Monday, December 30, 2013
Gerakan
Jaket Untuk Tukang Becak
(#JUTB)
Bagaimana mengawali gerakan ini?
Tukang becak merupakan pemandangan biasa di kota Bandung. Kita bisa melihat mereka ada di perempatan atau persimpangan yang ramai, pasar, lapangan/taman kota (alun-alun), juga di mulut jalan. Saking biasa, kita suka lupa bahwa mereka adalah bagian dari denyut kota dan hidup kita. Mungkin kita baru peduli tukang becak kala butuh, trenyuh sesaat melihat mereka kepayahan dan keringatan membawa penumpang atau muatan, juga basah kuyup kehujanan tanpa perlindungan layak sambil tetap semangat menarik penumpang.
Suatu hari di jalan Karapitan saat musim hujan, dari angkot saya lihat beberapa tukang becak tua meringkuk di becaknya. Seorang dari mereka mengenakan plastik lusuh sebagai pelindung, sisanya bersedekap menahan dingin dan tempias hujan. Saya langsung teringat pada dua jaket di rumah. Akan jauh lebih bermanfaat kalau salah satu diberikan buat mereka, batin saya. Entah kenapa pula langsung terbetik di kepala saya niat mulai menggalang gerakan Jaket Untuk Tukang Becak (#JUTB), meski tak tahu cara memulainya. Saya tanya kepada teman yang sudah biasa terlibat aksi sosial. Saya berniat menggalang amal dan sumbangan dari teman-teman, mohon bantuan kepada orang/pihak yang bisa diajak kerja sama.
Esoknya, saya bungkus jaket kuning yang bertahun-tahun saya pakai. Saya berikan kepada seorang tukang becak di jalan Karapitan. Barangkali itulah cara paling sederhana untuk memulai gerakan ini. Saya jadi suka bertanya pada tukang becak di jalan Ciateul, Tegal Lega, Astana Anyar, Otto Iskandar Dinata, Kebon Kalapa, dan Geger Kalong Girang di sekitar tempat saya kerja dan tinggal. Kondisi mereka seperti apa, bagaimana mereka bekerja, di mana mereka tinggal, sampai kenalan dengan juragan becak.
Mohon dukungan dan bantuan Anda.
Semoga gerakan ini bermanfaat, khususnya untuk tukang becak.
Kenapa perlu kita gerakkan:
* Memberi sedikit kehangatan dan kenyamanan bagi tukang becak, entah ketika kedinginan/kehujanan atau masih kerja di malam hari.
* Membantu daya tahan dan perlindungan kepada tukang becak.
* Sekadar beramal kebaikan kepada sesama manusia.
Kondisi umum:* Tukang becak tidak punya asosiasi/perkumpulan, tapi menginduk kepada juragan (pemilik becak)
* Banyak tukang becak yang tidur di garasi becak juragannya
Sasaran:* Pertama: Tukang becak di sekitar Kebon Kalapa, Tegal Lega, Otto Iskandar Dinata, Astana Anyar, wilayah sekitar Alun-Alun Bandung
* Kedua dan seterusnya: di pasar-pasar utama kota Bandung
Apa yang perlu dilakukan?
* Mendaftar dan mendata jumlah tukang becak, bekerja sama dengan para juragan becak
* Memberikan jaket
Periode pembagian jaket:
* Semester 1: Januari 2014 - Juni 2014
* Semester 2: Juli 2014 - Desember 2014
Bentuk sumbangan:
* Jaket atau sweater, baik baru ataupun bekas yang masih layak pakai
* Jas hujan (usahakan baru)
* Uang, untuk membeli jaket bekas seharga kisaran Rp.75.000,- sampai Rp.100.000,-
Kebutuhan:
* Biaya transportasi untuk mengantarkan jaket/menemui tukang becak
* Biaya kurir/bawa jaket/barang
Contact person:
Anwar Holid
HP: 085721511193
Email: wartax@yahoo.com
No. rekening donasi:
_____________________________
BCA KCP CIDENG BARAT
No. rek.: 3971247183
A/N: ANWAR HOLID
_____________________________
(Mohon konfirmasi bila Anda transfer.)
Alamat:
Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B
Bandung 40141
Link terkait:
Page Facebook: Jaket Untuk Tukang Becak - #JUTB: http://on.fb.me/Kfmf1d
Friday, December 27, 2013
Saran untuk Penulis Indonesia
--Menuju Frankfurt Book Fair 2015
Publikasi dari Yayasan Lontar, Jakarta.
Pada 2015 mendatang Indonesia akan menjadi tamu kehormatan (guest of honor, GOH) di Frankfurt Book Fair (FBF) atau Pesta Buku Frankfurt, Jerman. FBF bukan saja pesta buku paling tua—diadakan sejak abad ke-15—pesta buku ini juga merupakan acara penerbitan terbesar di dunia. Setiap tahun, sekitar 7.500 peserta pameran berasal lebih dari 100 negara berkumpul di Frankfurt untuk jual-beli hak cipta. FBF mampu menarik minat 300.000 pengunjung, kira-kira 200.000 di antaranya merupakan para profesional di industri penerbitan, ditambah kehadiran lebih dari 10.000 jurnalis.
Undangan sebagai tamu kehormatan di FBF merupakan kesempatan sangat langka, bisa dibilang sekali seumur hidup. Dana yang harus dikeluarkan Indonesia agar dapat sukses di acara ini memang besar, tetapi manfaat atas kehadiran Indonesia sebagai tamu kehormatan di FBF 2015 tampaknya akan lebih besar lagi. Meski pesta tersebut hanya berlangsung selama lima hari, para penulis dari negara tamu kehormatan akan diundang ke Jerman enam bulan sebelumnya.
Indonesia memiliki banyak penulis berbakat tapi secara keseluruhan hanya beberapa saja yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah keadaan ini? Sebagian jawabannya ialah dengan melatih para penulis cara-cara mempromosikan karya dan diri sendiri (pitching) sehingga mereka bisa memperkenalkan karya serta diri mereka secara lebih baik kepada para pembuat keputusan di industri penerbitan.
Demi mewujudkan hal itu, pada 12 Desember 2013, Yayasan Lontar bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesia mengadakan lokakarya bertema “Pengarang Indonesia di Panggung Dunia” (Indonesian Authors on the World Stage). Dalam lokakarya ini, Gioia Guerzoni, seorang pencari bakat sastra internasional, mendiskusikan sejumlah pokok bahasan penting bersama 30 penulis yang terpilih berpartisipasi dalam acara tersebut.
Lokakarya tersebut dibagi dalam tiga sesi. Sesi pertama membicarakan tentang para pelaku industri penerbitan serta fungsi dan peran mereka masing-masing.Kemudian dilanjutkan dengan tema “apa saja yang laku dijual di luar negeri”, dan terakhir adalah mengenai cara-cara dan pentingnya mempromosikan diri (pitching). Pada akhir lokakarya, para penulis-peserta melakukan simulasi atau latihan permainan keterampilan dasar berpromosi (pitching) yang mereka butuhkan untuk menembus pasar internasional.
Bagi seorang penulis, mencapai kesuksesan tiada lain ialah dengan menghasilkan buku yang ditulis dengan baik; namun mereka dapat membuka kesempatan agar sukses lebih besar lagi bila mengindahkan informasi yang disampaikan dalam lokakarya ini.
Saran-saran berikut ini berusaha menghadirkan kesimpulan informasi yang disampaikan kepada peserta lokakarya.
Gioia Guerzoni (ki.) dan John H. McGlynn (ka). Foto: Anwar Holid |
Jadi Anda ingin jadi penulis dan karya Anda dapat diterbitkan—jika Anda baca halaman ini, tak disangsikan lagi sepertinya Anda memang begitu. Apa saja hal-hal yang sebaiknya Anda ingat?Berikut ini beberapa di antaranya:
1. Rendah hatilah dan banyak membaca.
2. Menulislah dalam bahasa yang bisa mengungkapkan ekspresi terbaik diri Anda.
3. Perhatikan kemampuan atau penguasaan Anda terhadap gaya dan genre tertentu.
4. Perhatikan pembaca karya Anda: tempat (lokal vs global), usia (fiksi remaja, buku anak-anak, fiksi umum, dan lain-lain).
5. Buatlah jejaring dengan teman dan rekanan; mintalah saran dari mereka sebagai pembaca karya Anda.
6. Jangan takut pada kecaman/kritik. Komentar pedas pada karya biasanya sangat bermanfaat.
7. Tanya diri Anda sendiri apa menariknya karya Anda dan kenapa karya tersebut bisa menarik/memikat buat orang lain.
8. Coba tampilkan cerita Anda atau bagian dari karya Anda yang lebih panjang di majalah atau blog, atau bahkan bisa juga terbitkan dulu karya itu di halaman Facebook Anda untuk memperoleh komentar/reaksi dari para pembaca sebelum Anda mendekati penerbit.
Hal Utama Lainnya
Statistik penerbitan dari seluruh dunia menunjukkan betapa ternyata sedikit sekali kemungkinan bagi seorang penulis mampu mencapai sukses secara komersial. Karena itu ingat-ingatlah juga beberapa hal berikut ini:
1. Bersikaplah realistis. Hidup semata-mata dari menulis itu sulit, bahkan bagi penulis yang sudah terkenal sekalipun.
2. Jangan mudah putus asa oleh penolakan.
3. Milikilah selalu rencana cadangan. Ingatlah bahwa tidak semua orang pada akhirnya bisa menerbitkan karyanya.
4. Memiliki sumber penghasilan yang dapat diandalkan bisa menjadi suatu keuntungan.
Diterbitkan: Mencari Penerbit Lokal
Saking berhasrat ingin diterbitkan, banyak penulis baru kerap menandatangani kontrak tanpa meneliti atau membacanya secara cermat. Anda adalah pemilik karya Anda sendiri. Karya itu adalah anak Anda sendiri. Pastikanlah bahwa karya tersebut mendapat perlakuan terbaik yang mungkin bisa Anda berikan.
1. Pelajari peran atau tugas dalam dunia penerbitan. Karena Anda adalah pencipta karya itu, usahakanlah bekerja sama dengan profesional lain yang mau membantu kesuksesan karya Anda. Sejumlah orang yang bisa jadi akan bekerja sama dengan Anda di antaranya:
a. Editor, bekerja memperbaiki karya penulis dan membuatnya bisa lebih laku dijual.
b. Agen, mewakili penulis dan bertindak sebagai perantara penulis dengan penerbit. Agen biasanya bekerja untuk beberapa penerbit, dan sejumlah agen juga bisa menjadi editor yang hebat.
c. Pencari bakat (scout), bekerja untuk berbagai penerbit atau agen, dan mencari bakat-bakat baru yang potensial.
d. Penerjemah. Penerjemah sastra profesional kerap berperan sebagai pencari naskah untuk penerbit dan bisa menjadi editor yang baik pula.
2. Ketahuilah hak-hak Anda dan kewajiban penerbit. Pelajarilah hukum hak cipta dan bacalah secara teliti dan apabila memungkinkan, bandingkan dengan kontrak-kontrak rekan penulis lainnya.
3. Jangan tergesa-gesa mengirimkan naskah yang belum matang ke penerbit. Ada kalanya Anda cuma punya satu kali kesempatan untuk membuktikan diri Anda sendiri.
4. Saat mengirimkan karya kepada sebuah penerbit, lampirkanlah lembar proposal penerbitannya (lihat contoh di bawah). Melampirkan proposal penerbitan bisa membantu Anda dalam persiapan mempromosikan diri secara lisan (lihat Promosi Diri).
5. Usahakan terbitkanlah karya Anda di penerbit yang bagus atau reputasinyabaik. Jangan menerbitkan buku di penerbit yang tidak jelas. Kalau tidak, buku Anda bisa jadi tidak terlihat.
6. Anda adalah pemilik karya Anda sendiri dan memiliki kuasa atas hak-hak tertentu, misalnya hak penerjemahan, adaptasi film, dan sebagainya. Berhatilah-hatilah jika penerbit meminta hak cipta keseluruhan (global rights). Urusan dengan hak cipta internasional biasanya merupakan menjadi tugas agen.
7. Self publishing (menerbitkan karya sendiri) bisa memiliki efek bumerang. Jangan menerbitkan karya sendiri kecuali Anda memiliki kemampuan profesional untuk memproduksi buku berkualitas—atau mampu membayar tenaga yang bisa mengerjakannya.
Bangun Citra Diri Anda Melalui Kemampuan Bersosial
Pada dasarnya, penulis sebenarnya bisa saja bersosial (misalnya melalui media sosial yang ada) dan “mudah bergaul” serta membuat jejaring dengan orang lain yang sangat mungkin bisa membantu meningkatkan karirnya.
1. Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi penulis masa sekarang ini, aktif di media sosial dan kehidupan nyata merupakan suatu langkah cerdas. Tinggalkanlah zona nyaman Anda.
2. Gunakan media sosial sebagai alat, tapi sadarilah bahwa hal itu menghabiskan/membutuhkan waktu luang Anda.
3. Miliki citra diri Anda secara online, misalnya dengan meng-google nama sendiri dan judul-judul buku Anda.
4. Buat profil di LinkedIn, Facebook, Google+, Instagram, Twitter. Pastikan bahwa profil tersebut konsisten dan terus diperbarui. Semua itu akan menghasilkan halaman “peringkat Google” (Google rank) yang tinggi.
5. Di profil online, beri petunjuk yang jelas cara mengontak Anda. Jika Anda tidak terus-menerus aktif di media sosial, beri alamat email.
6. Bangun sendiri strategi Anda: tentukan topik Anda. Cobalah menjadi unik.
7. Pelajari cara menggunakan “hash tags” (atau tanda pagar) dan mencari cara agar orang tertarik pada topik Anda.
8. Jangan terlalu banyak berbagi dan jangan mencampurkan urusan bisnis dengan hal pribadi.
9. Jadikan diri Anda mudah dihubungi.
10. Ramahlah kepada para penggemar/follower: sebarkanlah komentar mereka, beri mereka perlakuan khusus, seperti contoh karya terbaru Anda, biarkan mereka berpartisipasi dalam pengalaman dan pencapaian Anda.
11. Datanglah ke festival/acara-acara sastra. Ini merupakan investasi, dan di sanalah Anda bisa membangun kontak internasional.
12. Hadiri lokakarya yang bisa membuat Anda belajar dan bertemu dengan penulis lain.
13. Carilah beasiswa dan residensi penulisan.
Mendunia: Menemukan Agen dan Penerbit Internasional
Indonesia memiliki potensi publik pembaca yang sangat besar bagi karya Anda. Meski begitu, Anda juga ingin karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Jika demikian halnya, ada beberapa hal yang perlu diingat:
1. Tanyalah pada diri sendiri apakah karya Anda bakal menarik bagi pembaca luar negeri.
2. Jika Anda menganggap karya itu pantas diterjemahkan, ingatlah bahwa penerjemahan merupakan profesi dan butuh bertahun-tahun untuk menjadi seorang penerjemah karya sastra yang andal. Jangan mempercayakan karya Anda jika mereka bukan penerjemah profesional.
3. Secara online carilah agen, scout, editor, dan penerbit yang paling tepat dan terbaik untuk Anda. Periksalah tingkat keprofesionalan mereka. Penulis mana saja yang mereka wakili, mereka bekerja untuk penerbit apa saja, dan seterusnya.
4. Ingatlah bahwa editor yang baik dan terjemahan yang hebat bisa mengubah nasib sebuah buku.
5. Meski topik tertentu lebih mudah dijual di luar negeri, misalnya cerita kontemporer, tentang kaum urban—jangan melakukan pendekatan terhadap tema tersebut kecuali Anda memang merasa nyaman melakukannya.
6. Ingatlah bahwa rata-rata pembaca luar negeri mungkin hanya sedikit sekali mengenal inti cerita Anda. Jangan berprasangka apa pun tanpa mengecek lebih dahulu, tapi juga jangan terlalu berlebihan menjelaskan.
7. Jangan terus-menerus mengganggu agen, scout, dan penerbit. Jangan pula memaksa memberi mereka buku Anda. Kirimilah mereka sinopsis buku Anda (book description), dan file pdf karya Anda bila mereka minta.
8. Pelajari cara mempromosikan diri Anda (lihat Promosi Diri), tapi ingatlah bahwa jenis karya tertentu sering kali lebih baik apabila dititipkan pada seorang agen yang memiliki kontak jaringan internasional. Ingatlah pula bahwa penerbit ingin menghasilkan uang dari Anda, sementara agen ingin menciptakan uang bagi Anda.
9. Sadarilah batas diri Anda: butuh waktu untuk jadi penulis yang karyanya dapat diterbitkan dan bahkan bila Anda telah mencapai hal itu, sangat sulit untuk bisa dijadikan sumber penghidupan.
Promosi Diri (The Pitch)
1. Buatlah tulisan promosi diri Anda dalam satu halaman ringkas termasuk informasi biografi, sinopsis karya, juga komentar tentang karya itu. (Karena penerbit dibanjiri email dan proposal buku, promosi diri harus singkat dan semenarik mungkin.)
2. Kalau kemampuan bahasa Inggris Anda belum bagus, tulis promosi dalam bahasa Indonesia dan minta bantuan tenaga profesional untuk menerjemahkan ke bahasa Inggris.
3. Panduan untuk promosi diri:
a. Siapa saya?
b. Apa yang telah saya tulis?
c. Siapa pembaca karya saya?
d. Kenapa buku saya bisa menarik bagi pembaca lokal/luar negeri?
4. Praktikkan cara melakukan pitching selama tiga menit bersama teman; itu bisa bermanfaat dalam situasi sesungguhnya atau dalam pertemuan sosial.
Contoh Susunan Proposal Penerbitan
1. Judul karya yang diajukan.
2. Detail mengenai penulis:
a. Nama lengkap sebagaimana yang digunakan di setiap terbitan:
b. Alamat surat/pos:
c. Nomor telepon, fax (jika ada):
d. Alamat email:
e. Afiliasi (tempat kerja, institusi, komunitas, dan lain-lain):
f. Daftar terbitan/karya lainnya:
3. Keterangan apakah seluruh naskah atau ada bagian tertentu sedang dalam pertimbangan pihak lain, ditunda penerbitannya, atau telah diterbitkan sebelumnya.
4. Isi buku (daftar isi).
5. Pernyataan singkat tentang tema atau argumen atas buku yang diajukan.
6. Kesimpulan ringkas atau abstrak isi buku tersebut.
7. Pernyataan tentang bagaimana naskah tersebut dapat diterima (berharga) dalam situasi sastra sekarang terkait soal inti cerita karya Andadan apakah ada unsur baru yang disumbangkannya.
8. Untuk naskah yang pada dasarnya sudah utuh/lengkap, sebutkan jumlah kata di dalam naskah, dan jika ada, jumlah ilustrasi, tabel, ataupeta.
9. Pernyataan singkat mengenai kualifikasi penulis.
10. Tunjukkan semua yang dapat diprakirakan sebagai potensi pasar karya Anda dan kenapa menurut Anda buku tersebut bisa menarik minat buat para pembeli.[]
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Anwar Holid.
Link terkait: http://bit.ly/1kHlQmn (versi English).
Monday, December 16, 2013
6 Pertanyaan tentang Editor dan Penerbitan
--Anwar Holid
Beberapa minggu lalu aku dapat email dari kawan yang baru lulus kuliah. Dia suka baca buku, terutama fiksi, bacaannya luas, aktif di komunitas menulis, tulisannya pun sudah pernah dipublikasikan. Karena itu ia terpikir berkarir di dunia penerbitan atau berniat bikin penerbit. Dia mengajukan enam pertanyaan, yang aku bilang bagus sekali bila dibagi buat banyak orang.
Saya ingin jadi editor buku fiksi karena senang baca novel. Apa itu merupakan alasan yang salah?
Jelas enggak salah kamu pengen jadi editor fiksi karena suka baca novel. Banyak orang jadi editor semata-mata karena mereka suka buku, apa pun jenis/genrenya. Dulu ada senior (beliau sudah meninggal) jadi editor karena sejak kecil suka baca majalah Si Kuncung, mengirim tulisan ke majalah itu, dan akhirnya bergaul dengan para penulis sampai berkarir di dunia penerbitan seperti keinginannya, aktif di asosiasi penerbitan, sampai akhirnya membuat usaha penerbitan (artinya jadi pengusaha) dengan kesuksesan tertentu.
Seperti apa pekerjaan editor itu?
Sederhananya: kamu menyiapkan naskah hingga siap dilayout dan diproduksi jadi buku.
Editor ialah seorang pengawal buku itu. Dia melayani penerbit dan penulis, menjembatani keduanya. Di perusahaan penerbitan, definisi editor jadi rada kompleks karena ada jenis atau tingkatan, misalnya editor kepala, kepala penerbitan, asisten editor, atau cuma 'editor'. Tugas mereka rada beda satu sama lain. Di Indonesia, editor kepala barangkali semacam acquisition editor; mereka cari naskah, cari dan menghubungi penulis, menyeleksi kelayakan naskah, menawari calon penulis untuk menulis sesuai kebutuhan penerbit, mencari desainer cover atau buku, dan bisa jadi sangat jarang mengedit/menyunting naskah. Mereka mungkin sudah bosan melakukannya atau baru terpaksa menyunting lagi kalau ada target dan bantu target produksi buku. Penerbit Indonesia di akhir dekade pertama tahun 2000-an banyak mengalami transisi semacam ini. Artinya mereka tidak lagi terkungkung menyunting naskah, melainkan merencanakan penerbitan, bahkan bernegosiasi dengan pihak lain untuk menerbitkan buku atau mencari celah agar terbitannya langsung laku.
Asisten editor tugasnya antara lain membantu editor seperti proof reading, buat indeks (yang juga bisa dibuat oleh penulis), menyiapkan detil kelengkapan naskah, sampai diberi kepercayaan penuh menyunting buku (biasanya mereka memang disiapkan jadi editor).
Editor (saja) adalah posisi standar. Ia menyunting naskah dan menanganinya sampai layak terbit; yang diurus biasanya terkait bahasa dan isi naskah. Bisa jadi mereka tidak berhubungan penulis, karena hal semacam itu ditangani editor kepala atau administrasi perusahaan.
Contoh sebagai editor freelance, tugas standarku ialah menyunting naskah, menyiapkannya biar sudah siap dilayout atau didesain jadi buku oleh penerbit. Tugas tambahanku biasanya diminta kasih ide/usul bagaimana cara mendesain calon buku itu jadi lebih punya nilai lebih, menarik, dan bisa memikat calon pembaca/pembeli sekuat mungkin. Misalnya aku kasih ide soal format, keterangan soal higlight naskah, sebaiknya ada ilustrasi di bagian tertentu atau tambahan dan pengurangan lainnya. Ide itu diolah lebih lanjut desainer buku. Editor freelance tidak bisa mengintervensi buku itu nanti akan disajikan/didesain seperti apa; tapi ia bisa memberi saran barangkali naskah itu bagusnya diolah bagaimana biar jadi buku yang menarik.
Bagaimana sifat-sifat orang yang cocok menjadi editor?
Orang yang cocok jadi editor pertama-tama mutlak dia harus suka buku, suka baca, suka bahasa, suka sastra, suka menulis, tertarik seni, kreatif---punya selera tertentu terhadap keindahan, visi bagaimana sebaiknya menyajikan naskah, mengemas buku, juga menggagas proyek perbukuan. Soal ini aku yakin akan berkembang seiring waktu dan pengalaman.
Orang yang terbiasa dengan buku, bergumul dengan penulisan kreatif, peduli bahasa, biasanya bisa menjadi editor yang bagus. Sebagian besar kenalanku yang jadi editor tidak belajar bahasa secara khusus (misalnya sekolah di jurusan editing atau sastra); tapi mereka punya kepekaan yang hebat terhadap bahasa, terbiasa berlatih menulis efektif, suka pada cara sesuatu disampaikan. Latar belakang mereka bisa fisika, astronomi, agama, geologi, apa pun; tapi ketertarikan terhadap buku, sastra, seni akan membuat mereka jadi editor yang punya nilai lebih.
Sifat tambahan buat orang yang cocok jadi editor menurutku harus luwes/fleksibel, rapi, suka detil, tertib. Luwes ini untuk berhadapan dengan orang maupun naskah, untuk bernegosiasi, berkompromi, dan lain-lain. Menurutku sendiri, aku kurang luwes dalam menghadapi orang atau situasi tertentu. Editor, apalagi editor naskah, harus rapi, tertib, dan suka detil, karena ia harus bertanggung jawab mengurus hal-hal kecil, mulai dari salah eja, kelengkapan naskah (yang bisa sangat sepele), dan menatanya hingga rapi dan siap cetak. Tak ada harapan bagi editor yang luput memeriksa bahwa KATA PERTAMA di buku yang disuntingnya sudah salah. Lebih parah lagi kalau judul/subjudulnya salah eja. Gawat. Aku cukup belajar banyak untuk jadi lebih teliti, termasuk dengan diperingatkan bos, diberi tahu sesama editor, atau pembaca buku yang aku edit.
Saya ingin bekerja di penerbitan karena ingin tahu bagaimana buku terbit, dipasarkan, dan menumpuk di gudang ketika tidak laku. Saya bercita-cita punya penerbitan. Apa ini masih merupakan alasan yang salah? Pekerjaan apa yang cocok bagi saya di penerbitan?
Menurutku memiliki penerbitan dan jadi editor cukup berbeda jauh. Memiliki penerbitan ialah jadi pengusaha di industri buku atau dunia penerbitan; sementara jadi editor ialah salah satu sisi/bidang di dunia penerbitan. Memang sebagian pengusaha penerbitan berawal dari editor, suka buku, atau manajer penerbitan yang beralih dari editor; tapi bisa jadi jalurnya beda. Ada pengusaha/pemilik penerbitan yang tidak bisa menyunting buku, tapi dia jago mencari celah atau proyek buku yang menguntungkan, misalnya cari order dari pemerintah, instansi, atau perusahaan yang mau buat buku. Contoh: Haidar Bagir (salah satu pendiri/pemilik dan CEO Mizan) berawal dari suka nulis/baca sejak mahasiswa, dia jadi editor di penerbit Salman, terus mendirikan Mizan. Di Mizan dia juga masih suka menulis buku.
Menurutku, untuk jadi pengusaha penerbitan modal utamanya ialah keberanian, jiwa enterpreneurship, modal, berisiko untung/rugi besar. Sementara jadi editor adalah karir yang bisa ditempuh berjenjang. Editor lebih merupakan 'profesi.'
Sekadar memberi tahu, sebagian editor setelah beberapa tahun kerja di penerbitan bisa beralih ke bagian marketing, promosi, sales, bahkan distribusi. Bisa jadi karir dan jabatan mereka akan lebih menanjak di sana. Mereka berhenti berhubungan dengan naskah, tapi mereka masih berhubungan dengan buku, atau malah memberi masukan dan bocoran naskah seperti apa yang harus diterbitkan penerbit. Bisa jadi, di perusahaan penerbitan, nanti kamu akan menyaksikan bahwa pegawai yang paling makmur ialah di bagian marketing, distribusi, keuangan, sementara layouter yang menyiapkan buku dari awal terkaget-kaget betapa karir mereka tertinggal. Ada kenalan seniorku yang lebih sukses kerja di bagian marketing, setelah awalnya pindah sebagai editor.
Sebagai bayangan, sebagian editor di penerbit yang berkembang besar setelah jadi kepala editor bisa beralih tugas menangani perusahaan yang lain banget produknya (misalnya film). Harus diakui tidak semua editor yang pernah sukses di penerbitan atau berpengalaman mengelola anak buah (editor junior) dijamin kembali berhasil setelah mendapat mandat mengelola perusahaan baru. Artinya mengembangkan perusahaan itu butuh kemampuan lain.
Kalau niat mau punya penerbitan, mending kamu rajin cari naskah yang potensial di pasar, kontak editor (bisa juga diedit sendiri, atau kalau nekat gak usah diedit), terbitkan. Jual. Banyak pemilik penerbitan basisnya penjual buku, ia tahu ada sebuah buku bisa laris gila-gilaan atau tahu ada channel proyek penerbitan dengan pihak/instansi tertentu. Tapi kalau kamu mau 'punya gengsi' dengan perusahaan atau terbitanmu, ingin image bahwa terbitanmu bermutu, mencerahkan, kamu harus sewa editor atau menjadi editor agar buku itu lebih artistik, punya nilai lebih, bukan sekadar barang kodian. Ha ha ha... aku kayak jago teori dunia penerbitan, padahal belum bisa buat penerbitan---sesuatu yang ada di urutan paling rendah dalam skala prioritasku di dunia penerbitan.
Di penerbitan, entah awalnya jadi editor atau masuk di bagian yang kamu sukai, misalnya promosi atau marketing, kamu bisa pindah ke bagian lain yang lebih prospektif atau cocok sesuai kemampuan dan potensi terbaikmu. Tinggal kamu perhatikan saja kemampuan dan minat utamamu. Contoh, ada kenalan yang sejak awal kerja di penerbit kerja di bagian event (pameran, bazaar, lomba, dan lain-lain). Dia tidak pernah terlibat di dunia editing. Dia sangat sukses di situ; semua event besar di penerbitnya dia urus acaranya. Di penerbit lain ada karyawan yang awalnya sukses di bagian keuangan, pernah jadi karyawan teladan, entah karena restrukturisasi perusahaan atau performa pribadi, lantas pindah-pindah ke bagian lain, termasuk ke bagian editing, sampai akhirnya ke luar. Aku sendiri merasa karirku berjalan biasa saja, tapi aku belum pernah pindah ke bagian marketing, percetakan, atau sales. Paling aku punya sedikit pengalaman di bagian promosi, publisitas, dan literary agent.
Bagaimana suasana kerja di penerbitan? Apa dari bekerja di penerbitan seseorang memperoleh kecakapan yang bisa digunakan di luar bidang penerbitan? Apa dari bekerja di penerbian seseorang punya teman yang bertahan dalam jangka waktu lama?
Pernah mengalami situasi kerja freelance dan tetap sebagai pekerja (karyawan), kesimpulanku ialah kerja pada dasarnya sama dan semua punya tantangan atau keunggulan maupun kekurangan masing-masing. Orang bisa sukses dan gagal baik sebagai karyawan tetap atau pekerja freelance. Aku selalu salut pada orang yang bisa mendirikan perusahaan. Meski aku sering dengar pengusaha itu tega, suka licik, enggak mau rugi sepeser pun, dan aku pernah dengar serta lihat buktinya, satu hal sih mendirikan perusahaan itu susah dan berat. Aku lihat sendiri beberapa kawanku jatuh-bangun mendirikan perusahaan, ditinggalkan ratusan karyawan, termasuk diancam masuk penjara dan pengadilan. Jadi karyawan mungkin lebih simpel; namun risiko dan pendapatannya pun lebih sedikit. Sebagian besar pasti buat pengusaha dan pemodal.
Kerja pada dasarnya soal kepercayaan, kinerja yang bagus, dan tidak mengecewakan orang lain. Ada yang yakin bahwa kerja itu soal melayani, service, memuaskan customer.
Perusahaan dan personal punya tabiat masing-masing, yang penting ialah kompromi atau 'main cantik' selama kerja. Ada motto: What’s best for you is often best for the company in the long run.
Dulu, waktu berhenti kerja pertama kali, di hari terakhir itu aku gemetar dan nangis, karena aku tahu persis kerja di sana adalah a dream come true, satu-satunya penerbit yang ingin aku masuki. Di penerbit, bisa jadi kita bekerja dengan para visioner, cerdas, antusias, dan kita hormati. Tapi jangan bodoh sampai tidak sadar bahwa bekerja di perusahaan itu penuh tekanan, ada target yang harus dipenuhi, kecemburuan profesional, juga kompromi dengan orang lain dalam organisasi. Aku dulu gagal sadar ada apa di balik kejadian kenapa beberapa seniorku pada ke luar setelah aku kerja di sana. Setelah dua tahun, aku baru ketemu batunya, yaitu gagal kompromi dengan perusahaan, persisnya dengan manajer sendiri, yang tentu punya target yang harus beres bareng anak buahnya (yaitu aku dan kawan-kawan). Parahnya aku juga tidak punya loyalitas korps. Lama setelah itu aku merasa bahwa di dunia kerja loyalitas lebih utama daripada kinerja. Kalo kamu setia pada bos apa pun kondisinya, insyaallah secara posisi kamu aman. Aku bahkan pernah lihat seorang karyawan yang jadi tangan kanan sampai dianggap sebagai adik/sodara oleh bosnya.
Kita bisa kerja entah karena rekomendasi, lulus tes, dan punya kualifikasi. Di dunia penerbitan, kita juga bergaul, ada komunitas, punya asosiasi, berkawan. Banyak kawan lama di dunia penerbitan yang bertahan hingga kini dan aku salut dengan kinerjanya. Aku pernah konflik berat dengan kawan dekat, yang malah ribut gara-gara uang dan berbeda pandangan soal cara bekerja---tapi untunglah seiring waktu dan kesadaran hubungan kami baik lagi. Sebagai pekerja freelance, aku pernah nyaris putus asa menagih honor dari kawan lama yang kasih order atau salah paham dengan editor lain yang aku ajak kerja sama. Kerewelan sebagai peresensi membuat aku dimusuhi seorang editor yang bukunya aku kritik sampai mengorbankan pertemanan.
Kekurangan terbesar kerja freelance yang kadang-kadang bikin putus justru rasa sepi karena enggak ada feedback dari orang lain, terutama customer/klien, apa kerja kita bagus atau buruk. Gila, customer itu sibuk semua; parahnya mereka suka kasih order di kala mepet. Reaksi feedback mereka cuma bisa ditebak dari kasih order berikutnya kalau puas atau berhenti kasih order kalau kecewa. Di dunia freelance, aku bisa dapat order sebanyak mungkin, tapi kalau enggak beres juga apa artinya? Nama sendiri yang hancur. Sebaliknya, ada orang memilih kerja freelance karena menawarkan hal yang tidak dimiliki karyawan, misalnya fleksibilitas.
Apa yang menyebabkan seseorang tidak betah bekerja di penerbitan?
Banyak hal bisa bikin seseorang tidak betah kerja di penerbit. Yang pertama ialah gajinya kecil. Sejak dulu semua orang di dunia penerbitan/perbukuan selalu bilang bahwa perputaran uang atau modal di dunia buku itu lambat dan nilainya kecil, misalnya jika dibandingkan industri konstruksi. Coba kamu hitung berapa banyak penulis yang semata-mata mencari nafkah dari menulis. Banyak penulis mengaku mereka mengalami 'split personality' karena harus ngantor atau kerja sampingan lain yang tidak terkait penulisan.
Aku ingat para seniorku ke luar karena bilang gajinya kecil dan kurang buat hidup. Sampai sekarang orang masih berpendapat begitu dan aku masih dengar bahwa gajinya kurang. Orang juga bisa ke luar karena ingin dapat posisi lebih tinggi (misalnya punya anak buah) atau fasilitas lebih, yang sulit mereka dapat dari perusahaan awal. Orang juga bisa pindah kerja karena ingin dianggap penting/berpengaruh atau dipecat dan terpaksa pindah karena wanprestasi. Ada pekerja berhenti kerja karena gagal kompromi dengan bos atau rekan kerja, meski ia masih punya prestasi, kemampuan, atau daya tawar yang mungkin bisa dikembangkan di perusahaan lain.
Tipe perusahaan beda-beda dan itu membuat perilaku, etos, budaya perusahaan, dan karyawan beda. Ada perusahaan yang dikelola terbuka, milik keluarga, atau semau-maunya (situasional). Modalnya juga lain-lain; ada dari investasi seseorang, utang bank, atau pinjaman mertua. Ada orang yang bisa balik lagi setelah mereka berhenti, ada pekerja tipe kutu loncat demi menaikkan karir. Banyak orang bisa betah kerja sangat lama dan membangun karir di perusahaan yang bisa jadi sulit kita bayangkan, lepas bahwa mereka juga memendam ketidaksukaan terhadap sistem yang dibangun pendirinya. Apa pun jenisnya, perusahaan yang baik pasti berusaha mengelola dan mengembangkan dengan berbagai sistem yang dianggap cocok, misalnya menerapkan standar tertentu maupun ISO.
Contoh perusahaan keluarga. Bisa jadi mengelola kepentingan keluarga pemilik dan pendiri malah lebih sulit lagi dibanding mengelola roda bisnis dan perusahaan, karena di situ ada emosi, kekerabatan, share modal, ikatan darah, bahkan status. Bagi yang tidak cocok atau tidak puas, kondisi itu bisa mudah membuat seseorang ke luar. Intinya, semua perusahaan dan pekerja ingin maju dan berkembang. Mereka mencari berbagai cara ke arah sana.
OK, semoga komentarku berguna dan bisa kasih pandangan alasan seseorang untuk jadi editor dan berkarir di industri perbukuan.[]
Anwar Holid, aka Wartax, penulis buku Keep Your Hand Moving.
--Anwar Holid
Beberapa minggu lalu aku dapat email dari kawan yang baru lulus kuliah. Dia suka baca buku, terutama fiksi, bacaannya luas, aktif di komunitas menulis, tulisannya pun sudah pernah dipublikasikan. Karena itu ia terpikir berkarir di dunia penerbitan atau berniat bikin penerbit. Dia mengajukan enam pertanyaan, yang aku bilang bagus sekali bila dibagi buat banyak orang.
Saya ingin jadi editor buku fiksi karena senang baca novel. Apa itu merupakan alasan yang salah?
Jelas enggak salah kamu pengen jadi editor fiksi karena suka baca novel. Banyak orang jadi editor semata-mata karena mereka suka buku, apa pun jenis/genrenya. Dulu ada senior (beliau sudah meninggal) jadi editor karena sejak kecil suka baca majalah Si Kuncung, mengirim tulisan ke majalah itu, dan akhirnya bergaul dengan para penulis sampai berkarir di dunia penerbitan seperti keinginannya, aktif di asosiasi penerbitan, sampai akhirnya membuat usaha penerbitan (artinya jadi pengusaha) dengan kesuksesan tertentu.
Seperti apa pekerjaan editor itu?
Sederhananya: kamu menyiapkan naskah hingga siap dilayout dan diproduksi jadi buku.
Editor ialah seorang pengawal buku itu. Dia melayani penerbit dan penulis, menjembatani keduanya. Di perusahaan penerbitan, definisi editor jadi rada kompleks karena ada jenis atau tingkatan, misalnya editor kepala, kepala penerbitan, asisten editor, atau cuma 'editor'. Tugas mereka rada beda satu sama lain. Di Indonesia, editor kepala barangkali semacam acquisition editor; mereka cari naskah, cari dan menghubungi penulis, menyeleksi kelayakan naskah, menawari calon penulis untuk menulis sesuai kebutuhan penerbit, mencari desainer cover atau buku, dan bisa jadi sangat jarang mengedit/menyunting naskah. Mereka mungkin sudah bosan melakukannya atau baru terpaksa menyunting lagi kalau ada target dan bantu target produksi buku. Penerbit Indonesia di akhir dekade pertama tahun 2000-an banyak mengalami transisi semacam ini. Artinya mereka tidak lagi terkungkung menyunting naskah, melainkan merencanakan penerbitan, bahkan bernegosiasi dengan pihak lain untuk menerbitkan buku atau mencari celah agar terbitannya langsung laku.
Asisten editor tugasnya antara lain membantu editor seperti proof reading, buat indeks (yang juga bisa dibuat oleh penulis), menyiapkan detil kelengkapan naskah, sampai diberi kepercayaan penuh menyunting buku (biasanya mereka memang disiapkan jadi editor).
Editor (saja) adalah posisi standar. Ia menyunting naskah dan menanganinya sampai layak terbit; yang diurus biasanya terkait bahasa dan isi naskah. Bisa jadi mereka tidak berhubungan penulis, karena hal semacam itu ditangani editor kepala atau administrasi perusahaan.
Contoh sebagai editor freelance, tugas standarku ialah menyunting naskah, menyiapkannya biar sudah siap dilayout atau didesain jadi buku oleh penerbit. Tugas tambahanku biasanya diminta kasih ide/usul bagaimana cara mendesain calon buku itu jadi lebih punya nilai lebih, menarik, dan bisa memikat calon pembaca/pembeli sekuat mungkin. Misalnya aku kasih ide soal format, keterangan soal higlight naskah, sebaiknya ada ilustrasi di bagian tertentu atau tambahan dan pengurangan lainnya. Ide itu diolah lebih lanjut desainer buku. Editor freelance tidak bisa mengintervensi buku itu nanti akan disajikan/didesain seperti apa; tapi ia bisa memberi saran barangkali naskah itu bagusnya diolah bagaimana biar jadi buku yang menarik.
Bagaimana sifat-sifat orang yang cocok menjadi editor?
Orang yang cocok jadi editor pertama-tama mutlak dia harus suka buku, suka baca, suka bahasa, suka sastra, suka menulis, tertarik seni, kreatif---punya selera tertentu terhadap keindahan, visi bagaimana sebaiknya menyajikan naskah, mengemas buku, juga menggagas proyek perbukuan. Soal ini aku yakin akan berkembang seiring waktu dan pengalaman.
Orang yang terbiasa dengan buku, bergumul dengan penulisan kreatif, peduli bahasa, biasanya bisa menjadi editor yang bagus. Sebagian besar kenalanku yang jadi editor tidak belajar bahasa secara khusus (misalnya sekolah di jurusan editing atau sastra); tapi mereka punya kepekaan yang hebat terhadap bahasa, terbiasa berlatih menulis efektif, suka pada cara sesuatu disampaikan. Latar belakang mereka bisa fisika, astronomi, agama, geologi, apa pun; tapi ketertarikan terhadap buku, sastra, seni akan membuat mereka jadi editor yang punya nilai lebih.
Sifat tambahan buat orang yang cocok jadi editor menurutku harus luwes/fleksibel, rapi, suka detil, tertib. Luwes ini untuk berhadapan dengan orang maupun naskah, untuk bernegosiasi, berkompromi, dan lain-lain. Menurutku sendiri, aku kurang luwes dalam menghadapi orang atau situasi tertentu. Editor, apalagi editor naskah, harus rapi, tertib, dan suka detil, karena ia harus bertanggung jawab mengurus hal-hal kecil, mulai dari salah eja, kelengkapan naskah (yang bisa sangat sepele), dan menatanya hingga rapi dan siap cetak. Tak ada harapan bagi editor yang luput memeriksa bahwa KATA PERTAMA di buku yang disuntingnya sudah salah. Lebih parah lagi kalau judul/subjudulnya salah eja. Gawat. Aku cukup belajar banyak untuk jadi lebih teliti, termasuk dengan diperingatkan bos, diberi tahu sesama editor, atau pembaca buku yang aku edit.
Foto dari Internet. |
Saya ingin bekerja di penerbitan karena ingin tahu bagaimana buku terbit, dipasarkan, dan menumpuk di gudang ketika tidak laku. Saya bercita-cita punya penerbitan. Apa ini masih merupakan alasan yang salah? Pekerjaan apa yang cocok bagi saya di penerbitan?
Menurutku memiliki penerbitan dan jadi editor cukup berbeda jauh. Memiliki penerbitan ialah jadi pengusaha di industri buku atau dunia penerbitan; sementara jadi editor ialah salah satu sisi/bidang di dunia penerbitan. Memang sebagian pengusaha penerbitan berawal dari editor, suka buku, atau manajer penerbitan yang beralih dari editor; tapi bisa jadi jalurnya beda. Ada pengusaha/pemilik penerbitan yang tidak bisa menyunting buku, tapi dia jago mencari celah atau proyek buku yang menguntungkan, misalnya cari order dari pemerintah, instansi, atau perusahaan yang mau buat buku. Contoh: Haidar Bagir (salah satu pendiri/pemilik dan CEO Mizan) berawal dari suka nulis/baca sejak mahasiswa, dia jadi editor di penerbit Salman, terus mendirikan Mizan. Di Mizan dia juga masih suka menulis buku.
Menurutku, untuk jadi pengusaha penerbitan modal utamanya ialah keberanian, jiwa enterpreneurship, modal, berisiko untung/rugi besar. Sementara jadi editor adalah karir yang bisa ditempuh berjenjang. Editor lebih merupakan 'profesi.'
Sekadar memberi tahu, sebagian editor setelah beberapa tahun kerja di penerbitan bisa beralih ke bagian marketing, promosi, sales, bahkan distribusi. Bisa jadi karir dan jabatan mereka akan lebih menanjak di sana. Mereka berhenti berhubungan dengan naskah, tapi mereka masih berhubungan dengan buku, atau malah memberi masukan dan bocoran naskah seperti apa yang harus diterbitkan penerbit. Bisa jadi, di perusahaan penerbitan, nanti kamu akan menyaksikan bahwa pegawai yang paling makmur ialah di bagian marketing, distribusi, keuangan, sementara layouter yang menyiapkan buku dari awal terkaget-kaget betapa karir mereka tertinggal. Ada kenalan seniorku yang lebih sukses kerja di bagian marketing, setelah awalnya pindah sebagai editor.
Sebagai bayangan, sebagian editor di penerbit yang berkembang besar setelah jadi kepala editor bisa beralih tugas menangani perusahaan yang lain banget produknya (misalnya film). Harus diakui tidak semua editor yang pernah sukses di penerbitan atau berpengalaman mengelola anak buah (editor junior) dijamin kembali berhasil setelah mendapat mandat mengelola perusahaan baru. Artinya mengembangkan perusahaan itu butuh kemampuan lain.
Kalau niat mau punya penerbitan, mending kamu rajin cari naskah yang potensial di pasar, kontak editor (bisa juga diedit sendiri, atau kalau nekat gak usah diedit), terbitkan. Jual. Banyak pemilik penerbitan basisnya penjual buku, ia tahu ada sebuah buku bisa laris gila-gilaan atau tahu ada channel proyek penerbitan dengan pihak/instansi tertentu. Tapi kalau kamu mau 'punya gengsi' dengan perusahaan atau terbitanmu, ingin image bahwa terbitanmu bermutu, mencerahkan, kamu harus sewa editor atau menjadi editor agar buku itu lebih artistik, punya nilai lebih, bukan sekadar barang kodian. Ha ha ha... aku kayak jago teori dunia penerbitan, padahal belum bisa buat penerbitan---sesuatu yang ada di urutan paling rendah dalam skala prioritasku di dunia penerbitan.
Di penerbitan, entah awalnya jadi editor atau masuk di bagian yang kamu sukai, misalnya promosi atau marketing, kamu bisa pindah ke bagian lain yang lebih prospektif atau cocok sesuai kemampuan dan potensi terbaikmu. Tinggal kamu perhatikan saja kemampuan dan minat utamamu. Contoh, ada kenalan yang sejak awal kerja di penerbit kerja di bagian event (pameran, bazaar, lomba, dan lain-lain). Dia tidak pernah terlibat di dunia editing. Dia sangat sukses di situ; semua event besar di penerbitnya dia urus acaranya. Di penerbit lain ada karyawan yang awalnya sukses di bagian keuangan, pernah jadi karyawan teladan, entah karena restrukturisasi perusahaan atau performa pribadi, lantas pindah-pindah ke bagian lain, termasuk ke bagian editing, sampai akhirnya ke luar. Aku sendiri merasa karirku berjalan biasa saja, tapi aku belum pernah pindah ke bagian marketing, percetakan, atau sales. Paling aku punya sedikit pengalaman di bagian promosi, publisitas, dan literary agent.
Bagaimana suasana kerja di penerbitan? Apa dari bekerja di penerbitan seseorang memperoleh kecakapan yang bisa digunakan di luar bidang penerbitan? Apa dari bekerja di penerbian seseorang punya teman yang bertahan dalam jangka waktu lama?
Pernah mengalami situasi kerja freelance dan tetap sebagai pekerja (karyawan), kesimpulanku ialah kerja pada dasarnya sama dan semua punya tantangan atau keunggulan maupun kekurangan masing-masing. Orang bisa sukses dan gagal baik sebagai karyawan tetap atau pekerja freelance. Aku selalu salut pada orang yang bisa mendirikan perusahaan. Meski aku sering dengar pengusaha itu tega, suka licik, enggak mau rugi sepeser pun, dan aku pernah dengar serta lihat buktinya, satu hal sih mendirikan perusahaan itu susah dan berat. Aku lihat sendiri beberapa kawanku jatuh-bangun mendirikan perusahaan, ditinggalkan ratusan karyawan, termasuk diancam masuk penjara dan pengadilan. Jadi karyawan mungkin lebih simpel; namun risiko dan pendapatannya pun lebih sedikit. Sebagian besar pasti buat pengusaha dan pemodal.
Kerja pada dasarnya soal kepercayaan, kinerja yang bagus, dan tidak mengecewakan orang lain. Ada yang yakin bahwa kerja itu soal melayani, service, memuaskan customer.
Perusahaan dan personal punya tabiat masing-masing, yang penting ialah kompromi atau 'main cantik' selama kerja. Ada motto: What’s best for you is often best for the company in the long run.
Dulu, waktu berhenti kerja pertama kali, di hari terakhir itu aku gemetar dan nangis, karena aku tahu persis kerja di sana adalah a dream come true, satu-satunya penerbit yang ingin aku masuki. Di penerbit, bisa jadi kita bekerja dengan para visioner, cerdas, antusias, dan kita hormati. Tapi jangan bodoh sampai tidak sadar bahwa bekerja di perusahaan itu penuh tekanan, ada target yang harus dipenuhi, kecemburuan profesional, juga kompromi dengan orang lain dalam organisasi. Aku dulu gagal sadar ada apa di balik kejadian kenapa beberapa seniorku pada ke luar setelah aku kerja di sana. Setelah dua tahun, aku baru ketemu batunya, yaitu gagal kompromi dengan perusahaan, persisnya dengan manajer sendiri, yang tentu punya target yang harus beres bareng anak buahnya (yaitu aku dan kawan-kawan). Parahnya aku juga tidak punya loyalitas korps. Lama setelah itu aku merasa bahwa di dunia kerja loyalitas lebih utama daripada kinerja. Kalo kamu setia pada bos apa pun kondisinya, insyaallah secara posisi kamu aman. Aku bahkan pernah lihat seorang karyawan yang jadi tangan kanan sampai dianggap sebagai adik/sodara oleh bosnya.
Kita bisa kerja entah karena rekomendasi, lulus tes, dan punya kualifikasi. Di dunia penerbitan, kita juga bergaul, ada komunitas, punya asosiasi, berkawan. Banyak kawan lama di dunia penerbitan yang bertahan hingga kini dan aku salut dengan kinerjanya. Aku pernah konflik berat dengan kawan dekat, yang malah ribut gara-gara uang dan berbeda pandangan soal cara bekerja---tapi untunglah seiring waktu dan kesadaran hubungan kami baik lagi. Sebagai pekerja freelance, aku pernah nyaris putus asa menagih honor dari kawan lama yang kasih order atau salah paham dengan editor lain yang aku ajak kerja sama. Kerewelan sebagai peresensi membuat aku dimusuhi seorang editor yang bukunya aku kritik sampai mengorbankan pertemanan.
Kekurangan terbesar kerja freelance yang kadang-kadang bikin putus justru rasa sepi karena enggak ada feedback dari orang lain, terutama customer/klien, apa kerja kita bagus atau buruk. Gila, customer itu sibuk semua; parahnya mereka suka kasih order di kala mepet. Reaksi feedback mereka cuma bisa ditebak dari kasih order berikutnya kalau puas atau berhenti kasih order kalau kecewa. Di dunia freelance, aku bisa dapat order sebanyak mungkin, tapi kalau enggak beres juga apa artinya? Nama sendiri yang hancur. Sebaliknya, ada orang memilih kerja freelance karena menawarkan hal yang tidak dimiliki karyawan, misalnya fleksibilitas.
Apa yang menyebabkan seseorang tidak betah bekerja di penerbitan?
Banyak hal bisa bikin seseorang tidak betah kerja di penerbit. Yang pertama ialah gajinya kecil. Sejak dulu semua orang di dunia penerbitan/perbukuan selalu bilang bahwa perputaran uang atau modal di dunia buku itu lambat dan nilainya kecil, misalnya jika dibandingkan industri konstruksi. Coba kamu hitung berapa banyak penulis yang semata-mata mencari nafkah dari menulis. Banyak penulis mengaku mereka mengalami 'split personality' karena harus ngantor atau kerja sampingan lain yang tidak terkait penulisan.
Aku ingat para seniorku ke luar karena bilang gajinya kecil dan kurang buat hidup. Sampai sekarang orang masih berpendapat begitu dan aku masih dengar bahwa gajinya kurang. Orang juga bisa ke luar karena ingin dapat posisi lebih tinggi (misalnya punya anak buah) atau fasilitas lebih, yang sulit mereka dapat dari perusahaan awal. Orang juga bisa pindah kerja karena ingin dianggap penting/berpengaruh atau dipecat dan terpaksa pindah karena wanprestasi. Ada pekerja berhenti kerja karena gagal kompromi dengan bos atau rekan kerja, meski ia masih punya prestasi, kemampuan, atau daya tawar yang mungkin bisa dikembangkan di perusahaan lain.
Tipe perusahaan beda-beda dan itu membuat perilaku, etos, budaya perusahaan, dan karyawan beda. Ada perusahaan yang dikelola terbuka, milik keluarga, atau semau-maunya (situasional). Modalnya juga lain-lain; ada dari investasi seseorang, utang bank, atau pinjaman mertua. Ada orang yang bisa balik lagi setelah mereka berhenti, ada pekerja tipe kutu loncat demi menaikkan karir. Banyak orang bisa betah kerja sangat lama dan membangun karir di perusahaan yang bisa jadi sulit kita bayangkan, lepas bahwa mereka juga memendam ketidaksukaan terhadap sistem yang dibangun pendirinya. Apa pun jenisnya, perusahaan yang baik pasti berusaha mengelola dan mengembangkan dengan berbagai sistem yang dianggap cocok, misalnya menerapkan standar tertentu maupun ISO.
Contoh perusahaan keluarga. Bisa jadi mengelola kepentingan keluarga pemilik dan pendiri malah lebih sulit lagi dibanding mengelola roda bisnis dan perusahaan, karena di situ ada emosi, kekerabatan, share modal, ikatan darah, bahkan status. Bagi yang tidak cocok atau tidak puas, kondisi itu bisa mudah membuat seseorang ke luar. Intinya, semua perusahaan dan pekerja ingin maju dan berkembang. Mereka mencari berbagai cara ke arah sana.
OK, semoga komentarku berguna dan bisa kasih pandangan alasan seseorang untuk jadi editor dan berkarir di industri perbukuan.[]
Anwar Holid, aka Wartax, penulis buku Keep Your Hand Moving.
Saturday, December 14, 2013
Tanpa Pengalaman, Apa Aku Bisa Jadi Editor?
--Anwar Holid
Seorang sarjana baru yang tertarik pada buku, sangat suka baca, dan cinta dunia tulis-menulis ingin jadi editor, tapi dia kecewa lamarannya ditolak terus karena selalu ada syarat "berpengalaman jadi editor minimal satu tahun." Kalau tidak diberi kesempatan jadi editor atau minimal jadi asistennya, tentu selamanya ia tidak akan pernah punya pengalaman itu dan bakal gagal jadi editor. Apa yang harus dia lakukan? Dia kirim surat dan minta saranku.
Berikut ini versi surat yang sudah aku edit:
Banyak temanku yang jadi editor bukan karena latar belakang pendidikan editing, bahasa, atau penerbitan, melainkan semata-mata karena kepekaan dan cita rasa berbahasa, juga passion mereka di dunia tulis-menulis. Baik senior dan kawan sebayaku yang jadi editor dulu ada yang kuliah di jurusan astronomi, fisika, teknik industri, sosiologi, agama islam, seni rupa, dan lain-lain. Aku sendiri memang dilatih jadi editor. Intinya, latar belakang pendidikan bukan halangan untuk jadi editor, malah menjadi kekayaan yang bisa mengembangkan karir mereka.
Menurut kami, bekal utama jadi editor adalah kecintaan terhadap tulisan, dunia buku, kepekaan menilai naskah, kemampuan mengolah bahasa dan menyajikannya dengan hebat, enak, serta keinginan menerbitkan sesuatu yang bermanfaat. Pendapat ini diamini banyak orang. Sebagian orang mengaku "kecebur" di dunia buku, tapi toh menikmati karirnya dan bisa melesat, baik sebagai eksekutif/manajer penerbitan, pengusaha penerbitan, juga media yang terkait dengan dunia buku.
Soal butuh pengalaman (minimal satu tahun) jadi editor, aku pikir bisa diatasi dengan beberapa cara. Kalau kamu pernah gabung dengan pers kampus atau organisasi/klub terkait dengan dunia kepenulisan (misalnya jurnalistik, media, dan penerbitan), pengalaman itu pantas disebutkan dalam CV, bahwa kamu punya kualifikasi untuk dicoba menerima order penyuntingan atau bahkan magang di sebuah penerbit. Kalau memungkinkan, coba datangi sebuah penerbit dan yakinkan bahwa kamu mampu menyuntingg dengan baik, sesuai standar mereka, atau bahkan punya ide lain yang keren untuk membuat naskah jadi punya nilai lebih dan berharga di pasaran. Kalau mau nekat, bilang saja kamu bersedia magang jadi editor cukup dibayar dengan makan siang, asal kamu bisa belajar langsung seperti apa sebenarnya editor itu! Kalau sungguh-sungguh dan punya passion aku yakin keinginanmu akan terwujud.
Kalau diminta contoh naskah yang kamu sunting, cari saja contoh tulisan dari manapun terutama yang menurutmu jelek, terus kamu sunting/perbaiki sesuai keyakinanmu. Kalau keyakinanmu benar dan hasilnya OK, aku yakin penerbit akan percaya bahwa kemampuan menyunting dan menulismu, juga rasa bahasamu OK. Kalau belum bisa praktik menyunting, coba belajar langsung ke senior, kenalan, yang bisa dipercaya untuk praktik menyunting. Mungkin dosen pembimbing, penulis, dan wartawan yang ada di kotamu. Sekarang banyak orang menulis di blog; coba ambil yang menurutmu pantas disunting, dan ajukan hasil suntinganmu sebagai bukti bahwa tulisan itu bisa jauh lebih baik dan punya dampak. Kalau susah mengirim CV atau contoh editan lewat Internet, kirim saja via kantor pos biasa. Jangan sungkan.
Contoh, ada orang diterima jadi editor bukan karena kemampuan menulisnya OK, tapi karena kemampuan bahasa Inggrisnya terbilang sempurna. Orang seperti ini bisa jadi editor naskah terjemahan yang hebat, jadi literary agent, juga negosiator perjanjian bisnis. Pada dasarnye kemampuan menyunting/editing itu bisa dipelajari dan seiring waktu biasanya makin membaik.
Kalau perlu cari buku panduan menulis dan menyunting di toko buku. Ada cukup banyak buku tentang dunia penulisan dan industri penerbitan di berbagai genre. Sebagian isi blogku berisi topik industri penerbitan dan dunia penyuntingan.
Ada banyak cara untuk membantu seseorang yang semangat mau masuk dunia penerbitan atau ingin jadi editor. Sebagian editor atau penulis senang saling belajar, suka sharing tentang dunia yang mereka hadapi, baik ilmu, informasi, seluk beluk, persoalan, termasuk kebusukan-kebusukannya. Di Facebook ada beberapa grup editor dan pecinta buku/sastra seperti Apresiasi Sastra, Penerjemah-Editor, Forum Editor, dan sejenis itu. Coba gabung dan belajar banyak dari sana, sebab ada saja informasi lowongan kerja yang pantas dicoba.
Barangkali kamu bisa mulai karir jadi editor di penerbit kecil. Kalau kinerjamu bagus dan perusahaan berjalan dengan baik, penerbit itu akan besar, dan kamu juga pasti bisa berkembang. Otomatis karirmu meningkat dengan sendirinya. Kamu enggak perlu kerja di perusahaan yang kelihatan lebih besar, tapi cuma membuat kamu jadi sekrup yang kurang berarti karena sulit mengembangkan bakat dan idealismemu. Sebagian penerbit yang dulu kecil bisa menggeliat, terus berkembang, dan akhirnya menjadi ancaman penerbit lama yang sudah besar. Reputasi editor di penerbit seperti itu pasti diperhitungkan.
Foto dari Internet. |
Ini beberapa hal yang bisa dieksplor sebagai bekal jadi editor:
* Apa keunggulan atau kemampuan khusus dirimu sehingga bakal membuatmu bisa menjadi editor yang istimewa? Misalnya: berbahasa Inggris OK banget, nilai TOEFL 900, menguasai fotografi, punya blog yang keren, dan lain-lain.
* Sebesar apa ketertarikan kamu pada dunia buku, penulisan, penerbitan? Apa passionmu? Buku apa yang paling kamu sukai? Bidang apa yang paling kamu minati dan tekuni? Misalnya: agama, kajian sosial, sastra, filsafat, seni, kuliner, musik. Banyak orang yakin passion atau kecintaan bisa membuat seseorang punya energi penuh untuk menjalani pilihan hidupnya.
Banyak orang bilang mereka menjadi editor, kerja di dunia penerbitan, jadi penulis, pengusaha di industri buku, karena cinta, karena punya passion besar di bidang itu. Passion bisa menajamkan 'mata hati', insting, juga keberanian seorang editor dalam menilai dan memutuskan naskah yang berharga untuk diterbitkan, termasuk memberi wawasan, imajinasi, dan kreativitas waktu mengemas naskah bakal jadi buku seperti apa.
Di luar itu, aku mau memberi tahu sejak awal, editor itu di satu sisi cuma bagian karir yang bisa berkembang ke berbagai hal. Kalau kamu sukses jadi editor, entah di penerbit atau dari kerja freelance, mungkin kamu akan menjadi kepala penerbitan, dan tugas kamu tidak lagi jadi editor/menyunting naskah, tapi mencari naskah dan menemukan penulis yang potensial untuk diterbitkan, atau diminta untuk menghasilkan jenis buku tertentu sesuai kebutuhan pasar atau menciptakan pasar buku baru. Bisa jadi kamu ditawari banyak pelanggan (customer, klien) untuk menangani, membuat, dan menerbitkan buku tertentu atau pekerjaan terkait dunia penerbitan. Sebaliknya, kalau kamu bosan jadi editor atau mendapati kenyataan bahwa menjadi editor tidak menjanjikan secara karir dan finansial, mungkin kamu akan pindah kerja menjadi tenaga marketing, promosi, juga penjual buku. Hidup bisa berubah dan begitu juga cara manusia menghadapi dinamikanya.
Semoga jawabanku membantu dan bisa sedikit memberi solusi. Keep your hand moving, keep up the good work.[]
Anwar Holid, aka Wartax, berkarir di dunia penerbitan/penerbitan sejak 1996. Penulis buku Keep Your Hand Moving.
Tuesday, December 10, 2013
Menamatkan Dengan Semestinya
--Anwar Holid
13
Studio album karya Black Sabbath
Genre: Rock, Heavy Metal
Durasi: 68 menit
Rilis: 10 Juni 2013
Rekaman: Agustus 2012 - Januari 2013 di Shangri La Studios, Malibu, Amerika Serikat, dan Tone Hall, Warwickshire, Inggris
Label: Vertigo, Universal
Produser: Rick Rubin
Jika kita browse dan baca-baca selintas sejumlah review atas album terbaru Black Sabbath di tahun 2013, 13, sungguh mengherankan betapa penikmat musik rock, jurnalis/reviewer musik, maupun fans berat grup heavy metal gaek ini banyak yang kecewa. Padahal album ini sukses di pasar bahkan akhirnya sempat jadi album no. 1 di Inggris. Album terakhir Black Sabbath yang bisa menjadi album no. 1 ialah Paranoid (1970), 43 tahun lalu. Artinya, 13 secara komersil jelas sukses di pasar, ditunggu-tunggu, dan mendapat sambutan antusias, tapi barangkali menurut pendengar ahli secara musikal dan artistik ada yang salah.
Pertama, banyak orang menyayangkan betapa Bill Ward, drummer orisinal Black Sabbath, akhirnya mengundurkan diri dari proyek album ini karena berselisih paham soal kesepakatan bayaran kontrak; kedua, Rick Rubin, produser proyek album ini, dianggap gagal menghadirkan signature Black Sabbath klasik; dan ketiga, Brad Wilk, drummer pengganti Bill Ward, dinilai gagal menggantikan seniornya, meskipun ia seorang drummer rock angkatan muda dengan reputasi terhormat. Singkatnya, mayoritas komentar menyangka 13 hanya album Black Sabbath biasa yang reuninya kurang sempurna dan semata-mata didasari oleh keinginan untuk mengeruk uang lebih banyak. Pantaskah tuduhan itu pada Black Sabbath?
Banyak band reuni demi alasan uang dan hasilnya memang kerap menjanjikan, meskipun secara emosional awut-awutan, sisi musikalnya menyedihkan, dan sebenarnya sudah kehilangan chemistry (ruh) sebagai band. Ini bisa terjadi karena fans ternyata bodoh, tapi tetap mau membayar kerinduan atas gegap-gempita konser dari rock stars yang pernah punya masa jaya. Black Sabbath merupakan salah satu band legendaris yang punya masalah tipikal: pemecatan Ozzy Osbourne dari band ini merupakan salah satu peristiwa getir utama dalam sejarah musik rock dan bisa dieksploitasi jadi bahan komodifikasi setiap kali diperlukan.
Dengan segala kharisma dan kontroversinya, Ozzy Osbourne jelas irreplaceable. Buktinya sehebat apa pun kemampuan para penggantinya di Black Sabbath, mereka gagal jadi frontman yang bisa mengambil hati fans dan kesulitan menghasilkan album sehebat masa Ozzy; seolah-olah di sana ada sesuatu yang kosong. Jadi harus diakui reuni ini sebenarnya pantas ditunggu dan memuaskan dahaga para fans. Dibalut uzur, gerogotan penyakit, kesulitan komunikasi dan problem masa lalu, rintangan berproses bersama dalam menciptakan lagu dan proses rekaman yang kurang-lebih makan waktu dua tahun lamanya, membuat album ini seolah-olah makin berharga. Dilihat dari umur dan kesehatan, banyak pihak berspekulasi jangan-jangan 13 bakal menjadi album terakhir Black Sabbath original recipe. Dari sinilah muncul tudingan kepada Rick Rubin yang dinilai harus bertanggung jawab atas hasil akhir album ini secara keseluruhan.
Geezer Butler Ozzy Osbourne, Tony Iommi (l-r), Black Sabbath original recipe. |
Sebagai produser terkemuka dan punya ciri khas, Rubin ingin sesuatu yang lain dari Black Sabbath. Dia mau Black Sabbath menggarap seolah-olah ini adalah album kedua mereka dan jangan sampai terdengar retro. Kenapa? Dalam musik ada mitos "kutukan" album kedua, terlebih dari musisi yang melahirkan debut album revolusioner maupun sukses gila-gilaan. Black Sabbath menghadapi situasi serupa; mereka kerap dapat publisitas buruk, notorius, bahkan dianggap sebagai pelopor band pemuja setan, membuat album-album di masa awal karir mereka sangat sulit mendapat review positif.
Kali ini hasilnya memang cukup beda. Dua lagu pertama album 13 berdurasi 16 menit. Ini luar biasa bagi Black Sabbath yang durasi lagunya rata-rata 4 menit. Total durasi album ini lebih dari 60 menit, padahal selama ini album mereka panjangnya rata-rata di bawah 45 menit. Seolah-olah mengakui pengaruh kondisi fisik tua, rata-rata lagu di album ini bertempo lambat, bahkan sebagian orang bilang di lagu bertempo lambat itu Ozzy terdengar menyanyi seperti seorang pensiunan yang kelelahan. Tony Iommi (gitar) dan Geezer Butler (bass) kerap tampil berpanjang-panjang dengan akrobat instrumentalia, sampai dinilai sebagian orang sebagai siasat mereka menutupi power vokal Osbourne yang terdengar agak kepayahan karena habis digasak renta, alkohol, dan obat-obatan---tapi siasat tersebut terbukti sungguh kena. Sebagai pengiring yang lahir dari 2 generasi lebih muda, di luar dugaan banyak orang Brad Wilk bisa tampil brilian. Dia tidak keder atau berpretensi menggantikan Bill Ward yang nada-nada pukulannya dianggap bluesy/jazzy, melainkan mengisi ruang dengan hentakan kuat dan berisi. Dari segi sound, sebagian orang menilai album ini terdengar terlalu "jernih" sehingga mengurangi keliaran dan kekelaman Black Sabbath. Lirik-liriknya masih bicara soal perang, korupsi, pertanyaan atas keyakinan religius, kehancuran, juga soal usia tua dan kesendirian.
Adakah para komentator kecele atau mereka lupa sesuatu? Sukses komersil 13 mengejutkan semua pihak, bahkan melampaui harapan Black Sabbath sendiri. Apa pun komentar negatif orang, album ini punya chemistry solid dengan intensitas hebat, dan entah apa rahasinya bisa jadi album no. 1. "Kami tahu ramuan buatan sendiri," kata Osbourne. "Seperti musisi gaek lain, kami punya sesuatu yang beda. Ini bukan album musik kodian seperti yang muncul akhir-akhir ini."
Walhasil, sebenarnya apa 13 hanyalah album reuni biasa atau lebih baik dari itu? Osbourne memberi garansi: "Saya malas memberi harapan apa pun kepada setiap orang. Kami sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk bisa menghasilkan album ini, dan mustahil bisa menunggu 43 tahun berikutnya untuk punya album no. 1 satu lagi. Jika itu terjadi, kami pasti sudah tidak kuat untuk rekaman lagi. Jadi sekarang kami bisa istirahat dengan tenang karena tahu sudah menamatkan dengan semestinya melalui album 13 ini."
Bapak heavy metal sudah kembali dan bisa jadi inilah parade kekuatan mereka untuk terakhir kali.[]
Anwar Holid, fans Queen dari Bandung.
Foto dari Internet.
Monday, December 09, 2013
Semakbelukar di Kineruku, Bandung. 2013. |
Semakbelukar Tiada, Musiknya Masih Bernyawa
--Anwar HolidKonser Semakbelukar adalah konser terbaik tahun 2013 yang aku tonton di Kineruku. Well, aku sedikit nonton konser sebenarnya, tapi sangat menyenangkan bisa menonton pertunjukan yang mengesankan dengan musik hebat dan sulit dilupakan, apa lagi dari sebuah band yang memutuskan menggelar konser terakhir sekaligus perpisahan dengan dunia musik. Terdengar dramatik. Padahal publik masih begitu penasaran bertanya-tanya Semakbelukar itu sebenarnya apa dan bagaimana.
Kolektif asal Palembang ini muncul seperti hantu yang hadir untuk membuat bulu kuduk berdiri. Musik etnik Melayu yang mereka bawakan sudah cukup untuk mengalihkan perhatian pendengar dari musik umum yang sehari-hari muncul di radio, televisi, atau playlist music player. Penampilan Semakbelukar yang simpel dan sedikit canggung sama-sekali tidak mengurangi aura performance yang dalam dan emosional sehingga meninggalkan kesan sulit dilupakan, bahkan diakhiri aksi dramatik yang sulit dipercaya.
Ada sejumlah aksi destruktif musisi yang membuat mereka malah legendaris. Aksi bakar gitar Jimi Hendrik, penghancuran alat musik The Who, peruntuhan bata Pink Floyd, pembantingan bas gitar The Clash, juga bakar bendera Amerika Serikat oleh Rage Against the Machine. Semakbelukar mengakhiri konser dengan menghancurkan seluruh instrumen, terdiri dari akordeon, mandolin, gendang, gong kecil, dan kerincing. Apa aksi ini bakal membuat mereka legendaris? Boleh kita taruhan.
Semakbelukar membungkus musik Melayunya dalam dominasi akordeon, jangkauan vokal kuat yang meliuk-liuk, lirik yang humanitarian-religius, diperkuat ritem dari mandolin, gong kecil, kerincing, dan dua gendang. Rada aneh bahwa mereka ternyata tidak menyertakan gitar ud yang biasanya jadi pendamping akordeon, malah menggantinya dengan mandolin, itu pun tidak dibuat menonjol dalam permainan solo atau interlud. Dalam bungkus begitu pun musik mereka bisa dibilang sempurna.
Ricky Zulman (ki) dan David Hersya (ka), duo motor Semakbelukar. |
Memang ada banyak PR di balik Semabelukar ini. Pertanyaan terbesar tentu saja kenapa mereka memutuskan mengakhiri karir sampai di sini saja? Apa ada persoalan internal, ideologis, atau keyakinan. Elevation Records secara implisit mengonfirmasi bahwa berakhirnya Semakbelukar terkait dengan pilihan para anggota kolektifnya untuk mengakhiri urusan dengan musik dan beralih untuk mendalami agama Islam. Ini jelas wilayah abu-abu. Nusrat Fateh Ali Khan, Youssou N'Dour, A.R. Rahman, bahkan Jalaluddin Rumi adalah sedikit figur utama Muslim yang mengekspresikan imannya dengan musik, seni, dan performance art. Tapi di sisi lain ada golongan Islam yang mengharamkan musik. Kita ingat Cat Stevens memilih berhenti main musik di awal-awal dirinya masuk Islam (tapi tetap menerima royalti tentu saja); kemudian comeback dengan spirit dan pendekatan berbeda dalam bermusik.
'Kami tidak akan reuni!' kata Semakbelukar. |
Apa pun argumennya, Semakbelukar mati di Kineruku pada Minggu, 8 Desember 2013 dalam suasana yang dibekap dingin dan gerimis. Penghancuran instrumen itu seolah-olah berhala yang menghalangi jalan mereka pada iman. "Ini adalah bukti kami tidak akan reuni!" tegas Ricky. Cyusss? Miapa? Aksi penghancuran itu langsung mengingatkan aku pada performance art seorang mahasiswa seni rupa di FSRD ITB yang mengeping-ngepingkan dan membakar seluruh karya dan tugas kuliahnya karena ia ingin beralih jadi kurator.
Menjadi saksi berakhirnya sebuah kolektif musik membuat aku terusik. Bahkan para hadirin pun menyayangkan betapa band yang menjanjikan ini mati dini dengan ungkapan menyesal bersama, "Yaaah, kenapa sih harus bubar? Apa tidak bisa ditunda?" Jangan kuatir. Meski Semakbelukar mati, musiknya tidak berhenti. Kita bisa menikmatinya kapan saja baik pinjam di Kineruku atau beli rekamannya di Elevation Records, kemudian memainkannya sepanjang hayat di playlist yang bisa dibawa-bawa ke mana saja.[]
Anwar Holid, penikmat musik, kontributor jakartabeat.net.
Situs terkait:
http://elevationrecords.co
http://kineruku.com
https://soundcloud.com/elevation-records/berlayar-di-daratan
Subscribe to:
Posts (Atom)