Wednesday, July 05, 2006

Romo Ong
--------

>> Anwar Holid

DE MORTUIS nil nisi bonum, begitu kata sebuah ungkapan Latin. Artinya: Katakan hanya yang baik saja bagi mereka yang mati. Mengikuti ini, saya niat menulis yang baik-baik tentang seseorang yang ingin saya kenal lebih baik dulu sebelum diperkenalkan pada Anda, sebab dia sudah almarhum. Kenapa juga harus kenal dia? Jawabannya sederhana: karena kita belum mengenalnya, sementara sumbangsihnya buat humaniora ternyata sangat nyata.

'Kalau kamu mau tahu makna literasi, kamu harus tahu tentang Walter J. Ong. Studinya tentang literasi luar biasa dan senantiasa jadi bahan rujukan,' demikian saya dengar seorang senior berkata. Karena perkembangan industri buku makin bagus, istilah 'literasi' jadi begitu menantang, meski mungkin masih sulit dipahami dengan maksimal. Dalam sebuah diskusi, ada yang usul 'literasi' sebenarnya sepadan dengan 'celik' atau 'melek.' Menarik sebenarnya usul itu, tapi siapa yang mau konsisten menggunakannya bila dalam bawah sadar merasa 'literasi' jadi hina bila diganti dengan istilah asli Indonesia? Atau orang mungkin jadi malu bila harus mengucapkannya.

Peran paling penting Walter J. Ong dalam dunia literasi menurut Wikipedia adalah membangun model yang multidimensional terhadap budaya Barat dari dasar lisan sebelum mampu baca-tulis berlanjut ke perkembangan tulisan alfabetik dalam tradisi Yahudi dan Yunani ke perkembangan mesin cetak Gutenberg hingga sampai pada perkembangan terbaru media komunikasi terbaru yang mengutamakan bunyi. Tentu bukan hanya dia yang mengeksplorasi berbagai aspek perkembangan buku, salah satu yang sangat terkemuka tak pelak lagi Marshall McLuhan, yang ternyata adalah guru Ong sendiri.

WALTER Jackson Ong, Jr. lahir di Missouri, Amerika Serikat pada 30 November 1912 dari keluarga Nasrani taat. Ayahnya penganut Protestan dan ibunya seorang Katolik Roma. Setelah meraih sarjana muda bahasa Latin, dia masuk Serikat Jesuit (SJ) pada 1935 dan menjadi pendeta sejak 1946. Wajar bila Thomas J. Farrell, editor An Ong Reader, penulis Walter Ong's Contributions to Cultural Studies, menyatakan, 'Pertama-tama dan yang paling penting, Ong adalah seorang pendeta. Dia mengadakan misa harian pada pukul 5.30 pagi, rutin mendengarkan pengakuan, dan mengenakan pakaian khusus pendeta ke manapun pergi.'

Studinya dilanjutkan di Saint Louis University, tempat dia pada 1941 meraih gelar master sastra Inggris sekaligus mendapat kualifikasi mengajar filsafat dan teologi; di sana pula dia mengajar sejak 1954 hingga tiga puluh tahun kemudian. Ong meraih Ph.D. pada 1955 dari Harvard University. Dalam rentang karir di dunia akademik dan penulisan yang sangat panjang, Ong meninggal karena pneumonia pada 12 Agustus 2003 setelah lama berjuang melawan penyakit Parkinson.

Ong setidaknya telah menghasilkan 16 judul buku, memberi rangkaian kuliah khusus di berbagai universitas, ratusan artikel, termasuk buku kritik tentang pemikiran dan sumbangsih dia terhadap budaya cetak dan cultural studies. Subjek yang terus-terusan jadi perhatiannya adalah bagaimana peralihan dari oralitas primer ('primary orality', kelisanan utama) ke literasi secara dramatik mengubah cara berpikir manusia. Oralitas primer misalnya terjadi di zaman ketika retorika (bicara di depan publik) jadi suatu keunggulan. Mulai abad ke-20 ini, radio, televisi, rekaman suara, dan teknologi elektronik lain menandai lahirnya zaman baru yang disebut sebagai 'secondary orality' (oralitas kedua).

SEJARAH manusia memang memperlihatkan adanya evolusi dari kelisanan primer ke permulaan literasi dengan naskah tertulis. Wajar bila dia sangat luas menganalisis beda kelisanan, literasi, budaya lisan (‘oral culture’) dan budaya tulis (‘written culture’). Penyelidikannya membuktikan transisi dari budaya lisan ke tulisan merupakan awal dimulainya penggunaan teknologi kata tertulis untuk berkomunikasi. Menulis adalah teknologi yang harus dipelajari dengan usaha keras, namun efeknya menjadi transformasi pertama pemikiran manusia dari dunia bunyi ke dunia pandang. Bicara itu mudah, dikuasai manusia bahkan nyaris tanpa kesulitan; sebaliknya, menulis harus dikuasai dengan konsentrasi dan ketekunan, termasuk sulit menjadi sesuatu yang begitu spontan sebagaimana bicara.

Tapi apakah lisan, tidak menulis (dalam konotasi merendahkan disebut sebagai 'pra-literasi') terbukti lebih mulia daripada menulis? Sebuah studi menunjukkan orang seperti Socrates, Buddha, Homer, Bediuzzaman Said Nursi, tentu orang yang paham dan terpelajar, meski tak pernah mau repot menuliskan namanya pada manuskrip. Bagi mereka, cara terbaik berkomunikasi adalah langsung bertemu orang dan memulai percakapan. Tugas merekam kebajikan diserahkan pada pengikut dan murid.

Ong menciptakan istilah 'orality' (kelisanan) dalam bukunya yang paling terkenal, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (1982). Namun, meski telah diterjemahkan dalam lebih dari selusin bahasa, menurut kritik itu bukan buku dia yang paling penting. Buku dia yang paling penting adalah Ramus, Method, and the Decay of Dialogue: From the Art of Discourse to the Art of Reason (1958) dan The Presence of the Word: Some Prolegomena for Cultural and Religious History (1967). Dua buku ini dia bukan saja merintis ranah yang hari ini dikenal sebagai budaya cetak (print culture), melainkan juga cultural studies dan ekologi media (media ecology).

'Orality' dimaksudkan untuk menerangkan istilah 'literasi oral' agar tidak mengalami bias tipografi dan cirografi, yaitu bias terhadap kata tertulis atau tercetak sebagai satu-satunya cara yang dianggap paling canggih untuk mengulang maksud, bahasa, maupun cerita. Ong menyatakan unit pemahaman dalam budaya kelisanan primer tidak kalah kaya dibandingkan dalam budaya tulis. Contoh, dalam budaya lisan kata akan menambah kekuatan aksi---ini tidak terjadi dalam budaya tulis.

Pengakuan ini tentu mengejutkan kalangan tertentu yang kerap menyepelekan atau menganggap rendah orang yang hanya pandai bicara tapi kemampuan menulisnya rendah. Padahal sejarah manusia menyediakan banyak sekali contoh orang terpelajar, cerdas dan bijak yang tidak menulis. Orang tetap tidak boleh meremehkan sesama manusia, sebab manusia itu suci bagi sesamanya.[]



>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.
Waktu adalah Jiwa Dunia
-----------------------
>> Anwar Holid

RENUNGKANLAH pada saat kita bahagia, renungkanlah pada saat kita sedih; apa yang terjadi dalam hidup kita? Ketika bahagia, waktu begitu cepat berlalu; sementara ketika sedih, waktu terasa begitu lama bergulir, seolah-olah tak mau berakhir, sampai suatu saat ada sesuatu, atau seseorang, mengingatkan diri kita lagi: semua itu akan berlalu.

Katakanlah kita sakit hati, baik oleh seseorang atau keadaan. Pada saat kejadian kita sulit menerima kenyataan itu, menyalahkan diri dan orang lain, termasuk keadaan. Tapi seiring waktu berlalu, suasana jiwa yang berubah, kondisi yang berlainan, tanpa terasa disembuhkan oleh waktu. Kita jadi maklum, bisa menerima peristiwa tersebut, berusaha mengambil pelajaran dari sana, atau bahkan menertawakan kebodohan saat itu. Benar yang ditulis Seneca (5 SM-65 M): Waktu menyembuhkan hal yang tidak dapat dilakukan oleh akal.

Waktu mengubah keadaan: mulai dari cuaca, kehidupan sosial, politik, ekonomi, mode, semangat zaman, seluruh peristiwa baik yang telah diperkirakan maupun mustahil terjadi, termasuk jiwa orang. Kalau kecewa melakukan atau gagal mendapat sesuatu, kita kerap dinasihati begini: Barangkali memang belum waktunya; terimalah dengan tabah. Kalau sudah waktunya, kita tak kuasa melakukan apa-apa.

Waktu dipersepsi berbeda-beda dari zaman ke zaman. Jika dahulu orangtua menasihati agar kita sabar menunggu sesuatu sampai saatnya tiba, jangan tergesa-gesa; di zaman kapitalisme mutakhir ini kita tahu bahwa waktu adalah uang. Kalau bisa segala-galanya berlangsung cepat, agar dalam waktu singkat bisa dapat sebanyak-banyaknya. Prinsip ini terus-menerus dilawan oleh mereka yang ingin menghargai waktu apa adanya, bahwa segala sesuatu harus terjadi bila memang dikehendaki oleh takdir, diizinkan oleh keadaan. Mereka khawatir bila individu sampai tercerabut dari waktu maupun keadaan, sampai akhirnya terasing atau teralienasi dari realitas maupun lingkungan sosial.

Di stiker mobil angkutan kota, kerap terbaca versi parodinya: ‘Anda butuh waktu, kami butuh uang.’ Maka sopir angkot sering ugal-ugalan dan tergesa-gesa, karena mereka mengejar setoran, sementara penumpangnya sejak awal telah merasa terdesak oleh sempitnya waktu. Orang jadi merasa wajar bila menjalankan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, padahal sebenarnya semua orang tahu: waktu tak menunggu siapa pun, waktu tak menunggu seorang pun.

KITA HANYA bisa memaknai waktu sekarang (persis saat kini), bukan masa lalu sebab telah ada dalam kenangan, bukan pula masa depan karena masih dalam angan-angan. Yang sedang terjadi selalu ada dalam masa kini, tak peduli berapa lama. Itu sebabnya kita selalu bilang masa lalu tak perlu jadi ancaman, sementara masa depan jangan sampai dikhawatirkan.

Konsep waktu memungkinkan kita memberi tanda pada kehidupan: peringatan, janji, rutinitas, prioritas, sejarah, revolusi, evolusi, cita-cita, kematian, kehidupan. Peringatan, misalnya memperingati peristiwa tertentu atau ulang tahun, memberi kesadaran bahwa manusia telah melakukan sesuatu dalam jangka waktu tertentu: mencapai apa dia, telah melakukan apa saja dalam hidupnya, apa yang dia dapat dari sana.

Waktu melahirkan kesadaran akan hidup: ada sesuatu yang terus bertambah tua, sampai suatu ketika akhirnya mati. Tapi waktu tetap ada, entah kapan akan berhenti. Barangkali dia abadi. Karena mungkin abadi itulah, sudah ada (diciptakan) sebelum manusia sadar atas kehadirannya, manusia---baik fisikawan, filosof, astronom---masih terus berdebat tentang apa sebenarnya waktu. Namun satu hal pasti, waktu terus bergerak; andai dia berhenti, sesaat saja, segalanya akan berhenti dan setelah itu tak akan ada waktu lagi.

Apakah waktu itu mengalir, hilang, atau berlalu? Yang sesungguhnya terjadi malah manusia tambah tua, anak-anak tumbuh jadi remaja, orang dewasa beruban dan keriput; keadaan terus berubah, segala sesuatu justru berlalu, Bumi terus berputar, sementara waktu terus ada. Dia satu-satunya yang tetap, bertahan, ada. Seluruh peristiwa terjadi dalam ruang dan waktu, mau yang besar-besaran, melibatkan banyak sekali orang dan faktor, maupun yang dilakukan diam-diam tanpa ketahuan seorang pun.

Meski kadang-kadang berulang---makanya ada sejarah, evolusi, masa lalu, masa depan, orang terkenang kejayaan masa silam atau berhasrat menyelamatkan masa depan---fenomena waktu berbeda dan berubah secara konstan. Pagi ini, meski terasa sama dengan pagi kemarin, kejadiannya berbeda, keadaannya telah ganti, peristiwa-peristiwa yang dihadapi lain lagi, bahkan tanggal definitifnya pun telah berubah. Meski dalam periode tertentu waktu berulang---hari, minggu, bulan, musim---kita tahu dia tidaklah berulang persis seperti prasangka kita.
Satu hal pasti, kita yakin, selama ada waktu, segalanya masih mungkin terjadi; hanya saja kita sendiri yang bisa merasakan apa kesempatan tersebut masih terbuka lebar atau sudah sempit dan nyaris tertutup.

ADANYA waktu memungkinkan manusia memikirkan segala hal relevan: merencanakan, memprediksi, menangguhkan, mendahulukan; pada saat bersamaan tahu kemungkinan berhasil dan bisa menerima kegagalan. Karena berencana, manusia belajar menentukan prioritas; apa yang penting, mendesak, harus didahulukan, atau ditunda.

Sebenarnya manusia diajari agar benar-benar awas terhadap keadaan, hati-hati terhadap setiap peristiwa, agar mereka bisa maksimal menikmatinya; tujuannya agar manusia senantiasa sadar bahwa yang paling penting dalam hidup adalah menghargai saat kini, apa pun kondisinya. Pepatah Cina dengan tepat menjelaskan itu: Anggur hari ini aku minum hari ini; derita esok aku tanggung besok. Tegas Seneca: hiduplah sekarang, sebab segala yang akan terjadi adalah milik wilayah tak menentu.

Manusia memang belajar dari waktu; ironiknya, mereka kerap alpa, suka mengulang-ulang kesalahan, persis pernyataan Hegel (1837): Yang diajarkan oleh pengalaman dan sejarah adalah bahwa orang dan pemerintahan tidak pernah belajar apa pun dari sejarah, atau bertindak berdasar pada pelajaran yang mungkin diambil dari sana. Kebenaran atas pernyataan ini jelas: bila di sisi ideal manusia berusaha mencapai peradaban setinggi-tingginya, menciptakan tanda kemanusiaan seagung mungkin, di sisi lain manusia masih gagal meninggalkan sifat barbarnya: perang, mencaplok milik orang lain, tiran, egoistik. Sangat sulit menemukan seorang individu genius yang mampu melampaui massa yang cenderung bodoh, bermental lemah, pengecut, beraninya keroyokan.

Barangkali itu sebabnya kenapa waktu diberikan nyaris tanpa batas kepada manusia, sejak manusia perlahan-lahan berusaha memaknai dan mendefinisikan 'waktu' sesuai argumen masing-masing, hingga kini dia belum berhenti---setidak-tidaknya masa berakhirnya masih ditunda, ditangguhkan, dipelihara menjadi misteri.

APA di awal tahun ini kamu bikin resolusi? Mencanangkan janji-janji? Kamu yakin akan mampu melaksanakan salah satunya? Jawabannya mungkin tidak. Kalau tidak ditepati, kenapa harus bikin janji? Janji amat mudah dilanggar. Tapi kalau yakin bahwa dengan melaksanakannya hidup bakal lebih baik, lebih berarti, setiap saat, dengan segala perubahannya, barangkali memang saatnya dilakukan, semampu kamu.

>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.

Alamat:Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2502261 - HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Graham Coxon dan Damon Albarn. Foto: Internet.

Kawan atau Saingan
>> Anwar Holid 
'Kawan adalah orang yang mau memberi tahu bahwa bulu hidung seseorang terlalu panjang.'
--Yuki Tamaen 

JULIO DAN TENOCH masuk di sekolah persiapan ke universitas yang sama. Meski latar belakang mereka berbeda, dua remaja ini akrab. Mereka berbagi banyak hal, pesta, liburan, termasuk ganja, kadang-kadang saling meledek penis atau masturbasi bareng membayangkan Salma Hayek. Mereka kerap menghabiskan waktu di rumah Tenoch yang mewah, luas, dan sepi karena ditinggalkan orangtua Tenoch yang sibuk kampanye, aktif berpolitik, atau kegiatan sosial lain. Tenoch berasal dari keluarga kelas atas, keturunan politikus terkemuka; sementara keluarga Julio berasal dari kalangan menengah bawah.

Suatu saat mereka niat liburan ke pantai dengan seorang perempuan lebih dewasa bernama Luisa. Dalam perjalanan itu terbongkar bila mereka ternyata pernah meniduri pacar masing-masing. Awalnya mereka marah-marahan dan jijik oleh fakta itu, tapi lama-lama hal itu malah bisa membuat mereka bergairah, mungkin karena jadi tahu kebusukan masing-masing. Di suatu malam, setelah gila-gilaan membicarakan seks dan masturbasi, ketiganya hendak melakukan threesome. Awalnya Julio dan Tenoch mencumbu Luisa, tapi segera kedua lelaki ini beralih mulai saling mencium penuh nafsu. Esoknya, begitu terbangun, mereka merasa aneh, mungkin jijik, atas perbuatan tersebut, bahkan salah satunya muntah-muntah. Persahabatan mereka langsung janggal. Setelah reuni yang aneh dan kaku di sebuah restoran, mereka berpisah selamanya. Persahabatan itu berakhir, bukan oleh pengkhianatan, melainkan justru karena mereka melakukan sebuah abnormalitas. Septina Ferniati, seorang penulis, menanggapi kisah dalam Y tu mamá también berujar: 'Begitu orang melakukan hal abnormal, sulit mereka kembali pada yang normal.'

Persahabatan bisa berakhir oleh banyak sekali sebab, termasuk oleh hal sepele, memalukan, dan menyebalkan. Persahatan memiliki banyak aspek, di dalamnya ada cinta, kerelaan, berbagi, persaingan (kompetisi), melengkapi, kritik, dukungan, menajamkan, dan tentu saja konflik. Banyak contoh persahabatan yang sudah berlangsung sangat awet justru di ujung perjalanan berakhir sangat menyakitkan bagi masing-masing pihak. Pikirkan pertikaian Freud dengan Jung, Sartre dengan Camus, Godard dan Truffaut. Tapi perpisahan juga alamiah, apalagi bila alasannya sudah menyangkut perbedaan prinsip, jalan hidup, dan keputusan hanya bisa dibiarkan diambil sendiri-sendiri.

Persahabatan McCartney dan Lennon sudah legendaris. Kata sejumlah penggemar The Beatles, band tempat mereka berinteraksi, McCartney berhasil menciptakan lagu-lagu terbaiknya di era ini karena mendapat sparring partner sekaligus dukungan seimbang dari Lennon. Tantangan dan dorongan itu menyebabkan seluruh energi kreatifnya muncul dalam wujud terbaik. Begitu persahabatan mereka berakhir, karya McCartney di era The Wings dinilai sebagai STD---standard.

KENAPA persahabatan berakhir? Dalam kasus Julio dan Tenoch, mereka malu atas perilaku abnormal. Bila salah seorang gagal menerima orang lain, termasuk orang terdekatnya, ketika itu persahabatan mulai krisis. Tapi kerelaan dan keterpaksaan sulit ditebak kapan muncul, barangkali dari bawah sadar. Berteman butuh tenggang rasa pada individu lain, membiarkan hal-hal yang dibenci tetap bisa ditoleransi sampai akhirnya perasaan itu jadi tawar. Tapi ternyata bukan begitu cara bagus menawar keterpaksaan, sebab perasaan tersebut mengendap di bawah sadar sampai pada suatu ketika gagal ditoleransi dan akhirnya meledak jadi sebuah 'keputusan' atau 'perbedaan yang sulit disatukan.' Seseorang tentu saja mustahil pernah memperkirakan kapan persahatan bisa berawal dengan manis dan berakhir dengan getir, sebab interaksi antarmanusia kerap terjadi secara alamiah maupun kabur. Orang jarang kritis di awal-awal sebuah pertemanan, tapi bisa begitu nyinyir bila perkawanan sudah berakhir. Ada contoh bagus untuk hal ini.

Damon Albarn dan Graham Coxon berteman sejak usia 12 sampai mereka membentuk Blur, sebuah band yang pernah begitu sukses dalam gerakan Britpop sampai di awal 2000-an. Albarn hanya punya seorang saudara perempuan, jadi selama bertahun-tahun dia menganggap Coxon sebagai saudara lelaki. Ketika pertemanan mereka hancur, dia mengaku, 'Kacau balau jadinya bila kamu tumbuh terpisah dari seseorang yang barengan tumbuh dewasa bersamamu,' sambil bilang memang sangat memalukan telah terjadi kegagalan komunikasi dengan Coxon. Tapi Coxon menanggapi kehilangan itu dengan dingin. 'Aku sungguh orang yang berbeda sekarang,' katanya.

Di ujung pertemanan dengan Albarn, banyak orang bilang bahwa Coxon terlihat sudah renggang dari teman bandnya baik secara emosional, personal, dan kreatif. Dia akhirnya undur diri dari Blur dengan alasan terkait sikapnya setiap kali menyerah karena kecanduan alkohol; tapi menurut amatan lain, dia kecewa dengan pilihan-pilihan Albarn. Kedua orang ini akhirnya jalan sendiri-sendiri; Coxon bersolo karir sampai akhirnya melahirkan enam album, sementara Albarn tetap berusaha mempertahankan Blur meski kini tampaknya lebih sukses bersama Gorillaz. Menurut Budi Warsito, seorang penggemar Blur di Bandung, jangan-jangan mereka lelah atas popularitas dan memilih mana yang merupakan prioritas masing-masing. Albarn terus menanti agar Coxon kembali karena mengaku 'ada kekurangan mengerikan' atas ketiadaannya, terlebih bila sedang manggung---sementara peran dia tak tergantikan. Tapi harapan itu sia-sia. 'Aku sama sekali tidak berhubungan lagi dengan Albarn dan rasanya baik-baik saja. Ini bukan seperti Albarn dan aku pernah jadi teman terbaik lalu berakhir karena bertengkar hebat,' katanya. Yang pasti, Coxon kini lebih memilih proyek solo, keluarga, istri dan anak---meski diberitakan tak seorang pun yakin apa yang sebenarnya memotivasi dia terus membuat album solo.

PERTEMANAN bisa jadi amat rumit justru bila kondisi itu sempat mencapai puncak keakraban namun ketika terjadi konflik atau perbedaan gagal diatasi. Pikirkan persahabatan Anakin Skywalker dan Obi-Wan Kenobe dalam epik Star Wars. Meski Anakin makin berpihak pada kegelapan dan kalah tarung, toh Obi-Wan takut membunuh dia. 'Kamu seperti saudara bagiku,' teriak Obi-Wan meninggalkan Anakin yang terkapar hancur, berharap dia mati oleh alam atau keadaan. Tak pernah dia sangka bila suatu ketika ternyata Anakin menjelma jadi Darth Vader dan malah membunuhnya.

Bila berteman, seseorang akan didukung bahkan untuk angan-angan yang buruk; bila bukan teman, dia akan digoyah atau ditakut-takuti termasuk atas keyakinan yang paling ultima. Orang cenderung suka menceritakan atau memilih teman-teman dekat, menganggap apa pun yang mereka lakukan mulia, agung, penuh makna, bahkan kerap dengan nada berlebih-lebihan; mengabaikan yang jauh dari lingkaran pertemanan, mengecilkan peran mereka. Ada kecintaan, kedekatan, penghormatan, juga prioritas, yang membuat standar dan nilai jadi relatif dan berbeda-beda berlaku terhadap individu yang ada di sekitar seseorang. Lama-lama bisa dicurigai bahwa pertemanan bisa melahirkan separatisme. Pikirkan persekongkolan berbuat jahat atau orang yang tega membunuh teman seperjuangan. Dari kondisi semacam itu muncul istilah PMP ('prend makan prend', teman makan teman), yaitu ketika persahabatan berakhir, entah karena kecewa, dikhianati, habis ruang buat temannya, atau memang karena sudah selesai.

Yang paling moderat memang membiarkan orang dengan pilihannya, minimal mendukung kebaikan yang lahir dari dirinya, bukan mengikis atau menghembuskan pesimisme. Akuilah kebaikan atau keunggulan itu. Ada banyak contoh juga untuk pertemanan jenis ini. Truman Capote dan Harper Lee bersahabat sejak kecil dan mereka saling tolong berkarya. Capote dikabarkan jadi ghost writer novel To Kill a Mocking Bird, karya Lee yang paling terkemuka. Sementara Lee membantu riset, wawancara, dan pengetikan selama penyusunan In Cold Blood, buku Capote paling legendaris. Di ranah filsafat perenial ada Titus Burckhardt dan Frithjof Schuon, dua orang sahabat karib, begitu awet dan akur baik secara intelektual dan spiritual, bertahan hingga Burckhardt meninggal.[]

NOTE: Tulisan ini adalah versi lengkap dari yang dimuat di rubrik 'Kopi Ngebul' suplemen Kampus harian Pikiran Rakyat, pada Kamis, 23/3/06.

>> Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.
Alamat: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 | Email: wartax@yahoo.com
Piala Akhirat (contemplation)
-----------------------------
>> "hdmessa" <hdmessa@yahoo.com>


Ahli filsafat kuno, menyebut juga manusia dg istilah "Homo ludens" (makhluk yg senang bermain ), karena bermain, adalah salah satu karakter dasar kita semua, mulai dari anak kecil sampai orang tua, dari permainan yg ringan dan sederhana sampai permainan yg serius bahkan membahayakan.

Sepakbola, atau sering kita sebut dg main bola, adalah juga sebuah permainan, walaupun pada beberapa keadaan, bisa menjadi begitu serius, bagaikan agama. Seperti kegiatan piala dunia telah menjadi bagaikan kegiatan ritual berkala yg dinanti nanti. Dalam moment piala dunia, orang bisa menjadi begitu antusias, fanatik bahkan sampai memuja2, kesebelasan atau pemain bintangnya. Di beberapa negara Eropa, bahkan lapang bola, lebih diminati dan ramai dibanding gereja misalnya, sepakbola sebagai permainan bisa pula menjadi sesuatu yg sakral, bagaikan agama!

Sepakbola sebagai permainan, bisa juga kita lihat sebagai analogi dari perjalanan hidup kita di dunia ini Permainan sepakbola memiliki batas waktu, 90 menit adalah jatah waktu dalam sebuah pertandingan bola, banyak hal terjadi selama waktu tsb, namun hanya sebanyak itulah jatah waktunya, tak lebih dan tak kurang. Begitu pula kehidupan ini, masing2 kita mendapatkan jatah waktunya masing2, namun berbeda dengan main bola, jatah waktu hidup kita tak bisa dipastikan, apakah panjang atau pendek umurnya, namun yg pasti, masing2 kita hanya mendapatkan jatah hidup sekali, dan terserah kita masing2 mau seperti apa hasilnya, seperti main bola, kalah, seri, atau menang.

dalam 90 menit jatah waktu bermain bola, setiap pemain harus selalu ingat waktu dan memanfaatkan setiap kesempatan utk mencapai tujuannya (goal), bila ada pemain yg bersantai santai atau malah duduk saat pertandingan, bisa ditarik keluar oleh pelatihnya digantikan pemain lain. atau misalnya telah menang, kemudian bersantai2 saja, salah juga, karena ada kemungkinan ia dikalahkan oleh kesebelasan lawannya, pokoknya sepanjang jatah waktu 90 menit yg tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin, sampai detik terakhir sekalipun (injury time) bila seorang pemain bola, bermalas malasan, ada resiko ditarik ke luar lapangan, diganti pemain lain. Bila berperilaku jelek, spt melakukan kecurangan atau mencelakakan orang lain, ia bisa dapat peringatan berupa kartu kuning atau bahkan kartu merah, sehingga terpaksa dikeluarkan. begitu pulalah hidup ini, kita harus memanfaatkan jatah waktu hidup / umur kita selama di dunia ini, dengan sebaik mungkin berjuang, untuk mencapai tujuan hidup ini (goal = tujuan ; english), bila bermalas malasan atau menyia nyiakan jatah hidup ini, kita akan mendapat penilaian yg jelek, atau bahkan berperilaku negatif, bisa2 kita dapat kartu kuning / kartu merah.

dalam kehidupan itu berarti kita banyak mendapat hambatan hidup, spt sakit, kecelakaan atau bahkan kematian sekalipun, artinya kita ditarik dari lapangan kehidupan ini, ataupun bisa pula kita terus hidup sampai masa tua, tapi kita gagal (tidak mendapatkan goal - tujuan hidup) sungguh merugi pula, bila ada pemain bola yg tak tahu arah gawang, tak tahu kemana akan mencetak goal, itu adalah bagaikan orang yg tahu tujuan (goal) hidupnya, bagaikan pemain bola, ia hanya berlari kesana kemari tak tentu arah, ke mana bola bergulir.

Ia hidup di dunia, tanpa tahu untuk apa ia hidup, dan apapula yg dicarinya dalam kehidupan ini, Ia hanya ikut arus apa yg dilakukan kebanyakan orang.

dalam pertandingan,perlu juga ada strategi saat masa awal ketika tenaga masih kuat, di pertengahan dan pada masa menjelang pertandingan berakhir. saat awal tenaga masih kuat, bisalah berlari kencang, namun di waktu akhir, tenaga sudah mulai habis, saatnya bukan hanya sekedar fisik yg diandalkan, tapi otak pula (strategi), pemain yg baik, bisa mengatur timing (waktu) dg baik dalam perjalanan waktu kehidupan, kita harus tahu diri pula, bagaimana bersikap ; saat masih kanak2, muda, dewasa dan tua.

anak muda, yg masih berlaku seperti anak kecil, spt cengeng, penakut, kita sebut sebagai orang yg bersifat ke kanak kanakan. sedangkan orang tua, yg masih berperilaku spt anak muda, seperti mereka yg walau sudah punya istri dan anak, tapi masih senang juga larak- lirik, menggandeng wanita lain, mereka di istilahkan sbg orang tua yg tak tahu diri. umur tambah tua, tapi tak bertambah dewasa. bahkan ada orang tua yg walau sudah mendekati akhir hayatnya, tapi masih terus saja mencari2 harta, tahta dan wanita, bukannya mempersiapkan bekal utk kehidupan setelah matinya.

haraplah di ingat pula, bahwa pemain bola, tak selalu sampai akhir waktu, ada pula yg diganti di tengah permainan, atau dapat kartu merah, dikeluarkan wasit, atau cedera. Begitu pula hidup ini, tak selalu orang hidup sampai usia tua, banyak pula anak kecil dan pemuda yg telah dijemput ajal, kecelakaan, sakit, dll. Karenanya selalulah bersiap setiap saat, bila suatu saat jatah umur kita akan berakhir, berusaha bermain sebaik mungkin selama kita masih berada di lapangan kehidupan ini.

orang yg berhasil dalam perjalanan hidup ini, adalah bagai pemain sepakbola yg bermain dengan keahlian yg baik, tahu pengaturan waktu dan mencetak goal kemenangan. Pemain tersebut akan mendapat pujian dari penonton, pelatihnya dan khususnya dari tempat mana ia berasal (misal negara/klub dll). Mereka yg berperilaku tidak baik, akan mendapat peringatan.
dalam kehidupan, mereka yg memanfaatkan setiap waktu dalam kehidupan ini sebaik mungkin, utk berbuat kebaikan, serta memiliki tujuan hidup yg jelas (goal), mereka berhasil mencapai tujuan (goal)nya tsb, dan mendapatkan pujian dari mana kita berasal, pencipta kita semua, Allah swt.

cobalah bayangkan, bagaikan seorang pemain bola, bila dianalogikan dalam perjalanan hidup ini, apakah orang akan bangga, senang dg kita, apakah Allah akan memuji kita pula ?, atau malah sebaliknya orang lain akan banyak mencela atau men jelek jelekan kita? dalam pertandingan sepakbola, hasil akhir, belum bisa dipastikan sampai peluit terakhir dibunyikan, bisa jadi awalnya mereka menang, tapi pada saat2 terakhir (injury time) bermain buruk, sehingga mereka terkalahkan, karena berjuanglah sampai saat terakhir, dan pada saat terakhir itulah, saat yg menentukan. dalam bahasa agama, diistilahkan dengan husnul khotimah (akhir yg baik), ada orang yg baik kelakuannya, tapi ternyata terpedaya syaitan sehingga melakukan dosa, dan mati dalam kekafiran. sebaliknya ada pula orang yg banyak kesalahan, tapi ia bertobat melakukan kebaikan, sehingga berakhir dengan kebaikan. Kita harus selalu waspada, tidak menyombongkan diri, sepanjang perjalanan hidup ini, karena bisa jadi suatu saat kita akan mendapatkan ujian yg berat yg bisa membuat kita jauh dari tujuan hidup kita semula.

Pemain sepakbola yg baik, membangun kebersamaan dg yg lainnya, saling bantu dengan teman dengan pimpinan kapten kesebelasannya serta mengikuti arahan dari pelatihnya. Begitu pula dalam hidup ini, kita harus bekerjasama dengan orang lain, saling tolong menolong dalam kebaikan, mengikuti arahan pimpinan dan utamanya selalu mengikuti petunjuk hidup yg diberikan oleh pencipta kita semua. Kebersamaan mendapatkan penilaian yg tinggi, dalam hal ibadah, seperti berlipat gandanya nilai ibadah, kalau kita sholat berjamaah, dibandingkan sholat seorang diri.

Dalam perjalanan hidup ini, kalau ingin selamat kita bisa selalu memintakan pertolongan dan bantuan dari Allah swt, agar kita selamat dalam hidup ini, sampai ke akhir masa hidup kita, sampai saat injury time.sampai saat peluit sangkakala kiamat di tiupkan. Karena nilai hasil yg didapat dari sepakbola, adalah hasil akhir setelah pertandingan selesai, begitu pula hidup di dunia ini, semua ini, hanyalah sebuah usaha, sebuah perjalanan, hasil akhirnya akan kita dapatkan di akhirat kelak .

Teringat waktu pertandingan hidup yg terus bergulir, kita harus menyadari bahwa setiap saat,telah berkurang pula jatah umur ini, makin mendekati waktu peluit panjang terakhir dibunyikan. mudah2 an pada waktu hidup yg masih tersisa ini, bisa di jalani dengan baik, mencapai tujuan (goal), kemenangan hidup, namun bukan mengejar piala dunia, tapi piala akhirat, kebahagiaan abadi, kemenangan yg sebenarnya kalau di piala dunia, hanya sebagian pemain /negara yg ikut, sebagian besar orang hanya jadi penonton, sedangkan untuk piala akhirat, semua kita akan "ikut serta" jadi "pemain", waktunya adalah sejak ibu melahirkan kita, sampai ajal menjelang....

wassalam

HM
http://hdmessa.multiply.com/journal
dari pinggir lapangan sepakbola kertamanah, tanah lapang di bukit kecil, dikelilingi hamparan kebun teh gunung malabar dalam naungan kabut tipis, yg tertiup semilir angin sore yg dingin pangalengan bandung selatan. Date: Selasa 27 Juni 2006 13:53

Tuesday, July 04, 2006

ALIF MIM RA
-----------
>> "haris fauzi" <harissolid@yahoo.com>


Konon, pada saat Muhammad merintis penyebaran agama Islam, beliau mendapat banyak hambatan. Pendukung beliau terlalu sedikit, sementara masyarakat yang menentang penyebaran Islam terlalu banyak. Belum lagi diperkuat status quo sistem pemerintahan, tokoh masyarakat dan kepemimpinan yang kebanyakan kontra dengan Muhammad.

Di antara tokoh yang seringkali menghambat dakwah Muhammad ada dua orang, yakni orang - orang yang bernama Umar dan Amru. Begitu hebatnya pengaruh penentangan kedua orang ini terhadap upaya Muhammad, hingga seringkali menyudutkan posisinya. Amru adalah analis ekonomi, pakar perdagangan, dan lagi dia menguasai ilmu hukum. Walaupun bukan pemimpin suatu suku ataupun kelompok masyarakat, Amru malah sering dimintai nasehat dan pendapat oleh para elite dan petinggi pemerintahan. Ucapannya sering dijadikan pedoman dan dijadikan landasan pengambilan keputusan pemerintahan kala itu. Umar kabarnya adalah tokoh kuat di suatu suku. Memiliki mental baja, pemimpin dan organisator ulung, serta menguasai jaringan mafia hingga ke dunia hitam. Cerdik, cerdas, berani. Disamping memiliki banyak anak buah yang sangat loyal, Umar juga menjalin hubungan yang baik dengan pemerintahan untuk melawan mafioso dari suku lain. Bagaimanapun juga sektor ilegal harus mampu dirangkul oleh pemerintah, dan Umar adalah orangnya.

Di suatu malam, Muhammad berdoa kepada Tuhannya,"...Ya Allah, berilah hidayah Islam kepada salah seorang dari kedua Alif Mim Ra. Sehingga dia bisa memeluk Islam dan membantuku menyebarkan Agama-Mu...". Dalam bahasa arab, huruf 'Alif' berarti vokal. Bisa 'A', 'I', atau 'U'. Huruf 'Mim' sepadan dengan konsonan 'M'. Sementara'Ra' sepadan dengan 'R'. Baik Umar maupun Amru memiliki huruf arab yang sama, yakni Alif Mim Ra. Dan dengan permohonan Muhammad ini, maka turunlah Hidayah Tuhan kepada Umar. Setelah memeluk Islam, Umar bin Khattab termasuk sahabat pilihan Muhammad, hingga sempat menjadi khalifah kedua setelah Abubakar. Sementara Amru bin Hisjam sampai meninggalnya tidak sempat mengecap hidayah Islam dan selama hidupnya terus merongrong jalannya dakwah Islam. Dia populer dengan julukan Abu Jahal, yang artinya 'Bapak Kebodohan'.[]
haris fauzi - 22 Juni 2006 salam,
haris fauzi

www.kenisah.solid.or.idkenisah.blogspot.com
Rumah Hari Minggu
-------------------
>> Septina Ferniati


Lelaki membangun rumah, perempuan menciptakan keluarga.
---Anonim, peribahasa Jamaika


RUMAH menjadi pusat aktivitas sehari-hari perempuan sebagai istri, ibu dan diri sendiri dalam memaknai keperempuanan. Ada perempuan yang memberdayakan rumah sebagai tempat kerja atau kegiatan, ada yang menjadikan rumah sebagai tempat tinggal semata. Bau sayur dan lauk segar, aroma kue, teh atau kopi yang menggugah selera biasa tercium dari sebuah rumah keluarga, ditambah celoteh atau pekik jerit anak-anak.

Bagi lelaki, rumah menjadi persinggahan istimewa setelah lelah bekerja seharian. Sebagian besar berharap dapat makan enak sambil melihat anak-istri tersenyum begitu kembali. Sebagian lagi menganggap rumah sebagai hal biasa yang disikapi biasa seperti hal rutin lain.

Sudah sejak hamil saya sadar satu-satunya yang dapat dilakukan agar berdaya guna untuk membantu keluarga adalah dengan bekerja di rumah. Tak terlintas di benak untuk bekerja di luar lagi, karena ingin anak mendapat ASI dua tahun penuh. Pasangan mengilhami untuk menulis dan membantu menerjemahkan. Maka begitulah awalnya. Rumah pun menjadi ajang berkreasi dan berdiskusi tentang banyak hal, meski kadang jadi ajang perselisihan dan kritik yang alot dan pedas.

Rumah bagi perempuan berarti dibangunnya beberapa tradisi dan sistem nilai baru di tengah-tengah keluarga. Sukar melakukannya. Sampai sekarang saya masih takjub dengan keguyuban keluarga besar yang tampak saat berkumpul, dalam suasana senang atau sedih. Dulu setiap Lebaran nenek rajin membuat jejorong (makanan dari tepung beras dan gula merah, diwadahi daun pisang) yang sudah jadi makanan tradisi keluarga. Kami bangga karena sangat sedikit orang bisa membuatnya. Setelah nenek meninggal tradisi jejorong pun tiada, pergi bersama nenek yang sempat putus asa karena tak seorang anak pun mampu membuat kue khas itu. Diam-diam ibu membuat tradisi makanan berbeda. Dia tak pernah lupa membuat sambel buroq berbahan dasar kulit tangkil yang pedas dan enak. Hingga kini tak satu pun di antara anak-anaknya yang mau mengikuti jejaknya membuat sayur langka itu, karena tingkat kesulitan yang tinggi.

Di rumah sendiri segalanya jadi beda. Tidak ada jejorong atau sambel buroq. Lebaran di rumah sepi makanan tradisi turun-temurun itu. Namun ada tradisi baru; menulis, minum jus sebelum sarapan beberapa kali dalam seminggu, membuat spaghetti sayuran sebulan atau dua bulan sekali, menumis kangkung dengan tomat, mengudap tahu atau tempe dengan kecap, mengobrol berjam-jam diselingi perdebatan sengit sesekali dan tradisi lain yang berbeda sama sekali, termasuk cara mendidik anak secara egaliter yang tak jarang menimbulkan masalah.

RUMAH, keluarga, perempuan, tradisi dan sistem nilai menjadi sebuah kesatuan. Kebiasaan baru menghadirkan pengalaman baru. Buat perempuan yang menulis lalu mandek menulis seperti saya, mulai menulis kembali jadi kerja keras yang butuh energi ekstra. Setelah secara berkala sering dipublikasi, mandek menulis tentu membuat gentar. Yang paling terasa, berkurangnya rasa percaya diri, juga ketakutan syaraf menulis hilang karena jarang digunakan dan dilatih. Seorang teman menyarankan agar tidak memaksakan diri, apalagi jika harus mengorbankan kepentingan diri sendiri. Berkacalah pada kekurangan dan kesalahan yang pernah dilakukan, meskipun sulit. Mengikuti sarannya, masa mandek berubah jadi masa membaca, nonton, dan main dengan anak. Entah efektif atau tidak, setidaknya beberapa buku tuntas dibaca, salah satunya bisa diresensi. Setiap menonton, selalu ada satu-dua kalimat mengesankan yang dapat menginspirasi.

Dalam serial Desperate Housewife ada kalimat penutup yang sangat menarik; "Manusia dirancang menjalani segalanya, namun kesepian bukanlah salah satunya." Mungkin benar. Ketika sepi menyergap, kebanyakan orang menoleh, melawan dan mencari hal lain yang bisa membuatnya terhindar dari kesunyian. Itulah kenapa acara hiburan dibuat, pesta digelar, kesenangan dikejar. Manusia tak tahan kesepian, takut kesunyian. Manusia takut sendiri, diabaikan, ditinggalkan. Sambil mengabaikan suara hati, orang memaksakan banyak hal demi kepuasan semata. Hedonisme ditradisikan. Gila jika ada yang mau memerhatikan orang lain seperti dia memerhatikan diri sendiri. Musykil ada orang mau berkorban demi kepentingan orang lain. Persis ungkapan dalam iklan: hari gini!

Itu sebabnya ada rumah. Rumah berenergi positif jarang membuat orang kesepian. Ada relasi yang kuat dan sehat, intensitas, pencarian jati diri dan makna hidup masing-masing anggota keluarga. Sikap saling menghargai memberi ruang lapang untuk bebas mengatakan pendapat atau menyatakan sikap secara terbuka. Anak diajari kritis. Tidak ada worship, yang ada understanding. Akibatnya anak makin suka protes, kritis sekali. Misalnya tentang baju. Dia menolak dipilihkan, memilih sendiri sambil berkata, “Ibu mah ngatur ya? Aku juga pinter milih baju sendiri.” Jika pilihan corak dan warna baik-baik saja, saya diam. Namun jika bertabrakan atau membuat mata pusing, saya sudah harus belajar lebih hati-hati mengemukakan pendapat jika tidak mau urusan jadi runyam, toh kami ingin dia kritis. Biasanya saya bilang, “Gimana kalau oranye dengan coklat muda? Karena oranye dengan merah hati jadi tampak aneh, kurang pantas.” Biasanya kami berdebat beberapa menit lagi sebelum akhirnya dia nyerah setelah agak marah karena tetap merasa diatur, meskipun dia akui paduan oranye dan coklat cocok.

Ada paradoks menarik; di satu sisi ingin anak kritis, sisi lain sudah ada standar warna dalam kepala. Saya sering bertanya, sebenarnya untuk apa paradoks diciptakan? Apa bukan kebetulan, karena terjadi hampir di semua sendi kehidupan. Apa paradoks ada untuk meramaikan dunia, atau ada pengetahuan di situ?

Di dunia buku ada milis pasarbuku yang menurut seorang senior perbukuan Mula Harahap mirip kolam lele: jorok, komentar apa pun bisa masuk. Anehnya, setiap karya yang dikecam atau dihujat biasanya malah laku di pasar karena memicu rasa ingin tahu orang. Katakanlah, jika sebuah karya dikecam jelek, orang-orang ingin tahu, sejelek apa karya itu, apakah seburuk yang diberitakan, dan lain-lain.

Buku Supernova sangat laku justru setelah dikecam kritikus yang membuktikan Dee melakukan kesalahan dalam menerangkan sains di novelnya. Jika sengaja pasang iklan di koran ternama, entah berapa juta harus dia keluarkan. Tapi sebuah kritik atau hujatan di media bisa menjadi berkah bagi penulis manapun. Sebagian besar karya yang menuai banyak protes memang provokatif, menarik rasa ingin tahu orang, lepas bagus atau tidak. Kecaman malah menguntungkan karena berubah menjadi media promosi yang efektif.
Teori chaos menyebutkan, kepak sayap kupu-kupu di Amerika Latin bisa menyebabkan terjadinya tornado di Kanada. Hujatan di media menyebabkan ketertarikan orang yang tinggi terhadap sebuah karya. Seorang teman pernah berkata chaos sudah dirancang sedemikian rupa, sifatnya hukum alam, niscaya. Peristiwa-peristiwa dalam hidup memengaruhi pola perilaku manusia yang intinya berujung pada pencarian makna hidup agar chaos diletakkan pada posisi yang benar.

DUA bulan lalu seorang teman mengeluh hanya bisa menempati rumahnya hari minggu saja, karena masih harus tinggal di rumah dinas agar lebih dekat dengan tempat kerja. Ide ‘rumah hari minggu’ terlintas pertama kali di kepala. Jika diselisik, hari kerja dari Senin sampai Jumat memang menguras stamina. Sering suami saya pulang kelelahan dan tidur setelah makan dan mengobrol sebentar. Kadang-kadang dia bangun menjelang subuh untuk menulis. Jika masih terjaga, kami biasa ngobrol sampai pagi. Jika tidak, maka waktu ngobrol beberapa saat sebelum dia ke kantor terasa cukup mahal. Karenanya tradisi ‘rumah hari minggu’ diperlukan. Minggu menjadi hari berbagi supaya kami bisa saling memerhatikan, merawat, dan membantu. Hubungan perlu difasilitasi tidak dengan materi saja, tetapi dari keinginan membagi sesuatu dari dalam diri. Entah itu cerita, energi, pengetahuan, atau pengalaman. Minggu adalah hari ideal saat pasangan bisa saling berbagi satu sama lain, agar tercipta hubungan yang sehat dan terbuka.

Maka saya merancang beberapa hal berbeda untuk hari Minggu. Kami saling bercerita, berjalan kaki ke pasar membeli sayur, lauk, makanan; membaca buku yang berbeda dan saling menceritakan isinya; jadi istimewa karena semua orang tergerak untuk melakukan dan menjadi sesuatu. Minggu jadi satu-satunya hari saat suami mau membantu memotong sayur dan menjemur baju; anak mau pergi ke warung jika ada bahan yang kurang, membagi makanan dan melipat pakaian; berbagi cerita tentang harapan dan optimisme.

Kadang-kadang bisa terjadi sebaliknya. Jika ada undangan, Minggu di rumah sepi makanan selain makanan sisa semalam. Kalau ada tulisan yang harus diselesaikan, Minggu jadi penunaian deadline. Namun Minggu tetap spesial, karena kami bisa ngobrol dengan nyaman. Sungguh, Minggu adalah hari ketika energi positif menular menjalari orang seisi rumah dan selalu ditunggu-tunggu. Hari itu kami membangun tradisi ngobrol santai beralas karpet sambil memasak, makan, nonton bersama, kadang-kadang diselingi pertengkaran kecil antara anak dan ayah atau saya. Hari itu rumah kami punya nama khusus; ‘Rumah Hari Minggu.’[]

Septina Ferniati, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Alamat:Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 BBandung 40141Telepon: (022) 2037348HP: 08156140621Email: ferniatiseptina@yahoo.com

Sunday, July 02, 2006

Upaya Menciptakan Best Seller
-------------------------------
>>Anwar Holid

Salah satu yang menyebabkan Giovanni's Gift (Bradford Morrow) legendaris adalah sebuah esai karya Eric Konigsberg di New York Magazine, pada 10 Februari 1997, 'How to Make a Bestseller.' Pada 31 Maret 1997, Carl Swanson membahas baik esai dan nasib Giovanni's Gift di Salon.com---kemudian esai itu diterbitkan ulang pada Writer's Yearbook ‘98 (edisi khusus Writer's Digest). Fokus esai itu ialah karir kepenulisan Morrow dan bagaimana Viking Penguin mengusahakan agar Giovanni's Gift jadi andalan pasar sekaligus citra musim itu. Naskah Giovanni's Gift berhasil mempesona sejumlah agen naskah dan editor, sejumlah penerbit tertarik dan menawar; via Barbara Grossman, naskah itu akhirnya dibeli Viking Penguin dengan berita cukup mengejutkan, yaitu Morrow menerima uang panjer sebanyak 'enam angka' (ratusan ribu) dolar Amerika, ditambah tawaran penjualan hak cipta untuk film. Untuk mengantisipasi karena pasar sangat tertarik pada Giovanni's Gift, Viking pun membeli hak novel pertama Morrow, Come Sunday.

Viking Penguin merupakan penerbit besar, mereka mengerahkan semua strategi yang biasa dilakukan demi meledakkan sebuah buku. Dalam kasus Giovanni's Gift, ialah mendesain buku tersebut sangat indah. Morrow sudah bukan penulis asing di Amerika, reputasinya cukup bagus, meski penjualan tiga novel dia sebelumnya biasa saja, namun terus meningkat dari judul ke judul lain. Pada 1992 dia dinominasikan memperoleh PEN/Faulkner Award untuk Trinity Fields, namun kalah oleh novel Don DeLillo, Mao II. L.A. Times pada 1995 menobatkan Trinity Fields sebagai salah satu sepuluh buku terbaik. Reputasi dia ditunjang pula sebagai editor Conjunctions, sebuah majalah sastra cukup terkemuka, dan dia juga mengajar di kolese Bard.
Berdasar respons ketertarikan pembaca awal, editor, dan calon pembeli, Viking Penguin berharap bisa menjual Giovanni's Gift sebanyak 25.000 kopi edisi hardcover dan merencanakan 40.000 kopi untuk cetakan pertama. Bagi penulis sastra serius seperti Morrow, yang pasarnya terbatas, itu artinya sebuah ledakan. Buku itu tampak siap mengubah Morrow jadi bintang sastra kontemporer yang mampu mengguncang pasar. Syaratnya buku harus mampu mencapai pembaca lebih besar daripada yang dia capai sebelumnya. Kata dia, "Bila hidup saya berubah karena Giovanni's Gift adalah buku yang lebih komersil, baiklah."

Viking menyiapkan segala kebutuhan: menentukan saat penerbitan, mendesain buku dengan sangat cantik, menganggarkan dana pemasaran sebesar US$45.000; US$5.000 untuk promosi; US$10 untuk paket per buku, mengirim 1000 contoh cetakan (bahkan luar biasa bagi Viking) pada seluruh rekanan penerbit untuk dapat respons awal, ditambah 100 penulis kenalan Morrow, dan tour promosi. Di setiap pertemuan pemasaran antar perwakilan toko buku dan distributor, Giovanni's Gift berhasil menarik banyak permintaan. Giovanni's Gift sudah pasti jadi unggulan Viking kala itu, sebagaimana ditegaskan Bob Weitrak, wakil presiden pemasaran Barnes & Noble, "Kami beli Giovanni's Gift untuk seluruh toko; kami memandang itu sebagai calon bestseller. Kami rasa itu bakal jadi sukses besar pertama untuk 1997." Sesuai rencana, Viking pun berusaha mengatur agar Giovanni's Gift mendapat prioritas dalam penempatan di toko buku. Begitu terbit buku itu siap memenuhi rak dan menyerbu para pembaca.

Dengan rancangan amat sempurna seperti itu, yang terjadi ternyata di luar dugaan. Memang target awal pemasaran buku itu tercapai, bahkan sebulan sebelum terbit, cetakan ke-2 sudah dilakukan, ditambah 3.000 kopi. Yang jelas, bagi Morrow seorang, buku itu terbukti paling sukses di antara tiga novel sebelumnya; bagi karir kepenulisannya, buku itu mengantarkan dia relatif jadi lebih dikenal, dan pembacanya juga meluas. Resensi terhadap Giovanni's Gift beragam, termasuk yang sangat mengecam, misalnya dari Walter Kirn, kritik buku New York Magazine saat itu. Namun, kecenderungannya positif. Rata-rata resensi profesional memberi tiga bintang dari skala lima.

Justru yang paling ironik ialah fakta buku itu tak masuk daftar bestseller Amerika Serikat manapun. Barangkali Viking salah membaca pasar atau terlampau optimistik, atau pasar punya hukum sendiri. Meski bagaimanapun, Viking tetap menganggap buku itu berhasil, setidaknya 'balik modal' dan dicetak ulang tiga kali, meski setelah tahun itu tak dicetak lagi.

Ada apa kira-kira? Lynn Nesbit, mantan agen naskah Morrow, menyatakan, "Jauh lebih mudah meluncurkan novel perdana daripada yang berasal dari penulis pertengahan karirnya. Semua orang selalu suka menemukan orang baru, terutama bila dia gadis." Menurut Carl Swanson, hingga sekarang pun tetap ada dugaan bahwa karya Morrow memang kurang dihargai. Meski sepenuhnya berpartisipasi dalam proses yang direncanakan Viking, Morrow sendiri cukup gelisah. Kata dia, "Sulit mencari ada hal lain yang lebih membosankan daripada komodifikasi novel. Soalnya sudah cukup besar tekanan bagi novelis---mengapa menentukan diri dan bukuku? Bagaimana bila buku itu penjualannya seret?" Lepas dari ada harapan yang sirna, Giovanni's Gift jadi buku Bradford Morrow yang lebih meledak sebagaimana diharapkan. "Aku berusaha tidak jengkel. Aku menganggap diriku sebagai pelari maraton. Seperti perpustakaan yang dibangun pelan-pelan."[]

ANWAR HOLID
Matabaca, Vol. 4/no.10/Juni 2006

Kenapa Jadi Bestseller?
-----------------------
>> Anwar Holid

DI NEGARA dengan industri penerbitan sudah mapan, buku dicetak dalam alternatif tiga format edisi cetak, yaitu hardcover, softcover, dan mass market paperback; istilah yang biasa muncul ialah hardcover, trade paperback, dan mass market paperback. Mass market paperback merupakan edisi paling murah, dicetak sebanyak mungkin dengan biaya semurah-murahnya, format lebih kecil daripada trade paperback, poin font lebih kecil dan tingkat kerapatan barisnya besar, dicetak dengan kertas kualitas rendah yang cukup mudah rusak (menguning) oleh waktu dan cuaca.

Ketersediaan format ini dipengaruhi oleh praktik bisnis yang berlaku pada masing-masing jenis. Buku penulis baru rata-rata awalnya diterbitkan dalam softcover, tapi bila beruntung atau diperkirakan mampu menarik minat banyak calon pembeli, debut tersebut bisa diterbitkan dalam hardcover. Hardcover umum diberlakukan pada penulis bestseller untuk judul baru mereka, sampai edisi tersebut habis atau tidak dicetak ulang, dan kemudian diganti dengan edisi softcover. Edisi hardcover biasanya dimaksimalkan karena dari sana penerbit bisa mendapat margin keuntungan lebih besar dibandingkan penerbitan edisi softcover. Untuk menambah nilai, hardcover kerap diberi jaket dan didesain lebih indah dan eksklusif. Karena berbagai faktor dan pola praktik bisnis, buku pertama edisi softcover yang sukses juga biasa diterbitkan lagi dalam edisi hardcover. Mass market paperback biasa dijual di berbagai kios koran, stasiun, dan pasar swalayan. Meski hardcover merupakan impian bagi banyak penulis dan penerbit, softcover dan mass market paperback memiliki kelebihan, antara lain karena harga lebih terjangkau dan jangkauan distribusinya lebih luas. Maka wajar bila kategori bestseller minimal dibagi dalam tiga kategori tersebut. Kadang-kadang terjadi sebuah judul masuk daftar bestseller dalam dua kategori berbeda.

DAFTAR BESTSELLER merupakan sesuatu yang 'panas', mudah sekali berubah-ubah, dan judul bisa masuk dan terpelanting dengan mudah, baik dipengaruhi oleh faktor yang bisa dipahami maupun tanpa sebab tertentu yang sangat jelas. Di beberapa daftar bestseller Amerika Serikat pada akhir April dan awal Mei 2006 ini muncul dua buku lama, yaitu In Cold Blood (Truman Capote) dan Night (Elie Wiesel); In Cold Blood terbit pada 1966, sementara Night pada 1958.

Ternyata ada faktor tertentu yang membuat kondisi tersebut muncul. Capote (str. Bennett Miller), biopic tentang dirinya yang dirilis pada September 2005, menjadi box office di Amerika Serikat, dan pemeran utamanya, Philip Seymour Hoffman, memenangi Golden Globe, Satellite Award, Screen Actors Guild Awards, dan Academy Awards sebagai Truman Capote. Pada saat bersamaan In Cold Blood---buku dia yang paling legendaris selain Breakfast at Tiffany's---diterbitkan ulang, dan langsung mampu menarik minat para pembaca. Sementara Night merupakan buku Elie Wiesel yang paling legendaris. Kenapa buku ini bisa jadi bestseller? Ternyata karena buku ini terpilih dalam Oprah's Book Club pada 16 Januari 2006.

Klub buku itu dimulai pada September 1996, memilih sebuah judul per bulan, membicarakannya, sekaligus menghadirkan penulisnya bila memungkinkan---meski sekali waktu terhenti. Kalangan penerbitan sudah mengakui keampuhan segmen Oprah's Book Club terhadap penjualan buku, sampai muncul istilah fenomena Oprah's Effect. Buku yang terpilih dalam acara ini senantiasa jadi bestseller, bahkan bisa mencapai jutaan kopi, selain seleksinya dianggap bagus, meski buku tersebut asing. Kritik bahkan menyebut dia mampu memutuskan judul apa yang mampu masuk daftar New York Times bestseller; dan itu terbukti terakhir kali terhadap pilihan Night karya Elie Wiesel. Efek Oprah memang dahsyat: edisi hardcover Night kini dicetak 150.000 kopi, sedangkan softcover dicetak satu juta kopi. Night pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat pada 1960; kini buku tersebut sudah diterjemahkan dalam 30 bahasa, termasuk edisi Indonesia (Malam) terbitan YOI.

Karya Truman Capote hingga kini belum menarik minat penerbit Indonesia manapun untuk menerbitkan salah satu bukunya, meski ketenarannya muncul kembali setelah pemutaran biopic tersebut. Untuk kasus Indonesia, hal itu barangkali wajar, apalagi film tersebut tidak diimpor.

Memutuskan menerbitkan terjemahan memang butuh banyak pertimbangan matang. Faktornya bukan saja biaya, melainkan apakah buku tersebut bisa diserap dengan baik oleh pembaca sasaran atau konteks sosialnya cocok untuk publik Indonesia. Kita bisa melihat kasus penerbitan Brokeback Mountain (Annie Proulx) oleh GPU. Brokeback Mountain adalah cerita pendek panjang yang awalnya terbit di The New Yorker pada Oktober 1997, kemudian muncul dalam Close Range: Wyoming Stories (1999). GPU hanya memilih cerpen itu, besar kemungkinan karena memanfaatkan momen keterkenalan versi filmnya---karya sutradara Ang Lee---yang mencetak box office di mana-mana, khususnya Amerika Serikat, mendapat berbagai penghargaan prestisius, apalagi isu homoseksualitas dalam fiksi tengah jadi perdebatan panjang.[]

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Matabaca, Vol. 4/no.9/Mei 2006

Bestseller: Kemunculan dan Beragam Versi
----------------------------------------
>> Anwar Holid

Anthony Lane, kritikus di The New Yorker sejak 1993, pernah menulis dua esai tentang sepuluh besar buku daftar bestseller versi New York Times Book Review (TBR) dari dua periode. Kesimpulan dia: Kebanyakan dari sepuluh besar itu sudah lenyap ditelan laut. Salah satu faktanya A Lion Is in The Street (Adria Locke Langley), bestseller no. 1 pada 1 Juli 1945 diketahui tak pernah dipinjam orang dari sebuah perpustakaan di New York sejak 1948. Temuan ini tampak makin menguatkan konotasi negatif bahwa buku yang masuk daftar bestseller menandakan sekadar menarik minat banyak orang dan berkualitas sastra lebih rendah. Kondisi seperti ini sebenarnya sangat dilematik buat banyak pihak. Kebanyakan penerbit besar mempertaruhkan segala-galanya demi mampu mencetak bestseller, tapi setelah berhasil reputasi buku itu bisa merosot dengan cepat, dan orang tetap cenderung kembali memfavoritkan buku bagus sesuai selera pribadi.

Ada buku bestseller yang dengan segera jadi sampah, dan ada judul yang awalnya asing namun perlahan-lahan jadi kecintaan ribuan pembaca, kemudian jadi sebuah karya yang abadi. Contoh untuk kasus seperti ini misalnya Tuesdays with Morrie (Mitch Albom). Dia nyaris putus asa karena novel pertama dia ini hampir-hampir tidak dikenal orang ketika pertama kali terbit, tapi musim-musim selanjutnya merajai daftar bestseller beberapa tahun ke depan, sampai kenyataan itu membuat dirinya terguncang.

Menurut Merriam-Webster's Encyclopedia of Literature, daftar bestseller dimulai pada 1895, ketika Bookman---sebuah majalah sastra Amerika---memulai penerbitannya; daftar dihimpun dari laporan penjualan di toko buku dari penjuru negeri itu. Tradisi itu terus berlanjut, berkembang, dan kriterianya berbeda-beda. Versi bestseller yang diakui paling terkemuka hingga kini ialah TBR, yang pertama kali keluar pada 9 April 1942, dipuncaki oleh The Last Time I Saw Paris (Elliot Paul). Di Inggris, daftar paling otoritatif ialah keluaran The Sunday Times. Kini saingan TBR banyak, baik dikeluarkan oleh media massa ataupun toko buku, antara lain versi Publisher's Weekly, Kirkus Reviews, Powell's City of Books (Powell.com), dan Amazon.com.

Semua versi berusaha memperlihatkan keunggulan dan keakurasian. Powells.com dan Associated Press misalnya, mengeluarkan daftar tanpa membedakan jenis buku (fiksi atau nonfiksi), melainkan berdasar jumlah penjualan, padahal lazimnya daftar dikategorikan berdasar jenis buku. Kategori klasik terdiri dari (1) hardcover fiksi, (2) hardcover nonfiksi, (3) paperback fiksi, dan (4) paperback nonfiksi. Kategori ini berkembang, berlain-lainan, dinamik, sesuai maksud penyusun. TBR misalnya, pada 2001 menciptakan kategori penjualan buku kanak-kanak; ternyata hal itu dibuat guna menyingkirkan serial Harry Potter (J.K. Rowling) agar pindah ke bagian lain, dan dengan demikian judul lain mampu masuk ke dalam daftar. Seiring perkembangan teknologi informasi, pendataan, dan kalkulasi, gencarnya penjualan dan promosi, masing-masing kategori tersebut punya keunggulan, kekhususan, sekaligus kelemahan. Bestseller biasanya mengabaikan penjualan direct-mail dan klub buku.

Kalangan industri penerbitan kerap obsesif menciptakan bestseller; mereka mengerahkan editor, promosi, pemasaran, penjualan, dan produksi agar mampu mengendus kehadirannya seawal mungkin. Faktor penentu biasanya saling berkaitan, mulai dari reputasi penulis, kegencaran promosi, strategi marketing, dan isi naskah sendiri. Tapi keajaiban senantiasa terjadi; kemudian melahirkan anggapan bahwa fenomena bestseller senantiasa unik karena ada faktor X yang di luar kemampuan siapa pun untuk mengontrolnya, antara lain kekuatan saran dari mulut ke mulut. Bestseller kerap kondisional, dan kejadiannya hanya terjadi sekali saja.

Sekilas mari perhatikan kondisi bestseller Amerika pada 2004-6. Era ini dikejutkan oleh The Kite Runner (Khaled Hosseini) yang berhasil dua kali memuncaki TBR pada 2004 dan seluruh 2005, bertahan lebih dari 75 minggu (kira-kira 1,5 tahun), dan kini terjual lebih dari 3 juta kopi. Padahal ketika pertama terbit, novel itu 'hanya' dicetak 50 ribu kopi---standar bagi penulis bukan siapa-siapa. Menurut prasangka banyak orang, buku tersebut jadi bestseller karena keberuntungan, yaitu persis ketika sentimen warga AS terhadap Afghanistan---yang dibombardir AS demi mencari Osama Bin Laden---sedang sangat tinggi. Novel itu hadir sempurna sesuai waktu, dan kini demamnya sedikit menjalar ke Indonesia, karena ada edisi terbitan Qanita. Tapi bisakah di sini sampai mampu mengalahkan minat pembaca pada The Da Vinci Code (Dan Brown) tentu harus dibuktikan.[]

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Cinta dalam Bingkai Tunggal
---------------------------

Stories of Love, dari Cinta Klasik sampai Cinta Unik
Penulis: Yoli Hemdi
Penerbit: DAR!Mizan, 2006
Tebal: 190 h.
ISBN: 979-752-339-X

APA YANG dibicarakan saat kita bicara tentang cinta? Demikian tulis Raymond Carver dalam salah satu cerpennya yang paling monumental, 'What We Talk About When We Talk About Love? Ketika bicara tentang cinta, ternyata kita juga membicarakan hal esensial lain dalam diri dan hidup. Cinta adalah drama hidup dan manusia itu sendiri. Khazanah yang dihasilkan manusia tentang cinta juga sudah begitu kaya, sampai-sampai barangkali semua ruang dalam diri manusia sebenarnya dipenuhi cinta, tak ada sisa lagi. Bahkan siapa pun kini rasanya begitu akrab dengan ungkapan-ingkapan tipikal seperti 'atas nama cinta'; 'disebabkan oleh cinta'; termasuk yang konyol, seperti ‘cinta ditolak dukun bertindak.’

Bila Bagus Takwin, dosen fakultas psikologi Universitas Indonesia melahirkan Bermain-main dengan Cinta, Yoli Hemdi, penulis produktif asal Pekanbaru, menempuh cara lain untuk merenungkan dan merasakan hal itu, yaitu lewat Stories of Love, dari Cinta Klasik sampai Cinta Unik, yang mengeksplorasi cinta dari sudut keyakinannya dibandingkan dengan pandangan klise maupun dangkal masyarakat awam terhadap cinta yang selama ini terasa diterima begitu saja tanpa diselisik lagi baik keterangan maupun isinya. Dia memetik enam kisah cinta dari Al-Qur'an, menceritakan ulang dengan santai dan banyak bumbu, kemudian mengelaborasi sebagai sumber untuk mempraktikkan cinta yang benar. Enam kisah itu adalah (1) Adam dan Hawa; (2) Persaingan cinta Habil dan Kabil (Cain dan Abel); (3) Cinta 'segitiga' Ibrahim, Sarah, dan Hajar; (4) Yusuf dan Zulaikha; (5) Musa dan Shafura; (6) Muhammad dan Aisyah.

Keenam kisah ini sengaja dipetik karena masing-masing memiliki kontras yang mudah dibedakan oleh pembaca muda, khususnya remaja Muslim, sebagai bahan renungan maupun sumber kebajikan. Pendekatan, logika, maupun tafsir yang digunakan pun sederhana, membuat pembaca umum bisa merasakan bahwa buku ini sengaja dikemas demi tujuan tersebut. Kisah cinta itu memang sudah begitu tua, namun juga sudah dikenal, karena disampaikan terus dari generasi ke generasi.

Buku ini merupakan bagian dari 'Seri Pop Culture' yang dikeluarkan DAR!Mizan guna memperluas khazanah pengetahuan para pembaca muda atas perkembangan ilmu, kemajuan teknologi, trend budaya, fashion, mode, maupun isu-isu aktual. Sudah banyak judul terbit dari seri ini; yang mencolok, demi menggaet pembaca sasaran (target pasar) buku-buku tersebut diperkenalkan dan disokong (endorse) langsung pada ikon dunia pop, baik dari kalangan entertainment (dunia hiburan) sampai agama, misalnya Titi Kamal, Ahmad Dhani, dan Jefri Al Buchori. Di seri ini budaya pop langsung berhadap-hadapan dengan religiositas; sebaliknya religiositas juga berusaha liat dan tangguh menghadapi perubahan maupun kondisi yang bisa membuat para pemeluk teguh kerap gamang.

CINTA adalah unsur yang sudah ada dalam diri dan hidup manusia, karena itu manusia memang bisa bersenang-senang, menikmati, bahagia, termasuk sesekali berjarak dan memandang cinta secara lebih kompleks, luas, utuh. Bila seseorang terlalu mengabaikan atau menganggap remeh cinta, mungkin buku ini mampu membuat anggapan tersebut patah. Bila seseorang patah hati karena cinta, mungkin buku ini mampu membuat dirinya bersemangat lagi, karena ternyata cakupan/jangkauan cinta lebih luas dari yang dia sangka selama ini. Ia akan paham kenapa cinta di satu sisi bisa mematikan namun di sisi lain mampu membuat kehidupan terasa lebih bermakna, lebih menggairahkan.

Berdasar teks suci itu Hemdi ingin menjadikan keenam kisah itu sebagai model cinta ideal agar jadi teladan manusia, setidak-tidaknya para pembaca. Kisah Adam dan Hawa adalah cinta pertama yang muncul di dalam diri manusia; orisinal, sekaligus rentan karena tanpa pengalaman, namun akhirnya mewariskan banyak pengetahuan dan nilai pada kita keturunannya. Persaingan cinta Habil dan Kabil, meskipun tragik, justru melahirkan sejarah yang begitu jelas, antara lain pada periode ini untuk pertama kalinya seorang manusia bersaing, membunuh dan mengubur dengan sesama. Cinta 'segitiga' Ibrahim, Sarah, dan Hajar mengajarkan para kekasih untuk tulus; sementara kisah Yusuf dan Zulaikha mengajari manusia agar bisa dengan jernih membedakan mana cinta dan mana nafsu (seks, syahwat). Musa dan Shafura membuktikan bahwa cinta butuh heroisme; sedangkan hubungan Muhammad dan Aisyah menjelaskan betapa cinta harus dirawat dengan ketelatenan, peka, termasuk teguran yang dilakukan dengan baik dan pantas.

Cinta dalam buku ini terkesan tunggal, sederhana, bisa dibilang hitam-putih. Hemdi dengan tegas mengategorikan cinta dalam bingkai agama Islam, yaitu cinta kepada Allah (mahabbah ilallah) dan cinta karena Allah (mahabbah billah/mahabbah ma'allah) (hal. 184). Bila dibenturkan dengan konsep cinta menurut pandangan filsafat, realitas hidup kontemporer, atau ranah pengetahuan dan budaya lain, keyakinan tersebut sebenarnya ganjil, naif, menafikan jenis cinta yang lain.

Cinta kepada Allah (Tuhan) baru satu di antara begitu banyak kategori dan definisi cinta, yang sering perbedaan satu sama lain begitu tipis atau bahkan kadang-kadang sulit dikenal dan dipahami gejalanya. Cinta karena Tuhan dalam filsafat masuk kategori agape, cinta altrusitik tanpa pamrih, spiritual. Selain agape ada banyak jenis cinta lain; yang umum dikenal adalah eros dan philia, namun ternyata masih ada ludus, storge, pragma, mania, juga xenia---semuanya butuh penjelasan mendalam dan jelas. Itu baru dari satu ranah. Khazanah sufisme melahirkan ishq (cinta bergelora pada Allah).

Jenis lain, misalnya cinta seseorang pada sahabat, sesama manusia, negara, benda tertentu, aktivitas, suasana, atau peristiwa, termasuk bagaimana cinta bisa tumbuh dan mati---semua itu belum terjelaskan. Kategori cinta tunggal itu tentu saja aneh bagi seorang lulusan pascasarjana IAIN Imam Bonjol, Padang.

ANDRÉ COMTE-SPONVILLE, seorang filosof kontemporer Prancis, di dalam bukunya yang bersahaja, The Little Book of Philosophy (2004) menegaskan, 'Cinta adalah subjek yang paling menarik.' Niscaya. Tak perlu dibantah lagi. Cinta bisa membuat seseorang hidup, sengsara, atau mati; menyebabkan legenda dan mitos terus bertahan, diinterpretasi, dimaknai kembali. Semua orang boleh membicarakan cinta, dengan versi masing-masing.

Dalam buku ini Yoli Hemdi mengambil posisi tertentu untuk menerangkan cinta, menggali sejumput khazanah Islam, bilang, mengutip Ibn Qayyim Al-Jauziyah: 'Siapa yang tidak mau mencicipi manisnya cinta tidak akan bisa menikmati kehidupan.'[] 11 Februari 2006 21:35:04

Anwar Holid, eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.
Alamat:Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Republika, 28 Mei 2006
[SELISIK]

Jamal: Menulis untuk Menyenangkan Orang
---------------------------------------
>> Anwar Holid

BERDASAR pemberitahuan Jamal, Epigram, novel ke-4 dia diterbitkan GPU pada 23 Mei 2006. Waktu terakhir bertemu, dia tengah mencari orang yang mau meresensi novel itu; aku langsung bilang ingin baca dan meresensi. Aku sudah baca tiga novel dia sebelumnya---Louisiana Louisiana, Rakkaustarina, Fetussaga. Ada banyak kalangan yang telah merespons karyanya.

Atas kebaikan GPU dan Jamal, pada 20 Mei 2006 aku malah sudah menerima kiriman satu kopi Epigram. Hal pertama yang mengesankan ialah: covernya cantik. Aku senyum, ini justru novel dia yang covernya ditangani orang lain; cover tiga novel sebelumnya dia desain sendiri. Aku bukan bilang bahwa cover desain dia buruk, tapi harus diakui ternyata orang lain punya interpretasi tertentu atas sebuah karya, dan itu wewujud sebagai cover yang sangat cantik; itu dia akui sendiri, bahwa cover karya Marcel A.W. memang keren. Epigram adalah novel pertama Jamal terbitan GPU, sebelumnya tiga buku dia diterbitkan Grasindo.

Sejujurnya aku lebih terkesan oleh pribadi, keramahan, dan kerendahhatian Jamal, lebih dari ketertarikanku pada novelnya. Ada sesuatu dalam novelnya yang mungkin bukan seleraku. Sementara menurut peribahasa Latin: de gustibus non est disputandum---soal selera tak bisa diperdebatkan. Aku suka humor dalam novelnya, keceriaan dan optimisme, atau tanpa pretensi dalam tulisannya; tapi ternyata aku kurang terkesan misalnya oleh setting luar negeri yang dia ajukan, termasuk penggunaan kosakata asing dasar dalam dialog.

Harus diamini dia penulis mahir. Dalam bingkai pop, Jamal mengemas persoalan disorientasi budaya, moralitas, kejujuran, bagaimana tetap mempertahankan idealisme di tengah situasi atau godaan sulit dan tidak sesuai. Jakob Sumardjo pernah komentar, '[Jamal] bermain di wilayah global, lebih terbuka dalam membicarakan seksualitas, sarat pengetahuan dan filosofi mutakhir, berbumbu humor cerdas.'

Mungkin karena lebih tertarik mengedepankan niat 'menghibur', barangkali itu menghalangi dia mengeksplorasi sesuatu sedalam-dalamnya, misal tentang bahasa, cara bertutur, atau gaya menulis. Bahasa yang dia gunakan dan caranya menulis rumpang bila dibandingkan kedalaman tema yang coba dia masuki. Dia suka menjelajahi tema estetika, gegar budaya, kosmologi, juga kehidupan urban dan politik-sosial. Aku kerap merasa bahwa plot dalam novelnya datar, kurang riak, sulit membangkitkan emosi, konfliknya gagal membuat aku tercekat, mudah diselesaikan.
Pasti cukup sulit hendak mengubah cara bertutur bila seseorang nyaman dengan gaya tertentu, apalagi bila sudah diterima dengan baik dan tidak dianggap sebagai keanehan yang patut diubah. Tapi mungkin berusaha mengubah cara bercerita yang lebih matang patut dipertimbangkan. Sejumlah penulis melakukan hal itu. Tepatnya, setiap kali menulis merupakan eksperimen baru, dinamika.

JAMAL berdedikasi pada sosial dan budaya Sunda, dan itu aku hargai penuh. Dia ikut mendirikan Yayasan Perceka yang dibikin anggota milis urangsunda, mengirimkan buku ke desa-desa di Jawa Barat, ikut menumbuhkan minat baca supaya generasi muda jauh lebih pintar. Bersama yayasan ini, Jamal pernah menyunting buku humor Sunda yang membuat aku ger-geran. Kata dia, "Memperkuat suku atau etnis bangsa pada gilirannya akan otomatis memperkuat bangsa." Setiap kali bersua, Jamal langsung membuat sadar bahwa aku ini Sunda juga. Maka aku selalu ingin bicara Sunda padanya, termasuk 'ngabodor.' Hanya aku selalu khawatir kasar. Ternyata kekhawatiran itu dia jawab, 'Ah, ngomong Sunda itu yang penting merenah (cocok).' Kekhawatiranku jadi lenyap. Sebagai orang Sunda, aku makin jarang menggunakannya, apalagi pada kenalan baru, bahkan tidak pada istri dan anak.

Menyenangkan setiap kali bertemu Jamal; dia kocak banget, ramah, produktif---lebih dari itu: baik. Dulu waktu pertama kali bertemu, di Pesta Buku Jakarta 2002, dia juga selalu ingin bikin dunia tersenyum. Ternyata kebaikan dia terus berlanjut, nyaris setiap kali bertemu, sampai aku sungkan berhadapan dengan dia. Tapi dia sendiri terus-menerus bilang, 'Aku senang bikin orang lain bahagia.' Aku tambah tak enak, meski ujungnya senang. Siapa yang menolak diberi kesenangan? Kesenangan itu kan saudaranya kebahagiaan; kalau bukan, tentu sepupunya.

Jamal tampak ikhlas menjalani karir kepenulisan; dia menganggap kemampuan menulis itu hal biasa yang tak patut dibangga-banggakan secara berlebihan, malah kerap menganggap sebagai keahlian 'ngibul', persis dia bilang Itenas (Institut Teknologi Nasional) adalah tempat dia 'main'---sebagai ganti bahwa dia adalah dosen desain di sana.

Dia santai saja menulis, bahkan setelah berhasil menerbitkan empat novel. Dia bilang, ‘Aku menulis untuk menghibur, menyenangkan orang, melakukan yang terbaik bagi orang lain.’ Di sisi materi dia memperoleh royalti yang rutin dia berikan untuk bayaran SPP kuliah adiknya; di sisi nonmateri, dia berhasil menghibur pembaca. Bayaran untuk keikhlasan justru dua: penghiburan dan kekayaan. Tapi meski begitu aku kerap sedih atas respons kurang pantas beberapa orang atas yang telah dicapainya, seolah-olah itu sama sekali tak layak dilirik.

BAGAIMANA dengan Epigram? Dari sajiannya, novel ini menggugah selera. Minimal dia mengalami perubahan: naskah ini mesti ditangani cukup berbeda dibandingkan penerbit sebelumnya, jangkauan pembaca sasaran pun mungkin berubah, bahkan desainer cover. Yang pasti: Epigram tentu sulit masuk toko buku (alternatif) yang tidak menjual terbitan GPU.
Epigram kini sudah di tangan. Mikihiro Moriyama, salah satu pembaca awal novel ini, berkomentar, ‘Suatu novel yang ambisius.’ Aku terkenang Jamal lagi, berharap niat baik dia menulis terus terpelihara, didukung sepantasnya. Ini novel harus dibaca, minimal sekali saja.[]

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
Fiksi atas Sebuah Fakta
-----------------------
>> Anwar Holid

BEBERAPA orang di sekitarku nonton The Exorcism of Emily Rose. Film itu memang menakutkan. Aku menontonnya dua kali, ketika tengah malam. Setiap kali visualisasi horor atau adegan menyeramkan muncul, seketika bulu kuduk meremang, mengganggu ketenangan, memunculkan teror dan ketakutan. Karena dibuka pernyataan 'based on true story' teman-teman yakin bahwa kejadiannya memang begitu, barangkali yakin tak ada yang dibuang atau disimpangkan, bahwa film itu benar memindahkan kejadian sebenarnya, tanpa maksud melebih-lebihkan atau menciptakan agar peristiwa lebih dramatik. Dengan kata lain mereka yakin bahwa film itu terjadi di Amerika Serikat, terjadi baru-baru ini, gadis kesurupan bernama Emily Rose, terdakwa Romo Richard Moore, pembela pastor bernama Erin Bruner, demikian seterusnya. Mereka menambah dengan tafsir dan argumen kenapa kejadian tersebut berlangsung di Amerika Serikat, negara dengan masyarakat rasional dan objektif, namun betapa pihak yang terkait kasus gagal menerangkan fenomena dengan tepat---kecuali pak pastor.
Mereka percaya film itu berusaha setia sedetil-detilnya memindahkan peristiwa, tanpa tebersit sedikit pun kemungkinan siapa tahu film itu berusaha mendramatisasi kejadian; sekadar mengambil inspirasi atau pesan dari peristiwa nyata juga tak pernah terbayangkan. Barangkali dalam kepala atau keyakinan ada semacam kabut yang menutupi kemungkinan adanya penafsiran atau anggapan, apalagi mau mengaitkan ada kepentingan modal, image, maksud, dan sebagainya dari film tersebut; termasuk terpikir ada distorsi fakta.

Maka ketika aku bilang bahwa film itu tidak seperti kejadian nyatanya, bahkan berbeda sama sekali, tak seorang pun percaya. Bahkan ada yang dengan sengit bilang, 'Ah, tahu apa kamu? Kamu bohong. Sok tahu. Kamu tak tahu apa-apa tentang hal itu. Aku menolak ucapan kamu.' Bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang menolak kebenaran yang ingin kita sampaikan? Cara terbaik adalah biarkan mereka menemukan kebenaran dengan caranya sendiri.

Fakta bahwa film itu 'hanya' mengambil dasar plot dari kejadian aktual bisa diperiksa di Wikipedia, selanjutnya mengantarkan kita pada banyak hyper link tentang subjek terkait, baik eksternal dan internal. Tidak ada gadis bernama Emily Rose yang mengalami peristiwa itu, tak ada pembela perempuan yang akhirnya terusik oleh eksistensi Tuhan, dan lebih terang lagi: tak ada di sudut Amerika Serikat manapun kejadian itu pernah berlangsung. Lho? Kalau begitu berbeda, kenapa para pembuat film itu berkeras mencantumkan 'berdasar pada kisah nyata'?

FILM itu mengambil pengalaman Anneliese Michel, seorang gadis yang hidup di Klingenberg am Main, kota kecil di wilayah Bavaria, Jerman. Dia meninggal pada 1 Juli 1976, setelah sejak 1968 mengalami gangguan dan didiagnosis epilepsi. Tumbuh dalam keluarga Katolik taat, keluarganya menisbatkan bahwa kondisi yang dialami Anneliese sebagai dimasuki (kesurupan) setan, dan diagnosis itu dikuatkan oleh Romo Ernst Alt, yang memang spesialisis bidang eksorsisme (pengusiran setan), disetujui oleh Uskup Wurzburg Josef Stangl. Uskup Josef Stangl menunjuk Pastor Arnold Renz---dibantu Romo Ernst Alt---melakukan ritual eksorsisme berdasar tata cara Rituale Romanum tahun 1614. Setelah dilakukan berkali-kali satu jam per sesi kira-kira delapan bulan lamanya, ritual itu menyebabkan Anneliese tewas. Setelah investigasi, kedua pastor dan orangtua Anneliese dihadapkan di meja hijau. Pastor dibela pengacara bayaran gereja, sementara orangtua Anneliese dibela Erich Schmidt-Leichner, salah satu pengacara paling top Jerman saat itu, yang juga pernah membela sejumlah terdakwa dalam pengadilan kejahatan perang Nazi. Pengadilan itu dikenal sebagai 'Perkara Klingenberg'; itulah yang oleh Scott Derrickson (sutradara) dijadikan basis The Exorcism of Emily Rose. Sosok Erich Schmidt-Leichner (pria) kurang-lebih diwujudkan dalam diri Erin Bruner (wanita). Anneliese Michel dinamai lagi sebagai Emily Rose.

Ke mana kenyataan tersisa dalam film itu? Kenapa penyimpangan sengaja dibuat sangat berbeda dari kejadian nyata? Lebih tajam lagi: kenapa penonton langsung yakin bahwa kejadian faktualnya persis seperti yang di sajikan film, tanpa ada niat sedikit pun mau memeriksa atau menguji kebenaran fakta tersebut dari media atau sumber informasi lain, siapa tahu ada sesuatu yang bisa membuat subjek itu terlihat utuh atau memperlihatkan sisi lain. Apa pernyataan 'based on true story' harus dimaknai begitu saklek dan kemungkinan penafsiran maupun imajinasi terhadapnya jadi lenyap; seolah-olah di dalam kenyataan ruang buat perenungan, simbol, interpretasi jadi lenyap; kenyataan harus dipandang 'sebagaimana adanya', literal, tanpa embel-embel.

Budi Warsito, seorang scriptwriter, pernah mengulang pertanyaan retorik: 'art imitates life or life imitates art?' Kini, kata dia, siapa meniru siapa tak lagi soal. Lebih penting adalah orang belajar, mendapatkan sesuatu, dari manapun: kejadian sepele sampai dongeng yang membuai. Tegas dia: terkadang dalam hidup orang memang harus belajar dari hal-hal fiktif. Itu sebabnya peristiwa nyata dicuplik begitu rupa menjadi inspirasi, bahan renungan, ekspresi, pengayaan dalam seni dan kreativitas; dengan cara serupa seni menghasilkan pemaknaan, intensitas, penghayatan, simbolisasi di dalam hidup nyata, digunakan sebagai sumber kebajikan. Ada kalanya kehidupan sulit terperikan, begitu rumit, sementara manusia hanya bisa menjelaskan secara terbatas, sederhana, dengan cara masing-masing, termasuk dari fakta yang dibengkokkan. Fakta kadang-kadang terlalu dahsyat atau ngeri untuk dicerap, dibayangkan, dan orang butuh media tertentu untuk menangkap irisan kebenaran.

Di A Beautiful Mind ada adegan ritual para profesor almamater memberi pena pada John Nash sebagai simbol dia diterima dan diakui dalam komunitas matematika karena prestasinya, padahal adat itu sama sekali tidak ada di dalam kenyataan; adegan itu murni karangan Hollywood. Adegan ini menegaskan betapa fiksi memperkaya hidup dan demikian sebaliknya. Dalam genre ‘biopic’ (dari biographical picture, film biografis), ada lebih banyak lagi perbedaan (ketidakcocokan), jarak, antara kenyataan dan fiksi, meskipun film tersebut berkisah tentang orang tertentu atau sekelompok orang berdasar pada peristiwa kejadian sebenarnya, termasuk mengubah kejadian tersebut demi maksud lain.

LEPAS manusia butuh drama, fakta diinterpretasi berbeda-beda bergantung versi pembuatnya, lebih penting ialah sikap kritis pada yang dibaca, dilihat, ditonton, terhadap sodoran informasi. Sebab di sana ada bias, kepentingan industri, perhitungan modal, pertimbangan kemasan, komoditas, barang konsumsi. Dengan begitu orang dilatih awas, hati-hati dan berusaha menyelisik lebih jeli, menyaring 'penyusupan' dari cara yang paling halus. Ada banyak cara mengutuhkan informasi atau pernyataan, atau setidak-tidaknya berimbang, alih-alih menerima mentah-mentah, menganggap hanya ada satu versi atas sebuah fakta. Apa guna jargon 'berbudaya', 'literasi', bila orang terdidik, yang kerap menyatakan diri lebih beradab, rasional, ternyata mudah dikelabui dan nalar jadi tertutup kabut, sulit menerima atau menimbang pembanding lain. Benjamin Franklin dengan pas menggambarkan kondisi orang seperti itu, yang menurutnya sangat menyedihkan: ‘orang sendirian kehujanan yang tak tahu cara membaca’. Eh, BTW, apa Benjamin Franklin ini fiktif?[] 30 Januari 2006 5:23:45

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B Bandung 40141 Telepon: (022) 2037348 HP: 08156-140621 Email: wartax@yahoo.com
[HALAMAN GANJIL]

Yang diberikan kepadaku adalah inti
-----------------------------------
>> Anwar Holid


Aku terjepit di antara keinginan untuk menulis sesuatu yang betul-betul aku inginkan, dan berharap memuaskan ekspresi dan maksud tertentu, dengan menyelesaikan tulisan yang aku harapkan bisa jadi layak muat dan karena itu mendatangkan honor. Di satu sisi, kebutuhanku untuk menulis segala yang aku alami, keinginan, dan maksud tertentu sekarang ini begitu banyak---setidak-tidaknya untuk menulis rasa syukur dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang terus aku terima; dengan kebutuhan harus mengumpulkan uang dan pendapatan sebanyak-banyaknya karena memang sekarang aku persis membutuhkan uang secukupnya untuk membayar semua yang sedang aku bangun, beli, dan dapatkan. Aku sudah mendapat kebaikan pinjaman dari banyak orang---lembaga tertentu, saudara, keluarga, teman---tetapi ternyata semua itu masih saja belum cukup untuk menyelesaikan renovasi total rumah kecil yang kami tinggali. Dan sekarang aku belum memutuskan mencari-cari lagi siapa yang akan kami ketuk pintunya dan kami mohon kerelaannya.

Mungkin cara paling bagus adalah menulis yang paling menyenangkan, memenuhi standar kepuasan pribadi, namun sekaligus layak muat. Tapi kerap dua hal itu sulit bertemu, sebab standar masing-masing jenis tulisan itu juga berbeda. Tapi baiklah, sejak renovasi rumah dijalankan, aku sudah merencanakan lebih giat bekerja, menulis untuk media massa lebih rajin, dan tambah fokus 'memburu dolar'---sebuah ungkapan yang aku ambil dari jargon hiasan becak. Tapi memang hasilnya belum kentara; tapi setidaknya aku bertekad keras menyelesaikan order-order lama yang terbengkalai agar bisa diuangkan. Padahal pesona luar yang amat menggoda pikiran dan gagasan yang aku ketahui begitu besar. Baiklah, semua aku abaikan dulu. Sekarang kamu harus fokus pada kebutuhan nafkah dulu, baru nanti boleh bersenang-senang dengan debat dan 'perang intelektualisme' itu. Sekarang waktunya kamu harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya karena belanja dan kebutuhanmu juga sedang sangat banyak; semua sudah sesuai rencana dan perhitungan kemampuan. Sekarang adalah masa ketika kamu harus belajar membayar prioritas yang ada di depan mata, lupakan dulu kebutuhan terlalu ingin memperhatikan diri, sebab rasanya selama ini kamu toh sudah cukup memperhatikan kesenangan dan egoisitas. Lain kali dipenuhi lagi. Atau, harus diakui, ternyata kesenangan itu terus terjadi sepanjang masa, bahkan ketika kamu ada di tengah-tengah kesulitan. Kau selalu bisa mencuri kesenangan, karena pangkalnya kesenangan itu tersedia di mana-mana, dan kerap berharga murah.

Meski persis saat ini aku punya utang cukup besar dan harus menahan malu lagi mencari utang tambahan, faktanya aku sendiri masih bisa menikmati lagu-lagu Pink Floyd dengan intensitas cukup dalam, tahu persis betapa sampah yang ditumpuk berminggg-minggu bisa menimbulkan bau busuk luar biasa memualkan, dan di sisi lain masih bisa menikmati lelucon-lelucon kiriman teman dari seberang. Memang aku sudah lama sekali nggak pernah nonton pertunjukan musik, yang gratis sekalipun, beli kaset atau cd album yang betul-betul aku inginkan, atau menyaksikan pameran lukisan yang dulu sangat kerap aku lakukan; tapi aku masih bisa mendapat pengetahuan nyaris gratis dari wikipedia yang luar biasa, bisa mendapat bajakan album-album baru dari Pearl Jam, Tool, A Perfect Circle, Opeth, Nitin Sawhney, Chris Robinson, kejar-kejaran gitar antara Pat Metheny dan John Scofield, piano Chick Corea, termasuk diskografi lengkap album Living Colour, belum ditambah jazz dan world music lain, mendengarkan Takk dari Sigur Ros. Aku juga masih bisa menyeruput kopi Aroma, sesekali pesan espresso, atau secara mengejutkan dihadiahi sesuatu, dimudahkan dalam hal tertentu. Masih berani merencanakan ini-itu, meski dengan spekulasi tertentu. Berani membayangkan kebahagiaan di masa depan, meski siapa tahu bencana mendahului. Ah, gila... semua masih aku nikmati dengan baik. Setiap hari aku naik angkot dengan selamat sampai tujuan, belum ditambah bonus pemandangan perempuan berbaju seksi, yang setiap kali bergerak, apa pun yang mereka lakukan, senantiasa memperlihatkan bagian terbuka tubuhnya, karena baju dia bisa terlalu pendek atau ketat membungkus tubuh. Aku terlalu sering menikmati semua dengan kenikmatan diam-diam, sendirian. Aku berani bilang bahwa mulai pada 2005-an ini perempuan kota Indonesia tampaknya mengalami perubahan cara berpakaian; mereka memang masih malu-malu memperlihatkan tubuh dengan polos sampai kulit, tapi mereka pintar menonjolkan ketertarikan tubuhnya, baik dengan model yang amat rendah atau dengan sempurna membayangkan bentuk tubuh aslinya. Cara seperti itu sudah cukup bagi lelaki seperti aku tahu seperti apa di balik kain itu---entah lebih dahsyat atau malah mengejutkan.

Jadi ternyata semua masih aku dapat, aku rasakan, aku alami. Aku baik-baik saja, setidaknya dari permukaan dan kedalaman yang masih bisa dikira-kira. Aku dipersilakan mengalami segala sesuatu, diajak mengalami hal baru yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 'Wartax, kamu belum pernah punya utang sebesar ini sebelumnya, jadi coba kamu alami dan nikmati; periksalah, apa kamu tabah dengan segala yang terjadi.' 'Wartax, dulu kamu malas sekali membayangkan punya anak, sekarang aku akan tambah satu lagi. Coba, apa kamu baik-baik saja nanti menjalani hidup rutin sehari-hari.' 'Wartax, ternyata gaji kamu langsung habis buat biaya sehari-hari; apa bisa kamu cari tambahan buat memenuhi kewajiban lainnya.' 'Wartax, mungkin kamu akhirnya akan mengaku, Tuhan menjadikan hidupmu per hari ini agar tambah bergantung pada Dia. Dia ingin menguji kamu apa teguh menjalani keimanan atau justru akan makin dimain-mainkan oleh syahwat.' 'Kamu menyaksikan banyak peristiwa besar di luar dirimu, tsunami, gempa di Jogja, banjir, bencana besar lain, apa kamu memikirkan kenapa hidupmu masih dijaga baik-baik saja? Kamu sempat dipatahkan oleh harapan, ditolak oleh orang lain, kalah oleh kenyataan; apa realitas yang kamu alami akan kamu syukuri atau akan kamu sia-siakan?' 'Kamu masih sangat kurang belajar banyak hal; dan ternyata belum saja mulai menimba lebih dalam...' Kata orang, peristiwa, ujian, adalah cara Tuhan menyapa makhluk-Nya. Begitu... mari, silakan masuk, Tuan.

Renovasi rumah ini memungkinkan aku tahu persis sesuatu, antara lain: betapa profesi pertukangan (kayu, tembok, alat lain) ternyata sangat berat dan melelahkan, dilihat dari kacamataku. Aku sempat bantu-bantu sedikit, dan bisa mengalami sendiri betapa kerja seperti ini betul-betul menguras tenaga dan membuat tubuh cepat kehabisan keringat. Aku sempat ikut angkut pasir beberapa karung, hasilnya, keesokan hari aku demam. Aku sempat ikut menatah tembok, hasilnya tanganku pegal-pegal seharian. Para tukang itu juga berencana dengan baik, mengira-ngira, menjaga profesionalisme, punya etos. Dari dulu aku takut sekali berprasangka buruk terhadap profesi yang bukan pilihan atau kemampuanku, apalagi yang dari permukaan langsung terlihat lebih kasar dan rendah; dan sekarang kembali kenyataan itu persis terjadi di depan mata. Aku sudah pasrah, aku hanya bisa mengusahakan membayar mereka sesuai kesepakatan, dengan utang sekalipun, dan aku melihat orang lain pun bangga dengan yang mereka lakukan. Aku sama sekali tak punya hak mengklaim punya hidup atau profesi lebih mulia, atau kalangan status sosial lebih bagus, sebab dalam banyak hal, ternyata aku terbukti nol. Aku tak bisa nembok, tak bisa dagang, tak bisa jadi pengusaha, takut berspekulasi, takut jadi tukang pulung, khawatir jadi tukang ojek... dan aku langsung sadar betapa Tuhan memang menciptakan makhluknya sesuai kapasitas masing-masing. Di sebuah buku aku pernah baca, 'Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan mereka tidak dianiaya.' Aku dulu merasa bahwa pernyataan itu mirip sebuah penghiburan, tapi sekarang aku merasa itu sejenis pembebasan. Yang bisa aku lakukan begitu kecil di dunia ini, tapi itu pun masih harus dilakukan. Aku diciptakan untuk melakukan hal tertentu, memberi buah dari kemampuan itu, menyempurnakannya kalau bisa. Sebab kalau tidak, siapa lagi?
Kalau suka aku perhatikan dari sejumlah kesan dan prasangka buruk atau pandangan merendah-rendahkan profesi fisikal dibandingkan profesi yang konon lebih 'intelektual' dan halus, 'menak', jenis profesi seperti yang aku lakoni ini terasa sama saja hina dan kotornya. Maksudku: setiap profesi punya kemuliaan dan keistimewaan sendiri. Itu yang harus aku sadari terus. Maka jadinya kadang-kadang aku bisa luar biasa jengkel bila ada kendaraan pribadi dengan gusar mengklaksoni angkot di depannya agar cepat-cepat menyingkir, seolah-solah angkot itu adalah bangkai yang harus disingkirkan. Aku selalu ingin ke luar menghampiri pengklakson gelisah itu, bilang, 'Tuan, sopir ini sedang cari nafkah loh, buat dirinya dan keluarga. Menghidupi anak-istri. Tolong hormati dikit, coba lebih sabar...' Kalau tidak, ingin langsung aku hajar kaca jendela mobilnya. Andai kalau aku bisa mengganti kerusakan dengan mudah. Tapi syukur hasrat buas itu belum pernah terjadi. Alangkah mengerikan kalau terjadi.
Dibandingkan kekhawatiran atas himpitan utang dan kekaburan keinginan mendapat penghasilan lebih besar, jelas sekali hidup yang persis aku alami ini luar biasa rasanya. Aku sudah dibantu besar-besaran baik oleh saudara dan kawan-kawan, baik yang lama dan baru; diberi kesempatan menikmati sejumlah hal, entah pahit dan manis; dikasih pengalaman baru, entah emosional dan fisikal; diberi banyak barang gratisan, entah karena tak ternilai atau tak terjangkau; diberi kesempatan, kemampuan, keberanian, kemudahan... Aku lebih suka melanjutkan hidup beserta kandungan rahasia di dalamnya. Setidaknya aku menikmati hari ini yang luar biasa, dengan segala dinamikanya, termasuk gangguan yang terjadi. Aku berharap gangguan itu membuat aku belajar dan tahu sesuatu. Kali ini, setiap kali ke balkon loteng, meski belum beres, belum bisa ditempati, aku bisa mendengarkan kembali aliran selokan yang gemericik, jernih, berdenting-denting, seolah butir kaca digoyang-goyang; padahal aku tahu persis itu adalah aliran selokan tempat pembuangan kotoran manusia. Menakjubkan. Betapa imajinasiku dipenuhi ketenangan, keindahan, dan bukan sebaliknya. Betapa yang diberikan kepadaku, yang diperdengarkan pada telingaku, yang dicerap oleh indraku, adalah inti, esens, dan kotorannya lenyap. Ini pasti merupakan momen indah dalam hidupku---kurang-lebih dikurangi dosa.

Di samping itu, ada banyak hal yang masih aku tunggu dengan cadangan kesabaran cukup. Aku menunggu apa kesebelasan Inggris masih bisa membuat adrenalinku bergolak di Piala Dunia 2006 ini, kalau tidak mungkin ada yang salah kenapa selalu memfavoritkan mereka. Aku masih sabar menunggu bukuku terbit. Aku dengan santai menikmati bacaan yang bagus. Aku berusaha wajar menunggu kelahiran anak kedua, berharap kandungan istriku baik dan calon bayi kami sehat. Aku dengan tenang menikmati perbincangan teman-teman satu kalangan. Ada banyak lagu yang belum didengarkan, ada dvd yang dari dulu ingin ditonton ternyata belum sempat juga, ada posting yang cukup menarik direspons, ada gagasan yang mungkin patut diolah dan dijadikan artikel layak muat. Ada pengetahuan baru yang pantas disimak. Ada ajaran yang semoga bisa menyelamatkan aku sekeluarga dari siksa api neraka, ada orang baik yang pantas diteladani, mungkin ada aib yang disembunyikan dari dari kami dan diperlihatkan terjadi pada orang lain. Tentu akan ada kejutan baru dalam hidup ini, dan tepat pada saatnya niscaya terjadi pada kami. Semua dirahasiakan waktu dan peristiwa. Aku harap bisa menjalani sebaik mungkin, kalau diberi kesempatan. Akankah baik-baik saja; katakanlah secara spiritual? Hm... Tuan, untuk urusan ini hanya aku, Tuhan, dan pesuruhnya yang tahu. Aku sudah menisbatkan yang terjadi dalam diriku, fisikal atau spiritual, sebagai satu kesatuan, yang meski belum terpecahkan misterinya, tapi aku coba pahami sedikit demi sedikit---tentu disertai ralat oleh pengatahuan baru.

Aku sudah diberi bekal; bersyukur atas segala peristiwa, mari lanjutkan perjalanan.[] 23:14 20/06/06

Anwar Holid adalah eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141, Telp. (022) 2037348
[HALAMAN GANJIL]

Yang diberikan kepadaku adalah inti
-----------------------------------
>> Anwar Holid


Aku terjepit di antara keinginan untuk menulis sesuatu yang betul-betul aku inginkan, dan berharap memuaskan ekspresi dan maksud tertentu, dengan menyelesaikan tulisan yang aku harapkan bisa jadi layak muat dan karena itu mendatangkan honor. Di satu sisi, kebutuhanku untuk menulis segala yang aku alami, keinginan, dan maksud tertentu sekarang ini begitu banyak---setidak-tidaknya untuk menulis rasa syukur dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang terus aku terima; dengan kebutuhan harus mengumpulkan uang dan pendapatan sebanyak-banyaknya karena memang sekarang aku persis membutuhkan uang secukupnya untuk membayar semua yang sedang aku bangun, beli, dan dapatkan. Aku sudah mendapat kebaikan pinjaman dari banyak orang---lembaga tertentu, saudara, keluarga, teman---tetapi ternyata semua itu masih saja belum cukup untuk menyelesaikan renovasi total rumah kecil yang kami tinggali. Dan sekarang aku belum memutuskan mencari-cari lagi siapa yang akan kami ketuk pintunya dan kami mohon kerelaannya.

Mungkin cara paling bagus adalah menulis yang paling menyenangkan, memenuhi standar kepuasan pribadi, namun sekaligus layak muat. Tapi kerap dua hal itu sulit bertemu, sebab standar masing-masing jenis tulisan itu juga berbeda. Tapi baiklah, sejak renovasi rumah dijalankan, aku sudah merencanakan lebih giat bekerja, menulis untuk media massa lebih rajin, dan tambah fokus 'memburu dolar'---sebuah ungkapan yang aku ambil dari jargon hiasan becak. Tapi memang hasilnya belum kentara; tapi setidaknya aku bertekad keras menyelesaikan order-order lama yang terbengkalai agar bisa diuangkan. Padahal pesona luar yang amat menggoda pikiran dan gagasan yang aku ketahui begitu besar. Baiklah, semua aku abaikan dulu. Sekarang kamu harus fokus pada kebutuhan nafkah dulu, baru nanti boleh bersenang-senang dengan debat dan 'perang intelektualisme' itu. Sekarang waktunya kamu harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya karena belanja dan kebutuhanmu juga sedang sangat banyak; semua sudah sesuai rencana dan perhitungan kemampuan. Sekarang adalah masa ketika kamu harus belajar membayar prioritas yang ada di depan mata, lupakan dulu kebutuhan terlalu ingin memperhatikan diri, sebab rasanya selama ini kamu toh sudah cukup memperhatikan kesenangan dan egoisitas. Lain kali dipenuhi lagi. Atau, harus diakui, ternyata kesenangan itu terus terjadi sepanjang masa, bahkan ketika kamu ada di tengah-tengah kesulitan. Kau selalu bisa mencuri kesenangan, karena pangkalnya kesenangan itu tersedia di mana-mana, dan kerap berharga murah.

Meski persis saat ini aku punya utang cukup besar dan harus menahan malu lagi mencari utang tambahan, faktanya aku sendiri masih bisa menikmati lagu-lagu Pink Floyd dengan intensitas cukup dalam, tahu persis betapa sampah yang ditumpuk berminggg-minggu bisa menimbulkan bau busuk luar biasa memualkan, dan di sisi lain masih bisa menikmati lelucon-lelucon kiriman teman dari seberang. Memang aku sudah lama sekali nggak pernah nonton pertunjukan musik, yang gratis sekalipun, beli kaset atau cd album yang betul-betul aku inginkan, atau menyaksikan pameran lukisan yang dulu sangat kerap aku lakukan; tapi aku masih bisa mendapat pengetahuan nyaris gratis dari wikipedia yang luar biasa, bisa mendapat bajakan album-album baru dari Pearl Jam, Tool, A Perfect Circle, Opeth, Nitin Sawhney, Chris Robinson, kejar-kejaran gitar antara Pat Metheny dan John Scofield, piano Chick Corea, termasuk diskografi lengkap album Living Colour, belum ditambah jazz dan world music lain, mendengarkan Takk dari Sigur Ros. Aku juga masih bisa menyeruput kopi Aroma, sesekali pesan espresso, atau secara mengejutkan dihadiahi sesuatu, dimudahkan dalam hal tertentu. Masih berani merencanakan ini-itu, meski dengan spekulasi tertentu. Berani membayangkan kebahagiaan di masa depan, meski siapa tahu bencana mendahului. Ah, gila... semua masih aku nikmati dengan baik. Setiap hari aku naik angkot dengan selamat sampai tujuan, belum ditambah bonus pemandangan perempuan berbaju seksi, yang setiap kali bergerak, apa pun yang mereka lakukan, senantiasa memperlihatkan bagian terbuka tubuhnya, karena baju dia bisa terlalu pendek atau ketat membungkus tubuh. Aku terlalu sering menikmati semua dengan kenikmatan diam-diam, sendirian. Aku berani bilang bahwa mulai pada 2005-an ini perempuan kota Indonesia tampaknya mengalami perubahan cara berpakaian; mereka memang masih malu-malu memperlihatkan tubuh dengan polos sampai kulit, tapi mereka pintar menonjolkan ketertarikan tubuhnya, baik dengan model yang amat rendah atau dengan sempurna membayangkan bentuk tubuh aslinya. Cara seperti itu sudah cukup bagi lelaki seperti aku tahu seperti apa di balik kain itu---entah lebih dahsyat atau malah mengejutkan.

Jadi ternyata semua masih aku dapat, aku rasakan, aku alami. Aku baik-baik saja, setidaknya dari permukaan dan kedalaman yang masih bisa dikira-kira. Aku dipersilakan mengalami segala sesuatu, diajak mengalami hal baru yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 'Wartax, kamu belum pernah punya utang sebesar ini sebelumnya, jadi coba kamu alami dan nikmati; periksalah, apa kamu tabah dengan segala yang terjadi.' 'Wartax, dulu kamu malas sekali membayangkan punya anak, sekarang aku akan tambah satu lagi. Coba, apa kamu baik-baik saja nanti menjalani hidup rutin sehari-hari.' 'Wartax, ternyata gaji kamu langsung habis buat biaya sehari-hari; apa bisa kamu cari tambahan buat memenuhi kewajiban lainnya.' 'Wartax, mungkin kamu akhirnya akan mengaku, Tuhan menjadikan hidupmu per hari ini agar tambah bergantung pada Dia. Dia ingin menguji kamu apa teguh menjalani keimanan atau justru akan makin dimain-mainkan oleh syahwat.' 'Kamu menyaksikan banyak peristiwa besar di luar dirimu, tsunami, gempa di Jogja, banjir, bencana besar lain, apa kamu memikirkan kenapa hidupmu masih dijaga baik-baik saja? Kamu sempat dipatahkan oleh harapan, ditolak oleh orang lain, kalah oleh kenyataan; apa realitas yang kamu alami akan kamu syukuri atau akan kamu sia-siakan?' 'Kamu masih sangat kurang belajar banyak hal; dan ternyata belum saja mulai menimba lebih dalam...' Kata orang, peristiwa, ujian, adalah cara Tuhan menyapa makhluk-Nya. Begitu... mari, silakan masuk, Tuan.

Renovasi rumah ini memungkinkan aku tahu persis sesuatu, antara lain: betapa profesi pertukangan (kayu, tembok, alat lain) ternyata sangat berat dan melelahkan, dilihat dari kacamataku. Aku sempat bantu-bantu sedikit, dan bisa mengalami sendiri betapa kerja seperti ini betul-betul menguras tenaga dan membuat tubuh cepat kehabisan keringat. Aku sempat ikut angkut pasir beberapa karung, hasilnya, keesokan hari aku demam. Aku sempat ikut menatah tembok, hasilnya tanganku pegal-pegal seharian. Para tukang itu juga berencana dengan baik, mengira-ngira, menjaga profesionalisme, punya etos. Dari dulu aku takut sekali berprasangka buruk terhadap profesi yang bukan pilihan atau kemampuanku, apalagi yang dari permukaan langsung terlihat lebih kasar dan rendah; dan sekarang kembali kenyataan itu persis terjadi di depan mata. Aku sudah pasrah, aku hanya bisa mengusahakan membayar mereka sesuai kesepakatan, dengan utang sekalipun, dan aku melihat orang lain pun bangga dengan yang mereka lakukan. Aku sama sekali tak punya hak mengklaim punya hidup atau profesi lebih mulia, atau kalangan status sosial lebih bagus, sebab dalam banyak hal, ternyata aku terbukti nol. Aku tak bisa nembok, tak bisa dagang, tak bisa jadi pengusaha, takut berspekulasi, takut jadi tukang pulung, khawatir jadi tukang ojek... dan aku langsung sadar betapa Tuhan memang menciptakan makhluknya sesuai kapasitas masing-masing. Di sebuah buku aku pernah baca, 'Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan mereka tidak dianiaya.' Aku dulu merasa bahwa pernyataan itu mirip sebuah penghiburan, tapi sekarang aku merasa itu sejenis pembebasan. Yang bisa aku lakukan begitu kecil di dunia ini, tapi itu pun masih harus dilakukan. Aku diciptakan untuk melakukan hal tertentu, memberi buah dari kemampuan itu, menyempurnakannya kalau bisa. Sebab kalau tidak, siapa lagi?
Kalau suka aku perhatikan dari sejumlah kesan dan prasangka buruk atau pandangan merendah-rendahkan profesi fisikal dibandingkan profesi yang konon lebih 'intelektual' dan halus, 'menak', jenis profesi seperti yang aku lakoni ini terasa sama saja hina dan kotornya. Maksudku: setiap profesi punya kemuliaan dan keistimewaan sendiri. Itu yang harus aku sadari terus. Maka jadinya kadang-kadang aku bisa luar biasa jengkel bila ada kendaraan pribadi dengan gusar mengklaksoni angkot di depannya agar cepat-cepat menyingkir, seolah-solah angkot itu adalah bangkai yang harus disingkirkan. Aku selalu ingin ke luar menghampiri pengklakson gelisah itu, bilang, 'Tuan, sopir ini sedang cari nafkah loh, buat dirinya dan keluarga. Menghidupi anak-istri. Tolong hormati dikit, coba lebih sabar...' Kalau tidak, ingin langsung aku hajar kaca jendela mobilnya. Andai kalau aku bisa mengganti kerusakan dengan mudah. Tapi syukur hasrat buas itu belum pernah terjadi. Alangkah mengerikan kalau terjadi.
Dibandingkan kekhawatiran atas himpitan utang dan kekaburan keinginan mendapat penghasilan lebih besar, jelas sekali hidup yang persis aku alami ini luar biasa rasanya. Aku sudah dibantu besar-besaran baik oleh saudara dan kawan-kawan, baik yang lama dan baru; diberi kesempatan menikmati sejumlah hal, entah pahit dan manis; dikasih pengalaman baru, entah emosional dan fisikal; diberi banyak barang gratisan, entah karena tak ternilai atau tak terjangkau; diberi kesempatan, kemampuan, keberanian, kemudahan... Aku lebih suka melanjutkan hidup beserta kandungan rahasia di dalamnya. Setidaknya aku menikmati hari ini yang luar biasa, dengan segala dinamikanya, termasuk gangguan yang terjadi. Aku berharap gangguan itu membuat aku belajar dan tahu sesuatu. Kali ini, setiap kali ke balkon loteng, meski belum beres, belum bisa ditempati, aku bisa mendengarkan kembali aliran selokan yang gemericik, jernih, berdenting-denting, seolah butir kaca digoyang-goyang; padahal aku tahu persis itu adalah aliran selokan tempat pembuangan kotoran manusia. Menakjubkan. Betapa imajinasiku dipenuhi ketenangan, keindahan, dan bukan sebaliknya. Betapa yang diberikan kepadaku, yang diperdengarkan pada telingaku, yang dicerap oleh indraku, adalah inti, esens, dan kotorannya lenyap. Ini pasti merupakan momen indah dalam hidupku---kurang-lebih dikurangi dosa.

Di samping itu, ada banyak hal yang masih aku tunggu dengan cadangan kesabaran cukup. Aku menunggu apa kesebelasan Inggris masih bisa membuat adrenalinku bergolak di Piala Dunia 2006 ini, kalau tidak mungkin ada yang salah kenapa selalu memfavoritkan mereka. Aku masih sabar menunggu bukuku terbit. Aku dengan santai menikmati bacaan yang bagus. Aku berusaha wajar menunggu kelahiran anak kedua, berharap kandungan istriku baik dan calon bayi kami sehat. Aku dengan tenang menikmati perbincangan teman-teman satu kalangan. Ada banyak lagu yang belum didengarkan, ada dvd yang dari dulu ingin ditonton ternyata belum sempat juga, ada posting yang cukup menarik direspons, ada gagasan yang mungkin patut diolah dan dijadikan artikel layak muat. Ada pengetahuan baru yang pantas disimak. Ada ajaran yang semoga bisa menyelamatkan aku sekeluarga dari siksa api neraka, ada orang baik yang pantas diteladani, mungkin ada aib yang disembunyikan dari dari kami dan diperlihatkan terjadi pada orang lain. Tentu akan ada kejutan baru dalam hidup ini, dan tepat pada saatnya niscaya terjadi pada kami. Semua dirahasiakan waktu dan peristiwa. Aku harap bisa menjalani sebaik mungkin, kalau diberi kesempatan. Akankah baik-baik saja; katakanlah secara spiritual? Hm... Tuan, untuk urusan ini hanya aku, Tuhan, dan pesuruhnya yang tahu. Aku sudah menisbatkan yang terjadi dalam diriku, fisikal atau spiritual, sebagai satu kesatuan, yang meski belum terpecahkan misterinya, tapi aku coba pahami sedikit demi sedikit---tentu disertai ralat oleh pengatahuan baru.

Aku sudah diberi bekal; bersyukur atas segala peristiwa, mari lanjutkan perjalanan.[] 23:14 20/06/06

Anwar Holid adalah eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Kontak: Jalan Kapten Abdul Hamid, Panorama II No. 26 B, Bandung 40141, Telp. (022) 2037348