Thursday, December 22, 2011

My New Favourite Thing: Omega Constellation

My New Favourite Thing: Omega Constellation
---Anwar Holid

Aku bukan orang yang fashionable.

Aku juga bukan orang yang punya selera tertentu terhadap asesoris. Aku enggak terbiasa mengenakan asesoris dan tumbuh dengan kesadaran begitu. Satu-satunya asesoris yang terus menempel di badanku sejak kuliah semester 3 ialah kacamata, itu kalau mau menganggap bahwa mata minus bukanlah cacat, melainkan kesempatan untuk sedikit bisa bergaya.

Karena bukan fashionista dan buta asesoris, enggak pernah aku pakai gelang, cincin, jam, apalagi anting, tato, atau tindik. Dulu ada kawan sekelasku dapat hadiah ulang tahun arloji Mido dari ayahnya dan aku enggak ngerti kok bisa dia begitu heboh terhadap benda itu. Di tahun 1990-an aku suka banget pakai baju flanel, tapi entah ke mana sekarang baju flanel terakhir favoritku berada. Mungkin tersesat di suatu alamat palsu atau sudah aku sumbangkan waktu ada kesempatan.

Tapi sudah beberapa hari ini kebiasaanku soal asesoris berubah. Itu terjadi sejak aku mengenakan arloji Omega seri Constellation. Ceritanya, setelah ayah mertuaku meninggal pada awal November 2011, anak-anaknya pada mengambil pernak-pernik barang personalnya, baik baju, topi, kacamata, pipa, sampai pisau lipat. Aku sendiri dapat sepatu bot kulit, yang ukurannya sedikit kegedean.

Jam tangan Omega itu salah satu yang diambil Ilalang. Kondisinya sudah mati, kusam, dan dua pointer jamnya lepas. Fenfen bilang Omega itu adalah hadiah dari menantu mertuaku yang orang Australia. Aku bilang ke Fenfen, "Sini nanti aku bawa ke Rani biar direparasi." Rani adalah pemilik garasiopa.wordpress.com, toko online yang menjual barang-barang vintage, termasuk jam. Salah satu jam yang baru pertama kali aku lihat dan sangat unik di toko itu ialah arloji 24 jam.

Aku blank soal jam, jadi enggak punya anggapan apa pun soal Omega. Aku pikir semua jam sama, kecuali image dan tingkat kemewahannya. Waktu diserahkan ke Rani, aku tanya, "Ini jam bagus enggak, Ran?" Maksudku, kalau itu jam murahan, buat apa direparasi? Dia menjawab, "Bagus kok. Lumayanlah."



Benda asesoris favorit
Setelah beberapa hari di tangan Rani, aku sangat takjub melihat jam itu kembali dalam kondisi sangat cantik. Bukan saja pulih, ia juga tampak mulus, bersih, elegan. Begitu melingkar di lengan, aku langsung suka dan janji mau terus mengenakannya. Ia kelihatan simpel, gaya, dan keren.

Setelah itu aku penasaran pada Omega Constellation. Baru tahu aku ternyata Omega adalah perusahaan pembuat jam legendaris yang ada sejak 1848, salah satu merk paling dikenal di dunia. (Ini bukti bahwa aku kuper dan enggak fashionable.) Saingan terberatnya ialah Rolex. Mereka berani menyebut 7 dari 10 orang pernah dengar jam Omega. Aku juga baru kali ini ngeh sama Omega, dan jadi ingat pada iklan-iklannya di Time. Urban legend yang fanatik pakai Omega adalah.... James Bond.

Constellation merupakan seri unggulan Omega; mungkin untuk pasar umum, bukan high-end. Seri ini tampaknya salah satu jam paling collectible dan karena itu banyak dipalsukan. Ini bisa disimpulkan dari sekilas baca-baca laman soal jam vintage.

Karena Constellation ini dari Australia, jadi kepikiran apa ia asli, replika, palsu, atau KW-XXX? Yang paling meragukan, di permukaannya memang tidak ada tulisan AUTOMATIC CHRONOMETER ditambah OFFICIALLY CERTIFIED. Sementara di plat dalam tertulis JEWELS SWISS MADE. Dari browsing aku juga mendapati Constellation yang polos.

Tapi ah peduli amir dengan keragu-raguan itu! Omega Constellation ini fungsional, cantik, berguna. Selesai. Buatku yang paling penting ialah menghargai kenangan pada mertua. Sisanya, ia adalah benda asesoris kehidupan seperti halnya rapido dan album-album Queen.[]

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

Situs terkait:
http://garasiopa.wordpress.com/

Thursday, December 15, 2011


Memang Aku Ini Selaknat Apa?
---Anwar Holid

Apa cap terlaknat yang pernah kamu terima?

Ada orang bilang bahwa aku keras kepala, kaku, pilih-pilih pekerjaan dan malas bantu orang lain, tidak kreatif, membangkang, tanpa inisiatif, mengabaikan orang lain, makan gaji kegedean, ditambah meremehkan orang lain dan berani menyepelekan atasan. Yang paling gawat, aku pernah dicap tidak beriman. Tidak beriman kan sama dengan kafir!

Bagi orang yang tidak pernah ke pelacuran, bersih dari rokok, minuman beralkohol dan narkoba, masih berusaha beribadah, takut masuk neraka dan belum pernah masuk night club, secara umum punya niat berbuat baik, bukan kriminal, bersih dari KKN, berniat jadi orang sederhana, setia pada pasangan dan keluarga, tidak selingkuh, tidak terlibat dengan organisasi separatis maupun teroris, berusaha rendah hati, bukan bagian dari sekte ekstrem dan dianggap sesat, mengaku masih terus mau belajar, berusaha memahami kehidupan, bahkan suka menggantungkan doa, ratapan, dan bertanya-tanya tentang Tuhan itu apa, cap seperti itu merupakan skandal besar. Keterlaluan. Memang aku ini selaknat apa?

Dari daftar pendek itu kalau mau kamu bisa bayangkan betapa baik dan terpuji sebenarnya aku. Tapi apa klaim itu nendang? Hah, bukan sombong! Aku mau menunjukkan betapa kebaikan ternyata tidak ada apa-apanya! Ralat: bukan tidak ada apa-apanya, tapi masih kurang. Jauh dari cukup. Sifat-sifat itu baru jadi syarat minimal, hingga orang tertentu menuntut lebih dari sifat tersebut. Padahal mungkin tidak semua orang memiliki kualitas sehebat itu. Buktinya kejahatan terjadi setiap saat tanpa henti.

Bayangkanlah kalau aku terkenal suka berzina, selingkuh, mabuk-mabukan, ketagihan narkoba, penipu, pencuri, korupsi triliunan rupiah, rantai dari mafia perjudian dan perdagangan narkoba, menyandera anak kecil untuk minta tebusan atau menculik gadis perawan, jadi kriminal, jadi buronan Interpol, dicokok aparat negara gara-gara memperkosa atau jadi otak pembunuhan serial... wah, tentu makin busuk saja diriku. Tambah laknat. Tak terbayang lagi bahwa aku pernah menerjemahkan, mengedit, menulis, suka mempromosikan kebaikan, dan berusaha terus waras menghabiskan sisa umur.


Drama orang beda-beda

Soalnya, ada fakta aneh di dunia ini: Kita saksikan ada banyak orang yang terbukti bangsat raksasa, otak bajingan, merugikan negara atau masyarakat, sangat berbahaya, ternyata masih dibela-bela, dilindungi, disebut-sebut jasa, upaya, dan keberaniannya, baik oleh para ahli maupun orang bayaran. Ini gawat banget. Kenapa orang sungkan atau takut melaknat penjahat dan cenderung baru berani kalau banyakan?

Yah, nasib orang bisa sangat aneh. Puluhan tahun berniat jadi orang baik hanya berujung menerima berbagai cap yang merontokkan mental dan moral.

Memang sulit mengetahui niat orang lain terhadap kita, maka mereka bisa memberi cap atau berprasangka apa pun. Lebih menyebalkan lagi ketika cap busuk itu terlontar di zaman "talent management" yang bermaksud memaksimalkan kemampuan terhebat dalam diri seseorang, sehingga otomatis kekurangan dirinya terkubur dan dirinya bisa fokus mengembangkan kreativitas terbaiknya. Contoh gampangan: bakat dan kemampuan terbaik Brian May ialah jadi musisi, bukan fisikawan.

Sayangnya talent management tidak terjadi pada setiap orang dan itulah yang membuat nasib orang beda-beda dengan drama sendiri-sendiri. Bayangkan ada striker produktif yang pada suatu periode mandul sampai membuat dirinya seperti bakal tak becus lagi melesakkan gol. Awalnya orang prihatin sambil bertanya-tanya apa yang salah. Tapi lama-lama mereka mencemooh dan mencaci-maki. Ada apa sebenarnya? Apa strategi kesebelasan, gagal beradaptasi, chemistry dalam tim, persaingan negatif, atau masalahnya terjadi di luar lapangan, mungkin karena gaya hidupnya kacrut, dia bermasalah dengan pasangan dan keluarga, atau disuap, dililit utang luar biasa besar, dan mendapat ancaman pembunuhan. Dia sendiri kesulitan mengungkapkan inti masalah yang membuatnya jadi buruk dan gagal segera membuktikan lagi bahwa ia sehebat dulu. Sementara orang lain hanya mau tahu dia membobol gawang. Kalau gagal menyelesaikan masalah, lama-lama dia frustrasi, dan gagal bangkit lagi.

Orang bisa memberi cap apa saja

Di sisi lain bisa jadi seseorang mengutuk karena merasa berhak disertai alasan kuat. Mereka punya kepentingan dan sering hanya bisa melihat dari sudut pandang sendiri. Pendapat mereka mengandung kebenaran. Mungkin mereka tidak sepenuhnya salah. Parahnya, mereka membombardir titik terlemah kita, membuat limbung dan kalap. Sebagian orang diumpat dengan nama-nama binatang, diancam, atau diserang secara fisik.

Di luar itu, mungkin persoalannya memang sungguh berat, taruhannya amat besar, menyangkut kepentingan banyak orang, sehingga mereka merasa berhak menuntut dan minta bagian. Sayang, chemistry maupun sinergi sudah buruk. Gaya kepemimpinan tidak cocok, tingkat kepercayaan rendah. Inti masalah sulit ditemukan. Semua mampet. Ketidakpuasan menggelegak, kecurigaan membludak, konflik meledak. Yang tadinya kawan jadi lawan, yang tadinya percaya jadi curiga, yang tadinya ramah bawaannya jadi marah, yang dulu baik kini jadi menuduh, yang dulu utuh kini jadi pecah.

Bila sudah separah itu, tinggal kita lihat cara orang menyelesaikan persoalan. Apa tetap berusaha baik-baik atau dengan merentetkan laknat dan makian.

Sejumlah masalah baru bisa disadari sebabnya setelah sekian lama jadi misteri padahal kondisinya sudah parah. Begitu sadar, orang pelan-pelan paham, berusaha memperbaiki, mencoba bangkit, dan menyelesaikan baik-baik. Mereka berjuang, punya niat baik, tidak gampang mengeluh, berani berisiko, bertanggung jawab, tahu konsekuensi dari pilihan dan tindakannya. Tapi bisa jadi rekan kerjanya sudah kehabisan kesabaran, penanam modal tidak percaya lagi, bos tidak paham dan bosan dengan janji, mitra menghentikan kerja sama, pelanggan pergi dan komplain, sementara kawan menghindar dan cepat-cepat mau cuci tangan.

Bila sudah segawat itu, tinggal kita lihat cara orang menyelesaikan masalah. Apa dia akan sukses dan akhirnya berbalik dipuja-puja atau berakhir hancur-hancuran dan jadi bahan cemoohan. Atau lebih parah lagi: jadi contoh buruk, dianggap kriminal, dan mendapat cap selaknat-laknatnya.

Ada yang bilang orang tidak butuh kisah sukses. Tapi kayaknya orang dan dunia masih butuh pahlawan. Pahlawan tidak selalu sukses kan? Buktinya ada antihero. Boleh jadi di situlah pentingnya perjuangan, konsistensi, pendirian, prinsip, adaptasi, termasuk mau menerima atau mau berubah. Orang lain silakan mencap semau mereka, seburuk apa pun. Biarkan saja mereka dengan keinginannya. Itu hanya menunjukkan karakter mereka sendiri. Yang lebih penting ialah cap oleh kita sendiri. Sebenarnya kita menganggap diri sendiri seperti apa. Toh orang hidup dengan cara dan takdir masing-masing. Mau berusaha tetap waras atau lama-lama kalap. Sebagian besar dari kita juga tidak tahu cerita diri kita akan berakhir sampai di mana. Sebab hidup kadang-kadang hanya merupakan peralihan dari satu periode ke periode lain.[]

* Gambar dari searching di Internet.

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010). Belum pernah bersumpah dengan cap jempol darah.

Tuesday, November 08, 2011

Menuntaskan Keriaan Ulang Tahun
---Anwar Holid

Deep Cuts, Volume 3 (1984–1995)
Band: Queen 
Jenis: album kompilasi
Rilis: 5 September 2011 
Rekaman: 1984–1995 
Genre: Rock 
Durasi: 57:01 
Label: Universal Music, Island Records


Deep Cuts, Volume 3 (1984–1995) adalah paket ketiga seri kompilasi seleksi lagu-lagu minor dari lima album studio terakhir dalam karir Queen, yaitu The Works, A Kind of Magic, The Miracle, Innuendo, dan Made in Heaven.

Pada periode ini sejumlah kritik menyatakan bahwa Queen sebenarnya sudah lelah dan habis. Meski begitu faktanya Queen tetap masih mampu menciptakan sejumlah hits lepas betapa di sepanjang periode ini karir mereka naik-turun. Buku panduan 1001 Albums You Must Hear Before You Die dengan tega menyatakan bahwa kelima album Queen tersebut tak ada yang pantas didengarkan untuk sepanjang dekade '80 - '90-an. Pendapat ini mungkin ada benarnya. Tahun 80-an adalah milik Michael Jackson, sementara tahun 90-an dilanda gerakan grunge dan alternatif rock. Band-band seangkatan Queen menjadi dinosaurus: besar, bagian dari klangenan generasi tua dan mapan, tapi menjelang punah.

Queen juga berpikir ulang menimbang karir mereka: bagaimana agar tetap bisa berpengaruh dalam skala besar. Apa mereka harus merevitalisasi ciri khas grandeur, berlapis-lapis, dan rumit di awal karir atau menjadi band rock yang langsung dan simpel? Hasilnya beragam: The Works dan A Kind of Magic bisa dibilang straight rock, sementara The Miracle, Innuendo, dan Made in Heaven kembali terasa agung, dihiasi banyak elemen bernuansa orkestra dan harmoni berlapis-lapis. Di luar segi musikal, mereka menciptakan rekor baik sebagai band yang mampu mengumpulkan penonton paling banyak ataupun rekaman mereka paling banyak dikoleksi para audiophile.

Apa kompilasi ini bisa diabaikan?

Deep Cuts, Volume 3 secara aneh gagal menghasilkan kesan kuat sebagaimana dua Deep Cuts sebelumnya. Bisa jadi karena pilihan tracknya terasa begitu tipikal dan seragam sehingga menghasilkan nuansa yang nyaris sama dengan kompilasi Greatest Hits III atau kompilasi komersil Queen lainnya. Lagu minor dan big hits jadi terdengar tidak relevan dan sulit dibedakan.

Lagu yang distingtif dalam kompilasi ini bisa jadi hanya Is This The World We Created...?, Don't Try So Hard, One Year of Love, dan Bijou. Keempatnya lagu slow yang kontemplatif. "Bijou" membuktikan bahwa ketika zaman rock menilai solo gitar sudah usang, Brian May masih bisa menciptakan lick yang mencuri perhatian dan menyadarkan orang betapa hebat band ini secara keseluruhan. Namun lagu seperti I Was Born To Love You membuat kompilasi ini jadi parah. Ini adalah lagu pop cengeng yang diaransemen ulang setelah Freddie Mercury meninggal dunia agar terdengar jadi hard rock khas Queen.

Pendapat bahwa di dekade '80 - '90-an Queen sudah kepayahan mungkin ada benarnya, meski berkat pengalaman dan pendukung yang kuat, band ini tetap mampu mengolah formula untuk menciptakan lagu sukses. Karena itu kenapa tidak sekalian memasukkan lagu yang bernuansa sangat beda, seperti Rain Must Fall yang berirama Karibia, Pain Is So Close To Pleasure yang memperlihatkan kekuatan vokal falseto Freddie, atau Delilah yang lucu. Mungkin itulah cara mendengar Queen dari sudut pandang lain. Walhasil, kompilasi Deep Cuts, Volume 3 (1984–1995) ini seperti sekadar melunasi formalitas untuk merayakan ulang tahun ke-40 karir mereka mewarnai musik rock.[]

Anwar Holid

Link terkait:
http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_Cuts,_Volume_3_(1984%E2%80%931995)

Wednesday, October 19, 2011

Tragedi buah apel!

Mungkin memang enggak relevan, tapi teuteup ajah menarik untuk dibandingkan.


Dapat fotonya dari dowload di Facebook.

Friday, October 07, 2011

Arvan Pradiansyah: Conflict is Blessing
RINGKASAN SMART HAPPINESS, SmartFM Network Jakarta
Jumat, 7 Oktober 2011

Konflik sering disalahpahami oleh banyak orang, sehingga orang lebih suka menghindari atau tidak memunculkannya ke permukaan. Padahal konflik merupakan hukum alam (natural law), bagian dari keseharian manusia, sehingga tidak mungkin manusia hidup tanpa konflik. Konflik terjadi ketika keinginan atau kepentingan seseorang berbeda dengan orang lain. Demikian Arvan Pradiansyah mengawali talkshow yang populer di SmartFM Network Jakarta.

"Jangan memberi label buruk pada konflik. Conflict is blessing," kata motivator yang dijuluki "The Happiness Inspirator" itu. Dia bahkan menyatakan hubungan yang tanpa konflik tidak sehat. Menurut Arvan, konflik itu netral, namun tergantung orang bisa membuatnya jadi positif atau negatif.

Menangani konflik dengan baik akan mampu membuat kualitas hubungan seseorang semakin baik. Hasilnya ialah berupa "mutual understanding" (pemahaman bersama), kita jadi lebih baik dalam memahami orang lain. Arvan mencontohkan, customer loyal justru berasal dari customer yang pernah punya konflik dengan penyedia jasa. Setelah ada konflik kedua belah pihak jadi tahu lebih baik mengenai keinginan masing-masing.

Cara terbaik menyelesaikan konflik ialah dengan fokus pada masalah (sumber konflik) dan berkolaborasi bersama-sama untuk menyelesaikannya. Pihak yang berkonflik harus terbuka. Sayang orang kerap beralih pada individu. Bias tersebut membuat hubungan jadi tidak sehat, sementara masalah tidak kunjung selesai. Kunci dari upaya menyelesaikan konflik terletak pada komunikasi yang baik. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, niat tersebut malah bisa disalahpahami.

Di akhir talkshow, Managing Director Insitute for Leadership and Life Management (ILM) dan penulis buku best-seller The 7 Laws of Happiness yang dijadwalkan akan mengisi acara Smart Happiness on the Road pada Sabtu, 15 Oktober 2011 di Gedung BPPT, Jakarta ini menyatakan bahwa menangani konflik dengan sehat pasti berbuah pada tingkat kepercayaan yang lebih tinggi pada orang lain.[]

Wednesday, October 05, 2011

Gawang Emosi yang Bobol
---Anwar Holid

Kesedihan utamaku setelah berumur tiga puluh delapan ialah ternyata penghasilanku masih jauh di bawah Rp.38.000.000,- per bulan. Rasanya baru kemarin aku baca gaji seorang pemain bola di English Premier League bisa mencapai lebih dari satu milyar rupiah per minggu. Seorang penyanyi seusiaku berani mematok harga tiket konsernya Rp.1.800.000,- per orang. Bayangkan pemasukannya ketika konser itu ditonton 38000 orang. Di lain waktu aku mendengar bahwa tarif bicara seseorang konsultan harganya Rp.78.000.000,- per jam, sampai membuat temanku malah tidak percaya ada pihak yang mau bayar senilai itu untuk mendengarkan kicauan atau berkonsultasi dengannya. Dia enggak tahu betapa para kompetitornya mencari akal untuk bisa menyaingi tarif itu, baik dengan menekan kolega seorganisasi dan kalau perlu menggunakan intelijen bisnis.

Kenyataan seperti itu ada kalanya membuat aku gemetaran, merasa ciut, inferior, dan tanpa daya. Persis karena penghasilan mereka gigantis dan aku hanya kelas serangga. Benar-benar dalam arti harfiah.

Lebih menyakitkan lagi rasanya ketika aku sadar betapa dari dulu yang aku anggap mulia dalam hidup itu ialah kebaikan, ketulusan, kesederhanaan, penerimaan, rendah hati. Aku membayangkan saat Mahatma Gandhi berkampanye tentang kesederhanaan maupun kemandirian apakah dia dibayar seratus juta rupee per jam oleh para pendukungnya? Ketika Isa Al-Masih mengampanyekan tentang kasih, melakukan pelayanan (service) di pasar, bertemu pelacur, apa tarifnya US$86,400 per jam? Siapakah yang mengundang dia bicara di depan orang-orang? Bukankah waktu itu belum ada perusahaan multinasional? Bahkan dia ditolak raja di negerinya? Waktu Muhammad menasihati orang-orang agar bersedekah apakah setelah itu dia menerima amplop atau transfer sebesar sembilan puluh sembilan juta dinar ke rekeningnya? Apa Malcolm X dibayar puluhan juta dolar AS ketika mengobarkan kesetaraan sipil sebagaimana Rage Against the Machine yang mendapat spirit dari keyakinannya? Apa kekayaan orang-orang itu bertambah banyak setelah memberi pelayanan (service) atau mereka justru mengorbankan habis-habisan kekayaannya untuk kelangsungan layanan yang mereka yakini? Kalau iya, aku memang terkelabui.

Kenyataan ini membuat aku lesu. Betapa kemampuanku mencari penghasilan buruknya setengah mati. Aku lemas karena dari dulu yakin bahwa orang tidak dinilai dari penghasilannya, tapi ternyata baru sadar betapa semua orang bangga dan merasa hebat kalau penghasilannya benar-benar fantastik.

"Kamu kaget ya baru tahu bahwa penghasilanku segitu?" kata seseorang kepada temannya dengan nada percaya diri yang kukuh. Wah, ke mana saja aku selama ini, sampai salah mengejar target? Aku pikir selama ini aku mengejar kebaikan atau kemuliaan, tapi ternyata nilai yang aku usung itu terdengar seperti layang-layang putus. Sejak awal aku terpesona oleh ide-ide tentang kesederhanaan, tapi akhirnya tahu bahwa itu tricky. Yang enggak tricky itu ialah kalau kamu bisa membuat para pengkritikmu melongo. Rasanya aku sudah mati langkah dan hanya bisa lemas tanpa daya melihat sebuah bola membobol gawang emosiku.

Tapi apa benar aku pantas sedih gara-gara berpenghasilan di bawah standar? Beberapa orang mengecam bahwa sedih seperti itu hanya akan membuat aku tidak bersyukur atas semua kepemilikan dan menolak fakta betapa ada orang lain yang kondisinya di bawahku. Pendapat ini menurutku cengeng. Ada di atas dan di bawah itu mirip harga murah dan mahal. Nah, harga jualku ini murah, meski kemarin seseorang malah bilang aku enggak pantas dipatok dengan harga sekian. Kemahalan. Tapi apa karena harga murah kita pantas sedih? Mungkin tidak. Harga permen berbeda satu sama lain, dan pamali untuk dibanding-bandingkan dengan barang lain.

Tapi yang lebih menyedihkan dari penghasilan nyungsep barangkali ialah menjadi palsu. "Menjadi palsu itu memuakkan," kata Holden Caulfield. Aku tidak memalsu lama-lama jadi grogi dan takut salah karena pekerjaanku tak terpakai. Berarti energi dan waktu yang aku gunakan sia-sia. Membuat penghasilanku jauh di bawah Rp.38.000.000,- per bulan. Benar-benar pukulan maut setelah aku berumur 38 tahun.[]

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving, twitter @anwarholid

Friday, September 23, 2011

Temukan Sendiri Happiness Booster Anda!

Happiness Booster
RINGKASAN SMART HAPPINESS, SmartFMNetwork
Jumat, 23 September 2011
Narasumber: Arvan Pradiansyah

Happiness Booster adalah kegiatan dan aktivitas yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan atau menciptakan kebahagiaan. Alat ini bisa kita ciptakan sendiri, tujuannya ialah untuk menghasilkan perasaan yang bahagia. Kenapa kita butuh Happiness Booster, karena happiness itu ada kalanya sulit didapat, padahal manusia itu selalu ingin menemukan happiness. Bila happiness sulit ditemukan, itu artinya ada yang salah dengan diri kita.

Ada dua hal yang bisa membuat kita sulit bahagia, yaitu:
1. Khawatir (worry), kita ingat pada masa depan, padahal hal itu belum terjadi
2. Menyesal (sorry), kita ingat masa lalu, padahal itu sudah berlalu.

Dengan happiness booster, kita bisa mengusahakan happiness setiap saat. Happiness booster bisa dihasilkan dari dalam diri kita (inner happiness) maupun luar diri kita (outer happiness). Idealnya setiap orang memiliki happiness booster sendiri-sendiri, bahkan kalau perlu "mematenkan" cara tersebut, agar setiap kali dirundung kemalangan bisa dengan mudah memulihkan perasaan bahagia dan mendapat semangat dan optimisme. Orang yang bahagia ialah orang yang lebih baik dalam mengembalikan keadaan puas dan bahagia, hidup di saat sekarang.

Happiness booster orang bisa sangat beragam, ada yang lewat gerakan fisik (beraktivitas, olahraga, jalan-jalan menikmati alam), meditasi, menikmati sesuatu (lagu, film, makan yang sehat), termasuk kegiatan spiritual (misalnya berdoa sampai menangis), menjalankan hobi, berinteraksi dengan orang lain dengan kasih sayang (dengan keluarga, kawan dekat, kerabat yang berprestasi.) Berimajinasi juga bisa membuat orang bahagia, baik mengenang pengalaman yang sudah terjadi atau membayangkan sesuatu yang belum atau tidak kita alami.

Ada orang yang punya happiness booster dari nonton wayang kulit, karena dari sana selain mendapat hiburan, di situ dia juga mendapat filosofi kehidupan, tampilan visual, juga sastra. Dengan melakukan meditasi secara rutin, prefrontal cortext dalam otak kita jadi tumbuh. Syarat itulah yang berperan dalam menumbuhkan rasa bahagia. Mendengar musik yang bikin bahagia membuat otak menghasilkan dopamin, enzim yang menyebabkan kita senang.

Berbelanja juga bisa membuat orang bahagia, tapi kita tetap harus waspada. Belanja barang hanya membuat perasaan bahagia sebentar. Ada belanja yang bisa menghasilkan perasaan bahagia lebih lama, yaitu "belanja pengalaman" (experience) yang menghasilkan kenangan indah dan "pro-social spending" seperti beramal (charity), mentraktir teman baik, dan lain-lain.

Tentukan sendiri happiness booster Anda! Orang yang bahagia akan lebih mudah meraih kesuksesan. Hidup kita ini sebentar, jangan sia-siakan berlalu tanpa happiness di dalamnya.[]

Monday, September 19, 2011


Hari Vinyl Pertamaku
---Anwar Holid

Selesai menyaksikan Arvan Pradiansyah memotivasi sembilan ribu orang di Istora Senayan, Jakarta, aku secepatnya ke stasiun Palmerah menuju stasiun Rawa Buntu, Tangerang. Hari itu aku juga semangat dengan keramahan Taufiq Rahman mengajak ke rumahnya untuk mendengarkan vinyl. Taufiq adalah co-founder Jakartabeat.net, sebuah situs yang secara virtual menjadi komunitas penggemar musik dan ide-ide humaniora pada umumnya.

Aku dijemput di stasiun, dan begitu membuka pintu mobilnya, terdengar gelegar band AKA yang bernyanyi dalam bahasa Inggris. "Tiap merilis album, minimal mereka menciptakan dua lagu berbahasa Inggris, dan anehnya lagu itu pasti lebih bagus dari lagu Melayu mereka yang menya-menye," terang Taufiq. "Ada sekitar empat belas lagu Inggris ciptaan mereka. Itu cukup untuk bikin kompilasi yang bisa diterbitkan di luar negeri." Lebih informatif lagi cerita dia, AKA juga merilis album berbahasa Jawa maupun irama kasidah---yang sekarang dengan gampang dinilai sebagai "musik religius", benar-benar kontras dengan citra mereka sebagai rocker yang brutal.

Setelah AKA, Led Zeppelin segera muncul. "Kompilasi apa nih?" tanyaku karena urutan lagunya rada aneh. "Ah, ini cd bajakan," kata. Aku ngakak dengar jawabannya.

Aku pertama kali bertemu Taufiq waktu jadi juri "Jakartabeat Music Writing Contest 2011" yang menghasilkan banyak tulisan menarik tentang kondisi musik Indonesia. Tapi ini pertemuan pertamaku untuk melihat-lihat dan menyimak koleksinya.

Aku audiofil kere. Tidak terbayangkan bahwa suatu saat aku punya turntable sekalian dengan vinylnya. Meski sekarang kenal tiga-empat orang yang fanatik vinyl, aku belum punya pengalaman mendengar vinyl secara komprehensif. Aku tumbuh dengan mengoleksi kaset, dulu jumlahnya sampai ratusan, dan setelah itu aku menganggap cd lebih hebat, karena kemasannya memang lebih mewah dan sleevenya bisa berbentuk buku. Aku juga sempat punya puluhan cd yang aku anggap benar-benar istimewa, tapi sekarang bersisa belasan.

Selama pengalamanku mendengar musik, vinyl bukan pilihan. Aku mengganggap vinyl kuno dan ribet. Tapi barangkali yang lebih tepat ialah aku tidak punya akses dan tidak punya turntable. Aku pikir cd merupakan teknologi tertinggi dalam industri musik, paling tinggi derajat dan kualitasnya. Orang seperti Taufiq bisa membantah pendapat ini secara sophisticated apa kelebihan vinyl dibandingkan kaset, cd, maupun mp3 lossless.

Perkenalanku dengan orang sejenis Taufiq membuat aku tahu dunia vinyl membentuk komunitas fanatik yang punya banyak cerita menarik. Seorang kawanku punya vinyl amat langka dengan nilai kolektibel tinggi: cetakan pertama debut album Dara Puspita. Lainnya bilang, waktu pertama kali tergila-gila pada vinyl, dirinya bisa menghabiskan dua juta rupiah per bulan untuk beli piringan hitam. Untung dia segera waras, kalau enggak bisa segera kere. Harga vinyl album Guruh Gypsy bisa mencapai satu juta rupiah. Dengan uang segitu kamu bisa tenggelam dalam segunung cd mp3 bajakan dengan kualitas mengerikan sambil mabuk. Demi Tuhan, jangan lakukan itu!

Memang apa istimewanya mendengar musik via vinyl?


Itu juga pertanyaan terbesarku ketika pertama kali kenal dengan Taufiq beserta kefanatikannya pada vinyl. Aku dari dulu curiga bahwa segala yang berbau fanatisme pasti bersifat fetish. Taufiq tidak menyangkal itu. Dia cerita, sewaktu kuliah S2 di Northern Illinois University, Amerika Serikat, dia dan Philips Vermonte---sang founder Jakartabeat.net---sering dengan antusias mengunjungi toko rekaman yang ada di dekat kampus mereka. Meski tahu bahwa koleksi toko itu tidak setiap hari berubah dan mereka pun hanya bisa beli kalau lagi mampu, toh mereka suka melihat-lihat koleksinya, membicarakan berbagai aspek albumnya, atau mendadak menemukan album legendaris yang sudah lama diincar dengan harga miring. Rasanya seperti orang beragama mengunjungi tempat ibadah. Mungkin memang ada kebutuhan spiritual tertentu yang terpenuhi dengan mendatangi tempat seperti itu. Mirip seorang temanku yang sudah punya ribuan koleksi album---terutama cd dan sekarang beranjak pula ke vinyl---namun masih juga menyempatkan pinjam atau lihat-lihat koleksi musik di Kineruku, Bandung. Mungkin yang ingin dia temui ialah justru sesama kawan yang antusias, nuansa atau scene yang hidup di tempat seperti, bukan semata-mata menambah atau mendengar koleksi lain. Dengan mengunjungi tempat seperti itu hatinya jadi senang dan ada sesuatu dalam dirinya yang terpenuhi.

Salah satu alasan paling indah sekaligus telak ialah konon vinyl merupakan media yang bisa menyimpan rekaman suara mendekati aslinya. Barangkali benar. Pendapat itu disahkan ensiklopedia. Pengalamanku sekitar lima jam mendengar, membuka-buka, melihat-lihat, dan mencoba-coba berbagai album, apalagi boleh dibilang semuanya merupakan album magnum opus atau notable dan dinilai "critically acclaim" oleh kritikus paling tega sekalipun, lantas diputar dengan volume memadai, rasanya para musisi itu langsung main di tempat. Suara dari vinyl memberi pengalaman spasial (meruang) yang hebat dan mengagumkan. Musisi seolah-olah persis ada di depan kita. Rasanya sungguh lain bila dibandingkan mendengar album itu dari versi mp3 dengan bitrate tinggi sekalipun.

Salah satu yang paling aku ingat kemarin ialah mendengar Refused, sebuah band punk yang punya visi bahwa suatu ketika genre itu akan menjadi "hardcore." Begitu diputar, album The Shape of Punk to Come benar-benar nendang, apalagi virtuositas mereka rapi sekali. Begitu selesai, aku langsung janji: "Aku harus punya versi mp3nya!"

Taufiq bukan "banci koleksi", tapi dia sangat selektif. Kebanyakan koleksinya berstatus "cult", seperti halnya Jakartabeat mampu mengenalkan musik yang dinilai di luar jangkauan radar industri musik populer. Jakartabeat sukses membuat menulis musik menjadi hal penting. Tapi yang lebih ambisius lagi ialah Jakartabeat berusaha meruntuhkan ikonoklasme dalam jurnalisme musik. Itu sudah terbukti dari lomba yang mereka buat dan di buku Like This yang banyak direview.

Pengalaman pertama mendengar vinyl hari itu benar-benar mengesankan. Piringan hitan dan jarum itu membuatku bergetar, apalagi aku sudah lama sekali tak mengalami ketakjuban terhadap album sebagai benda seni atau karya utuh yang wujudnya bisa raba dan dirasa-rasa. Like this![]

Anwar Holid, penulis buku Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

SITUS TERKAIT
http://jakartabeat.net
http://twitter.com/jakartabeat
http://www.facebook.com/profile.php?id=857175555 <--Facebook Taufiq

Friday, September 16, 2011


[KISAH]
Ulat yang Ingin Jadi Kupu-Kupu 

Apakah cukup menjadi diri sendiri?


Seekor ulat bermimpi ingin jadi kupu-kupu yang cantik, tapi kawan-kawannya menyarankan agar dia tetap menjadi diri sendiri. Suatu hari dia ketemu semut merah.

"Aku ingin jadi kupu-kupu," ujar ulat itu.
"Kenapa kamu mau jadi kupu-kupu?"
"Aku ingin membuat taman jadi lebih indah. Aku juga mau membantu penyerbukan tanaman ke tanaman lain. Itu akan membuat mereka menghasilkan biji, dan akhirnya jadi tanaman baru. Aku ingin terbang. Aku akan mempercantik taman ini dan orang-orang senang melihatku."
"Ah, kamu bercanda. Kamu ini binatang melata. Takdirmu merayap. Jadilah diri sendiri! Jangan mimpi dan tunggu sampai kamu dipatuk burung," kata semut merah sambil tertawa.

Ulat kecewa dengan jawaban semut merah, kemudian dia pergi ke tempat lain dan ketemu dengan ulat belang. Dia mengutarakan lagi keinginannya untuk jadi kupu-kupu. Temannya berkata, "Jadilah diri sendiri. Keinginanmu itu akan mengecewakanmu. Jangan mencoba macam-macam. Enggak usah berusaha terbang. Kamu bukan kupu-kupu. Terlalu keras berusaha akan membuat kamu kecewa. Jadi diri sendiri saja. Jangan mengubah apa pun!"

Jawaban itu juga tidak memuaskan dirinya. Jadi dia terus berkelana ke sela-sela daun lain, merenung, dan masih sedih. Dia bermimpi jadi kupu-kupu, tapi saat melihat dirinya sendiri sekarang, dia adalah ulat. Saran temannya membuat dia berpikir bahwa menjadi kupu-kupu berarti tidak menjadi diri sendiri. Dia ingin berkembang dengan tetap menjadi diri sendiri.

Seekor kupu-kupu yang terbang melintas di situ melihat dia dan penasaran kenapa ulat ini kelihatan sangat sedih.

"Kenapa kamu kelihatan sedih begitu?" tanya kupu-kupu.
"Aku ingin jadi kupu-kupu seperti kamu," jawab ulat.
"Memang kenapa kamu ingin jadi kupu-kupu?"
Ulat kembali mengutarakan alasan ingin jadi kupu-kupu, namun teman-temannya menasihati agar dia "jadi diri sendiri." Pendapat itu membuatnya bingung.

"Teman-teman kamu benar, tapi jadi ulat saja tidak cukup. Kamu memang harus jadi diri sendiri, tapi jangan membunuh mimpi-mimpimu. Jangan tolak kesempatan untuk berkembang. Tidak berbuat apa-apa dan bersikap pasif bukanlah menjadi diri sendiri," demikian kata ulat.
"Jadi aku bisa jadi kupu-kupu yang cantik seperti kamu?"
"Tahu enggak, dulu aku pun seekor ulat, tapi sekarang aku sudah jadi kupu-kupu. Kamu punya kesempatan untuk jadi kupu-kupu. Teruslah merayap sambil makan yang cukup dan bagus. Cari tempat yang aman untuk membuat kepompong dan melindungi dirimu dari pemangsa dan setelah itu tunggu prosesnya. Percayalah kamu bakal bisa jadi kupu-kupu. Jadilah yang terbaik untuk dirimu!"

Penjelasan itu memberi harapan bagi sang ulat.

"Tumbuhlah lebih baik. Jadilah yang terbaik untuk dirimu!" dukung kupu-kupu sambil terbang untuk menunaikan tugas lain pada hari itu.

Hari demi hari setelah itu sang ulat terus merayap dan makan daun. Dia berusaha keras melindungi diri agar tidak dipatuk burung maupun predator lain. Sampai saatnya dia siap bertransformasi, bisa membuat kepompong yang kuat, dan di dalam kepompong itu dia pelan-pelan berubah jadi kupu-kupu yang cantik.

Mimpi ulat jadi kenyataan. Dia bisa terbang. Dia membuat taman lebih cantik. Dan dia masih tetap menjadi diri sendiri, menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri.[]

Disadur oleh Wartax dari "Butterfly’s Story: Is It Enough to be Your Self?" Sumber: http://authspot.com/short-stories/butterflys-story-is-it-enough-to-be-your-self/?1247472

Gambar dari Internet.

Monday, September 12, 2011


ARVAN PRADIANSYAH BLOG COMPETITION 2011

Apa yang sesungguhnya kita cari di dunia ini? Kesuksesan atau kebahagiaan?

Arvan Pradiansyah, penulis buku-buku best-seller di bidang pengembangan diri dan motivasi yakin bahwa kita sebenarnya sangat ingin menemukan kebahagiaan dibandingkan kesuksesan. Keyakinan itu secara konsisten dia utarakan di setiap kesempatan, misalnya ketika melayani konsultasi di berbagai perusahaan, menyelenggarakan training, mengisi sesi motivasi, bahkan sebagai narasumber talkshow "Smart Happiness" para pendengar tak segan menyebut dia sebagai "Guru Kebahagiaan."

Untuk mengintensifkan dan makin memassifkan keyakinan tersebut, ILM (Institute for Leadership and Life Management) mengundang seluruh blogger Indonesia untuk mengikuti lomba menulis di blog (blog competition) yang selaras dengan ide-ide pemikiran tersebut.

APA YANG BISA DITULIS?
Peserta bisa mengeksplorasi gagasan pemikiran Arvan Pradiansyah, terutama di area leadership (kepemimpinan), happiness (kebahagiaan), dan life management (manajemen kehidupan).

Agar bisa memahami pemikiran Arvan Pradiansyah secara komprehensif dan mengetahui layanan yang dia berikan kepada klien, peserta sangat disarankan untuk membaca karya-karyanya baik berupa buku dan audio book, browsing di http://ilm.co.id, termasuk  mendengarkan talkshow "Smart Happiness" pada setiap hari Jumat, pukul 07.00 - 08.00 di Smart FM 95.9 FM Jakarta dan live streaming di http://radiosmartfm.com.

Buku dan audio book karya Arvan Pradiansyah ialah:
* You Are a Leader!
* Life is Beautiful
* Cherish Every Moment
* The 7 Laws of Happiness
* You Are Not Alone
* Inspirasi Happiness 1
* Inspirasi Happiness 2

TEMA KOMPETISI
* Leadership and Happiness with Arvan Pradiansyah

KEYWORDS TARGET DALAM LOMBA INI IALAH:
* Arvan Pradiansyah
* leadership                                                    
* happiness
* kebahagiaan
* life management
* seminar
* motivator
* training motivasi
* public speaker (pembicara publik)

KETENTUAN KONTES DAN TEMA
1. Kontes dimulai pada 19 September 2011, pukul 08.00 WIB dan berakhir pada 21 Oktober 2011, pukul 24.00 WIB (waktu up load posting).

2. Pemenang akan diumumkan di http://apblogcom.blogspot.com pada Senin, 31 Oktober 2011.

3. Peserta adalah blogger berkewarganegaraan Indonesia, terbuka untuk siapa saja.

4. Peserta hanya boleh mengirimkan satu tulisan.

5. Panjang tulisan maksimal dua halaman (kurang-lebih 880 kata).

6. Tulisan harus bebas dari unsur pornografi dan SARA.

7. Tulisan harus di posting di blog pribadi, forum komunitas, maupun notes jejaring sosial.

8. Tulisan harus atas nama pribadi dan orisinal, bukan atas nama orang lain.

9. Posting lomba harus menyertakan link back dengan tulisan:
* Situs terkait: http://ilm.co.id

10. Posting tulisan harus menyertakan banner logo lomba kompetisi yang bisa didapat di http://apblogcom.blogspot.com

11. Posting tulisan wajib didaftarkan (diregistrasi) ke email blogcompetition@ilm.co.id
* Subject: AP BLOG COMPETITION 2011
* Informasi berisi: laman tempat posting dan data singkat penulis

13. Keputusan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

HADIAH
Tiga pemenang akan diumumkan di http://apblogcom.blogspot.com, pada Senin, 31 Oktober 2011.

Juara I
* uang Rp.1.500.000,-
* paket berisi lima buku + 2 audio book Arvan Pradiansyah
* free 2 sesi public seminar dengan total nilai Rp.750.000,- dari ILM

Juara II
* uang Rp.1.000.000,-
* paket berisi lima buku + 2 audio book Arvan Pradiansyah
* free 2 sesi public seminar dengan total nilai Rp.750.000,- dari ILM

Juara III
* uang Rp.500.000,-
* paket berisi lima buku + 2 audio book Arvan Pradiansyah
* free 2 sesi public seminar dengan total nilai Rp.750.000,- dari ILM

Hadiah hiburan untuk 5 pemenang
* paket berisi lima buku + 2 audio book Arvan Pradiansyah
* free 2 sesi public seminar dengan total nilai Rp.750.000,- dari ILM

Monday, August 15, 2011

Lebih dari Impian Paling Liar
---Anwar Holid

9 Summers 10 Autumns Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: GPU, Februari 2011
Tebal: 238 halaman
Harga: Rp. 47.000,-
ISBN: 978-979-22-6766-2
Jenis: Fiksi, novel

Kisah orang miskin menaklukkan ujian dan kesulitan demi menjadi manusia yang lebih berkualitas baik secara moral maupun finansial kerap membius pembaca. Masyarakat kota terus-menerus memproduksi cerita seperti itu menjadi urban legend, baik sebagai motivasi maupun bukti bahwa keajaiban memang bisa terjadi. Bahkan ada pendapat itu merupakan bentuk keadilan bagi orang miskin, yaitu dia bisa mengapitalisasi kisah masa lalu untuk glorifikasi diri.

Namun kemiskinan juga membentuk mental yang tipikal. Umumnya orang miskin rendah diri dengan kondisinya, bahkan bisa mengarati mentalnya jadi kerdil. Miskin itu traumatik. Mereka berusaha menyembunyikannya, dan baru mau cerita kalau sudah mampu menguburnya. Ada banyak cerita dengan tokoh yang rendah diri karena miskin. Lihat Fachri, tokoh di Ayat-Ayat Cinta. Dia rendah diri mendekati perempuan karena dirinya adalah anak tukang tape. Di dalam Ketika Hati Harus Memilih, keluarga yang amat miskin dan rumah mirip kandang babi membuat jiwa Eugenio jadi sakit. Semua berawal karena ayahnya adalah tukang jahit.

Berpotensi Mengangkat Moral Bangsa


Kisah seorang anak sopir angkot di kota Batu, Malang, Jawa Timur di dalam 9 Summers 10 Autumns di satu sisi merupakan 'rags to riches story' biasa. Namun di sisi lain dia tampak menyembunyikan trauma yang sulit disembuhkan.

Berasal dari keluarga besar pas-pasan dengan rumah terlalu sempit, terlalu sering mengalami kesulitan keuangan, kerap membatin menahan perasaan baik karena minder atau karena tidak punya ini-itu, Iwan mengandalkan otak untuk meraih satu demi satu sukses dalam perjalanan hidupnya. Dengan ketabahan, ketekunan, dan kecerdasan, dia langganan juara kelas, kuliah di universitas terkemuka, dan selepas kuliah menjadi profesional di bilangan jalan Sudirman, Jakarta. Dari sana dia kemudian meniti karir selama satu dasa warsa di Nielsen Consumer Research, New York City, Amerika Serikat dengan jabatan terakhir Direktur Internal Client Management.

Terdengar inspirasional? Wawan Eko Yulianto menilai kesuksesan sebagai profesional di luar negeri membuat novel ini mengungguli novel sejenis bertema kisah seseorang menggapai mimpi. "Iwan menjadi orang Indonesia yang bukan saja tidak mendapatkan keunggulan kinerja dari ajaran Barat, bahkan sampai menjadi orang yang dituju kalau orang Barat itu butuh tambahan ilmu. Ini poin plus, (dan) sangat berpotensi mengangkat moral bangsa," begitu komentarnya.

Kesuksesan bukan saja mampu mengangkat status ekonomi dan reputasi keluarga, melainkan membuat mereka mampu sejajar dengan keluarga kelas menengah Indonesia pada umumnya. Tapi setelah mampu mencapai semuanya, jiwa Iwan tetap gelisah. Bahkan meditasi yoga yang rutin dia lakukan pun gagal membuatnya tenang. Ujungnya, dia memutuskan tetirah, kembali ke kota masa kecil, pada keluarga yang membentuknya menjadi demikian. Apa motifnya? Inilah yang harus dicermati betul oleh pembaca.

Bisa jadi yang membuatnya gelisah ialah karena dirinya secara emosial ditolak New York. Di kota ini dia bukan merupakan bagian dari komunitas tertentu, pernah ditodong, dan cintanya kepada perempuan kandas dua kali. Otomatis dirinya merasa tak punya makna terhadap lingkungan. Sejak berkarir, yang dia urus hanya kerja, deadline, dan klien.

Kasih Kepada Alter Ego


Perasaan terasing dan kesepian itu tambah berkarat manakala sisa-sisa mental miskinnya muncul dan menimbulkan rasa bersalah bahwa dirinya tak pantas menikmati jerih payah untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang tersedia di kota, kebutuhan sehari-hari, demi tuntutan gaya hidup, maupun travelling. Di kota ini dia terasa seperti pelancong yang cuma menceritakan berbagai land mark, restoran, konser, festival, maupun kehidupan kota di setiap perubahan musim. Kehilangan kasih dan kehampaan membuatnya mencurahkan perhatian kepada alter ego yang sosoknya digambarkan sebagai bocah laki-laki. Kepadanyalah Iwan bercerita, mengungkapkan melankolia, kenangan, kerinduan maupun kekhawatiran, serta memperlakukannya penuh kasih. Alter ego inilah yang menemani dan melindungi dalam segala situasi, menguatkan karakter Iwan, terutama kala dirinya galau.

Iwan menggunakan kosakata yang sangat intim---seperti love, dearest---untuk mengungkapkan rasa kasih kepada alter ego ini. Dia juga menunjukkannya lewat aktivitas mulai dari mencium pipi, kening, bergandengan tangan, mengelus rambut, merebahkan badan di dada, dan puncaknya ialah pengakuan di ujung novel: "Aku bisa mengerti dia, seperti aku mengerti diriku sendiri." Keintiman ini mencuatkan kesan bahwa novel ini memperlihatkan cinta homoseksual (homoerotisisme) yang kuat, meskipun penulis mampu membungkusnya secara cantik dan lembut.

Simpel


Untuk menghindari kesan self-centered, 9 Summers 10 Autumns secara simplistik menceritakan seisi keluarga Iwan, ditambah orang-orang yang dianggap penting dalam perjalanan kehidupannya. Setelah semua terkuak, barulah sang protagonis mengakhiri dengan pengakuan dan penerimaan seseorang terhadap diri sendiri secara lega.

Penuturan yang simpel membuat novel ini terkesan permukaan, namun juga lebih mudah diterima pembaca, melahirkan kesan positif hingga mampu membuat status buku ini jadi hip. Situs today.co.id melaporkan novel debut ini laku 15000 kopi dalam tiga minggu.

Seorang pembaca lain berkomentar, "Novel ini membuat aku ingin datang ke New York," kata dia. Ini ironik. Ketika sang protagonis memutuskan pulang untuk mencari makna dan kebahagiaan, bahkan mengampanyekan kisah kehidupannya di tanah kelahiran, efek yang terjadi malah sebaliknya: membuat pembaca takjub pada luar negeri, bukan menumbuhkan kecintaan pada tanah air sendiri, minimal di lingkungan setempat.

Kisah Iwan merupakan bukti dari kebenaran nasihat umum orangtua Indonesia dalam memotivasi anak: pendidikan adalah kunci sukses dan alat terbaik untuk mengangkat harkat martabat seseorang. Bagi keluarga sederhana, itulah satu-satunya cara paling masuk akal untuk memperbaiki kehidupan. Pendidikan mengajari orang memaksimalkan bakat yang bisa dimanfaatkan, menanamkan keyakinan bahwa segala sesuatu tumbuh setahap demi setahap. Kesuksesan Iwan sudah melebihi impian paling liar keluarga kelas bawah Indonesia manapun.[]

Anwar Holid, penulis Keep Your Hand Moving (GPU, 2010).

Tuesday, August 09, 2011

Lima Biji Kurma, Segelas Teh Panas, 
dan Sebungkus Nasi Padang
---Anwar Holid

Tadinya aku sangka akan rada-rada sedih karena harus buka sendirian, tidak bareng keluarga batihku. Tapi ternyata di hari pertama puasa Ramadhan 2011 ini aku mengalami kejadian menyenangkan bersama orang-orang tak kukenal yang buka bersama.

Karena pekerjaan, puasa tahun 2011 ini praktis akan banyak aku lalui jauh dari keluarga. Terpisah dari istri dan kedua anakku. Di sahur pertama saja aku harus pergi pada jam 03.00 dan meninggalkan mereka masih dalam keadaan terlelap. Apalagi anak bungsuku lagi sakit---gejalanya diare. Keadaan itu membuat aku tambah berat melangkah meninggalkan rumah. Sebenarnya waktu diperiksa dokter, dia tampak makin baikan, bahkan dokter kesulitan mendiagnosis dia sebenarnya sakit apa. Awalnya dokter yakin bahwa dia sakit tiphus; tapi setelah memeriksa darahnya, dokter sendiri kebingungan. "Enggak jelas nih dia sakit apa. Semoga baik-baik saja. Teruskan saja perawatannya," kata dia kepada kami sambil menyerahkan resep.

Hari pertama puasa pun berlangsung kurang nyaman. Aku ngantuk habis pada jam-jam pertama kerja. Di kantor bosku bertanya, "Apa kabar?" Aku jawab jujur saja, "Ngantuk berat mas!" Dia tertawa, "Kurang tidur ya?" Dia paham bahwa aku menempuh perjalanan yang lama untuk sampai ke tempat kerja. Sorenya aku harus datang ke pool sebuah travel agar dapat nomor antrean awal, karena mereka tidak membolehkan orang pesan nomor antrean via telepon.

Setelah melewati jalan yang dipenuhi penjual menu buka puasa, aku sampai ke tempat travel beberapa puluh menit menjelang buka. Karena merasa istimewa dengan hari pertama puasa dan sekali-kali ingin makan lebih mewah dari biasa, tadinya aku sudah niat mau buka di sebuah restoran mi terkenal yang ada di dekat situ, tapi begitu ada di dekatnya aku langsung membatin. "Perlu gitu aku buka di tempat itu? Mungkin lebih baik kalo aku berhemat." Tapi membayangkan alternatif makan sendirian di restoran fast food yang ada di depan situ rasanya juga hanya akan menambah kesepianku. Aku memutuskan cari pusat jajanan pekerja di dekat-dekat sana. Semoga di sana banyak pilihan. Lingkungan penduduk di sekitar pusat perkantoran selalu membentuk pusat kuliner bagi kebutuhan banyak pekerja.


Akhirnya aku ikuti rombongan karyawan yang bertolak ke belakang gedung Teater Jakarta XXI. Benar, di situ banyak warung makan. Mulai dari mi hingga warung nasi padang. Tapi yang membuatku lebih mengejutkan ialah ternyata di situ pun ada masjid. "Santai aja deh kalo gitu. Aku makan sehabis magrib aja."

Begitu melangkah ke tempat wudhu di bagian sayap kanan masjid itu, aku melihat petugas masjid lagi menyiapkan makanan untuk buka di dua lajur karpet panjang. Orang-orang sudah berjajar bersila di depan karpet itu. Kebanyakan para pekerja yang mengenakan seragam t-shirt hitam dengan tulisan SALE mencolok. "Ah kebetulan," aku pikir. "Aku mau minta izin buka di sini aja," kataku sebelum wudhu. Begitu selesai wudhu, aku hampiri seorang petugas. "Pak, ikut buka di sini ya?" "Ayo, silakan! Ini memang untuk jamaah kok," jawab dia antusias. Ya sudah, akhirnya aku duduk di salah satu paket makanan. Ada lima biji kurma, segelas teh panas, dan sebungkus nasi. Ini sudah lebih dari cukup untuk buka puasa.

Begitu terdengar azan dari dalam masjid, kami buka bareng. Aku pikir orang-orang akan seragam hanya minum dan makan kurma, lantas segera masuk ke dalam masjid untuk shalat berjamaah. Ternyata tidak. Ternyata banyak sekali yang begitu buka langsung menarik karet pengikat nasi bungkus dan segera menyantap isinya. Aku pikir mereka mungkin sudah sangat kelaparan. Karena enggak kelaparan, aku ikut shalat magrib dulu. Setelah itu baru makan dengan santai.

Aku makan di tempat tadi berbuka. Tinggal satu-dua orang yang makan di situ. Begitu membuka bungkusan... surprise! Isinya nasi padang dengan semur daging, sayur nangka, dan sambel. Ini sudah melebihi harapanku. Petugas tadi menghampiriku. Kini dia beres-beres bekas makan orang. "Mau tambah mas, atau mau dibawa pulang aja?" tawar dia. Aku tertawa. "Makasih pak, ini sudah cukup kok." Rupanya masih ada beberapa bungkus yang tersisa. Dia menawarkan pada orang-orang yang baru datang mau shalat.

Masjid apa nih? batinku setelah mau pulang. Minimal aku ingin memastikan ingat namanya karena membuat hari pertama puasaku jadi mengesankan dan gembira, bebas dari kesepian dan jauh dari nelangsa. Aku lihat-lihat sebentar papan pengumuman. Masjid Al-Hikmah Sarinah Thamrin. Di plang besar jalan masuknya ada info bahwa masjid ini didirikan pada 1968 oleh para pekerja di gedung Sarinah. Sebelum benar-benar meninggalkan masjid ini, aku memandangi bangunan, halaman, juga menaranya. Aku bersyukur sempat memasuki masjid ini, shalat di dalamnya, bahkan mendapat rezeki dari sana.[] 8/9/11

* Gambar dapat dari Internet

Anwar Holid, a natural born muslim. Blogger @ http://halamanganjil..blogspot.com. Kontak:
wartax@yahoo.com

Link terkait:
http://alhikmahthamrin.blogspot.com - sejarah dan pengurus masjid Al-Hikmah Sarinah Thamrin.

Friday, August 05, 2011


[Review Album]
Irisan Tajam dari Lima Album Queen Periode Kedua
 

Deep Cuts, Volume 2 (1977-1982) 
Musisi: Queen 
Jenis: album kompilasi
Rilis: 27 Juni 2011 
Rekaman: 1977–1982 
Genre: Rock, hard rock
Durasi: 52:09 
Label: Universal Music, Island Records
Rating: 5/5

Dibandingkan Deep Cuts, Volume 1 yang terkesan tengah mencari-cari bentuk inovasi dan menonjolkan eksperimen, Deep Cuts, Volume 2 secara gila-gilaan sukses menampilkan Queen sebagai band rock yang benar-benar nendang. Kompilasi ini berisi musik rock kelas berat yang langsung bersarang ke dalam sensasi musikal dan terus membombardir telinga dengan tenaga yang sangat kuat, variatif, dan penuh vitalitas. Irisan seleksi di album ini benar-benar mampu menampilkan permata lagu-lagu Queen dari lima album periode kedua karir mereka, yaitu News of the World, Jazz, The Game, Flash Gordon, dan Hot Space.

Kompilasi dibuka dengan "Mustapha", lagu rock sensasional beraroma kasidah yang intro lenguhan Freddie Mercury di situ bisa mengingatkan pendengar pada lolongan Robert Plant dalam "Immigrant Song." Bagi kita orang Indonesia, "Mustapha" terdengar sangat unik, memorable, menggugah untuk disimak, seperti gampang akrab, apalagi liriknya banyak mengandung kosakata Arab yang terdengar familiar. Track dilanjutkan dengan "Sheer Heart Attack" yang sangat ngebut, ugal-ugalan, dan bertegangan tinggi. Lagu-lagu hard rock bertempo cepat mendominasi kompilasi ini. Hanya empat lagu berjenis power ballads (slow rock) yang terpilih seolah-olah menandakan Queen ingin mengesankan sebagai band yang macho, matang, sekaligus terus inovatif.

Pada fase 1977–1982 Queen sudah menjadi band adidaya. Mereka merupakan pasukan rocker yang sangat diperhitungkan berkat album best-selling dengan daya jelajah luas terhadap berbagai unsur musik namun tetap dalam balutan rock yang kuat dan lagu-lagunya mampu menggerakkan seluruh pendengar untuk berkoar bersama-sama. Fase ini ditandai dengan makin jauhnya mereka meninggalkan kesan progresif-eksperimental yang cukup rumit dan penuh perhitungan di lima album pertama, beralih ke rock yang lebih "langsung" dan spontan. Pengalaman mengajarkan mereka menjadi tambah luwes dalam mengadon dan mematangkan berbagai unsur musik nonrock untuk menjadi karya yang segera terdengar sangat Queen. Contoh News of the World (1977) yang disebut-sebut sebagai album paling keras mereka, hanya menyisakan tiga lagu bernada Hawaiian ("Who Needs You" ), balada ("All Dead, All Dead" ), dan jazz ("My Melancholy Blues").

Di akhir era ini, yaitu ketika menggarap The Game (1980), Queen memasuki babak baru dengan sepakat untuk menggunakan synthesizers, terlibat dalam proyek soundtrack, dan mengubah image penampilan jadi lebih simpel, menghapus make up tebal dan jauh dari kesan glamor, meski tetap atraktif dengan poros berpusat pada aksi Freddie Mercury. The Game melahirkan hits bercorak baru sebagai penambah hits lama yang komposisinya senantiasa grandeur dan sangat rapi. Lagu seperti "Another One Bites the Dust" dan "Crazy Little Thing Called Love" terdengar sangat simpel dan ringan, namun mampu memantapkan posisi mereka sebagai band berstatus superstar.

Untuk Deep Cuts, Volume 2, Queen mengiris empat belas lagu minor yang atraktif dan powerful untuk ditatah sebagai paket yang rasanya terdengar sebagai album studio utuh, begitu padu dan kukuh. Lagu-lagu yang bertumpu pada permainan gitar Brian May memang terdengar dominan, karena dia menyumbang tujuh lagu dalam kompilasi ini, namun John Deacon (bass) dan Roger Taylor (drums, perkusi, dan vokal) juga mampu tampil secara maksimal. Chemistry itu begitu terasa dalam "Dragon Attack", ketika dentuman bass dan pukulan drum berkejar-kejaran sejak awal, diselingi raungan riff dan lengkingan gitar, kemudian sebentar memberi kesempatan untuk pamer solo, sehingga membentuk karya yang energetik dan rancak.

Deep Cuts, Volume 2 juga menandai Queen bersikap lebih lunak terhadap “kegagalan” Hot Space, dengan menempatkan tiga lagu ke dalam kompilasi, melebihi Greatest Hits (1981) yang cuma mengizinkan satu hit untuk disertakan, itu pun merupakan buah kerja sama dengan David Bowie. 

Mungkin hanya penggemar ngeyel yang akan meributkan kenapa lagu-lagu tertentu sampai tega disingkirkan ke dalam kompilasi ini. Di forum Queen Online, banyak orang heran kenapa bukan "Life Is Real (Song For Lennon)", "Let Me Entertain You", maupun "If You Can't Beat Them" yang dipilih. Lagu-lagu tersebut dinilai lebih jelas mewarisi tradisi Queen misal dibandingkan "Staying Power" yang terdengar seperti lagu disko tanggung. Di luar perdebatan yang meramaikan suasana, sungguh sulit mencari cacat Deep Cuts, Volume 2.

Bisa dibilang kompilasi ini merupakan greatest minor songs bila dibandingkan Greatest Hits, sekaligus merupakan kado sempurna untuk merayakan 40 tahun karir Queen.[]



Link terkait:
http://en.wikipedia.org/wiki/Deep_Cuts,_Volume_2_(1977%E2%80%931982)

Wednesday, July 27, 2011


Bahagia Dulu, Baru Sukses
---Anwar Holid

Sepenting apa pengaruh kebahagiaan terhadap dunia kerja dan bisnis?

Pada tahun 2007 Badenoch & Clark---sebuah lembaga konsultan rekrutmen di Inggris---merilis survei bahwa satu dari empat karyawan tidak puas dengan pekerjaan kantor mereka. Berbagai penelitian sejenis mengungkap hasil serupa, di antaranya ialah adanya temuan hubungan positif antara kepuasan kerja dan kepuasan hidup. Penemuan terbaru di bidang psikologi pun membuktikan bahwa kebahagiaan merupakan dasar kesuksesan. Kebahagiaan adalah sebab, harus ada sebelum kesuksesan, bukan hasil dari kesuksesan.

Ironisnya, kebanyakan orang beranggapan sebaliknya. Mereka yakin bahwa kebahagiaan akan terjadi dengan sendirinya sebagai akibat dari kesuksesan. Jika kita bekerja keras, kita akan tambah sukses. Dan kalau sukses, baru kita akan bahagia. Anggapan ini keliru. Fakta menunjukkan betapa sering kita mendapati orang sukses yang depresif, menyalahgunakan kekuasaan (abusive), bahkan sampai korupsi, melanggar hukum, dan bunuh diri. Semua itu membuktikan bahwa kesuksesan tidak identik dengan kebahagiaan, apalagi kalau seseorang merasa hidup maupun karirnya belum berhasil.

Dalam Public Program ILM The 7 Laws of Happiness @ Work di Intercontinental Hotel beberapa waktu lalu, Arvan Pradiansyah menyatakan, "Orang yang bahagia di tempat kerja pasti punya lebih banyak ide untuk pekerjaannya, lebih mampu menyenangkan customer dan orang lain, sebab inti pekerjaan ialah melayani." Di workshop dua hari yang diikuti para profesional mulai level staf junior hingga direktur dari berbagai perusahaan tersebut dia menyatakan bahwa kuncinya ialah bahagia dulu, baru sukses.

Sukses Tanpa Mengorbankan Kebahagiaan


Apa yang harus dilakukan agar seseorang bahagia di tempat kerja? Arvan mengajarkan tujuh prinsip kebahagiaan dari buku best-sellernya The 7 Laws of Happiness yang telah disesuaikan untuk dunia kerja dan para profesional. Dia mengungkapkan berbagai skills dan tools yang dibutuhkan para profesional agar sukses tanpa mengorbankan kebahagiaan di tempat kerja, misal "Mind Booster" dan "Teknik 5 Kotak" agar orang segera mampu menciptakan pikiran positif.

Pada prinsipnya The 7 Laws of Happiness ialah paradigma cara mengenali cara kerja pikiran, mengelolanya, lantas memilih tindakan. Sabar (patience) misalnya, yang merupakan prinsip pertama The 7 Laws of Happiness, rasanya terdengar klise, namun Arvan memberi muatan baru yang bersifat sangat aktif. "Sabar itu bukan mengelus dada, melainkan melakukan pekerjaan dengan senang hati. Orang sabar punya keyakinan bahwa segala sesuatu mungkin untuk dilakukan."

Arvan memadukan pendekatan leadership dan life management untuk menyeimbangkan kehidupan profesional dan personal. Contoh dalam motivasi kerja. Banyak orang terjebak motif jangka pendek dalam bekerja, terutama karena uang. "Orang yang bekerja karena uang hanya mampu bertahan (survive) di dalam kehidupan, tapi kalau orang bekerja untuk melayani, yang dia dapat ialah kebahagiaan---uang hanya menjadi bonus."

Di workshop tersebut Arvan berfungsi sebagai "personal inspirator", ini membuat para peserta tergerak untuk mengenali misi kehidupan sekaligus antusias berkarya. Semua orang tampak setuju bahwa kehidupan personal amat mempengaruhi kinerja profesional. Mana mungkin kerja memuaskan muncul dari seseorang yang sakit atau mendendam?

Arvan mengungkapkan ada penelitian bahwa 54 % pekerja tidak terikat perusahaan, mereka cuma sibuk dan mengerjakan rutinitas. Sisanya, 17 % actively disengaged---mereka inilah virus kantor, kerjanya merongrong, membuat situasi jadi tidak tenang. Mereka jelas bukan orang yang bahagia. Karyawan yang terikat dan bahagia dengan perusahaan baru 29 %. Persentase inilah yang harus diperbesar lagi.

"Kebahagiaan tidak bisa didelegasikan, ia harus dialami sendiri," ujar Arvan. Salah satu cara mendapat kebahagiaan ialah lewat pengalaman kerja dan hidup yang kaya. Bila interaksi di tempat kerja berlangsung secara adil dan komunikasinya bagaus, orang-orang akan merasa lebih bahagia, dan dengan sendirinya mereka akan terdorong berusaha lebih baik.[]

Link terkait:
http://www.ilm.co.id