Thursday, September 27, 2007

INDONESIA RAYA
-----------------------------
---Anwar Holid, warga negara Indonesia dengan no. KTP 1050050909733005




Pada Jumat, 3 Agustus 2007 lalu aku memenuhi janji membawa Ilalang (7 tahun) sekeluarga ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi di jalan Lembong, Bandung. Dulu sekali ketika masih SMU aku pernah ke sana dengan saudara sebaya dan teman-teman sekolah. Aku lupa bagaimana perasaanku waktu itu. Kini, sambil mengantar anak, ternyata aku entah terkesan atau malas menatap sesuatu yang berhubungan dengan 'negara' atau militerisme. Dulu aku masih kanak-kanak ketika ke sini, dan kembali ke museum satu ini sambil membawa dua orang anak. Fenfen sendiri jelas sekali malas berada di sana, dan sebagian reaksinya ialah dia gelisah dan ingin cepat-cepat pergi dari sana. Aku cukup semangat menemani Ilalang mengelilingi museum dan memperhatikan banyak hal, terutama peperangan yang dahulu dipertaruhkan oleh tentara Siliwangi dan rakyat Jawa Barat pada umumnya. Artefak momen-momen kemerdekaan juga ada di sana; salah satunya ialah meja dan kursi tempat Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir (?) berunding, sekalian dengan teko dan cangkirnya. 'Wah... ini cocok banget kalau dipasang di rumah kita!' seru Fenfen. Aku ngakak. Memang meja dan kursi itu mungil.

Aku senang bahwa Ilalang sangat antusias melihat tank baja, mobil senjata, meriam, senjata mesin, senapan-senapan kuno, mulai dari senjata 'dorlok' atau 'locok' ke bambu runcing, pistol, bayonet (?), pedang, parang, samurai, dan lain sebagainya. Senjata itu tampak begitu agung dan mitikal. Baju-baju yang pernah digunakan para pelawan penjajah Belanda atau Jepang sudah lapuk (cukup terpelihara), sementara bendera merah putih juga sudah usang. Kata Ilalang, 'Ini mungkin ketembak Belanda yah!' waktu melihat bendera merah putih sobek-sobek di tiang tank baja tua karatan tapi masih tampak menakutkan.

Museum itu sendiri makin lapuk; gedungnya tampak tua dan agak diabaikan, meski dijaga oleh para petugas berpakaian dinas kantor militer, lengkap dengan selempang kebesaran. Tampaknya jarangg juga dikunjungi oleh orang. Waktu beberapa hari sebelumnya menelepon bahwa hanya aku sekeluarga yang akan datang, bukan serombongan besar sekolah atau sekelas, petugas sedikit heran. Langit-langit di lantai dua jauh lebih buruk, banyak yang sudah somplak, penuh noda bekas genangan hujan, berbentuk seperti 'pulau-pulau' acak-acakan di bantal tua yang kotor dan nggak pernah dilapisi bungkus bantal yang cantik. Sebagian dinding atas bolong, memunculkan sinar-sinar cahaya dari luar. Dalam hati aku membatin, 'Kodam Siliwangi mungkin malas memelihara museum ini dengan sungguh-sungguh, tapi kalau dihancurkan juga takut kualat sama sejarah.' Jadi museum ini dibiarkan apa adanya, dengan segala keburukannya, termasuk dinding-dinding yang telah mengelupas.

Sambil bicara ini-itu merespons berbagai reaksi Ilalang, aku merasakan aroma heroisme yang dulu pernah dipelajari selama sekolah, terutama pelajaran sejarah dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila), tapi akhirnya makin luntur karena aku tambah tua dan abai tentang hal-hal sejenis itu. Sekarang perasaan itu berubah jadi sejenis apatisme atau sinisme. Well, aku malas bila harus mengungkapkan kejijikanku pada semangat terhadap negara yang tampaknya nihil---tapi aku harus menghargai dan mengakui bahwa ada orang yang percaya pada ide-ide tentang negara agung dan mulia, dan karena itu harus dibela dan diprioritaskan. Aku sejak awal kehilangan perasaan seperti itu. Aku selalu bilang aku memilih menyelamatkan diri sendiri bila negara ini berkecamuk dalam perang karena aku merasa nggak punya hubungan atau ketertarikan apa pun dengan yang namanya nasionalisme. Tapi mungkin aku bohong dengan hal itu. Aku pernah diceritai bahwa nasionalisme baru bisa tumbuh tanpa disangka-sangka. Seseorang bisa menangis karena mendengarkan lagu Indonesia Raya di tengah kapal yang sedang berlayar di laut Pasifik; atau ketika Alan Budikusuma dan Susi Susanti memenangi emas pertama bagi negerinya. Aku nggak punya momen seperti itu. (Mungkin patut dikasihani.) Dari Bandung sini aku menyaksikan separatisme akut muncul di Timor Timur, Aceh, Papua, Maluku---dan berkali-kali pemerintah dan pihak militer Indonesia kecolongan; tapi kalau TNI membalas secara brutal juga pasti bakal jadi persoalan. Kasus yang sulit.

Sekarang ini aku sedang baca Janda dari Jirah karya Cok Sawitri, terbitan GPU, 2007. Buku ini memberi porsi besar tentang raja muda bernama Airlangga, yang kalau menyerbu kerajaan lain, meski masih kerabat, pasti berpola bumi hangus, dihabisi sampai ke anak-anak raja yang ditaklukkan. Dia tega tapi punya alasan kuat, yakni agar dendam nggak mengalir ke keturunan berikut. Masuk akal. Kerajaan taklukkan itu kemudian diurus oleh kerabat yang loyal atau putri-putrinya dia nikahi. Kayaknya sebuah solusi yang bagus. Tapi mungkin nanti akan ada yang menolak dengan sengit; 'Airlangga nggak seperti itu. Itu bohong. Dia jauh lebih mulia dari itu. Dia seorang yang bijaksana dan haus ilmu pengetahuan.' Wah... silakan menulis buku baru saja tentang dia kalau begitu. Bikin alasan yang meyakinkan. Galilah sumber yang lebih dalam dan berwawasan. Dalam buku itu Airlangga nggak khawatir dengan separatisme. Begitu terlihat ada gelagat pemberontakan, langsung dia gerus sampai hancur, tanpa sisa akar---kecuali bila kecolongan. Separatisme atau nasionalisme tertentu pada tanah sendiri tampak lebih bermotif kekuasaan dan keinginan makmur bagi sebuah klan tertentu. Dari dulu aku agak yakin barangkali sebenarnya cukup mudah membangun sebuah bangsa, asal orang mau mengorban diri untuk itu dan terus-terusan disemangati untuk membesarkan keluarga serumpun.

Yang paling menyedihkan aku ketika berada di lantai dua Museum Mandala Wangsit Siliwangi ialah menyaksikan bendera Fretilin yang disita dalam sebuah serangan, berikut simbol-simbol perjuangan mereka. Bendera itu sudah amat lapuk dan luntur; menandakan betapa lama peristiwa bersejarah itu berlangsung. Aku membatin, 'Dulu bendera ini direbut dengan taruhan nyawa oleh para tentara, diserang dengan strategi hati-hati, bahkan mungkin dengan pertumpahan darah di masing-masing pihak (aku lupa dengan keterangannya), dibawa dengan penuh kebanggaan, dan pasukan perebutnya mungkin diberi penghargaan oleh atasan dan negara berwenang. Tapi lihatlah, akhirnya Timor Timur sekarang jadi negara sendiri, merdeka, meski dari koran aku selalu membaca nada miring peristiwa-peristiwa yang terjadi di sana. Akhirnya mereka juga yang menang, memiliki negeri sendiri bagi para pejuang dan pembelanya. Pecundang, penjahat perang, dan pejuang negara ternyata sama saja. Mereka membela sesuatu yang mereka nilai mulia, berusaha saling mengalahkan, dan ternyata begitu berbeda bila dilihat dari sudut pandang lain. Kosong.' Mereka membela fatamorgana bernama Indonesia atau Timor Timur. Aku samar-samar teringat guru Isa dalam sebuah cerita Idrus (?); dia yang sama sekali tak pernah gembar-gembor tentang heroisme ternyata lebih tabah menahan siksa dan tahan menyimpan rahasia daripada seorang 'pejuang' yang sok tapi bernyali ayam. Begitu juga yang ditampilkan di museum itu. Pasukan Siliwangi menyergap rombongan DI/TII; Kartosuwiryo memenggal seorang tentara Siliwangi, pasukan Siliwangi menangkap Kartosuwiryo di tengah hutan, peristiwa G30S, ulama-ulama mengobarkan semangat juang santri melawan Belanda atau Jepang, ibu-ibu sibuk di dapur umum. Heroisme. Membela Indonesia Raya. Barangkali itu yang tampak hilang dalam diriku, dan entah aku akan memilikinya begitu saja, tanpa alasan jelas sekalipun, tanpa pamrih---atau baik-baik saja tanpa itu. Dalam banyak hal aku meragukan ide tentang bangsa atau negara dan hal-hal seperti itu. Aku lebih yakin pada kemanusiaan. Tapi kemanusiaan tanpa politik merupakan sesuatu yang amat sulit, sebab tanpa politik, pemerintahan, dan sejenisnya, sekelompok orang punya potensi berbuat jahat.

Ilalang takjub dengan seluruh isi museum itu, termasuk dua harimau Siliwangi yang diawetkan. Barangkali museum ini mewujudkan imajinasinya tatkala nonton Star Wars, Lord of the Rings, dan film-film epik lain, atau melihat ilustrasi pesawat perang dalam buku-bukunya. Atau membuat dia maju selangkah dibandingkan teman-teman sekelasnya, memungkinkannya bercerita lebih banyak dan pamer pengetahuan pada guru dan sahabatnya. Atau malah menguatkan pandangannya tentang pelajaran sejarah. Dia sudah mulai tanya-tanya bagaimana orang Indonesia dahulu perang melawan Belanda atau Jepang. 'Ayah pernah ikut perang?' tanya dia suatu hari. Aku ketawa ngakak. 'Enggak Lalang... ayah lahir waktu perang sudah selesai.'

Buat aku yang lebih penting sekarang ini ialah kesempatan lebih bagus untuk kemakmuran setiap orang yang menghuni tanah di kolong langit terik ini. Bukankah itu sangat sering kita khawatirkan, bahwa kesejahteraan masih begitu timpang, tapi kita sendiri masih pelit untuk berbagi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan orang lain. Kalau begitu jalan keluarnya ialah bagaimana cara agar orang-orang miskin atau sengsara itu lebih punya kesempatan makmur tapi kekayaan kita utuh dan bertambah. Win-win solution, huh? Aku lebih butuh negeri yang membuat aku bersemangat kerja dan mendapatkan kemakmuran pantas dari sana, mewujudkan sejumlah harapan sederhana sebagai manusia. Aku adalah pribadi tertentu di dunia ini. Apalah arti sebuah negeri dibilang pemurah bila di dalamnya seorang pemulung tergeletak di bawah naungan bayang-bayang pohon karena kecapaian kesulitan mencari nafkah, sementara aku harus sedikit gelisah khawatir dicap mencampur-campurkan kepentingan tertentu karena bekerja untuk dua lembaga.

Pada Minggu, 5 Agustus 2007 lalu aku baca Yayasan Air Putih menemukan teks asli lagu 'Indonesia Raya' karya W. R. Supratman. Barangkali itu temuan penting bagi Indonesia yang terasa kehilangan makna kebangsaan dan kenegaraan, setelah berbagai peristiwa besar terjadi, mulai dari krisis moneter, Reformasi 1998, Otonomi Daerah, atau sistem baru pemilihan wakil rakyat dan presiden. Berartikah itu untukku juga? Aku sulit sekali memaknai temuan itu, tapi tampaknya momennya cocok sekali, menjelang Agustusan. Kejadian itu hanya langsung mengingatkan aku pada mas Farid Gaban karena dia pernah aku lihat menggunakan laptop yang di balik layarnya bertuliskan logo 'Air Putih' amat bagus. Dan sekarang laptop itu ditelan oleh bumi Indonesia, hilang karena dicuri salah satu penduduknya yang entah miskin atau iri melihat barang itu. Alangkah kontras nama 'Air Putih' yang begitu sederhana, sangat biasa, sangat hakiki, dibandingkan 'Indonesia Raya' yang nadanya heroik, bersemangat, barangkali menggetarkan dan patriotik.

Kalau aku orang sejenis Airlangga, yang menyatukan dalam dirinya ide 'negara' dan 'pribadi', mungkin aku akan bersemangat dengan temuan itu. Tapi aku adalah Wartax, ayah seorang anak SD kelas 2 yang tengah tumbuh dan butuh tanah air tempat berkembang lebih baik di masa depan, yang sinis terhadap ide negara, namun susah payah menjalani hidup di dalamnya, harus berdamai dengan banyak hal, mudah makan ati, memiliki sepetak tanah beserta rumah kecil tanpa pekarangan, masih kesulitan bayar kebutuhan hidup bahkan untuk hal-hal yang mendasar, dan masih harus bayar pajak buat negara lagi! Aku tahu tentu konyol kalau berharap pemerintah atau negara ini mampu menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang aku hadapi, termasuk persoalan kemakmuran sekalipun. Cukup pengalaman mengajari negara dan aparatnya sering berpangku tangan terhadap kesewenang-wenangan, bahkan mereka juga tega berbuat brutal dan sembarang comot orang, diam saja terhadap ketidakadilan kecuali ada maunya. Negeri ini menjadi tempat aku bercocok tanam, menjadi buruh, bekerja, bermimpi, berharap, berbuat apa saja, berharap baik, bahkan menjerit-jerit karena kesal atas banyak hal. Norah Jones, penyanyi favoritku, menciptakan lagu yang lebih bersahaja untuk negerinya, 'My Dear Country', salah satu baitnya menyatakan: Aku senang atas hal yang telah engkau berikan kepadaku. Aku amat menyayangimu, negeri tercintaku. Tapi kadang aku tak paham permainan yang kita lakukan. // Aku senang atas yang telah engkau berikan kepadaku. Tapi yang paling penting ialah aku bisa bebas, menyanyikan lagu yang aku lantunkan, di hari pemilihan umum.[]10:17 07/08/2007

ANWAR HOLID adalah warga negara Indonesia dengan no. KTP 1050050909733005; warga Yahoo.com dengan alamat wartax@yahoo.com.

KONTAK: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141, Telp. (022) 2037348 - SMS: 08156140621.
Berakhlak atau Beragama
---------------------------------------
---Anwar Holid


Boleh jadi Jalaluddin Rakhmat dan Arvan Pradiansyah belum pernah tampil berhadap-hadapan, tapi lewat buku masing-masing mereka ternyata bisa berbagi topik serupa. Secara kebetulan buku tersebut terbit berdekatan menjelang bulan Ramadhan. Dua penulis ini jelas berbeda karakter. Yang pertama dikenal luas sebagai cendekiawan Muslim cum pakar komunikasi; yang kedua dikenal sebagai pembicara publik dan fasilitator pengembangan SDM. Persamaannya mereka berdua pandai berkomunikasi dan sukses menulis buku-buku yang mempengaruhi massa karena terbukti bestseller.

Topik yang mereka bagi bersama itu ialah keprihatinan menyaksikan fenomena orang beragama ternyata banyak juga yang berwatak buruk. Jalaluddin mengangkat semangat topik ini dalam buku yang ia juduli Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Mizan, 2007). Sementara dalam Cherish Every Moment (Elexmedia, 2007) Arvan mengusung topik itu sebagai bab yang menantang: "Orang Beragama atau Orang Baik?"

Topik ini terasa klise namun setiap kali dibahas selalu menimbulkan kontroversi, terlebih-lebih bila mengingat kita merupakan bangsa dengan jumlah warga negara beragama terbesar di dunia. Di negara yang dipenuhi orang beragama ini alangkah janggal justru terjadi tindakan pelanggaran HAM, ketidakadilan, kerusuhan massal, penindasan struktural, kemiskinan moral, maupun tindakan-tindakan antikemanusiaan. Apa arti hukum agama bila gagal mencegah pemeluknya dari perbuatan yang merugikan sesama manusia? Ada banyak kasus membuktikan orang beragama ternyata jahat dan tega merendah-rendahkan atau menyerang orang lain dengan membabi buta. Menurut Jalaluddin, itu terjadi karena orang lebih mendahulukan fiqih (tata cara hukum) daripada akhlak; sedangkan menurut Arvan salah satu sebabnya karena orang gagal memahami esensi agama. Orang seperti itu mudah mengatasnamakan keyakinan agama atau dogma, padahal dirinya sama sekali tak tercelup oleh inti ajaran agama tersebut. Orang seperti itu jadi fanatik; toleransinya pada pihak lain nol. Mereka mengutamakan hukum di atas segala-galanya sampai rela menyerang pihak lain yang berbeda. Mereka menganggap kesalehan itu diukur dari kesetiaan terhadap fiqih. Menurut Arvan, kenapa orang beragama gagal jadi orang baik karena orang tersebut menganggap agama merupakan seperangkat peraturan yang membatasi, mengikat, menyusahkan, hitam-putih. Di atas berbagai kepentingan, Nabi Muhammad menyatakan: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Hadis riwayat Al-Thabrani menyatakan: sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat tinggi di hari akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya yang baik, walaupun ia lemah beribadah.

Bukan semata-mata menjelang Ramadhan maka kedua buku tersebut lantas jadi menarik untuk diperbincangkan; keduanya mengingatkan kita tanpa akhlak yang baik terhadap sesama manusia dan alam, kehidupan beragama jadi sejenis omong kosong tentang Tuhan. Robert T. Pirsig di buku legendarisnya, Zen and the Art of Motorcycle Maintenance, menyatakan: Orang bisa secara fanatik membaktikan hidupnya pada politik atau keyakinan agama atau segala bentuk dogma maupun tujuan lain karena dogma atau tujuan tersebut meragukan.

Tentu penulis dari dua generasi berbeda cukup jauh ini juga bukan hendak mengampanyekan pendapat bahwa beragama itu sia-sia atau mengikuti fiqih itu nihil; melainkan para pemeluk agama harus mencamkan dalam dirinya ada sesuatu yang lebih luhur daripada sekadar formalitas atau rutinitas agama. Karena senantiasa menjanjikan hal yang paling luhur, paling mulia, agama mendidik pemeluknya menemukan hakikat ajaran. Jalaluddin menyarankan agar kaum Muslim mengubah cara pandang dari berparadigma fiqih lama-kelamaan jadi berparadigma akhlak. Sedangkan Arvan dengan ungkapan lain membidik maksud serupa, yaitu agar orang menemukan esensi agama, yaitu "kasih." Mengasihi orang lain merupakan kunci agar orang lain bisa dikatakan telah beriman (Cherish, hal. 149). Jalaluddin menarik banyak ibadah ujung-ujungnya merupakan latihan membentuk akhlak, baik shalat, puasa, zakat, dan haji. Shalat sudah jelas mestinya dapat mencegah kekejian dan kemungkaran. Puasa merupakan latihan agar orang bertakwa; orang bertakwa ialah orang yang menginfakkan harta dalam suka dan duka, mampu menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat baik.

Menarik membaca dua pendapat saling menguatkan tentang pentingnya berakhlak baik dan berlomba-lomba memberi manfaat bagi kehidupan. Orang pertama secara eksplisit memanfaatkan teks-teks khazanah Islam, orang kedua lebih implisit menggunakan pendekatan berdasar prinsip spiritualitas-universal, demi menjalani hidup agar indah setiap saat. Manfaatnya sama: bila konsisten dipraktikkan, kedua cara itu mampu mengubah orang jadi tahu betapa berharga kehidupan dan ia akan menjaga agar kehadirannya penuh makna. Arvan mengampanyekan agar setiap saat orang bisa sama-sama menghargai semua momen dalam kehidupan. Ini merupakan ajakan ambisius, apalagi bila mengingat betapa orang dikejar-kejar waktu, mengalami peristiwa buruk, dan kerap menjalani sesuatu secara terpaksa. Kuncinya orang harus menghargai dan menemukan sendiri keindahan dalam kehidupan tersebut. Jalaluddin menyebut empat ciri utama orang yang menganut 'paradigma akhlak', yaitu (1) ia mengakui adanya kebenaran jamak (multiple reality); (2) ia bisa ikhlas meninggalkan fiqih demi persaudaraan; (3) melihat ikhtilaf sebagai peluang untuk memberikan kemudahan menjalankan agama; (4) mengukur kemuliaan seseorang dari akhlaknya (Dahulukan…, hal. 62).

Mumpung Ramadhan, pertama-tama saya mengajak diri sendiri, mari menghargai waktu yang persis kita miliki sekarang dan memenuhinya dengan kemuliaan.[]

NB: Awalnya kolom ini berjudul 'Berbagi Topik Serupa.' Karena pertimbangan biar lebih tegas dan sesuai maksud, saya ubah jadi seperti di atas.