Friday, March 06, 2009




Buku Islam yang Bagaimana?
--Anwar Holid


Islamic Book Fair (IBF) Maret 2009 padat sesak oleh pengunjung. Meski diselenggarakan sederhana dan ada kekurangan, pengunjung tetap antusias dan panitia tetap konsisten dengan nilai yang dibawa.


JAKARTA - Berkat keramahan teman-teman dari Penerbit Mizan, aku berkesempatan mengunjungi Islamic Book Fair (IBF) pada Minggu, 1 Maret 2009. Kami ke sana terutama untuk menyiapkan dan meliput talkshow The 7 Laws of Happiness for Muslim Family yang menghadirkan Arvan Pradiansyah dan Asma Nadia. Tiba di sana kira-kira pukul 14.00-an, jadi aku punya waktu mengelilingi istana olahraga yang disulap jadi ruang pamer dan jualan itu.

Jelas karena hari Minggu, pengunjung membludak banget. Rasanya bahkan lebih padat waktu terakhir aku datang ke sini, yaitu atas undangan Kompas, di acara Kompas-Gramedia Fair tahun 2007, persisnya di Pertemuan Peresensi Pustakaloka-Kompas pada Jumat, 4 Mei 2007.

Tapi aku sendiri kurang nyaman di tempat yang terlalu padat. Kesannya seperti pasar kaget di Gasibu tiap Minggu. Ramai sih, tapi pengorbanannya banyak. Kita nggak bisa lihat-lihat buku dengan nyaman atau memperhatikan sesuatu dengan baik.


"Gue pikir hanya mobil dan motor saja yang bisa macet, nggak tahunya orang juga bisa macet," begitu terdengar seseorang persis di depanku. Semua bagian di tempat itu penuh. Aku berkeliling, mengingat penerbit yang sengaja ingin aku datangi atau melihat hal menarik. Ternyata di bagian sayap kiri gedung itu bocor, jadi mengganggu pemandangan banget. Untung mengucur ke jalan/lorong, bukan ke stand--jadi tempat itu dihindari pengunjung.


Aku sudah lama berpendapat mestinya pameran dan bursa itu diadakan di tempat lebih nyaman, misalnya di JHCC atau di Sabuga kalau di Bandung. Tapi berbagai faktor dan kemampuan menghalangi mimpi seperti itu.


Penerbit Serambi agaknya tampil khusus karena mereka menggunakan momen ini untuk peringatan ulang tahun ke-10. Mereka menghias stand agak lain, jadi cukup mencolok. Salamadani mengeluarkan sejumlah buku baru yang cover-covernya memenangi lomba cover favorit di IBF kali ini. Mizan mengelilingi standnya dengan produk unggulan mereka. Mendisplay stand begitu rupa sampai yang terlihat hanyalah digital print cover berukuran besar, termasuk di antaranya tentu saja Maryamah Karpov karya Andrea Hirata. Beberapa penerbit yang kurang berafiliasi langsung dengan istilah "penerbit Islam" juga muncul, katakanlah kelompok Gagas Media, Erlangga, juga Panebar Swadaya. Ufuk Press dan Rajut Publishing sekilas aku anggap merupakan dua penerbit baru yang inovatif dan produknya mampu menarik perhatian. Mereka jelas menggeliat dan terus tumbuh.





Seeking Truth Finding Islam (Mizania, 2009), buku keduaku, juga sudah bersaing dengan ratusan buku lain di stand Mizan di blok buku baru, mencari perhatian agar dibuka dan dibeli. Subjek buku itu ialah tentang mualaf (convert ke Islam) dan kisah empat orang mualaf yang dianggap sebagai duta Islam di Barat. Mereka ialah Ingrid Mattson, Keith Ellison, Yusuf Islam, dan Hamza Yusuf. Aku sudah minta pada editor Mizan agar membicarakan topik seperti ini misalnya di masjid Laotze, Bandung.


Istilah Islamic Book Fair dan "penerbit Islam" buat aku sendiri terasa bermasalah, sebab ini menunjukkan kaum Islam yang sengaja memisahkan diri dari kebhinekaan Indonesia, meskipun jargon itu juga kurang konsisten dilaksanakan, selain terutama untuk kepentingan dagang. Tapi aku punya teman seorang editor Katolik yang bilang baik-baik saja dengan istilah dan acara itu, sekalian berharap suatu hari ada pameran lain buku yang segmented---minus misalnya pameran "adult book."


Bila Mizan sudah punya banyak imprint yang menerbitkan buku non-Islam, Serambi terkenal karena The Da Vinci Code, Erlangga memanfaatkan ceruk pasar Islam, GPU punya sejumlah produk khas yang didedikasikan buat kaum Muslim, atau penerbit Islam memanfaatkan isu-isu untuk menyerang keyakinan agama lain... apa lagi keistimewaan IBF ini dibandingkan pameran buku dan penerbit umum?

Di satu sisi sempit, terutama dari sudut keimanan, istilah "Islam" itu memang membedakan dari pihak lain, dan itulah yang digunakan untuk menjual segala produk di dalamnya, mulai dari kerudung, aksesoris shalat, ensiklopedia, vcd dakwah dan provokasi, seruan berjihad di Palestina, dan juga bank syariah. Maka di IBF ini aku melihat perempuan bercadar berseliweran, jauh lebih banyak dibanding pameran-pameran lain. Aku juga lihat kayaknya ada beberapa kelompok orang beramai-ramai pakai jaket PKS masuk ke sana, soalnya aku mudah melihat mereka ada di mana-mana.


Tapi Fanfan dari Promosi Mizan menolak prasangkaku. "Dilihat segi tampilan, visi, dan peserta, IBF cukup konsisten kok," tegasnya ketika kami ngobrol di belakang panggung. Panggung Utama misalnya, dari tahun ke tahun di set di tengah-tengah Istora sebagai pusat acara. Ini beda dengan Jakarta Book Fair yang lebih banyak mengadakan acara di lantai 2 atau malah di luar Istora dan KGF di ruang-ruang Kenanga. Fanfan juga menyatakan ketika IBF ini penerbit-penerbit kecil dengan komitmen keislaman kuat jadi terlihat muncul, ini berbeda ketika ada Jakarta Book Fair. Karena keterbatasan stand, penerbit seperti Mizan menyebar produk di berbagai tempat, termasuk di distributor dan toko buku. Taktik cerdas!

Karena produk pameran seperti ini tidak khas Islam, aku pernah usul lebih baik Islamic Book Fair (IBF) diganti jadi Religious Book Fair dan sejenisnya, biar bisa menampung keragaman dan keharmonisan umat beragama Indonesia. Tapi mungkin itu ide prematur dan tidak membanggakan.





Setelah keliling dan berdesak-desakan, secara kebetulan aku melihat dua kopi buku Menghampiri Islam karya Charles Le Gai Eaton (Serambi, 427 hal., 2005) di keranjang obral toko buku Gunung Agung--bukan di stand Serambi. Aku pilih yang lebih mulus--sekalipun terkecoh juga, sebab ada halaman berulang di dalamnya. Dulu aku pernah sengaja minta buku ini ke Serambi karena sudah out of print. Tapi Serambi juga kehabisan. Walhasil aku mendapat buku yang sudah sejak tahun 2006 aku idam-idamkan dengan harga Rp.29.000,- Aku kepincut ingin baca buku ini gara-gara cerita mas Siba waktu kami satu tim di Seuramo Teumuleh di Banda Aceh. Buku itu ialah terjemahan Islam and Destiny of Man yang dipuji-puji semua kritik dan selalu direkomendasikan bagi orang yang mau mengenal Islam itu apa. Charles Le Gai Eaton adalah seorang convert (mualaf) yang terkemuka di Eropa. Buku itu diawali kalimat menghentak: Agama adalah hal yang berbeda.




Itu juga yang membuat IBF tetap beda dari pameran lainnya.[]

ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis.

KONTAK: wartax@yahoo.com Tel.: (022) 2037348 HP: 085721511193 Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid


Dicaci-maki dan Dipuji-puji

--Anwar Holid


SUATU HARI seseorang bertanya kepada temannya, "Andai kata kita dicaci maki oleh seseorang, padahal kita tahu itu salah; apa yang pantas kita lakukan kepadanya? Bagaimana cara kita membalas perlakuan itu? Bagaimana memandang peristiwa itu secara menyeluruh agar bisa memandang lebih baik? Di satu sisi kita ingin menyatakan bahwa kita tidak seperti yang dia caci maki, di sisi lain kita ingin memperlihatkan harga diri, mengingatkan bahwa dia salah, serta memperlihatkan ketegasan, bahwa orang tidak pantas dicaci maki?"


Temannya menjawab, "Well, bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, misalnya kamu dipuji, diberi penghargaan, dibilang baik? Padahal kamu sebenarnya tidak seperti itu sepenuhnya dan ada orang lain yang lebih pantas menerima penghargaan? Apa kita lantas merasa pantas menerima perlakuan itu? Atau menolak? Dicaci maki hanya sebuah peristiwa. Yang penting bagaimana reaksinya. Orang cenderung reaktif, mudah tersinggung, defensif.

Ada baiknya kita berjarak dulu dengan itu. Andai kita dicaci maki padahal tahu persis tak pantas menerima perlakuan itu, kita diam dulu. Ada apa dengan peristiwa itu? Barangkali benar kita tak pantas menerima perlakuan itu, tapi peristiwa apa pun bisa terjadi begitu saja. Tak ada yang bisa mencegah peristiwa bila itu harus terjadi. Barangkali tanpa sepengetahuan kita sengaja terpilih mengalami peristiwa nahas itu sebagai latihan akan seperti apa kita bereaksi atau menganggap kejadian itu. Hati-hatilah saat bereaksi. Barangkali peristiwa itu terjadi untuk membangunkan ego, sisi gelap kita, dan kita tahu, betapa mudah itu muncul.

Semua orang punya kelemahan, dan persis dengan hal itu dia diuji. Bila orang merasa punya harga diri, persis dengan harga diri itu dia diuji. Bila orang merasa saleh, dengan kesalehan itu dia dicoba. Cacian, pujian, peringatan, keberhasilan... semua itu kurang lebih sama saja. Yang berbeda adalah bagaimana kita menghadapinya, sampai kita tahu apa itu sebenarnya."

Semoga dengan memilih pikiran, orang bisa bahagia.[]

Perampokan yang Gagal

--Anwar Holid

Seorang manajer perusahaan asuransi suatu hari ingin membeli anggur. Dia sukses, kaya, berselera. Waktu menerima botol anggur dari penjual, dia lihat label anggur itu tergores merusakkan merknya. Dia menolak dan minta ganti yang baru. Penjual dengan senang hati melayani, meminta pelayan mengambil botol baru yang ada di gudang. Waktu mereka ngobrol sambil menunggu pelayan kembali, saat itulah seorang perampok bersenjata masuk.

Perampok mendorong manajer itu sampai jatuh ke lantai, segera menyanderanya dan menodong pemilik toko untuk segera mengumpulkan uang dan menyerahkan kepadanya. Pemilik toko tak melawan, lebih aman menyerahkan harta daripada nyawanya. Ketika uang hendak dia serahkan, sang pelayan muncul dari pintu belakang, memegang botol anggur baru. Terkejut karena menyangka hendak diserang, seketika perampok menembak pelayan itu kena persis di perut, dan seketika juga tumbang, tapi tangannya tetap menggenggam botol. Perampok langsung panik. Dia tahu kecelakaan itu bisa membuat hidupnya terancam. Maka perampok itu segera kabur tanpa sempat membawa uang yang sudah di hadapannya.

Pemilik toko berusah mengejar perampok di luar toko; sedangkan manajer asuransi itu langsung menolong dan memegang pelayan yang roboh. Berusaha membantu menenangkannya, meskipun panik karena nyawa pelayan itu kritis. Pikirannya berkecamuk, bagaimana mungkin keinginan mendapat anggur dengan label sempurna sampai harus ditebus oleh sebuah nyawa, disertai insiden, kecelakaan, dan kejadian tragis seperti itu?

Meski menurut kita itu sebuah kebetulan, peristiwa itu terjadi, dan semua jadi guncang. Peristiwa berbahaya itu membuat sang manajer berpikir:


  • Apa kejadian ini hanya kebetulan?

  • Apa perampok itu betul-betul ingin menganiaya, bukan semata-mata ingin merampok uang? Perampok ini betul-betul nekat, sampai dia gagal mencari alternatif untuk mendapatkan nafkah buat hidupnya.

  • Kenapa yang jadi korban malah pelayan toko, orang yang mau membantu dan melakukan kebaikan mengambilkan botol anggur yang sempurna untuk dirinya?

Pikir manajer perusahaan asuransi itu: "Andai aku menerima botol dengan merk cacat itu, tentu tak seperti ini kejadiannya. Tak perlu sampai ada yang tewas. Kenapa aku begitu terganggu oleh gores kecil itu? Tapi sebaliknya, kalau semua ini tak terjadi, aku tak mengalami peristiwa dramatik ini, terlibat dalam peristiwa yang bersentuhan dengan nasib orang lain, kapan lagi aku tambah sedikit bijak, atau muncul kemungkinan perubahan jalur hidupku?"

Manajer itu jadi sadar betapa manusia kerap mudah bertindak dengan pandangan picik. Entah karena terdesak oleh kebutuhan hidup atau memang seorang kriminal, perampok itu sampai membunuh orang lain demi mendapat uang. Pikir manajer itu: Dia pasti kesulitan mendapat perspektif hidup yang lain, pandangannya terhalang oleh sejumlah hal, terpaksa menggunakan kekerasan. Tapi manajer itu juga mengira-ngira: bila perampok itu minta uangnya, apa dia tetap mau kasih?

Memang sulit mengira yang bakal terjadi sedetik kemudian. Kerap manusia kurang sabar menanti keutuhan cerita agar bisa menyaksikan lebih utuh. Padahal orang baru bisa paham setelah mengalami banyak hal, ujian, pengorbanan, termasuk waktu. Wawasan dan kebajikan tidak datang begitu saja, dia perlu tempaan. Untuk mengerti secara utuh kadang-kadang orang harus hancur dulu, egonya perlu dikalahkan.

Renungilah diri sendiri, betapa sering kita terlalu cepat menyimpulkan, terburu-buru ingin 'menyelesaikan' atau bereaksi, kemudian baru sadar ternyata kita hanya kurang sabar menunggu satu detik lebih lama agar semua berjalan sempurna.[]

Aku menulis kisah ini setelah nonton film Auggie Rose.

Monday, March 02, 2009



Bersama-sama Mengupayakan Keluarga Bahagia

--Oleh Anwar Holid


Arvan Pradiansyah & Asma Nadia jadi magnet dalam talkshow The 7 Laws of Happiness for Muslim Family di Islamic Book Fair 2009. Kedua penulis setuju bahwa setiap suami-istri bisa mengupayakan keluarga bahagia.


JAKARTA - "Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, kemudian cintailah pasangan Anda," demikian salah satu saran Arvan Pradiansyah terhadap krisis yang kerap terjadi dalam keluarga Indonesia sekarang. Penulis buku The 7 Laws of Happiness ini sengaja dipasangkan dengan Asma Nadia untuk membicarakan topik vital yang merupakan perhatian semua pasangan suami istri. Arvan kali ini menggunakan ketujuh poin dalam The 7 Laws of Happiness untuk membangun kebahagiaan keluarga. Dalam buku itu dia cukup banyak menceritakan kasus rumah tangga, mulai dari hal yang "ringan" seperti cara sederhana mengungkapkan kasih sayang, sampai hal "berat" misalnya perceraian, perselingkuhan, juga kekerasan dalam rumah tangga.


Keluarga merupakan salah satu masalah paling personal yang bisa dialami setiap orang, sekaligus pengalaman paling general bagi umat manusia. Sayangnya, manusia justru kurang mendapat bekal memadai ketika mereka memasuki jenjang pernikahan. Pendidikan pranikah nyaris tidak diperhatikan banyak kalangan, kecuali ceramah singkat orangtua kepada anaknya menjelang mereka nikah. Sementara calon suami-istri menilai menjalani pernikahan itu sesuatu yang mudah.


Asma Nadia lebih menyoroti sisi perempuan, terutama sebagai istri. Ini terkait dengan tema bukunya yang akhir-akhir ini banyak mengolah curahan hati perempuan. Sejumlah orang bilang kepadanya, kenapa buku dia jadi terasa cengeng dan banyak menguras air mata? Asma menegaskan buku-bukunya justru untuk menguatkan kaum perempuan. "Bagaimana setelah luka itu dihikmati agar bisa menjadi cara kita menuju bahagia," katanya.


Problem keluarga dan rumah tangga memang begitu luas. Dari masalah peliknya hubungan suami-istri hingga ekonomi. Menarik, Arvan mengungkapkan data statistik bahwa masalah terbesar keluarga Indonesia justru perceraian yang dipicu oleh perselingkuhan dan ketidakharmonisan pasangan. Sementara ekonomi ada di peringkat bawahnya. "Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan itu berawal dari pikiran, bukan dari harta benda," tegasnya. Dia juga menilai bahwa taraf perselingkuhan sekarang sudah gawat, sebab secara bawah sadar pun merasuk deras baik lewat lagu pop, sinetron, dan iklan.


Ketika ada peserta bertanya apa yang paling dasar harus dilakukan agar keluarga bahagia, Arvan menjawab tegas, "Sabar dan syukur." Sabar merupakan dua fondasi paling dasar The 7 Laws. Namun Arvan segera secara retorik bertanya, "Sabar seperti apa yang bisa membuat orang bahagia?" Yaitu sabar dalam pengertian aktif, bukan mengelus dada. Sabar di sini ialah berusaha terus, mengupayakan yang terbaik untuk melakukan perubahan. Misal saat pasangan bermasalah serius. Bila pasangan mau cerai, mereka mestinya mempertahankan pernikahan habis-habisan, apalagi ada faktor keluarga dan anak-anak di sana. Hal seperti ini malah jarang dilakukan. Beda bila orang bermasalah dengan perusahaan. Mereka menempuh berbagai cara agar kerja tetap langgeng dan perusahaan selamat.


"Biasanya, orang yang mau menikah terlalu berlebihan melihat sisi positif pasangannya, sementara kalau mau cerai selalu melihat sisi yang buruk-buruk, sisi positifnya dilupakan," tegas Arvan. Akibatnya perceraian terjadi dengan mudah, keluarga berantakan, dan orang-orang terdekat--terutama anak-anak--jadi trauma dan bermasalah.


Asma Nadia, berkat jaringan pembacanya yang sangat luas, kerap menjadi "keranjang sampah" sesama perempuan. Masalah itu mulai dari istri yang merasa terkungkung oleh beban rutinitas rumah tangga, perubahan peran dari lajang jadi istri, suami dianggap kurang romantis, atau malah abai terhadap perhatian istri. "Kita harus lebih fokus pada kelebihan pasangan, dan mensyukuri setiap keadaan pada diri kita," tuturnya.


Acara di Panggung Utama Islamic Book Fair ini dipadati peserta yang bertahan sampai acara tuntas. Mereka bahkan sudah tumpah di lantai dan mengerumuni batas arena ketika talkshow diawali doorprize oleh penerbit Mizan dan informasi manfaat Internet bagi keluarga oleh layanan Speedy.


Banyak peserta datang karena telah mengenal Arvan Pradiansyah sebagai host talkshow di berbagai radio. Sekarang dia membawakan acara "Smart Happiness" di Smart FM, Jakarta. Sementara Asma Nadia terkenal sebagai penulis prolifik dan salah satu tokoh organisasi penulis terbesar di Indonesia, Forum Lingkar Pena.[]

Copyright © 2008 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

Situs terkait:

Kontak dengan Arvan Pradiansyah dan Asma Nadia di http://www.facebook.com/