hongaria mungkin akan menghabiskan banyak waktu dengan memposisikan novel Anak Kesembilan ke dalam konteks sejarah sastra dan sejarah resepsi, dan aspek itu sendiri memang penting... Penilaian terhadap publik Amerika Serikat secara umum sulit dilakukan karena sangat anekaragam: ada yang mirip Indonesia, ada yang mirip Hongaria, dan mirip lainnya...
* Pernahkah ada review buruk (bad review) terhadap The Ninth? Bagaimana tanggapan Anda?
Menarik juga bahwa walaupun sudah lebih dari tiga puluh resensi buku pernah diterbitkan berhubungan dengan A kilencedik (dalam bahasa Hongaria, Inggris, Indonesia, Vietnam), tak ada di antaranya yang berkesimpulan negatif terhadapnya. Tentu saja ada beberapa kritikus yang pernah mengutarakan pendapat bermacam-macam, dan sebagian di antaranya tak saya setujui, tetapi itu hal biasa. Pendapat berbeda pun tak mengandung penilaian negatif yang mungkin beralasan pada dunia novel Anak Kesembilan.
* Hampir semua orang Indonesia penasaran kenapa novel ini berjudul The Ninth (Anak Kesembilan). Anda juga bersikukuh tidak ada alasan khusus terhadap angka sembilan, termasuk bagi masyarakat Hongaria. Anda malah menunjukkan pentingnya Simfoni Ke-9 (The Symphony No. 9) karya Beethoven. Seberapa besar pengaruh Beethoven pada Anda?
Simfoni ke-9 oleh Beethoven sampai hari ini sangat berpengaruh pada kehidupan saya. Tetapi karya ini hanya berhubungan sangat jauh dengan novel saya, yaitu melalui ide "persahabatan"---itu pun cenderung merupakan penyimpangan daripada kenyataan. Waktu saya mencari judul, saya tak pernah memikirkan karya Beethoven yang hebat itu. Mungkin perkataan saya sebelumnya pernah melahirkan kesalahpahaman, karena angka sembilan dalam novel Anak Kesembilan memang punya makna penting, walaupun---seperti pernah saya sebut---saya baru menemukan judul ini setelah proses penulisan sudah selesai. Jadi, saya pilih judul A kilencedik ('kesembilan') karena narator berusia 9 tahun, narator adalah anak ke-9 di antara saudaranya, novel terdiri dari 9 bab, janin berada dalam rahim ibunya selama 9 bulan, karena kalau angka 9 dikalikan dengan angka apa saja, kemudian hasil angka tersebut dijumlahkan, hasilnya selalu angka 9 (misalnya 5x9=45: 4+5=9, dsb.); karena dalam budaya Yunani, Tionghoa, Buddha, Yahudi angka 9 punya makna penting: karena narator punya 9 jari utuh (yang ke-10 cacat); karena pengambaran karakter si narator berumur 9 tahun terjadi di antaranya melalui angka (lihat misalnya: "Aku sangat mencintai angka," kata narator tentang dirinya).
* Seberapa penting peran editor bagi karir kepenulisan Anda? Apa Anda sering diskusi dengan editor naskah Anda?
Peran penyunting sangat penting dalam proses pembuatan buku. Beberapa hal hanya dilihat atau bisa dilihat olehnya, karena penyunting adalah seorang luar (outsider). Tetapi saya hanya menunjukkan karya kepadanya setelah saya merasa sudah selesai menulis karya. Baru setelah itu kami mulai melakukan "penyiangan" dan koreksi.
* Ada sejumlah novel dengan sudut pandang anak kecil. Novel dengan subjek anak kecil apa yang paling mengesankan buat Anda? Mengapa?
Seorang narator kanak-kanak dapat membantu kita untuk melihat berbagai hal seolah memandang dunia di sekitar untuk pertama kali; dan jika penulis berhasil, juga memungkinkan menangkap dunia yang baru pertama kali dilihat itu secara mental dengan "kata-kata pertama". Maksudnya, perspektif kanak (kekanak-kanakan) memungkinkan lahirnya sebuah cerita asal (story of origin) dengan cara orisinil. Biarkan pembaca untuk menilai sejauh mana maksud penulis berhasil.
* Apa Anda juga akan mengusahakan agar dua novel Anda diterbitkan dalam bahasa Indonesia?
Mungkin novel kedua yang berjudul Bagatell bisa diupayakan. Tetapi untuk memikirkan saja masih belum waktunya...
* Dari segi musik selama dalam acara publisitas The Ninth, mana yang lebih Anda sukai: Ryan Tracy, Yopi dan kawan-kawan, atau Michael Asmara?
Karya Michael Asmara sebagai komposisi musik sangat dekat pada hati saya, dia mengikuti jalur tradisi musik kontemporer yang buat saya, sebagai pendengar, sangat menentukan. Tentu saya berusaha berpikir mengenai itu sebagai penulis juga. Karya Ryan Tracy adalah sebuah adaptasi alinea pertama dari The Ninth untuk piano dan vokal, yaitu transformasi teks menjadi karya musik. Oleh karena itu buat saya lebih daripada sebuah komposisi musik, tetapi lepas dari kenyataan itu, saya sangat menyukainya. Sebagai interpretasi, musik dalam performance Yopi Setia Umbara juga mempunyai pesona misterius sendiri.
* Secara teknis, bagaimana cara Anda menyelesaikan proyek penulisan novel?
Saya memikir-mikirkan sesuatu yang saya berusaha atau mencoba catat terus, dan yang sangat lama---lima sampai enam tahun---kemudian baru menjadi jelas apa sebenarnya.
* Apa Anda pernah secara khusus mengikuti program 'creative writing'?
Tidak, apalagi di Eropa program 'creative writing' tidak atau belum selazim seperti di Amerika Serikat atau mungkin di Indonesia...
* Apa Anda sudah memulai proyek penulisan novel keempat? Tentang apa subjeknya?
Ya, saya sudah memulai. Mengenai temanya mungkin kita dapat bicarakan lain kali saja, setelah karya tersebut sudah selesai ditulis.[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Monday, May 10, 2010
[HALAMAN GANJIL]
Bekerja Keras Sampai Mati
---Anwar Holid
When work is a pleasure, life is a joy! When work is a duty, life is slavery.
---Maxim Gorky
Pagi-pagi sekitar pukul 06.35 tiap kali sempat mengantar anak menunggu jemputan sekolahnya, aku antara lain menyaksikan pemandangan ini: penjual bandros (kue pancong) sudah duduk di tengah-tengah pikulannya, menyiapkan dagangan di pinggir mulut gang rumahku. Di sampingnya ada penjual lontong kare. Penjual nasi uduk dan nasi kuning mendorong gerobak ke pinggir jalan, siap-siap menjual masakan yang kata dia sudah disiapkan sejak 03.00 dini hari. Tukang gorengan mulai membersihkan kios dan menaruh adonan masakannya. Tukang sampah memilih-milih barang yang kira-kira masih punya nilai jual. Sementara tukang ojek sudah pada mulai ngumpul menunggu pelanggan sambil bersedekap menahan dingin, baik dengan minum kopi dan nonton televisi yang mereka simpan di pangkalan. Di pinggir-pinggir jalan sebagian orang juga mulai berangkat kerja, baik mengenakan seragam kaku seperti buruh pabrik atau PNS atau baju-baju segar bagi perempuan, baik yang terbuka maupun berjilbab. Angkot sudah berseliweran, mobil-mobil mulai melaju. Orang-orang sudah mandi, bergegas menuju tempat produksi untuk mencari rezeki. Yang belum buka ialah beberapa warung, tempat foto kopi, juga penjual air isi ulang. Sementara tukang bubur ayam sudah dikerubuti banyak orang dari tadi, terutama mahasiswa.
Setiap kali memandangi tontonan seperti itu, aku membatin: ternyata banyak sekali orang yang sudah siap-siap kerja keras. Di antara mereka bahkan ada yang sudah benar-benar membanting tulang sejak sebelum subuh. Sementara pekerja 9 to 5 biasanya baru bangun setelah subuh. Aku sendiri pada waktu seperti itu biasanya (1) belum mandi, (2) sudah terbangun sejak dini hari, (3) belum siap kembali bekerja untuk mencari nafkah. Tapi tidak selalu begitu. Ada kala aku benar-benar baru bangun setelah subuh, setelah kepayahan menahan kantuk ketika bangun dini hari, sampai akhirnya menyerah oleh dingin pagi dan kembali tewas tertidur lagi. Memang susah melawan alam. Malam sampai pagi idealnya untuk bobok, bukan buat kerja atau begadang. Sedangkan siang merupakan waktu terbaik untuk bekerja, sebab biasanya kita juga terjaga, segar, bersemangat.
Sehabis mengantar anak, aktivitas paling biasa yang aku lakukan ialah mencuci piring dan perabot masak, dan kalau lihat rice cooker kosong, aku segera membuat nasi. Kalau lagi eling, aku tambah dengan menyapu. Tapi jujur itu sangat jarang. Aku bahkan suka keberatan menyiram tanaman peliharaan istriku, sebab menurutku itu tanggung jawab dia. Sehabis di dapur aku baru berusaha segera mandi. Kadang-kadang sekalian dengan merendamkan cucian. Tapi kalau keadaan lagi terasa menekan, itu juga aku abaikan. Begitu selesai mandi, ganti baju buat kerja, aku lihat jam di hp, waktu menunjukkan pukul 08.45, atau karena ditambah ini-itu, jam digital menunjukkan sudah lebih dari pukul 09.00
"Waduh, sudah jam segitu lagi euy..." batinku. Aku merasa kurang sigap untuk segera kembali bekerja mencari nafkah.
Pola kerjaku memang cukup berubah setelah jadi pekerja bayaran. Dulu waktu masih ngantor, aku juga sudah harus siap-siap sejak setelah subuh. Kantorku dulu masuk pukul 07. Sekarang aku tidak seperti itu. Tapi poinnya bukan itu, melainkan bagaimana kita tetap harus bekerja keras atau berusaha sebaik-baiknya, untuk menjadi orang persis slogan basi ini: TO BE THE BEST. Kini, aku sering menemani anak-anakku tidur awal, dengan harapan bisa sekalian istirahat dan pada dini hari terbangun, atau sengaja pasang alarm. Tapi kejadiannya suka konyol dan menyedihkan. Betul aku bangun cepat setelah tidur sekitar empat jam, tapi bukannya segera pemanasan atau siap-siap mulai kerja, seringnya aku malah kedinginan, tetap kalah oleh rasa kantuk, dan akhirnya terbaring sambil memasang selimut lebih rapat. Walhasil, jam tidurku jadi terlalu panjang.
Kita suka baca berita seorang kiayi hanya butuh empat jam sehari buat seluruh aktivitasnya. Seorang kawanku yang jadi direktur perusahaan menurut sopirnya biasa pulang pukul 12 malam, setelah berangkat dari rumah sekitar pukul 09. Aku salut dengan semangat kerja kerasnya untuk mencapai sukses, meski dia menjawab santai: "Bukan untuk sukses, inginnya sih untuk aktualisasi." Mungkin harus begitu orang bekerja keras, biar pencapaian mengagumkan dan membanggakan.
Aku merasa masih kurang bekerja keras, meskipun beberapa kawanku bilang, "Santai saja, hidup mah buat dinikmati." Aku suka ingin menikmati hidup secara maksimal, tapi kata orang itu menunjukkan aku malas, mudah terpecah konsentrasi atau impulsif. Apa?! Kenapa orang bisa bilang seenaknya buat menonjok lawan bicara?
Karena kerja di rumah, aku bisa dipanggil untuk apa saja atau pintu kamar kerjaku diketuk terus-terusan, sampai akhirnya dibuka. Inilah kenapa aku bilang kerja di rumah dan kantor itu sama saja. Tantangannya khas dan harus dihadapi dengan baik. Di rumah, tantangannya ialah orang dan lingkungan terdekat. Aku suka merasa terganggu kalau dipanggil-panggil atau diminta ini-itu. Bisa jadi aku baru siap-siap duduk untuk mulai kerja, atau berusaha mengumpulkan bahan kerja. Aku bilang dengan nada keras, "Gimana sih, aku baru saja mau duduk, sudah disela lagi. Orang lain mah sudah sejak tadi pagi kerja. Bayangkan kalau kita enggak punya penghasilan." Ucapan itu terlalu kaku, sebab toh kadang-kadang aku merasa baik-baik saja bila disela oleh baca info atau pilih-pilih mp3. Bukankah itu juga bisa mengurangi produktivitas?
Mungkin aku terlalu khawatir dan terdesak ancaman. Atau sebenarnya bingung sebab sulit secara fleksibel menentukan kerja keras itu apa atau gagal memastikan sebenarnya visi besarku sebagai tentara bayaran itu apa. Apa aku semata-mata melayani para pemberi order dengan memperlihatkan kinerja hebat atau harus juga memikirkan aspek yang cukup jauh, katakanlah pelanggan hasil kerjaku itu.
Aku tahu kerja keras tidak identik dengan banting tulang atau kerja fisik habis-habisan, tapi juga yakin kerja keras sering berhubungan signifikan dengan penghasilan ataupun iman, meski itu relatif dan dipengaruhi faktor lain. Ada rahasia kenapa seseorang bisa begitu sukses berkat kerja keras, namun orang lain mendapat sedikit saja. Bisa jadi dia menyembunyikan sesuatu atau bisa saja dia cerita apa pun untuk mengagung-agungkan kerja keras---baik atas nama berkah Tuhan ataupun tiada lelah bersusah payah. Sama halnya aku cukup yakin bahwa kemiskinan nyaris tidak terkait dengan keimanan. Kata pakar manajemen, sukses dan kerja keras terkait dengan budaya dan dukungan orang sekitar. Menurut Malcolm Gladwell, kerja keras dan sukses terutama dipengaruhi oleh "hukum 10.000 jam" (berlangsung sekitar sepuluh tahunan), ditambah faktor kondisi (status dan budaya) keluarga, kawan sebaya, atau klik-klik yang menjaga orang bisa tambah sukses.
Memperhatikan diri sendiri, aku merasa kurang bekerja lebih keras dan itu kerap membuat aku merasa masih "begini-begini saja." Sebagian orang beranggapan ini terkait dengan rasa haus akan kesuksesan, penghasilan, harta benda, terus-menerus merasa kurang dan miskin. Aku sulit mengiyakan anggapan ini sebab menurutku ada standar yang sebaiknya terpenuhi, bila tidak diri kita sendiri yang akan kepayahan dan hidup jadi lebih merepotkan. Kecuali kalau kita mau sederhana, menyetop kebutuhan, mengubur keinginan terhadap kepemilikan dalam arti kere dan papa, tanpa apa-apa serta harta benda---bukan sederhana yang 'tricky.'
Jelas standar tiap orang beda-beda, tapi benang merahnya ada, yaitu orang harus bekerja karena ada alasan mulia di sana. Setiap orang pun punya definisi, keyakinan, nilai, maupun komentar khas terhadap kerja keras. Kadang-kadang kerja keras bisa dimotivasi, meski seorang manajer SDM bilang training itu hanya berpengaruh sedikit terhadap kesadaran seseorang akan kerja keras. Idealnya niat kerja keras itu muncul di dalam diri sendiri, tidak dibangkitkan orang lain. Tapi harus diakui ada kala seseorang bisa bangkit etos kerja kerasnya karena didorong orang lain, katakanlah manajer, istri, anak, ibu, bahkan oleh persaingan dan dendam. Kita sering baca karyawan terpacu motivasi bekerja keras oleh direktur atau semangat yang dibangun budaya perusahaan. Seorang pemain bola veteran yang mungkin putus bisa saja cemerlang setelah bertemu dengan manajer hebat. Tapi ada kala seorang direktur juga kagum pada pengabdian karyawan rendahannya, dan itu bisa membuatnya bekerja tambah keras---padahal hasil mereka jelas beda.
Kadar kerja keras juga lain-lain, bisa jadi berlumur dengan pengabdian, tuntutan, aksi sok pamer, bahkan berisiko cedera. Orang bisa kerja keras karena ada iming-iming bonus berlipat atau janji jalur jabatan, fasilitas, dan kekuasaan di masa depan, ingin membuktikan pada orang lain bahwa dirinya pun bisa menunjukkan performa hebat, mampu, sulit diremehkan. Seorang pemain bola bisa bekerja demikian keras untuk kemenangan tim maupun kehebatan dirinya, sampai tak peduli dirinya sakit, tahu-tahu dalam pertandingan yang menentukan dia cedera atau bentrokan dengan lawan begitu kasar sampai membuat kakinya patah atau lututnya copot. Seorang tukang bangunan bisa bekerja demikian keras, sampai dia celaka, dan setelah cacat permanen ternyata kerjanya tak dilindungi asuransi jiwa atau kesehatan. Seorang suami bisa mengaku bekerja keras untuk kehidupan keluarga, istri, dan anak sampai tahu-tahu organ tubuhnya rusak atau ternyata pekerjaannya berlipatan dengan makelar kasus. Suami lain bisa mengaku bekerja keras, tapi ternyata istri yang ditinggal di rumah tetap kekurangan dan tidak mendapat jatah rupiah, sampai dia perlu sms teman-temannya berutang untuk membiayai keperluan anak-anaknya, sebab uang yang didapat suami habis buat entertainment atau mentraktir selingkuhan. Atau kamu bisa saja kesetanan membanting tulang, tapi di akhir ternyata sadar penghasilanmu begitu-begitu saja. Bisa jadi kamu nasibnya seperti aku. Itu contoh bahwa hidup itu bisa-bisa saja. Kita hanya dituntut sabar. Dalam hal seperti ini, kita hanya perlu menghikmati pengalaman Ayyub (Job). Meskipun sangat berat, tetap hidupnya dia jalani dengan tabah. Sebaliknya, kamu bisa celaka kapan saja selagi kerja keras dan setelah itu dicampakkan keadaan atau karirmu tamat; soal nilai dan kadar kemuliaannya hanya kamu sendiri yang tahu. Orang lain hanya bisa berempati kalau tidak berprasangka. Bisa jadi kerja keras itu tak punya bumbu sensasi, sebab yang sensasional biasanya juga berlebihan. Semua orang bekerja keras dan merasa berhak mendapat jatah terbaiknya.
Miftah Faridl (1980) berpendapat kerja keras penting sebab itu merupakan faktor utama manusia dicintai Tuhan. Tuhan mencintai manusia dengan ciri berikut ini:
1/ Punya pekerjaan untuk hidupnya.
2/ Pandai memprioritaskan pekerjaan yang penting dan tinggi nilainya.
3/ Melakukan sesuatu dengan rajin dan kontinu.
4/ Memiliki keterampilan.
5/ Banyak manfaat bagi orang lain.
Itu semua ciri bekerja keras. Ia tidak terkait dengan posisi, jabatan, penghasilan, atau anggapan seseorang. Apa pun kondisi dan status diri dan sosial kita, kita perlu bekerja keras. Untuk mendapatkan kejayaan di dunia, kamu butuh kerja keras, apalagi bila pas-pasan. Bekerja keras demi mencari nafkah itu kebaikan, dan mencarinya pun harus dengan jalan yang baik, bahkan di titik tertentu merupakan penghapus dosa, setara berjuang di jalan kebenaran. Demikian etosnya. Alangkah spiritual nilainya. Seorang Muslim (pemeluk agama Islam) bahkan boleh meninggalkan shalat tahajud bila sangat sibuk mencari harta. Padahal nilai tahajud itu hanya setingkat di bawah lima shalat wajib. Artinya, kerja keras itu setara tahajud; sebab untuk bisa melaksanakan tahajud itu cukup berat. Agama-agama lain mengajarkan nilai mulia kerja keras, punya etika kerja, sebab Tuhan benci para pemalas. Kenapa? Karena Dia sendiri aktif mencipta di mana-mana. Tapi kalau kamu bekerja keras sampai tega menelikung orang lain, mencelakai orang, membohongi diri sendiri, mencarinya lewat judi, menggandakan uang, minta jatah preman, atau korupsi, atau berbuat jahat, itu artinya melampaui batas, membuat kerja keras jadi kotor, sebab bisa jadi pemicunya ialah naluri manusia yang senang pada harta atau suka dipuja-puja.
Sekarang istilah "kerja keras" itu bulukan, sebab berkonotasi banting tulang, peluh berleleran, tapi penghasilan tetap kurang. Istilah yang kini lebih disukai ialah "work smart" (kerja cerdas). Seperti apa itu work smart? Anda harus cari jawabannya di buku-buku atau tips kerja efektif-efisien. Kalau tidak, tanyalah kepada ahli sumberdaya manusia yang bisa Anda percaya. Menurut seorang kawan, work smart itu artinya bisa menerapkan SIMPLE WORK HIGH INCOME. Work smart ialah kerja dengan praktik terbaik dan memanfaatkan talent management. Aduh, bukan kapasitasku bicara soal itu.
patah kaki akibat bekerja terlalu keras
Jujur, aku masih jauh dari work smart. Jangankan work smart, aku merasa masih kurang maksimal menggandakan kemampuan, kadang-kadang merasa bodoh dan harus belajar lebih serius, berlatih dan disiplin lebih ketat. Sebab itu tadi: beberapa kerjaku tercecer, utang-utang belum terbayar, prioritasnya lebih digerakkan uang, bukan oleh visi ke depan, sebab mewujudkan visi juga berat. Tenggat molor, hanya semangat di awal-awal, gagal mengatur waktu dengan baik. Takut ambil risiko---artinya: takut menyabet semua tawaran yang datang, apalagi yang tenggatnya mepet. Rasanya aku masih serabutan, baru sedikit mempraktikkan ajaran Paul Arden: Kerjakan saja, perbaiki sambil jalan---meski hasilnya bisa dipertanyakan. Kalau tidak percaya, tanyalah pada orang yang kecewa dengan performa kerjaku, pihak yang kecewa karena gagal mendapat sesuai harapan setelah memberi order kepadaku.
Tentu, aku juga berniat kerja cerdas, menajamkan kemampuan, penampilan meyakinkan dan tidak ditawar-tawar, berpenghasilan milyaran. Tapi ternyata aku masih seorang tentara bayaran yang kadang-kadang kuatir karirku mandek, takut lama-lama paranoid memikirkan kesuksesan, sementara pedang tumpul dan penghasilan gagal memenuhi kebutuhan. Hukum "10.000 jam" bisa jadi cuma khayalan. Ternyata bekerja keras sekalian belajar itu berat. Aku ingin meningkatkan kinerja, lebih profesional, tepat waktu, tapi mewujudkannya penuh tantangan. Mau cari tambahan ilmu biar lebih lihai, biayanya mahal. Tapi belajar sendiri juga kadang-kadang bingung memastikan sebenarnya aku sudah sampai mana? Tambah bagus atau stagnan? Tahu-tahu ubanku berjibun sementara kerja belum kelar, dan klien menunggu tidak sabar.
Pernah sewaktu semingguan tertekan mengejar deadline, aku minta jeda mengerjakan proyek lain yang lebih segera mendatangkan uang untuk keperluan bulanan. Aku kirim pesan pada klien: Saya hari ini minta izin jeda satu hari mau mengerjakan agenda lain, yaitu menyelesaikan editan konten sebuah majalah yang juga jadi tanggung jawab saya. Sebab kalau tidak, saya sekeluarga bulan ini terancam tidak punya income. Punten pisan.
Wah, jangan-jangan aku memang malas bekerja SEGITU KERASNYA.[]
Anwar Holid mencari nafkah sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Monday, May 03, 2010
Apakah Publisis Itu?
---Anwar Holid
Artikel ini bermula dari email-emailan saya dengan seorang penulis. Awalnya dia menanyakan salah satu pekerjaan yang telah beberapa kali saya lakukan, yaitu jadi publisis. Lantas email itu saya olah dan tambahi.
* Apakah publisis itu?
Publisis ialah orang yang kerjanya bertanggung jawab mendapatkan publisitas (pemberitaan) dari media dan publik bagi kliennya. Bandingkan dengan definisi dari Wikipedia: publisis ialah orang yang pekerjaannya mengeluarkan atau mengatur publisitas bagi seorang publik figur, terutama selebritas, (komoditas) bisnis, atau untuk karya tertentu seperti buku dan film.
* Apa fungsi publisis?
Fungsi utama publisis ialah mengusahakan agar buku tersebut mendapat perhatian sebesar-besarnya baik dari media massa (apa pun bentuknya) dan publik calon pembaca.
* Kalau begitu, apa beda publisis dengan marketing communication (markcom) di penerbitan?
Beda utama ialah markcom harus mengurus seluruh buku yang mereka terbitkan, bahkan kadang-kadang sampai harus juga mengurus checker dan toko buku. Publisis lebih mengurus judul tertentu yang jadi tanggung jawabnya, mengusahakan agar buku tersebut bisa menonjol di antara buku lain, dan bisa mendapat perhatian yang bagus dari publik dan pembeli.
Tugas publisis lebih spesifik. Yang paling dasar ialah publisis harus menentukan kekuatan sebuah buku, menemukan subject matter yang dibahas penulis, dan kekuatan itu disebarkan kepada publik, agar publik dan media tertarik dengan isu tersebut, dan akhirnya menoleh pada buku itu. Publisis perlu mampu menghargai buku dan menonjolkan bahwa isi buku tersebut berharga untuk diperhatikan pembaca.
Kalau fasilitasnya lengkap, publisis bisa menyediakan semua bahan kebutuhan agar buku tersebut mendapat perhatian (misalnya press release, poster, leaflet, sinopsis, flash, dan sampai bikin situs).
* Apakah publisis itu seseorang yang bisa membantu membungkus sebuah novel agar bisa dibaca oleh banyak orang?
"Membungkus" sebuah buku merupakan kesepakatan sejak awal antara penerbit (diwakili penyunting) dengan penulis, yaitu mereka mau mengemas atau mendesain naskah itu seperti apa. Publisis menangani publisitas buku yang sudah terbit (sudah menjadi produk atau komoditas.)
* Apakah penerbit dan editor itu publisis juga?
Dari tugas utama dan kewajiban umum, ya. Penerbit besar punya divisi promosi yang bertanggung jawab memberi tahu buku baru, baik lewat iklan maupun katalog. Editor yang suka dengan naskah garapannya selalu senang bercerita lagi bila buku itu sudah terbit, apalagi bila mendapat perhatian luas. Tapi lazimnya, setelah selesai mengedit satu naskah, editor langsung pindah ke naskah lain. Naskah lama hanya mendapat perhatian ala kadarnya, karena ia memang harus beranjak ke naskah baru. Setelah terbit, buku lebih merupakan tanggung jawab bagian marketing, distribusi, dan promosi. Tujuan bagian ini pada dasarnya sama dengan keinginan penulis dan publisis, yaitu agar menjadi karya sekaligus produk (buku) yang perlu perlakuan tertentu biar mendapat perhatian yang pantas dan luas.
* Apa seorang penulis perlu publisis?
Fakta ini sebenarnya agak menyedihkan bagi para penulis, meskipun pertimbangan bisnisnya masuk akal. Penerbit idealnya memperhatikan publisitas setiap terbitannya, tapi harapan ini jarang terjadi. Dana promosi penerbit kebanyakan untuk seluruh terbitan, bukan buku tertentu---kecuali penerbit sejak awal memprioritaskan/mengunggulkan buku tertentu yang diperkirakan bisa menguntungkan mereka.
Saya dengar sendiri, staf di bagian promosi sebuah kelompok penerbitan besar mengaku tidak menyediakan dana promosi untuk judul buku tertentu, misalnya untuk launching, iklan, atau talkshow. Penulis yang pernah berhubungan dengan saya selalu bilang, penerbit menolak mendanai seluruh biaya launching, tapi harus kerja sama. Mereka hanya mau membayar item tertentu. Bahkan ada penerbit yang lebih pelit lagi, mereka menolak memberikan hadiah buku kepada media massa---meskipun di MOU penerbitan ada opsi "kelebihan" produksi kurang-lebih 100 eksemplar.
Saya suka bilang cara mempromosikan buku yang paling bagus ialah meminta opsi promosi khusus kepada pihak penerbit. Mungkin masing-masing penulis bisa menegosiasikan hal itu kepada bagian promosi maupun marketing. Tapi biasanya penerbit baru mau mempromosikan sebuah buku yang dalam pertimbangan mereka akan menguntungkan, baik dari sisi finansial maupun nama (brand, image, dan positioning.) Kalau begitu kondisinya, penulis harus bisa mengungkapkan keunggulan buku itu dan meyakinkan penerbit bahwa buku itu pantas dipromosikan.
Alternatif lain ialah penulis atau penerbit harus menyewa seorang publisis, ia bertugas memperlihatkan keunggulan bahwa buku tersebut pantas diperhatikan publik, dan akhirnya dibeli pembaca.
Tugas publisis bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan target, mulai dari menulis press release, menyediakan informasi, menggalang peresensi, mengadakan jumpa pers, sampai mengusahakan agar buku atau penulis bisa tampil di talkshow atau acara yang relevan dengan buku dan citranya.
Saya baca salah satu faktor utama Laskar Pelangi sukses ialah ada organizer khusus yang menangani setiap event terkait buku itu dan Andrea Hirata. Saya perhatikan, dulu di awal-awal terbit, komentar soal Laskar Pelangi sangat banyak muncul di milis pasarbuku@yahoogroups.com. Menurut saya itu sangat mempengaruhi awareness publik pada produk tersebut.[]
ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.
KONTAK: wartax@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141
Subscribe to:
Posts (Atom)